Regulasi Perizinan Mendirikan Bangunan dalam Mendukung Kemudahan Berusaha Menuju Bangsa yang Adil dan Makmur

Maret Priyanta1

1Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, e-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 1 Januari 2019

Diterima: 2 September 2019

Terbit: 30 September 2019

Keywords:

Buildings; Integrated Licensing; Regulation; Spatial

Planning


Kata kunci:

Bangunan Gedung; Perizinan

Terpad;, Regulasi; Tata Ruang


Corresponding Author:

Maret Priyanta, e-mail: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2019.v08.i03.

p6


Abstract

Licensing is a process with the State unilaterally approving the community do to legally perform a deed or activity. In a sense, a process has the essence of a portion of a governing instrument of the State against citizens for the conduct of the follow-up activities that do not allow by the law and harming the others. One of the important infrastructures and almost always necessary and there are related activities all over the utilization of the environment building. The function of the building is good for the individual as a residential dwelling to the building for Office business activities, as well as supporting business activities in the field of natural resources become the main elements as supporting infrastructure. Research is conducted with normative legal research methods. The analysis is conducted thorough research on the principles and rules of law which are guidelines in the conduct of the related science. Policy settings set up buildings in the future to support ease of Trying Towards an independent Nation, advancing a prosperous, fair, and we recommend that you do not break the law, the technical aspects must remain referenced with continued development of science-supported technologies and human resources adequate to the abundance and quality of technical considerations override as in the OSS with conception of the permit that requires commitment and without commitment regarding the IMB must reconsideration.

Abstrak

Perizinan merupakan sebuah proses dengan negara secara sepihak memberikan persetujuan kepada masyarakat melakukan untuk secara legal melakukan perbuatan atau kegiatan. Dalam arti sebuah proses memiliki esensi sebagian sebuah instrument pengendali Negara terhadap tindak laku warga negaranya dalam kegiatan yang dilakukan tidak melanggar hukum serta merugikan orang lain. Salah satu prasarana yang penting dan hampir selalu diperlukan dan ada terkait seluruh kegiatan pemanfaatan lingkungan adalah bangunan. Fungsi bangunan baik bagi individu sebagai tempat tinggal perumahan hingga bangunan untuk kegiatan usaha, perkantoran serta pendukung kegiatan usaha pada bidang pengelolaan sumber daya alam menjadi unsur yang utama sebagai prasarana pendukung. Kebutuhan pengaturan yang diindikasikan tumpang tindih mengenai bangunan gedung perlu dilakukan pengkajian

mengingat fungsi bangunan gedung serta wujudnya yang semakin berkembang seiiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Analisis dilakukan melalui penelitian terhadap asas dan kaidah hukum yang merupakan pedoman dalam berperilaku dengan bersumber dari ilmu pengetahuan terkait. Arah Kebijakan pengaturan mendirikan bangunan ke depan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha Menuju Bangsa Yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur sebaiknya dilakukan dengan tidak melanggar hukum, aspek teknis harus tetap diacu dengan terus pengembangan ilmu pengetahuan yang didukung sumberdaya yang memadai dan berkualitas Banyaknya pertimbangan teknis yang di kesampingkan seperti dalam OSS dengan konsepsi izin yang memerlukan komitmen dan tanpa komitmen berkenaan dengan IMB tentunya harus dipertimbangkan kembali. Berkaca pada penerapan perizinan terpadu satu pintu, banyak isu permasalahan yang sejak awal belum dapat diselesaikan khususnya kualitas sumber daya manusia khususnya di daerah.

  • I.    Pendahuluan

Dalam mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, Negara memiliki peran dan tanggung jawab untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan lingkungan termasuk manusia dan makhluk hidup lainnya. Pembangunan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya. Kebijakan optimalisasi kepentingan ekonomi dan lingkungan selalu menjadi isu dalam pembangunan termasuk Indonesia. Peran Negara melalui organ-organnya memegang peran penting untuk tetap mempertahankan keseimbangan tujuan ekonomi dan lingkungan untuk memberikan keadilan antar generasi.

Amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dimaknai kekayaan Negara baik yang meliputi kekayaan alam dikuasai dan dimiliki negara (sebagai entitas) dengan melekat tanggung jawab atau kewajiban untuk mempergunakannya untuk kepentingan masyarakat. Konsepsi hak menguasai Negara dalam arti sempit bahwa seluruh pemanfaatan kekayaan Negara yang terdiri atas kekayaan dikuasai (sumberdaya) dan dimiliki dapat dimanfaatkan oleh rakyat dengan persetujuan Negara yang direpresentasikan organ negara terutama pemerintah.1

Pemerintah yang diberikan tanggung jawab pelimpahan kewenangan oleh Negara melalui peraturan perundang-undangan memiliki tanggung jawab dalam mengendalikan tingkah laku rakyatnya dalam pemanfaatan kekayaan Negara melalui instrument Hukum Administrasi Negara sebagai hukum publik melalui mekanisme perizinan. H. Wallerdan J.H. Waller Hunter dalam tulisannya tahun 1984 yang berjudul “Millieuwetgevingen Planning in Indonesia” Millieu en Recht, , Menyebutkan Negara Indonesia sebagai Negara perizinan (een vergunningenland). 2 Tentunya

pendapat tersebut dapat dimaknai dari dua sisi, dimana satu sisi menggambarkan pesatnya perkembangan sistem perizinan di Indonesia, namun disisi lain sekaligus kritik terkait berbelit-belitnya proses perizinan yang berlaku saat itu di Indonesia yang tidak mudah, cepat transparan dan sederhana serta berpotensi menghambat kegiatan masyarakat termasuk investasi.

Proses perizinan yang panjang menjadi peluang bagi berbagai pihak untuk mengambil kesempatan dan berpotensi melawan hukum termasuk korupsi. Kondisi tersebut pada prakteknya selain dialami oleh negara Indonesia namun juga terjadi di berbagai negara. 3 Namun tentunya, sejauh panjangnya proses tersebut memiliki maksud dan tujuan yang didasarkan atau kepentingan suatu ilmu pengetahuan (aspek pertimbangan teknis), pada prinsipnya harus tetap diperhatikan dan dipertimbangkan.

Reformasi sistem perizinan di Indonesia pada kenyataannya memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mulai diwujudkan. Bermula dari kebijakan dalam Penyederhanaan proses Perizinan bagi kegiatan usaha Di Indonesia dengan ditetapkannya kebijakan dalam perbaikan iklim investasi dalam Instruksi yang diverikan Presiden RI Tahun 2006 yang mengamanatkan penyederhanakan berbagai proses dalam pembentukan perusahaan serta perizinan terkait usaha. Instruksi tersebut ditindaklanjuti dengan ditetapkannya pedoman Menteri Dalam Negeri dalam pelayanan secara satu pintu (PTSP).4

Isu strategis berkenaan dengan implementasi PTSP saat itu yaitu kedudukan organisasi perangkat daerah teknis yang selama ini memiliki kewenangan secara teknis berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memberikan izin sejak awal pendaftaran hingga terbitnya izin, serta kapasitas dan ketersediaan sumber daya manusia khususnya yang memiliki penguasaan aspek bagi PTSP dalam mendukung pelayanan perizinan yang didorong kecepatan dan ketepatan waktu proses perizinannya.5 Sumber daya manusia merupakan unsur penting yang harus menjadi prioritas dan dimiliki oleh daerah mengingat tanggung jawab yang penting dalam memberikan pertimbangan teknis dalam proses perizinan berdasarkan peraturan perundang-undangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ide keterpaduan izin bersumber dari konsepsi pelimpahan kewenangan, dimana kewenangan atas atribusi undang-undang pada prinsipnya dilimpahkan kepada menteri dan kepala daerah, hal tersebut menyebabkan potensi tumpang tindih kewenangan yang bersumber dari ketidakharmonisan dalam tataran undang-undang. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan konsepsi dan penerapan paradigma pelimpahan kekuasaan (kewenangan) kepada pemerintah baik pusat dengan pemerintah daerah yang diberikan dengan pola atribusi undang-undang.

Dalam tataran yang lebih implementatif dalam kaitan dengan perizinan, salah satu prasarana yang penting dan hampir selalu diperlukan dan ada terkait seluruh kegiatan pemanfaatan lingkungan adalah bangunan. Fungsi bangunan baik bagi individu

sebagai tempat tinggal perumahan hingga bangunan untuk kegiatan usaha serta pendukung kegiatan usaha termasuk dalam bidang sumber daya alam menjadi unsur yang penting sebagai prasarana pendukung. Bangunan gedung berdasarkan definisinya berupa wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi, dimana wujud tersebut menjadi satu kesatuan, sebagian maupun seluruhnya (bangunan) di atas, di dalam tanah dan/atau air. Adapun kesatuan tersebut memiliki fungsi sebagai tempat manusia khususnya melakukan aktivitasnya.

Luasnya cakupan definisi bangunan menunjukkan bahwa hampir tidak ada kegiatan di Indonesia yang tidak membutuhkan prasarana berbentuk gedung maupun bangunan lain) baik pemerintah maupun masyarakat. Hal tersebut mengingat bahwa pada dasarnya bangunan gedung, utamanya diperuntukkan untuk kepentingan dan kebutuhan manusia. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kebutuhan pengaturan mengenai bangunan gedung semakin diperlukan mengingat fungsi bangunan gedung serta wujudnya yang semakin berkembang seiiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal yang mendasar dari bangunan gedung adalah aspek keamanan, tidak hanya bangunan gedung dengan ketinggian dan luasannya, namun juga dalam skala yang lebih kecil seperti rumah tinggal. Terlepas dari ukuran, ketinggian dan desain gedung yang mengadaptasi lingkungan, esensinya yang paling penting untuk diperhatikan di dalam setiap bangunan gedung tersebut terdapat manusia yang harus dilindungi.

Perizinan bangunan gedung merupakan salah satu dari sekian rangkaian izin yang diperlukan dalam sebuah kegiatan atau aktivitas masyarakat termasuk berusaha, namun perolehannya sangat dipengaruhi oleh izin lain dan harus memenuhi syarat formal dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Sebelum tahun 2002, Izin mendirikan bangunan (IMB) telah banyak diterbitkan dengan pendekatan sekedar seseorang memiliki IMB dan bagi pemerintah daerah menjadi potensi memperoleh pendapatan dari retribusi dari proses pemberian izin.

Pasca Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) ditetapkan, paradigma perizinan mendirikan bangunan berubah dengan persyaratan formal dalam undang-undang yang mewajibkan pemerintah dan masyarakat menempuh proses pertimbangan teknis dalam proses mendapatkan izin mendirikan bangunan, hal yang penting adalah amanat berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UUBG dimana fungsi bangunan (gedung) wajib mengacu pada fungsi dan peruntukan dalam RTRW kabupaten/kota (peraturan daerah) serta Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan persyaratan peruntukan ruang yang menunjukkan lokasi berdasarkan ketentuan tata ruang.

Peruntukan lokasi yang dimaksud dalam UUBG merujuk pada ketentuan penataan ruang. Pasca Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), salah satu pengaturan mengenai izin pemanfaatan ruang yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 163, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP 15/2010) dalam Pasal 165 ayat (3) bahwa IMB diberikan berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ).

Berdasarkan UUBG dan UUPR, maka saat ini dalam proses perizinan mendirikan bangunan, terdapat minimal 2 (dua) undang-undang yang harus diacu dengan instrumen pengendali dan persyaratan, dimana dalam masing-masing proses yang diamanatkan kedua undang-undang tentunya memerlukan waktu dan keahlian

sebelum IMB diterbitkan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya. Dalam kaitannya Mendukung Kemudahan Berusaha (easy of doing business), tentunya harus dinilai dan dianalisis terlebih dahulu esensi dan tujuan kedua undang-undang tersebut sebelum melakukan adaptasi dan inovasi mekanisme perizinan yang mendukung kemudahan berusaha dengan tidak melanggar dan bertentangan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Nawa Cita (visi misi) Pemerintah Presiden RI Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla yang secara hukum ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), politik hukum pembangunan terkait dalam reformasi bidang perizinan yaitu ”kemandirian ekonomi melalui cara menggerakkan sektor strategis khususnya pada ekonomi domestik. Konsepsi Not Business As Usual menjadi paradigm yang didorong sebagai unsur penting pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur. Praktek dan pandangan bahwa infrastruktur yang selama ini dibangun menggunakan APBN dapat diubah. Akibat APBN yang terbatas.

Dalam mendukung politik hukum pemerintah dalam menarik investasi untuk pembangunan infrastruktur tentunya hal yang menjadi salah satu perhatian ialah kemudahan berusaha terutama kemudahan proses perizinan. Dalam mendukung hal tersebut pada tahun 2018 ditetapkan kebijakan Perizinan bagi pelaku usaha yang Terintegrasi secara online (OSS) dengan penetapan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018. Peraturan tersebut pada prinsipnya mendorong percepatan, peningkatan, investasi dan kegiatan berusaha.

Berkaitan dengan perizinan mendirikan bangunan yang seyogyanya telah diatur oleh UUPR dan UUBG, OSS dengan bentuk penetapan peraturan pemerintah yang secara hierarki seharusnya tidak bertentangan dengan undang-undang mengatur hal-hal yang dapat dianalisis dampak hukumnya lebih lanjut mengingat berpotensi menimbulkan tumpang tindih perizinan mendirikan bangunan, antara lain:

  • 1.    IMB merupakan perizinan dan menjadi kewenangan level kabupaten/kota yang diberikan kepada pemohon izin dalam rangka melakukan kegiatan membangun baru, melakukan perubahan, pengurangan, perluasan serta perawatan dengan pemenuhan persyaratan baik administratif maupun persyaratan teknis sesuai ketentuan. Definisi ini menegaskan persyaratan teknis dan administratif yang secara tidak langsung menunjuk peraturan dalam sistem UUPR dan UUBG.

  • 2.    IMB berdasarkan Pasal 36 PP OSS tidak memerlukan komitmen (berupa persyaratan) dalam pemberian Izin Usaha dimana lokasi dan kegiatan bangunan gedung:

  • a.    ditetapkan sebagai KEK (kawasan ekonomi khusus), kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (Free Trade Zone), serta kawasan industry; dan

  • b.    ditetapkan lokasinya sebagai PSN (proyek strategis nasional).

Pengaturan ini secara hukum dapat dipermasalahkan mengingat terdapat esensi UUPR dan UUBG yang mungkin diabaikan dalam perizinan mendirikan bangunan. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa pasal pengaturan yang mungkin akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum, seperti pada pengaturan dalam satu pemenuhan komitmen IMB dalam rencana teknis bangunan gedung yang harus memiliki aspek teknis yang menjadi pertimbangan dari:

  • a.    ahli (profesi dalam sebuah tim) terkait bangunan gedung jika IMB harus memiliki dokumen Amdal (syarat izin lingkungan), dimana bangunan gedung memenuhi kategori tidak sederhana, diperuntukkan bagi kepentingan umum, dan bangunan gedung khusus;

  • b.    profesi ahli bangunan gedung jika IMB tidak dipersyaratkan kajian Amdal. Dan

  • c.    rekomendasi yang diberikan oleh ketentuan sektor lain secara teknis dengan melihat fungsi bangunan gedung.

Khusus mengenai fungsi dari bangunan gedung merupakan ranah pengaturan UUPR yang memiliki beberapa proses sebelum dinyatakan fungsi dan peruntukan sesuai dengan rencana tata ruang.

Berdasarkan beberapa gambaran tersebut dapat diidentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan tumpang tindih perizinan mendirikan bangunan antara lain apakah berbagai peraturan perundang-undangan terkait perizinan mendirikan bangunan tumpang tindih dalam pelaksanaannya, kedudukan pertimbangan teknis dalam proses perizinan mendirikan bangunan di Indonesia saat ini serta arah kebijakan pengaturan mendirikan bangunan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha Menuju Bangsa Yang Adil dan Makmur.

Pasca ditetapkannya PP OSS belum terdapat tulisan yang membahas mengenai keterkaitan antara ketentuan bangunan Gedung dengan tata ruang, sehingga tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengkaji berbagai permasalahan berkenaan dengan sinkronisasi kebijakan perizinan dalam mendirikan bangunan pasca ditetapkannya kebijakan percepatan perizinan secara elektronik yang mengubah beberapa pengaturan terkait dan paradigma konseptual izin sebagai instrument pengendali.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif.6 Metode deskriptif analitis secara komprehensif digunakan dalam analisis. Kajian dilakukan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dari sumber yang mempunyai otoritas dan berwenang menerbitkannya yaitu perundang-undangan, yurisprudensi, termasuk bahan yang diperoleh dalam bentuk elektronik. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode penafsiran hukum normatif terhadap hasil kajian yang diperoleh dengan melakukan analisis kepada asas dan norma-norma hukum yang berlaku. Dalam proses analisis dikaji dengan memperhatikan permasalahan saat ini (ius constitutum) dan keadaan yang diharapkan (ius constituendum) terhadap kesenjangan antara das sain dan das solen.

Analisis dilakukan melalui Kesatu, asas hukum terhadap kaidah hukum yang merupakan pedoman dalam berperilaku. Penelitian tersebut merupakan suatu penelitian filosofis dan mengandung unsur ideal dari hukum, Kedua, penelitian terhadap sistematika hukum dengan mengacu pada peristiwa hukum serta dikaitkan dengan ciri-ciri perundang-undangan, dan Ketiga, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, dimana untuk mengungkapkan sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi, dengan melakukan inventarisasi peraturan terkait.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Konsepsi hukum perizinan di Indonesia

Konsepsi negara berlandaskan hukum baik yang menjadi tugas, serta kewenangan pemerintah selain mengupayakan ketertiban dan keamanan bagi warga negaranya, namun juga mengupayakan kesejahteraan umum. Tanggung jawab negara dalam ketertiban sebagai tugas Negara secara klasik yang hingga saat ini masih dilaksanakan. Pemerintah sebagai organ Negara dalam pelaksanaannya diberikan kewenangan dalam pengaturan, dimana selanjutnya pengaturan tersebut menjadi instrumen yuridis dalam menghadapi peristiwa hukum, peraturan ini merupakan hal yang penting dari instrumen yang dimiliki ilmu hukum dalam konsep pemerintahan, atau dasar norma dalam rangkaian perumusan norma hukum positif dalam arti peraturan perundang-undangan. Bentuk pelaksanaan atau implementasi dari pengaturan ini adalah melalui izin baik proses secara formil dan materiil.7

Perizinan merupakan sebuah proses, dimana diakhiri dengan keputusan dari pejabat yang berwenang menerbitkan izin, sehingga hal mendasar dari izin adalah berupa keputusan publik yang diterbitkan oleh Negara dalam hal ini pemerintah yang mendapatkan pelimpahan dari undang-undang. Keputusan (pejabat administrasi Negara) sebagai organ Negara pada prinsipnya merupakan penetapan secara tertulis dari pejabat TUN yang berisi peristiwa (tindakan) berdasarkan hukum dengan didasarkan pada perundang-undangan. Adapun ciri utama sebuah keputusan yaitu individual (jelas menyebutkan subyek hukum), konkret (untuk hal yang jelas) dan akhir (final) yang berakibat hukum terhadap subyek hukum.

Dalam ranah hukum tata usaha negara, berbagai peraturan hukum yang mengikat organ negara secara hierarki atau berjenjang dalam rangka organ negara menggunakan kekuasaan yang dimiliki berupa wewenang berdasarkan peraturan perundang-undang (batas atas), sehingga pada prinsipnya hukum tata usaha Negara (hukum administrasi Negara) merupakan aturan mengenai penyelenggaraan negara dalam keadaan dinamis..8

Pada prinsipnya perbuatan administrasi negara diatas sangat sulit untuk dipisahkan, namun dalam segala tindakannya dibatasi oleh Undang-Undang (batas atas) dan kepentingan umum (batas bawah) Tindakan administrasi negara yang melawan hukum (onrechtmatige overheisdaad) timbul karena administrasi negara mengemban dua tugas kewajiban, yaitu di lapangan hukum publik dan lapangan hukum perdata. Apabila Administrasi negara bertindak di lapangan hukum perdata, maka negara bertindak tidak dalam fungsinya.

Perbuatan pejabat administrasi negara dinyatakan menyalahkan atau melampaui (abuse power) kewenangannya apabila pejabat tersebut menggunakan kekuasaannya (wewenangnya) selain untuk kepentingan umum atau berdasarkan peraturan yang menjadi dasar kewenangannya atau untuk kepentingan pribadi (langsung maupun tidak langsung) dan manakala pejabat tersebut telah mengambil keputusan yang

bertentangan dengan asas pemerintahan yang sehat (good governance) yang hidup pada kesadaran hukum pada umumnya” .9

Good governance, yang dimaksud di sini adalah pemerintah yang mengelola urusan-urusan publik secara efektif dan efisien, transparan, bertanggung jawab (akuntabilitas), dan demokratis dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut menjadi kunci dalam proses perizinan dimana Implementation … the restructuring of the bureaucracy should be able to produce a good division of tasks and the task description of firm and clear to every civil servant.10 Hal tersebut menuntut prosesionalitas dan proses yang transparan dalam proses pemberian izin dalam kaitan dengan good governance.

Berkenaan dengan dasar kewenangan yang dimiliki oleh administrasi negara, wewenang pemerintahan itu selalu terkait kepada suatu jabatan. Pejabat yang memiliki jabatan administrasi negara pada umumnya bertindak atas inisiatifnya didasarkan pemikiran bahwa kekuasaan yang diberikan pada pejabat tetap dipandang dalam konsepsi hak dan kewajiban sebagai subyek hukum, sehingga dalam jabatan tersebut dilekatkan kewenangan untuk bertindak dan bertanggung jawab sendiri. Adapun pola pelimpahan kewenangan dari negara:11 Kesatu, atribusi yang merupakan pemberian kewenangan yang baru kepada pejabat TUN berdasarkan undang-undang; Kedua, delegasi yang merupakan pemindahan/ pengalihan kewenangan yang ada (berdasarkan undang-undang); dan Ketiga, mandat yang merupakan kewenangan yang didapatkan seseorang seharusnya berwenang berhalangan atas sebab sesuatu hal.

Konsepsi pelimpahan atribusi kewenangan termasuk kewenangan pemberian izin pada prinsipnya dilimpahkan melalui undang-undang kepada organ Negara, terutama pemerintah pusat yang direpresentasikan oleh menteri, hal tersebut mengingat presiden tidak dapat menerima pelimpahan undang-undang secara langsung mengingat posisinya sebagai kepala Negara, sedangkan kewenangannya sebagai kepala pemerintahan dalam kaitannya dengan perizinan diserahkan kepada menteri-menteri sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Namun berbeda bagi pemerintah daerah, dimana atribusi kewenangan pemberian izin dilimpahkan pada satu organ yaitu kepala daerah yaitu gubernur, walikota/bupati.

Pada Pemerintah Pusat, atribusi Kewenangan undang-undang pada banyak menteri (sebagai organ Negara) yang berbeda-beda, sedangkan pada Pemerintah Daerah Atribusi Kewenangan undang-undang pada satu organ Negara yaitu kepala daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota). Berkenaan dengan kedudukan Undang-Undang tentang pemerintahan daerah seharusnya tidak mengatur urusan yang telah jelas diatur oleh undang-undang sektor, namun pada prinsipnya melakukan pembinaan daerah untuk mengelola hal yang merupakan kewenangan provinsi/ kabupaten/kota berdasarkan perundang-undangan. Pada skema ideal ini perizinan terpadu satu pintu dapat lebih mudah diterapkan pada pemerintah daerah mengingat seluruh atribusi kewenangan pemberian izin akan dimiliki oleh satu orang yaitu kepala daerah.

  • 3.2.    Esensi Perizinan Mendirikan Bangunan dalam Perundangan Bidang Bangunan Gedung dan Penataan Ruang.

Dalam konsepsi hukum, urgensi sebuah undang-undang diperlukan untuk mewujudkan tujuan hukum atau mengatasi permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Manakala ada kondisi yang tidak tertib akibat pembangunan atau perkembangan teknologi menyebabkan Negara harus hadir sebagai solusi, begitupun halnya dengan pengaturan tentang bangunan gedung. Meski terlihat sederhana berbicara tentang sebuah obyek berupa bangunan, namun pada prinsipnya bangunan gedung memiliki arti yang penting bagi manusia dalam melakukan aktivitas dalam mewujudkan berbagai sasaran yang lebih luas dalam rangka pembangunan nasional. Dalam tataran undang-undang, perizinan mendirikan bangunan gedung terkait langsung dengan UUBG dan UUPR yang termasuk norma, standar, pedoman dan ketentuan dari peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tersebut.

Dalam arti yang lebih konseptual kegiatan dalam bangunan gedung diselenggarakan dengan tertib, berdasarkan fungsi, serta memenuhi syarat administratif termasuk teknis. Aspek administrasi mengarahkan pada terwujudkan kepastian hukum dan perlindungan Negara, sedangkan aspek teknis menjamin keamanan setiap orang beserta aktivitas yang ada di dalamnya. Dalam pengaturannya keteribatan pengkaji teknis sebagai orang individu atau badan hukum dengan sertifikat keahlian dalam melakukan pengkajian teknis terhadap kelaikan fungsi bangunan gedung sesuai perundangan menunjukkan bangunan gedung memiliki esensi yang lebih utama yaitu kelaikan fungsi sebuah bangunan.

Adapun pengaturan bangunan gedung ditujukan untuk mewujudkan Kesatu, bangunan gedung yang fungsional, serasi dan selaras dengan lingkungan, Kedua, tertib penyelenggaraan bangunan gedung dengan keandalan teknis dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan dan Ketiga, kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Tujuan tersebut merupakan konsepsi kesejahteraan dan tanggung jawab Negara terhadap warga negaranya, dimana bangunan fungsional dengan mengedepankan dengan keandalan teknis merupakan hal utama.

Dalam keterkaitannya dengan tata ruang, fungsi bangunan gedung yang memiliki kesesuaian lokasi dalam RTRW yang telah ditetapkan, dimana fungsi bangunan gedung memenuhi berbagai persyaratan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan. Hal inilah yang menjadi hal yang utama dalam perizinan mendirikan bangunan, dimana dalam proses perizinan mendirikan bangunan terdapat beberapa dimensi terkait syarat formil yang mutlak harus dilalui bagi setiap orang untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan.

UUPR dalam pelaksanaannya g menghasilkan dokumen rencana tata ruang yang ditetapkan secara hierarki12 dengan tetap memperhatikan masing-masing urusan dan kewenangan pemerintah dalam hal ini pusat serta pemerintah daerah. Instrument utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang diamanatkan mengenai izin pemanfaatan ruang, dimana berdasarkan PP 15/2010 diatur Izin mendirikan bangunan diberikan berdasarkan RDTR dan PZ yang ditetapkan untuk kawasan perkotaan.

Esensi UUBG dan UUPR adalah pertimbangan teknis yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersumber dari ilmu pengetahuan tertentu (seperti teknis sipil dan perencanaan wilayah/kota). Dalam pandangan hukum, pertimbangan teknis harus dimaknai sebagai penerapan asas kehati-hatian, dimana penerbitan IMB oleh pemerintah merupakan peristiwa hukum yang melahirkan hak, kewajiban dan tanggung jawab bagi pemberi izin (pemerintah) dan penerima izin (masyarakat).

Pertimbangan teknis sebagai amanat UUBG dan UUPR menjadi esensi dalam utama dalam proses pemberian izin mendirikan bangunan, adapun konsepsi pengaturannya digambarkan sebagai berikut: antara lain:

Tabel 1.

Perbandingan Pengaturan Pertimbangan Teknis Bangunan dan Tata Ruang

PERTIMBANGAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

PERTIMBANGAN TEKNIS BIDANG PENATAAN RUANG

  • a.    persyaratan   tata   bangunan   dan a.

persyaratan.

  • b.    keandalan bangunan gedung.

  • 1) Persyaratan Keselamatan          b.

  • 2) Persyaratan Kesehatan

  • 3) Persyaratan Kenyamanan

  • 4) Persyaratan Kemudahan          c.

  • 5)    Persyaratan Bangunan Gedung Fungsi Khusus

Kesesuaian antara lokasi, fungsi dan peruntukan dalam Rencana Detail tata Ruang (RDTR)

Pemenuhan peraturan zonasi dalam lokasi, yang meliputi ITBX yang tercantum dalam keputusan izin.

Petampalan Dengan Peta dalam RDTR

MEMENUHI LAYAK TEKNIS BANGUNAN GEDUNG DAN LAYAK TATA RUANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

Sumber: Analisis Penulis dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang bangunan Gedung dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang

Keutamaan kajian teknis dalam bidang bangunan gedung tidak hanya diterapkan di Indonesia, semisal di Slovenia dan Kroasia, dinyatakan:13

“ in the area of building permit procedures a variety of different interests are intertwined, ranging from the interests of legal subject to the interests of the state and municipalities. Certainly, this fact is connected with the existence of an enormous number of legislative acts1, such as the Building Act, the Physical Planning Act, the General Administrative Procedure Act, and so forth. The purpose of the regulation of construction matters is not the bureaucratization and restriction of investors, but the protection of the public interest in a way that enables economic development (with restrictions on the exercise of property rights and free economic initiative to the extent needed to protect the public interest).”

Kepentingan publik menjadi perhatian berkenaan dengan perizinan bangunan gedung di Slovenia, hal tersebut secara khusus diamanatkan dalam undang-undang yang mengaturnya, sehingga pertimbangan teknis menjadi sebuah keutamaan.

Bangunan dalam hal tertentu seperti di Indonesia harus juga memperhatikan daerah rawan bencana. Sehingga khususnya kawasan perkotaan harus memperhatikan yang dinamakan the construction of unsafe vulnerable settlements. Lebih lanjut hal tersebut dinyatakan sebagai “unregulated urbanization has led to a vast expansion of global chronic and disaster risk. The failure of regulatory policy and implementation in low- and middleincome countries has several principal root causes.”14

Keterbatasan UUBG dalam mengatur berkenaan dengan bencana tentunya bukan karena hal tersebut tidak penting diatur dalam UUBG, namun dalam hukum positif Indonesia saat UUPR-lah yang mempunyai keutamaan sebagaimana Konsideran menimbang UUPR huruf e yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia didominasi KRB (kawasan rawan bencana) sehingga penetapan rencana tata ruang harus berbasis mitigasi atau pencegahan terhadap bencana dalam mengupayakan keselamatan serta keamanan kehidupan masyarakat.

  • 3.3.    Dampak Hukum Izin Mendirikan Bangunan dalam Sistem Hukum Indonesia.

Membahas mengenai dampak hukum tentunya membahas mengenai akibat tidak dipenuhinya persyaratan formil maupun materiil dari sebuah proses perizinan. Berkenaan dengan persyaratan administratif tentunya merupakan hal yang mendasar mengenai kualifikasi subyek hukum yang berhak mengajukan dan memiliki izin. Ketidaklayakan kualifikasi akan menyebabkan akibat batal demi hukum sebuah izin yang telah diterbitkan manakala ditemukan kualifikasi administrative yang tidak terpenuhi.

Berkenaan dengan sanksi dalam UUBG diatur dalam Pasal 44 sampai Pasal 47, adapun beberapa hal berkenaan dengan sanksi dalam UUBG antara lain bahwa sanksi administrative dan/atau pidana diberikan pada setiap pemilik atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi dan/atau persyaratan dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung. Adapun sanksi pidana diarahkan pada setiap pemilik atau pengguna bangunan yang tidak memenuhi ketentuan khususnya terkait laik fungsi bangunan. Adapun ancamannya dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan, jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain dan setiap orang atau badan yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang ini sehingga mengakibatkan bangunan tidak laik fungsi dapat dipidana kurungan dan/atau pidana denda.

Berkenaan dengan sanksi administratif dalam UUPR diatur Pasal 62 yang menyatakan “ Setiap orang melakukan perbuatan dengan melawan hukum dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif. Berkenaan dengan sanksi pidana dalam UUPR memiliki keterkaitan dengan Pasal 61,15 dengan penambahan unsur perubahan fungsi ruang,

kerugian dan menyebabkan kematian orang, namun hal yang berbeda dalam UUPR adalah ancaman sanksi pidana dalam Pasal 73 yang mengancam pemberi izin (kepala daerah) dalam hal ini adalah pemerintah sebagaimana pengaturan:

“(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin (izin pemanfaatan ruang) 16 tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  • (2)    Selain sanksi pidana pelaku (pejabat pemberi izin) dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.”

Hal yang mengubah paradigm berkenaan dengan pemberian izin yang selama ini tidak menjerat pemberi izin yaitu pemerintah yang secara atributif ada pada kepala daerah, namun UUPR secara tegas mengancam manakala pemerintah tidak bersumber kepada rencana tata ruang yang telah ditetapkan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang. Berdasarkan Pasal 165 ayat (3) PP 5/2010 yang secara tegas menyatakan bahwa IMB diberikan berdasarkan RDTR dan PZ yang ditetapkan dengan peraturan daerah.17

Berkenaan dengan pengaturan dalam UUBG dan UUPR maka kebijakan dalam PP OSS dimana IMB tidak lagi dipersyaratkan untuk penerbitan Izin Usaha dalam KEK, kawasan industry dan FTZ, berpotensi melanggar peraturan di atasnya (asas hierarki) dan peraturan yang lebih khusus ( asas lex spesialis), dimana risiko untuk mengesampingkan UUBG dan UUPR akan menimbulkan akibat hukum tidak hanya bagi masyarakat namun juga pemberi izin yang dalam hal ini adalah pemerintah dan pemerintah daerah

  • 3.4.    Arah pengaturan perizinan mendirikan bangunan

Berdasarkan permasalahan dan analisis yang dilakukan sebelumnya, beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam arah pengaturan perizinan mendirikan bangunan ke depan antara lain:

  • 1.    Tumpang tindih pengaturan tidak identik dengan hal yang selalu negatif, melihat dari kedudukan dan keterkaitan antara berbagai peraturan perundang-undang yang mengatur perizinan mendirikan bangunan terutama UUBG dan UUPR pada esensinya tidak terjadi tumpang tindih bahkan secara ilmu pengetahuan adalah “saling menguatkan” sehingga perubahan paradigma tumpang tindih merupakan “masalah” harus diubah pandangannya apabila melihat sinkronisasi UUBG dengan UUPR berkaitan dalam proses perizinan mendirikan bangunan.

  • 2.    Amanat pertimbangan teknis dalam UUBG dan UUPR merupakan salah satu penerapan prinsip kehati-hatian. Izin bagi pemberi izin (pemerintah) identik

dengan tanggung jawab, sehingga pemberian izin tidak semata-mata untuk memperoleh pemasukan berupa retribusi namun juga tanggung jawab Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai organnya untuk mewujudkan tujuan penataan ruang *ruang yang aman dan nyaman) bagi masyarakat.

  • 3.    Kemudahan berusaha sebagai politik hukum pemerintah saat ini seyogyanya tidak dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan. Banyaknya pertimbangan teknis yang di kesampingkan seperti dalam OSS dengan konsepsi izin yang memerlukan komitmen dan tanpa komitmen berkenaan dengan IMB tentunya harus dipertimbangkan kembali. Berkaca pada penerapan perizinan terpadu satu pintu, isu permasalahan terkait sumber daya manusia yang menguasai aspek teknis khususnya bidang bangunan gedung dan penataan ruang. Hal inilah yang seharusnya diperkuat oleh pemerintah untuk memiliki tenaga-tenaga ahli berkaitan dengan izin-izin yang memiliki pertimbangan teknis.

  • 4.    Pemahaman kedudukan aspek teknis dalam proses perizinan tentunya menjadi hal yang utama, sehingga seharusnya manakala terdapat ketidaklayakan dalam pertimbangan teknis (waktu dan cara) maka secara formil dan materiil, izin yang diterbitkan menjadi tidak memiliki kelayakan dan bahkan dapat dibatalkan.

  • 5.    Pertimbangan teknis dalam UUBG memiliki esensi perlindungan bagi masyarakat yang akan melakukan pemanfaatan sebuah bangunan, sehingga keamanan di kondisi Indonesia sebagai kawasan rawan bencana memiliki kedudukan yang utama dan perhatian utama bagi pemerintah.

  • 6.    Perubahan paradigma bagi pemerintah dimana melanggar rencana adalah melanggar hukum, pemberian izin mendirikan bangunan yang harus mengacu RDTR dan PZ memiliki esensi bahwa sebagai syarat formil RDTR dan PZ harus diacu, dan secara materiil proses kesesuaian dan layak tata ruang harus dilakukan sebagai syarat dalam pemberian IMB. Bahkan tidak diacunya RDTR dalam proses pemberian IMB, pemerintah sebagai pemberi izin akan diancam pidana.

  • 4.    Kesimpulan

Pada dasarnya peraturan perundang-undangan terkait perizinan saat ini dalam sistem hukum di Indonesia tidak terjadi tumpang tindih dalam arti negatif namun secara materiil saling menguatkan esensi IMB, UUBG dan UUPR secara sistem hukum dapat dikatakan harmonis dan sinkron dalam pengaturannya, serta dalam pelaksanaannya saling menguatkan dan memiliki esensi tujuan yang sama yaitu mewujudkan ruang dan/atau bangunan yang aman bagi manusia untuk melakukan aktivitas atau kegiatan.

Pertimbangan teknis dalam proses perizinan mendirikan bangunan di Indonesia saat ini menjadi ukuran yang penting mengingat kemajuan teknologi serta makin beragamnya kegiatan manusia harus diwujudkan dengan kelayakan dalam memanfaatkan bangunan gedung dengan mengacu pada rencana tata ruang. Mengabaikan aspek terutama bidang tata ruang akan memberikan dampak hukum tidak hanya bagi penerima izin, melainkan juga termasuk pemberi izin (pemerintah)

Arah Kebijakan pengaturan mendirikan bangunan ke depan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha Menuju Bangsa Yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur sebaiknya dilakukan dengan tidak melanggar hukum, aspek teknis harus tetap diacu dengan terus pengembangan ilmu pengetahuan dengan dukungan sumberdaya (manusia dan lingkungan) yang memadai dan berkualitas.

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 8 No. 3 September 2019, 371-385

Daftar Pustaka

Buku

Koentjoro, D. H. (2004). Hukum Administrasi Negara. Bogor: Ghalia Indonesia.

Utama, I. M. A. (2007). Hukum Lingkungan. Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Jakarata: Pustaka Sutra.

Sedlenieks, K. (2004). Corruption in the process of issuing building permits. Latvia: Centre of Public Policy PROVIDUS.

Priyanta, M. (2018). Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dalam Kerangka Pembaruan Hukum Lingkungan dan Tata Ruang Berbasis Perubahan Iklim, Logoz Publishing.

Danusaputro, M. (2001). Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Bandung: Putra A. Bardin

Marbun, S. F., & Moh. Mahfud MD. (1987). Pokok-pokok hukum administrasi negara. Yogyakarta: Liberty.

Basah, S. (1997). Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung: Alumni.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Hartono, S. (1994). Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni.

Jurnal

Anwaruddin, A., Suwitri, S., Warella, Y., & Setiyoko, P. I. (2015). The Reform of Service Bureaucracy in the County Building Permit in Banyumas. American International Journal of Social Science, 4(4 (august)), 93-102.

Priyanta, M., & Zulqiyami, A. B. (2016). Law Enforcement In Violation Of The Use Of Space In Urban Areas In Order To Achieve The Functions Of Environmental Conservation. UNES Journal Of Law, 1(2).

Priyanta, M. (2018). Optimalisasi Fungsi dan Kedudukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan dan Evaluasi Rencana Tata Ruang Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal IUS      Kajian      Hukum      dan      Keadilan,      6(3),      388-401.

http://dx.doi.org/10.29303/ius.v6i3.565

Jovanović, T., Aristovnik, A., & Lugarić, T. R. (2016). A comparative analysis of building permits procedures in Slovenia and Croatia: development of a simplification model. Theoretical and Empirical Researches in Urban Management, 11(2), 5-23.

Ngadino, A (2012), Perizinan Dalam Kerangka Negara Hukum Demokratis

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725)

Peraturan Pemerintah Nomer 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215)

Online/World Wide Web

World Bank Group, GFDRR, Builiding Regulation For resilience, Managing Risk for Safer             City,                           Retrived             from

https://www.gfdrr.org/sites/default/files/publication/BRR%20report.pdf

Lainnya

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kekayaan Negara, Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2017

Maret Priyanta dan Amiruddin A Dajaan Imami, (2008), Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Bagi Industri Dalam Upaya Pelestarian Fungsi Lingkungan Di Kota Cimahi, Laporan Penelitian DIPA Universitas Padjadjaran dalam

385