Pemenuhan Pelayanan Kesehatan dan Konsumsi Bagi Narapidana di Lapas dan Rutan

Riyan Firmansyah1, Faisal A Rani2, Adwani3,

  • 1    Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: [email protected]

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: [email protected]

  • 3    Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk: 12 Pebruari 2019

    Diterima: 23 Agustus 2019

    Terbit: 30 September 2019


    Keywords:

    Fulfillment of Prisoners Rights; Health Services; Eligible Foods


    Kata kunci:

    Pemenuhan Hak Narapidana;

    Pelayanan Kesehatan;

    Makanan Yang Layak

    Corresponding Author:

    Riyan Firmansyah, E-mail:

    [email protected]

    DOI:

    10.24843/JMHU.2019.v08.i0

    3.p10


Abstract

mengerti dan memahami gejala yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian penulis diketahui bahwa pelayanan kesehatan dan konsumsi di Lapas masih belum efektif, terlihat dari sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, frekuensi kunjungan tenaga kesehatan, dan anggaran yang tersedia. Konsumsi yang disajikan bagi narapidana masih kurang layak, terindikasi dari keluhan tentang makanan serta gizi yang kurang seimbang, kebersihan kurang diperhatikan. Faktor-Faktor yang mempengaruhi nya antara lain: Berupa over kapasitas di Lapas dan Rutan, sarana dan prasarana, anggaran yang terbatas, substansi aturan antara hubungan struktur hukum belum memadai, Upaya Peningkatan Pemenuhan nya secara internal maupun eksternal berupa sosialisasi, memperjuangkan anggaran melalui legislatif, dan optimal menjalankan aturan untuk pelayanan hak narapidana, baik pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

  • 1.    Pendahuluan

Dewasa ini seperti yang kita tau Lembaga Pemasyarakatan telah mengalami perubahan yang mencakup pembinaan narapidana sehingga napi tersebut pada akhirnya bisa kembali ke lingkungan masyarakatnya. Namanya juga telah berubah menjadi warga binaan pemasyarakatan. Satu-satunya hak yang dicabut dari narapidana adalah hak kemerdekaan bergerak. Dengan demikian seharusnya Napi menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya, dan negara menjamin hal tersebut, sehingga perlu perawatan dan pembinaan tahanan tujuan akhirnya adalah integrasi sosial. Menurut Adi Sujatno bahwa dengan dirubahnya sistem kepenjaraan menuju kepada suatu sistem pemasyarakatan yang dimana sistem tersebut tata perlakuannya yang lebih manusiawi dan normatif terhadap napi berdasarkan Pancasila. Dengan sistem Pemasyarakatan yang di dalam nya ada konsep pendekatan pembinaan (treatment approach) diharapkan dapat mewujudkan perlindungan kepada narapidana dan Hak-hak napi dalam menjalankan hukuman pidananya dengan bercirikan rehabilitative, korektif, edukatif, integrative.1

Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara sebagaimana yang di atur di dalam Pasal 1 Angka 1 UU Pemasyarakatan merupakan tempat dilaksanakannya penghukuman dan pembinaan bagi Napi. Dengan sistem kelembagaan, pembinaan ini menjadi satu tujuan akhir dari sistem pemidanaan. Demikian juga kondisi Lapas perlu diperhatikan untuk dapat memenuhi hak narapidana, berupa harus tersedia sarana dan prasarana yang memadai. Itu tugas utama pemerintah untuk dapat memenuhi hak-hak dasar (fundamental) bagi narapidana.

Petugas pemasyarakatan memiliki peran penting dalam terwujudnya pelaksanaan visi dan misi pemasyarakatan, yakni memulihkan dan memasyarakatkan kembali warga binaan pemasyarakatan melalui pembinaan dan pembimbingan agar kelak kembali ke masyarakat sebagai manusia produktif dan berhasil guna, serta ke depan tidak akan mengulangi perbuatannya. Peranan aparat penegak hukum dalam hal ini petugas pemasyarakatan sangat penting dalam melaksanakan pelayanan dan pemenuhan hak-

hak narapidana diantaranya ialah dalam hal kesehatan dan konsumsi makanan yang layak. Oleh karenanya ada istilah sebaik apapun suatu peraturan hukum tersebut, namun apabila mentalitas dari aparat penegak hukum itu sendiri masih buruk, maka ini lah yang akan menghambat dalam pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Sepanjang pengamatan penelitian riset ini penulis mengamati baik kondisi di Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh Maupun Rumah Tahanan Jantho, Personil di Lapas dan Rutan baik kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) petugas masih terbatas, dalam melaksanakan pembinaan dan bimbingan keterampilan bagi narapidana di Lapas dan Rutan.

Pasal 14 UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mengatur tentang hak-hak dasar Napi yang harus terpenuhi salah satu hak diantara nya ialah pelayanan kesehatan dan konsumsi di Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 14 UU Pemasyarakatan ini Narapidana berhak mendapatkan pengayoman pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Adapun berkenaan dengan proses pelayanan konsumsi makanan untuk Napi di dalam Lapas, Idealnya yang berdampak pada peningkatan kualitas SDM, maka dengan demikian dalam hal ini dari segi kualitas maupun kuantitas Gizi harus seimbang serta layak dan aman untuk dikonsumsi.2

Adapun menyangkut Hak Napi sebagaimana tercantum di dalam Pasal 14 UU Pemasyarakatan tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi petugas pemasyarakatan yaitu wajib memberikan pelayanan seoptimal mungkin agar tujuan pemasyarakatan dapat tercapai.

Berdasarkan Pasal 14 UU Pemasyarakatan, jelas bahwa di dalam materi muatan nya menyangkut kesehatan dan makanan, di dalam hal ini napi berkewajiban mendapatkan pemenuhan pelayanan seoptimal mungkin. Yang selanjutnya dirinci lagi di dalam PP No 32 Tahun 1999 mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak WBP.

Pasal 21 PP No 58 Tahun 1999 yang di dalam nya memuat tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Dalam Hal ini diatur bahwa kesehatan yang layak wajib diperoleh setiap tahanan, poliklinik beserta dengan fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya 1 orang dokter dan tenaga kesehatan, namun jika Lapas dan Rutan belum tersedia Dokter dan tenaga kesehatan maka dalam hal pelayanan kesehatan ini dapat meminta bantuan dari rumah sakit atau Puskesmas terdekat.

Salah satu hak narapidana yang perlu diperhatikan pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh Kepala Lapas ialah sebagaimana termuat di dalam Pasal 14 ayat (1) Huruf d UU Pemasyarakatan yaitu Napi berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Khususnya bagi napi yang sakit harus mendapatkan pelayanan yang seoptimal mungkin. Jika kita lihat di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, tepat nya di Pasal 1 angkat 1, dapat kita rumuskan bahwa “kesehatan ialah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif baik secara sosial dan ekonomis.”

Adapun hak kesehatan yang wajib diberikan kepada narapidana meliputi penyediaan alat-alat medis, obat-obatan, penyediaan jasa tenaga medis yang lengkap, juru masak dapur, penyimpanan makan, alat masak dan alat makan yang layak, dan penyediaan ahli gizi. Sehubungan dengan hal ini Kemenkumham melalui Dirjen PAS mengeluarkan keputusan No : PAS.385.PK.01.07.01 Tahun 2016 memuat mengenai Standar perawatan Paliatif bagi napi, tahanan , anak didik di Lapas, Rutan LKPA dan RS Pengayoman.

Berpedoman pada pelayanan kesehatan yang diberikan di Lapas dan Rutan ialah merupakan suatu wujud pemberian Ham oleh Negara dalam konteks ini kepada warga nya. Adapun penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Lapas di muat dalam beberapa peraturan perundangan diantaranya :

  • 1.    UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM

  • 2.    UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

  • 3. PP No 58 tahun 1999 tentang syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan

Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

  • 4. Permenkumham Nomor M.HH-01.PK.07.02 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Makanan Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

  • 5.    Permenkumham No M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengadaan Bahan Makanan Bagi Narapidana, Tahanan, dan Anak Didik Pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Lingkungan Kemenkumham.

Kendala dan hambatan yang dihadapi Lapas dan Rutan dalam pelayanan kesehatan berawal dari kondisi over kapasitas penghuni Lapas dan Rutan. Akibatnya pemanfaatan Lapas dan Rutan yang tidak lagi dibedakan fungsinya. Rutan tidak hanya menjadi tempat menahan sementara atau penahanan selama tersangka atau terdakwa menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Menurut Eva Achjani Zulfa, kondisi yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan saat ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang cenderung meninggalkan lembaga ini. Lapas sebagai lembaga yang menjadi fase akhir dari proses peradilan pidana, cenderung terlupakan. Kondisi “terlupakan” inilah yang menjadikan:

  • 1.    Kebijakan regulasi lembaga pemasyarakatan tidak menyeluruh dan memadai. Apabila kita lihat dari Standard Minimum Rules for Treatment Of Prisoners, kebutuhan para Napi selayaknya disediakan oleh Pemerintah untuk menunjang yang namanya pembinaan di LP. Dengan demikian perlu suatu kebijakan yang meliputi management system pembinaan napi, permasalahan pendanaan bagi tersedia sarana dan prasarana dan juga kesejahteraan petugas.

  • 2.    Kemampuan sumber daya manusia di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam menerjemahkan tujuan dari pemasyarakatan bukan hanya dalam batas mengetahui saja, tetapi para petugas dalam menjalankan tugasnya harus menghayati benar perannya masing-masing dalam menunjang tercapainya tujuan pembinaan tersebut.

  • 3.    Kedua prasyarat di atas, pada dasarnya dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh dalam memformasi lembaga ini, sehingga masalah ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang.3

Mencermati pendapat di atas, maka dapat dinyatakan pemerintah dalam hal ini Kepala Lapas dan Rutan belum menjalankan kewenangan yang diberikan Undang-Undang dengan baik dalam kontek memenuhi Hak-hak Napi baik berupa pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Kendala dan hambatan tersebut disebabkan antara lain oleh sarana yang belum memadai. Adapun saranan dan fasilitas pendukung secara sederhana dimaknai sesuatu yang digunakan untuk tercapainya maksud dan juga tujuan, adapun prasarana merupakan penunjang utama suatu proses kegiatan yang akhirnya tujuan dapat dicapai. Sarana fisik dalam hal ini yang fungsi nya sebagai faktor pendukung utama. tanpa adanya sarana yang mumpuni, maka mustahil penegakan hukum dapat berjalan lancar. Faktor sarana dan prasarana se yogya nya memperhatikan kualitas, fungsi, dan pemanfaatannya.

Fasilitas yang tersedia baik di Lapas maupun di Rutan adalah di dalam kamar sel hanya terdapat 1 kamar mandi dan water close (WC) dan ventilasi udara yang kecil. Selain itu setiap sel yang luasnya 3 x 5 meter idealnya hanya menampung 3 (tiga) orang narapidana pada kenyataanya harus memuat 7 (tujuh) orang bahkan ada yang memuat 9 (sembilan) orang. Pada setiap sel tahanan terjadi kondisi over kapasitas tahanan dan narapidana, hal ini tidak sebanding luas dengan jumlah penghuninya sehingga dapat berakibat pada kondisi mudah terjangkit penyakit menular.

Anggaran, dan juga makanannya belum memenuhi standar yang ditentukan karena keterbatasan anggaran baik itu untuk pelayanan kesehatan maupun makanan untuk Napi. Di dalam PP Nomor 32 Tahun 2009 tepat Pasal 14 ayat (1) dan (2) jelas dimuat pada segi pelayanan kesehatan, yaitu setiap napi berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan optimal, termasuk juga fasilitas nya seperti tersedianya poliklinik di setiap lapas dan juga di tepatkan sekurang-kurangnya 1 orang dokter dan 1 tenaga kesehatan lainnya. Adapun wujud dari perlindungan hak napi, Menkumham dalam hal ini mengeluarkan Peraturan Khusus yang berkenaan dengan pengadaan bahan makanan bagi napi, yaitu Permenkumham No. M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 yang di dalam nya memuat pedoman, mekanisme pengadaan bahan makanan bagi Napi dan Tahanan.

Berbagai regulasi yang telah dibentuk, idealnya dapat menjadi rujukan dalam penyelenggaraan kelayakan kesehatan dan makanan bagi Napi. Namun pada kenyataannya hasil penelitian penulis di lapangan yakni di LP Banda Aceh dan Rutan Jantho, belum berjalan dan mengalami berbagai kendala dan hambatan.

Bertolak dari kenyataan tersebut, kondisi kesehatan tahanan dan narapidana sangat lah penting dalam melaksanakan program pembinaan bagi narapidana di Lapas. Oleh karenanya terhadap pelayanan kesehatan dan makanan yang layak dan sesuai standar kesehatan harus menjadi perhatian utama / prioritas utama dari pihak Lapas dan Rutan dalam hal ini Kepala Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh dan Rumah Tahanan Negara Jantho. Dengan demikian berangkat dari permasalahan ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan Judul ”Penyelenggaraan Pelayanan

Kesehatan dan Makanan yang Layak Bagi Narapidana di Lapas Klas II A Banda Aceh dan Rutan Klas II B Jantho”.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum dengan pendekatan yuridis empiris4, atau disebut penelitian hukum sosiologis5. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang6, Adapun Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian lapangan dan kepustakaan dimana penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelaah peraturan perundangan, mempelajari buku dan karya tulis yang relevan dengan penelitian yang diteliti. Penelitian lapangan laksanakan melalui wawancara dengan responden maupun informan. Dalam hal ini di identifikasikan ,diolah dan dianalisis secara sistematis dengan mengolah data dengan teknik analisis data kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pemenuhan Pelayanan Kesehatan di Lapas Banda Aceh

Pembahasan terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar narapidana atas pelayanan kesehatan dan konsumsi di Lapas dapat dianalisis menggunakan teori Kewenangan, teori Perlindungan hukum, dan teori Pelayanan Hukum. Guna menjawab permasalahan pemenuhan hak-hak narapidana di Lapas baik terhadap kesehatan dan juga konsumsi, maka dapat dicermati melalui beberapa analisis hasil wawancara dengan responden dan informan di Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh dan Rumah Tahanan Negara Klas Jantho sebagai berikut.

Adapun penyelenggaraan pemberian hak-hak napi untuk memperoleh kelayakan dalam hal pemenuhan kesehatan, makanan di LP Banda Aceh dan Rutan jantho belum berjalan dengan baik. Hal ini juga tidak hanya terjadi di Kota Banda Aceh, namun secara umum di seluruh provinsi Aceh terdapat kendala serupa. Pelayanan kesehatan belum berjalan dengan baik, berdasarkan beberapa indikator berikut:

  • 3.1.1    Sarana kesehatan yang belum memadai

Berdasarkan hasil kunjungan penulis di Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh belum tersedianya mobil Ambulance di klinik yang ada di LP. Pada dasarnya petugas Lapas mengharapkan dalam hal pelayanan kesehatan pemerintah dapat menyediakan mobil ambulance agar akses lebih mudah terutama pada saat ada pasien/narapidana yang berada dalam keadaan darurat.

Selanjutnya Klinik di LP ini ialah Klinik mandiri tidak ada kerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat, idealnya dapat dibentuk kerja sama dalam hal ini antara Lapas dengan Dinas Kesehatan dan pihak terkait (stakeholder) lainnya. Secara umum

diketahui di Aceh banyak potensi daerah yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat di Aceh. Banyak sumber pendapatan daerah yang jika digunakan dengan baik dapat membantu menunjang tersedianya sarana pelayanan kesehatan di Lapas dan Rutan, seperti halnya biaya berobat dengan JKA ( Jaminan Kesehatan Aceh ), Jamkesmas ( Jaminan Kesehatan Masyarakat ) dan sejenisnya. Bagi narapidana yang juga sebagai masyarakat Aceh dan sedang berada dalam Lapas dan Rutan diberikan fasilitas klinik dengan sarana-prasarana serta persediaan obat-obatan yang memadai.7

Senada dengan hal tersebut, salah seorang Petugas Lapas juga menyatakan seyogianya ada dibuat regulasi baru oleh Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) dengan persetujuan DPR RI berkenaan dengan sarana di Lapas contoh mobil ambulance. Tidak tersedianya mobil ambulance menjadi satu kendala di Lapas dan Rutan. Selama ini jika ada yang sakit darurat dibawa dengan mobil pribadi pegawai Lapas atau mobil salah seorang anggota keluarga narapidana yang sedang datang berkunjung. Alternatif lain yang dijalankan adalah narapidana yang mengalami sakit dalam kondisi darurat harus segera dibawa ke rumah sakit, ada yang dibawa dengan taksi online (grap/go car) yang di pesan oleh pihak Lapas dan Rutan. 8

Mencermati dari riset di lapangan wawancara dengan responden dapat dirumuskan bahwa pelayanan kesehatan yang berlangsung di LP dilaksanakan oleh 4 (empat) orang yaitu masing-masing seorang Dokter, perawat, apoteker, dan ahli gigi yang tersedia.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan di Lapas Klas II A Banda Aceh tidak ada tenaga kesehatan khusus gizi yang penting untuk mendukung kerja petugas Lapas maupun bagi narapidana. Kenyataan hanya tersedia 4 orang pemberi layanan kesehatan bagi Napi dan Tahanan, merupakan persoalan yang harus dicarikan jalan keluar dan bersifat mendesak karena jumlah Napi yang ada di LP yang setiap tahun jumlahnya bertambah dan melebihi kapasitas. Hal tersebut penting untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi narapidana sesuai aturan yang berlaku.

Bentuk pelayanan kesehatan yang selama ini secara rutin dijalankan oleh seorang tenaga perawat Lapas Klas II A Banda Aceh yaitu melakukan penyuluhan kesehatan kepada WBP. jika ada WBP yang sakit bisa langsung ke klinik. Tindakan khusus yang dilakukan jika narapidana sakit parah atau berada dalam keadaan darurat (emergency), maka akan dirujuk ke Rumah Sakit Umum.9

Berdasarkan hasil Riset ini maka dapat disimpulkan, sarana yang ada di Lapas dan Rutan yang diperuntukkan guna memberikan pelayanan kesehatan bagi Napi LP Banda Aceh masih kurang. Munculnya hal tersebut dikarenakan sarana yang ada masih minim dan tidak ada persediaan obat-obatan yang cukup di klinik sebagai pertolongan pertama bagi narapidana sebelum memperoleh rujukan untuk izin berobat ke luar Lapas atau Rutan.

  • 3.1.2    Sumber Daya Manusia Tenaga Kesehatan masih kurang

Secara kuantitas dapat dinyatakan bahwa tenaga kesehatan yang tersedia di Lapas Klas II A Banda Aceh sangat sedikit. Demikian halnya di Rutan Klas II B Jantho yang hanya memiliki dokter, perawat, dan dokter gigi masing-masing satu orang. 10

Selain minimnya kuantitas yaitu jumlah tenaga kesehatan yang tersedia, kualitas kunjungan ke Lapas dan Rutan juga tidak memenuhi standar. Namun karena kondisi yang tidak mendukung bagi dokter, dan dokter gigi untuk selalu berada di Lapas dan Rutan.

Berdasarkan permasalahan ini, secara sederhana solusi yang dapat ditawarkan untuk mensiasati permasalahan kualitas dan kuantitas dari dokter, perawat dan dokter gigi tersebut adalah dibangun jaringan kerjasama antara Lapas atau Rutan dengan Dinas Kesehatan atau instansi pemerintah lainnya. Kerjasama tersebut dapat dilakukan di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Dengan adanya kerjasama akan dapat menyelesaikan masalah yang terberat sekalipun. Kementerian Hukum dan HAM dapat membuat kesepakatan kerjasama dengan Departemen Kesehatan sehingga adanya hubungan yang sinergi antara Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi narapidana di Lapas dan Rutan untuk warga binaan pemasyarakatan yang sehat dan memiliki semangat untuk memperbaiki kesalahan dan akhirnya dapat kembali ke masyarakat.

  • 3.1.3    Anggaran bagi pelayanan kesehatan narapidana sangat kurang

Sehubungan dengan hak narapidana terhadap pelayanan kesehata, pemerintah mengalokasikan bagi setiap Lapas dan Rutan biaya pelayanan kesehatan Narapidana. Dalam hal ini tersedia anggaran sebesar Rp 8.000.000,- (delapan juta rupiah) perbulan. Melihat nominal tersebut dengan kapasitas Lapas hanya dengan kalkulasi sederhana, maka secara langsung dapat dinyatakan anggaran tersebut sangat sedikit.

Terkait hal ini terdapat pandangan dari petugas kesehatan Lapas Klas II A Banda Aceh, bahwa biaya Rp 8.000.000,- (delapan juta rupiah) perbulan untuk pelayanan kesehatan narapidana, hanya penanggulangan harus dilakukan upaya mengirit untuk pengeluarannya. Apabila dikalkulasikan pengeluaran untuk membeli obat semacam paracetamol saja sudah menghabiskan dana tersebut, jika tidak dilakukan upaya mengirit untuk pengeluarannya. Oleh karenanya menghimbau kepada pemerintah supaya selanjutnya hendaknya ada penambahan anggaran untuk biaya obat-obatan bagi kesehatan narapidana di Lapas dan Rutan.11

Hak narapidana lainnya yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah makanan yang layak. Kenyataan diperoleh dari kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh dan Rumah Tananan Negara Jantho makanan yang disajikan masih kurang layak. Makanan bagi narapidana tidak dapat terpenuhi secara maksimal jumlah protein dan kalori yang telah ditentukan. Hal inilah yang dialami oleh narapidana warga binaan pemasyarakatan. Kurang layak makanan bagi narapidana dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu:

  • 1.    Keluhan warga binaan pemasyarakatan atas konsumsi makanan yang kurang enak.

  • 2.    Kebersihan makanan yang kurang diperhatikan, banyak menggunakan penyedap rasa.

  • 3.    Gizi makanan yang masih kurang.

Adapun yang menjadi pedoman dalam hal keseimbangan Gizi, yaitu berisikan susunan pangan sehari-hari yang di dalamnya telah termuat zat gizi dalam jenis, jumlah yang sesuai.12 Adapun menyangkut dengan hal penyediaan makanan bagi Napi yang diselenggarakan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan, idealnya terpenuhi gizi seimbang, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas yang kesemuanya ini bermuara pada terpenuhi nya gizi, kesehatan yang baik untuk peningkatan kualitas SDM. Kebutuhan energi untuk Napi yaitu berkisar 2.250 kkal dan 60 gr protein.13

Gizi ialah meyangkut tentang makanan yang berdampak langsung bagi kesehatan manusia. Adapun Status Gizi sesorang ialah kondisi tubuh yang di akibatkan asupan, penyerapan dan penggunaan zat gizi dalam makanan.14 Energi dan protein merupakan suatu yang sangat berpengaruh bagi status gizi setiap individu dikarenakan menjadi penyumbang terbesar dalam tubuh.15 Status gizi juga menjadi hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke dalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tersebut. Masalah gizi juga merupakan faktor dasar dari berbagai masalah di dalam kesehatan, hal tersebut terjadi dari berbagai kelompok umur.16

Gizi yang seimbang dapat di Defensikan sejumlah makanan yang mengandung berbagai zat yang dibutuhkan oleh tubuh seseorang dalam kesehariannya. Adapun kondisi kurang nya gizi dalam tubuh disebabkan ketidak seimbangan yang namanya asupan zat gizi yang salah satu diantaranya karbohidrat. Gizi buruk ialah kurang nya asupan dalam tubuh tingkat tinggi dan kondisi ini terjadi dalam waktu yang lama. Gizi lebih merupakan kondisi kelebihan konsumsi dalam waktu lama.

Ada beberapa pedoman pelaksanaan pemenuhan makanan bagi narapidana yakni SE Menteri kehakiman No. M.02-Um.01.06 Tahun 1989, SE Dirjen PAS Kemenkumham No.E.PP.02.05-02 Tanggal 20 September 2007, dan Surat Keputusan Menkumham No. HH01.PK.07.02 Tahun 2009 yang berkenaan dengan penyelenggaraan makanan untuk WBP.17

Adapun yang menjadi kendala dihadapi oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan, ialah yang terjadi jumlah tahanan melebihi kapasitas nya, dan masalah anggaran, dimana dana yang disediakan negara masih sangat terbatas. Penyelenggaraan medis yang dilakukan petugas kesehatan di lapas untuk napi yang mengalami sakit tidak terlaksana dengan optimal, hal ini dikarenakan ketersediaan fasilitas kesehatan baik itu peralatan medic maupun obat-obatan masih minim untuk menunjang pelayanan kesehatan untuk napi di LP Banda aceh dan Rutan Jantho, bahwa implementasi pemenuhan hak-hak kesehatan dan Konsumsi narapidana di Lapas Banda Aceh secara umum dinyatakan telah terpenuhi, dengan argumentasi bahwa mereka selalu melakukan penyuluhan tentang kesehatan kepada narapidana begitu juga dengan makanan yang selalu dilakukan pengecekan , dan selama ini dinyatakan telah terpenuhi. Menurut petugas Lapas yang dijadikan indikator untuk dinyatakan telah terpenuhi pemenuhan hak-hak narapidana di Lapas diantaranya adalah tidak ada laporan Komplain dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan dari pihak luar (keluarga narapidana) juga tidak ada laporan apapun.

Semua tugas pokok dan fungsi telah dijalankan sesuai arahan. Secara umum tugas pokok dan fungsi Bimbingan di Lembaga Pemasyarakatan meliputi, Kesehatan, Rohani, pembinaan wawasan kebangsaan, dan kebugaran jasmani dan rohani. Berkenaan dengan pelayanan kesehatan terkait urusan-urusan antara lain: Poliklinik berkenaan dengan izin operasionalnya; Berkenaan dengan Dokter, perawat di Lapas itu berada di bawah Kasi Pembinaan; Perawatan kesehatan di Lapas dengan mengecek kesehatan narapidana secara berkala.

Seksi pelayanan kesehatan/makanan atau disebut (Bimnadin) salah satunya tugas menyiapkan makanan/perawatan kesehatan. Kendala dan hambatan yang dihadapi Lapas dan Rutan dalam pelayanan kesehatan berawal dari kondisi over kapasitas penghuni Lapas dan Rutan. Akibatnya pemanfaatan Lapas dan Rutan yang tidak lagi dibedakan fungsinya. Rutan tidak hanya menjadi tempat menahan sementara atau penahanan selama tersangka atau terdakwa menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan.

Hak kesehatan yang wajib diberikan kepada narapidana meliputi penyediaan alat-alat medis, obat-obatan, penyediaan jasa tenaga medis yang lengkap, juru masak dapur, penyimpanan makan, alat masak dan alat makan yang layak, dan penyediaan ahli gizi. Sehubungan dengan hal ini Kemenkumham mengeluarkan keputusan melaui Dijen PAS No. Pas.385.PK.01.07.01 tahun 2016 yang di dalam nya memuat standar perawatan paliatif bagi napi, tahanan dan anak di LP.18

Penyakit yang tidak terlayani seperti gatal karena alergi makanan, mengingat makanan yang tersedia di Lapas dan Rutan berupa menu yang berlaku secara umum. Hal ini sangat sulit bagi narapidana di Lapas yang menderita alergi pada sesuatu makanan. Penderita meliputi sebahagian kecil dari narapidana, dan kepada narapidana tersebut diberi hak untuk berobat keluar dengan surat rujukan atau dengan biaya dari narapidana atau keluarganya bagi yang mampu. Pada Lapas Klas II Banda Aceh tidak tersedia pelayanan tenaga kesehatan, perawat dan petugas kesehatan gigi yang memadai, kurangnya persediaan obat-obatan untuk merawat dan mengobati narapidana yang sakit.

  • 3.2    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemenuhan Hak-Hak Dasar Naparipada atas Pelayanan Kesehatan dan Konsumsi di Lapas

Jika dicermati dengan saksama, maka dapat diketahui pada saat ini, sarana dan prasarana tidak cukup karena Narapidana bertambah, oleh karena itu membutuhkan anggaran tambahan akibat adanya fenomena over kapasitas yang terjadi Lapas dan Rutan. Oleh karena nya akibat dari Kondisi tersebut pihak lapas mengalami berbagai kendala dalam memenuhi kebutuhan gizi bagi napi di karena pengelolaan makanan di dapur yang masih belum baik, baik itu di Lembaga Pemasyarakatan Banda aceh dan juga di Rumah Tahanan Jantho.

Berdasarkan hasil penelitian penulis, yang menjadi faktor mempengaruhi pemenuhan hak-hak dasar narapidana atas pelayanan kesehatan dan konsumsi antara lain:

  • 3.2.1    Faktor sarana dan prasarana yang belum memadai.

Berdasarkan Pasal 18, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, dinyatakan bahwa: Sarana dan prasarana perawatan rohani dan jasmani di fasilitas oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan.

Kenyataannya fasilitas yang tersedia baik di Lapas maupun di Rutan adalah di dalam kamar sel hanya terdapat 1 kamar mandi dan water close (WC) dan ventilasi udara yang kecil. Selain itu setiap sel yang luasnya 3 x 5 meter idealnya hanya menampung 3 (tiga) orang narapidana pada kenyataannya harus memuat 7 (tujuh) orang bahkan ada yang memuat 9 (sembilan) orang. Pada setiap sel tahanan terjadi kondisi over kapasitas tahanan dan narapidana, hal ini tidak sebanding luas dengan jumlah penghuninya sehingga dapat berakibat pada kondisi mudah terjangkit penyakit menular.

Banyak kekurangan sarana prasarana Rutan yang tidak akan dapat diatasi tanpa kerjasama Rutan Klas II B Jantho dengan pihak lainnya. Dengan bersinergi banyak yang dapat diatasi dan tanggung jawab pelayanan kesehatan narapidana menjadi memudahkan dan lebih ringan. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat dibuat hubungan kerjasama dengan membentuk kesepahaman kerjasama diantara Depkumham dengan Dinas Kesehatan berdasarkan hasil kesepakatan, baik itu dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis untuk melakukan kerja sama dalam bidang pelayanan kesehatan narapidana dan jangka waktu tertentu.19

  • 3.2.2    Over kapasitas yang terjadi di Rumah Tahanan Klas II B Jantho.

Kondisi melebihi kapasitas yang menjadi realita di lapangan hal tersebut Juga didukung oleh data yang diperoleh dari Rutan Klas II B Jantho, bahwa kapasitas narapidana di Rutan Kalas II B Jantho seharusnya 111 orang, namun sekarang ditempati oleh 489 orang narapidana. Harus diakui bahwa Keuangan negara tidak mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi jumlah protein dan kalori yang cukup bagi narapidana. Idealnya sesuai aturan satu menu 10 hari, dapat digambarkan 3x pemakaian daging pada hari ke-3, 5 dan 8. Jika dalam satu bulan terdiri dari 31 hari, maka tepat di hari ke-31 diberi menu yang sama dengan hari ketujuh.

Sebagai gambaran lain, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka banyaknya anggota keluarga mempengaruhi menu yang disajikan. Anggaran yang tersedia untuk

jumlah yang terbatas, apabila ada penambahan jumlah anggota keluarga, maka persediaan yang ada harus dibagi-bagi sehingga kuantitas menjadi berkurang.

Di dalam sebuah keluarga setiap anggotanya itu untuk memenuhi kebutuhan tubuh setiap harinya, dalam hal ini keluarga perlu belajar mengenai penyediaan gizi baik. Melalui penyediaan pangan, penghidangan serta membagikan pangan secara merata, dan akhirnya seluruh nya dapat makan yang cukup pangan, beraneka ragan jenisnya sehingga terpenuhinya kebutuhan. Jika dikembalikan ke kondisi Rutan Klas II B Jantho, maka secara pasti akan terjadi kekurangan makanan, dan kualitas makanan yang disajikan menurut dipengaruhi oleh jumlah penghuni Rutan yang telah melebihi kapasitas.

  • 3.2.3    Alokasi anggaran yang tidak cukup.

Kondisi saat ini di Rutan Klas II B Jantho, adalah biaya obat pertahun berdominal Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah) dengan tambahan untuk biaya kunjungan dokter ke rutan klas II B jantho sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dalam perbulan. Kebutuhan untuk makanan perbulan ± Rp 204.000.000,- atau pertahun lebih dari ± Rp. 1.800.000.000,-. 20

Dengan demikian, maka dapat dinyatakan bahwa tanpa dana yang cukup atau memadai, maka segala kegiatan akan terhambat bahkan terhenti. Namun berkaitan dengan kebutuhan makanan narapidana di Rutan tidak mungkin ditiadakan, maka yang terjadi di lapangan ialah kondisi kelayakan makanan yang disajikan kepada napi yang masih kurang layak. Sehingga timbul asumsi dari narapidana merasa diperlakukan secara tidak manusiawi dan memilih untuk tidak menjalankan pidana dan melarikan diri dari rumah tahanan negara.

Apabila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dalam sebuah keluarga misalnya, menu yang disajikan keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi anggotanya sangat dipengaruhi oleh pendapatan. Besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan dan pola konsumsi makanan dipengaruhi pula oleh faktor sosial budaya masyarakat. Faktor utama yang mempengaruhi penyajian masakan bagi anggota keluarga ini akan menentukan penggolongan keluarga tersebut kepada keluarga yang mampu atau keluarga miskin. Kemiskinan menjadi penyebab gizi kurang, jumlah pendapatan naik maka akan berdampak pada membaik nya jenis makanan yang di pilih.

  • 3.3    Upaya Peningkatan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Narapidana atas Pelayanan Kesehatan dan Konsumsi di Lapas

Hak kesehatan yang wajib diberikan kepada narapidana meliputi penyediaan alat-alat medis, obat-obatan, penyediaan jasa tenaga medis yang lengkap, juru masak dapur, penyimpanan makan, alat masak dan alat makan yang layak, dan penyediaan ahli gizi. Sehubungan dengan hal ini Kemenkumham melalui Dirjen Pas mengeluarkan Keputusan No. 385.PK.01.07.01 Tahun 2016 Menyangkut Standar perawatan paliatif bagi napi dan tahanan.

Penyakit yang tidak terlayani seperti gatal karena alergi makanan, mengingat makanan yang tersedia di Lapas dan Rutan berupa menu yang berlaku secara umum. Hal ini sangat sulit bagi narapidana di Lapas dan Rutan yang menderita alergi pada

sesuatu makanan. Penderita meliputi sebahagian kecil dari narapidana, dan kepada narapidana tersebut diberi hak untuk berobat keluar dengan surat rujukan atau dengan biaya dari narapidana atau keluarganya bagi yang mampu. Pada Lapas dan Rutan tidak tersedia pelayanan tenaga kesehatan, perawat dan petugas kesehatan gigi yang memadai, kurangnya persediaan obat-obatan untuk merawat dan mengobati narapidana yang sakit.

Berkenaan dengan pelayanan kesehatan, kenyataan nya tidak ada nya suatu aturan seperti standar operasional prosedur (SOP) di antara instansi terkait yakni Dari pihak Lapas Klas II A Banda Aceh, dan Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, yang akhirnya mengakibatkan penyelenggaraan kesehatan untuk napi tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan pemenuhan hak-hak dasar narapidana atas pelayanan kesehatan dan konsumsi di Lapas harus dilakukan secara berkelanjutan berupa upaya baik upaya yang dilakukan secara internal dan eksternal. Lapas dan Rutan dapat melakukan upaya-upaya berupa:

  • 3.3.1    Sosialisasi

Negara di dalam hal ini pemerintah berkewenangan dan berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara nya termasuk juga napi di Lapas Banda Aceh dan Rutan Jantho. Rekomendasi pertama sebagai upaya yang tepat ialah menyosialisasikan menyangkut Hak WBP untuk pelayanan kesehatan seperti yang termuat di PP No. 32 tahun 1999, yang pada akhir nya tujuan Pemasyarakatan dapat tercapai.

  • 3.3.2    Memperjuangkan Alokasi Anggaran di Legislatif

Adapun akibat dari keterbatasan anggaran yang tersedia ini berakibat pada belum memenuhi standar yang ditentukan, baik itu penyelenggaraan kesehatan dan makanan napi. PP 32 Tahun 2009 tepat nya Pasal 14 ayat (1) dan (2), pada segi pelayanan kesehatan, sebagaimana diatur napi berkewajiban mendapatkan pemenuhan yang layak bagi kesehatan nya, yang mana tersedia medis/poliklinik dan fasilitasnya beserta sekurang-kurangnya 1 orang dokter dan 1 orang tenaga kesehatan yang semua nya ini bermuara pada pelayanan yang optimal.

Dalam upaya untuk memenuhi kesehatan sebagai hak asasi manusia. Implementasi Penyediaan anggaran yang cukup bagi kesehatan dan juga melibatkan masyarakat luas di dalam hal ini menjadi kewajiban pemerintah. Khususnya bagi narapidana dan tahanan di Lapas dan Rutan, maka tidak ada pihak yang akan memberikan perhatian apabila dari Lapas dan Rutan tidak proaktif dalam mengupayakannya.

Substansi hukum adalah produk dari struktur hukum, baik peraturan yang dibuat melalui mekanisme struktur formal atau peraturan yang lahir dari kebiasaan. Substansi hukum dapat dikaji dari aspek materi Undang-Undangnya, asas-asas hukum serta aktualisasi peraturan pelaksanaannya. Oleh karenanya Kepala Lapas dan Rutan harus melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik untuk mengupayakan substansi yang diatur oleh legislatif, aturan yang berpihak dan peduli terhadap pemenuhan kesehatan dan makanan yang layak bagi napi.21

  • 3.3.3    Melaksanakan peraturan yang telah ada dan mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya

Sehubungan dengan pelayanan kesehatan narapidana telah terdapat suatu aturan yakni PP No 58 Tahun 1999, Serta sebagai bentuk wujud dari komitmen manifestasi perlindungan hak narapidana, dalam hal ini Menteri Hukum dan Ham mengeluarkan lagi Permen Kumham No. M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011.

Prinsipnya pemenuhan hak dasar narapidana di Lapas dan Rutan menjadi tanggung jawab Kepala Lapas dan Rutan. Lapas dan Rutan mempunyai tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan dan perawatan tahanan, akan tetapi kenyataannya yang terjadi di Lapas Banda Aceh dan Rutan Jantho belum memiliki saranan dan prasarana yang memadai. Khusus di bidang perawatan tahanan misalnya sanitasi yang belum baik, tidak tersedia poliklinik bagi Napi yang sedang mengalami sakit, pemeriksaan kesehatan yang rutin belum terlaksana, dan tidak tersedia ruangan khusus bagi napi yang menderita penyakit menular.

Sehubungan dengan itu, maka Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) membentuk MoU dengan instansi pemerintah (Dinas Kesehatan Provinsi Aceh) tingkat Provinsi, dan MoU antara Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara dengan Dinas Kesehatan di Kabupaten/Kota, yang ditindaklanjuti melalui perjanjian dengan menentukan langkah konkrit peran para pihak, yang memuat Standar Operasional Prosedure (SOP), mengatur pengawasan dan sanksi di dalam upaya terselenggaranya hak kesehatan bagi napi di Lapas.

Sebaik apapun peraturan hukum yang sudah dibuat, namun apabila mentalitas penegak hukum kurang baik, maka akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Sepanjang penelitian ini pengamatan penulis, personil di Lapas dan Rutan dari segi SDM baik kualitas maupun kuantitas masih terbatas, untuk melaksanakan pembinaan dan bimbingan keterampilan bagi Napi.

  • 4.    Kesimpulan

Pemenuhan hak-hak dasar narapidana atas pelayanan kesehatan dan konsumsi di Lapas masih belum efektif terlihat dari sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, frekuensi kunjungan untuk pelayanan kesehatan yang diberikan petugas narapidana, dan anggaran yang tersedia bagi pelayanan kesehatan. Adapun konsumsi makanan yang disajikan sehari-hari bagi narapidana di Lapas masih kurang layak, hal ini dilihat dari keluhan warga binaan pemasyarakatan atas konsumsi makanan yang kurang enak, kebersihan makanan yang kurang diperhatikan, banyak menggunakan penyedap rasa serta gizi makanan yang kurang seimbang.

Adapun faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam pemenuhan hak dasar narapidana atas pelayanan kesehatan dan konsumsi di Lapas antara lain: berupa over kapasitas yang terjadi di Lapas dan Rutan, sarana dan prasarana yang belum memadai, anggaran yang tersedia masih kurang memadai (terbatas), substansi perangkat aturan yang mengatur tata hubungan diantara struktur hukum belum memadai, memaksimalkan pelaksanaan tanggung jawab Kepala Lapas dan Rutan.

Upaya Peningkatan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Narapidana atas Pelayanan Kesehatan dan Konsumsi di Lapas baik secara internal maupun eksternal berupa sosialisasi, memperjuangkan anggaran melalui legislatif, dan melaksanakan peraturan

perundang-undangan yang berkenaan dengan penyelenggaraan Kesehatan dan Makanan yang layak bagi Napi.

Daftar Pustaka

Buku

Riyadi, H. (2006). Materi pokok gizi dan kesehatan keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka.

Salim, H. HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2016. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,jarawali: Rajawali Pers.

Sujatno, A. (2001). Negara tanpa penjara: sebuah renungan. Adi Sujatno. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasayarakatan

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Pengantar Penelitian Hukum Normatif. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sri, S. M., & Soekanto, S. (2004). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta PT. Raja Grafindo.

Zulfa, E. A. (2011). Pergeseran paradigma pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung.

Jurnal

Aminuddin, A., Dachlan, D. M., & Juratmy, L. (2011). Studi Tentang Kesesuaian antara Asupan dengan Kebutuhan Zat Gizi Makro Warga Binaan Wanita di Rumah Tahanan Negara Klas I Makassar. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Universitas Hasanuddin, 7(2). 127-132.

Asmarani, A., Sudayasa, I. P., & Dewi, A. R. (2019). Pengaruh Pola Makan terhadap Status Gizi Narapidana Lapas Kelas II A Baubau. MEDULA, 6(1). 516-522.

Dewi, A. M., Pradigdo, S. F., & Rahfiluddin, Z. (2017). Hubungan Asupan Energi Dan Protein Dengan Status Gizi Narapidana Umum (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang Tahun 2016). Jurnal Kesehatan Masyarakat (eJournal), 5(1), 266-271.

Irnani, H., & Sinaga, T. (2017). Pengaruh pendidikan gizi terhadap pengetahuan, praktik gizi seimbang dan status gizi pada anak Sekolah Dasar. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of    Nutrition),    6(1),    58-64.

https://doi.org/10.14710/jgi.6.1.58-64

Rahayunigtyas, P. S., Pangestuti, D. R., & Rahfiludin, M. Z. (2018). Hubungan Asupan Gizi Dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Kadar Hemoglobin Narapidana Umum Wanita Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(4), 224-237.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengadaan Bahan Makanan Bagi Narapidana, Tahanan, dan Anak Didik Pemasyarakatan

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manudia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

Disertasi

Alfons, M. (2010). Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual. Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang.

Muchsin, P. (2003). Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Wawancara

Ruslandani, Staf Perawat Lapas Klas II A Lambaro, Wawancara, Selasa 23 Oktober 2018, di Banda Aceh

Fahriyan, Kasubsi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Banda Aceh, Wawancara, Selasa, 23 Oktober 2018, di Banda Aceh.

Zulfan, Narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Banda Aceh, Wawancara, Selasa, 23 Oktober 2018, di Banda Aceh.

A. Jalil, Kepala Seksi Pengelolaan Makanan Rutan Klas II B Jantho, Wawancara, Kamis, 1 November 2018 di Jantho.

Ruslandani, Staf Perawat Lapas Klas II A Lambaro, Wawancara, Selasa 23 Oktober 2018, di Banda Aceh.

Bukhari, Kepala Bagian Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Aceh, Wawancara, Kamis, 29 November 2018, di Banda Aceh.

Yan Eka Putra, Bendahara Rutan Klas II B Jantho, Wawancara, Kamis, 1 November 2018 di Jantho.

Yusnaidi, Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas II B Jantho, Wawancara, Kamis, 1 November 2018 di Jantho.

448