Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Pemenuhan Upah Pekerja dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit

Iustika Puspita Sari1, Ahyuni Yunus2

1Pengadilan Negeri Kepulauan Pangkajene, Sulawesi Selatan, E-mail: [email protected] 2Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia, Sulawesi Selatan, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk: 19 Januari 2019

Diterima: 13 Juni 2019

Terbit: 30 September 2019

Keywords:

Worker Rights; Settlements;

Boedel Bankruptcy


Kata kunci:

Hak-Hak Pekerja; Pemberesan;

Boedel Pailit

Corresponding Author:

Ahyuni Yunus, E-mail: [email protected]

DOI:

10.24843/JMHU.2019.v08.i03.

p8


Abstract

This study aims to analyze the problems of the Company's Responsibility towards Fulfilling the Wages of Employees in the Bankruptcy Boedel Delivery Process; And to find out the factors that inhibit the prior rights of fulfilling the wages of workers in the process of bankruptcy in Boedel. The study used the Normative-Empirical Legal Research method. The Results of the Study Show That: First: The Responsibility of the Company for the Fulfillment of Workers' Rights in the Process of Bankruptcy Boedel Giving Based on the Emergence of Rights and Obligations Between Entrepreneurs and Workers Poured in Work Agreements as Strong Engagement for the Fulfillment of Rights and Obligations (Achievements ) Each Party. Legal Protection of Workers' Rights in the Process of Bankruptcy Boedel Giving Can Be Taken Through 3 (Three) Ways, Namely: 1. Strengthening the Position of the Priority Rights of the Workers / Laborers in the Law, Especially the Bank Law; Second: Factors that Inhibit the Priority Rights of Fulfillment of Workers' Rights in the Process of Bankruptcy Boedel Giving Is Weak Supervision, Absence of Sanction Enforcement and Lack of Transparency in the Process of Bankruptcy of Boedel Companies.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Pemenuhan Upah Pekerja Dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit; Serta Untuk Mengetahui Faktor Yang Menghambat Hak Mendahulu Pemenuhan Upah Pekerja Dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit. Penelitian menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif-Empiris. Hasil Penelitian Menunjukkan Bahwa: Pertama: Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Pemenuhan Hak-Hak Pekerja dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit Adalah Berdasar Pada Timbulnya Hak Dan Kewajiban Antara Pengusaha Dan Pekerja Yang Dituangkan Dalam Perjanjian Kerja Sebagai Perikatan Yang Kuat Untuk Pemenuhan Hak Dan Kewajiban (Prestasi) Masing-Masing Pihak. Perlindungan Hukum Atas Hak-Hak Pekerja (Buruh) Dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit Dapat Ditempuh Melalui 3 (Tiga) Cara, Yakni: 1. Mempertegas Kedudukan Hak Mendahulu Pihak Pekerja/Buruh Dalam Undang-Undang, Khususnya Undang-Undang Kepailtan; Kedua: Faktor Yang Menghambat Hak

Mendahulu Pemenuhan Hak-Hak Pekerja (Buruh) Dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit Adalah Lemahnya Pengawasan, Tidak Adanya Penegakan Sanksi Serta Kurangnya Transparansi Dalam Proses Pemberesan Boedel Perusahaan Pailit.

  • 1.    Pendahuluan

Sebuah perusahaan memiliki utang bukanlah sesuatu yang buruk selama perusahaan tersebut bertanggungjawab atas semua kewajibannya termasuk membayar utang. Namun sebaliknya jika perusahaan tersebut tidak mampu mengatur dan mengelola keuangannya maka hal tersebut menjadi penyebab dari pailitnya sebuah perusahaan. Pailit merupakan keadaan bagi debitor yang disebabkan karena ketidakmampuan menyelesaikan kewajibannya kepada kreditor. Ketidakmampuan menyelesaikan tanggungjawab oleh debitor kepada kreditor disebabkan oleh kesulitan kondisi keuangan (financial distress), sedangkan kepailitan adalah status yang ditetapkan melalui putusan pengadilan yang berdampak pada penyitaan secara keseluruhan kekayaan debitor pailit. 1 Terhadap putusan pengadilan, kurator memiliki peran sebagai penyelesaian status kepailitan yang diawasi oleh pengawasan hakim pengawas. Hal ini bertujuan agar hasil penjualan harta kekayaan digunakan sebegai penyelesaian utang debitor pailit secara proporsional (prorate parte).2

Peraturan tentang kepailitan di Indonesia pada dasarnya telah ada sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, yakni sebelum tahun 1945.3 Sejarah panjang yang dimiliki bangsa indonesia di bidang perekonomian membuat para pemikir dan perumus kebijakan di bidang perekonomian dan hukum bisnis terus melakukan penyempurnaan terkait perangkat-perangkat hukum yang terkait dengan kepailitan. Penyempurnaan perangkat-perangkat hukum dalam hal peraturan-peraturan yang terkait itu sendiri tidak hanya dengan melakukan amandemen terhadap peraturan sebelumnya, melainkan dengan mengganti keseluruhan peraturannya yang tidak relevan dengan perkembangan dunia usaha. Peraturan tentang kepailitan kini diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya UU-KPKPU).

Ketentuan UU-KPKPU mengatur debitur pada Pasal 2 ayat (1) UU-KPKPU yaitu, pengadilan akan memberi putusan kepada debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur yang tidak mampu membayar lunas hutang yang telah jatuh tempo, dengan cara permohonan sendiri ataupun permohonan satu atau lebih kreditornya”. Selain itu tentang syarat pailitnya sebuah perusahaan juga diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-KPKPU.4 UU-KPKPU pada Pasal 1 ayat (1) mengatur adanya kepailitan, Pasal 1 angka (2) mengatur adanya ketentuan kreditor. Selanjutnya pada Pasal 1 ayat (6) mengatur

adanya utang yang timbul adanya perjanjian yang tidak dipenuhi debitor, selanjutnya untuk pemenuhan dari harta kekayaan diberikan hak kepada kreditor.5 Mendasari hal tersebut, dapat dimaknai bahwa sejak ditetapkan pailit debitor (pemilik perusahaan) tidak memiliki lagi hak penguasaan dalam mengurus kekayaannya, namun persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana debitor pailit membayar seluruh utangnya baik terhadap kreditor separatis maupun kreditor preferen.6

Sebagai contoh sebuah kasus kepailitan yang terjadi di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 70/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 16 Pebruari 2011. Pada putusan tersebut bahwa proses pemberesan boedel pailit, setelah dilakukannya rapat verifikasi utang, hasil keputusan yang dikeluarkan oleh rapat tersebut mengenai besaran jumlah utang yang akan dibayarkan kepada masing-masing kreditor mendapat perlawanan dari beberapa kreditor. Pihak yang mengajukan keberatan atas pembagian sementara boedel pailit tersebut yakni Departemen Keuangan-RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah DPJ Jakarta Pusat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanah Abang Dua yang kedudukannya sebagai kreditor preferen dan PT. Bank Mandiri (persero) tbk. yang merupakan kreditor separatis. Namun, dalam kasus ini majelis hakim tidak menerapkan dengan sepenuhnya aturan-aturan yang terdapat pada peraturan perundang-undang terkait. keberatan yang diajukan PT. BANK MANDIRI (PERSERO) tbk. terhadap PT. ARTATIKA optima inti, hanya memberikan 40% dari total boedel pailit dan menyamakannya dengan pemberian upah buruh, padahal nilai asset dari debitor pailit jauh melebihi nilai yang diberikan pada kreditor separatis dan kreditor preferen buruh. Putusan tersebut kemudian mendapat perlawanan lagi dari kreditor pajak yang merasa bahwa pembagian tersebut adalah tidak memenuhi rasa keadilan oleh karena jika menunjuk dasar hukum bahwa kreditor preferen pajak adalah kreditor yang harus didahulukan jika terjadi kepailitan.

Pembayaran atas upah buruh dalam banyak kasus kepailitan di indonesia buruh seringkali berada pada kondisi yang tidak menguntungkan betapa tidak jika diperhadapkan pada situasi pailitnya sebuah perusahaan maka buruh berada dalam kondisi tidak dapat menuntut haknya melalui pengadilan hubungan industrial yang mana jika jalur tersebut ditempuh oleh para buruh saat terjadi kepalitan maka ada peluang bagi mereka untuk memperoleh upah yang semestinya mereka terima karena dalam hal ini pengadilan hubungan industrial dalam putusannya dapat menghukum perusahaan yang bersangkutan untuk segera membayar upah maupun hak-hak dari buruh yang tidak dibayarkan oleh perusahaan tersebut.7

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam mengkaji topik ini, metode penelitian menggunakan metode penelitian yuridis-sosiologis8. Sumber bahan hukum untuk mengkaji objek penelitian ini adalah dengan

melakukan studi dokumen dari sumber bahan hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder.9 Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder (kajian ahli, jurnal dan buku). Selain itu dilakukan kajian sosiologis dengan melakukan wawancara terhadap praktisi hukum yang kompeten terhadap topik kajian. Adapun bahan hukum yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif-kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pemenuhan Hak-Hak Pekerja Dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit

Setiap perusahaan tidak terlepas dari adanya seorang pemimpin beserta pekerja/buruh. 10 Dalam konteksnya, tenaga kerja merupakan bagian dari arah pembangunan nasional.11 Di Indonesia, untuk mengimplementasikan ruang lingkup ketenagakerjaan harus diatur dalam perundang-undangan, yang berisi perlindungan hak-hak pekerja sebagai bagian dari harkat dan martabat kemanusiaan tenaga kerja.

Menurut Imran Nating12 perlindungan tenaga kerja sebagai jaminan hak. Pernyataan Imran Nating bersesuaian dengan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya UU Ketenagakerjaan) yang mengatur adanya hak-hak pekerja harus “didahulukan” dalam hal terjadi perusahaan pailit, namun seringkali dalam praktiknya adanya yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemaknaan pelaksanaan putusan pailit kata “didahulukan” merupakan pelaksanaannya setelah adanya pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditor separatis yang merujuk pada buku dua bab xix KUHPerdata dan Pasal 21 UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Hak negara berada pada posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis. Sehingga posisi dan keadaan dari hak-hak pekerja tersebut di atas, dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945.

Menurut Nirwana13 pengelolaan perusahaan beralih dari para direksi kepada kurator yang diawasi oleh pengadilan niaga melalui hakim pengawas setelah adanya pernyataan pailit. Pada pelaksanaannya, tugas kurator bertindak untuk melakukan pemberesan dan pemenuhan hak-hak para kreditor. Dalam konteks pekerja/buruh mempunyai hak dalam proses kepailitan berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan adanya pendahuluan pembayarannya upah pekerja/buruh.

Ketentuan a quo tersebut. Selanjutnya menurut makkasau14 hal demikian telah sejalan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHPerdata (Pasal 1131 dan Pasal 1132) dan UU-KPKPU.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Nani Indrawati15 bahwa ketentuan perundang-undangan telah sesuai, dan telah mengatur pengutamaan pembayaran upah dan hak lainnya kepada pekerja/buruh pada saat terjadinya pailit. Bahkan menurut Nani Indrawati16 bahwa pajak mempunyai kedudukan sebagai pemberesan hak-hak para kreditor untuk pembayaran hak-hak pekerja/buruh dimungkinkan untuk didahulukan dari para kreditor lainnya.

  • 3.2    Faktor Yang Mempengaruhi Terhadap Pemenuhan Hak-Hak Pekerja Dalam Proses Pemberesan Boedel Pailit

  • 1.    Pengawasan

Salah satu faktor penghambat pelaksanaan pembayaran hak-hak pekerja/buruh adalah lemahnya pengawasan. menurut Makkasau17 seorang hakim niaga senior yang juga beberapa kali menjadi hakim pengawas pada perkara kepailitan bahwa selama ini proses pelaksanaan pembayaran hak-hak para kreditor perusahaan pailit cenderung mengalami pelambatan disebabkan karena pengawasan pelaksanaan pemberesan boedel pailit memiliki mekanisme yang lemah. semua kegiatan yang berkaitan dengan pemberesan boedel pailit bergantung penuh pada keterbukaan debitor pailit dan itikad baik kurator yang melaksanakannya.

Dalam proses pemberesan boedel pailit terkadang ada juga debitor pailit yang tidak jujur dalam melaporkan keseluruhan harta pailitnya sehingga tidak semua harta yang menjadi boedel pailit diketahui sepenuhnya oleh para kreditor termasuk buruh. Ketidakjujuran debitor pailit tersebut tentu memerlukan mekanisme pengawasan yang memadai dan ketat, mengingat kewenangan hakim pengawas hanya sebatas mengawasi dan cenderung bersifat passif dalam artian jika ada laporan atau pengaduan barulah pengawasan akan dilakukan, jika tidak maka hal tersebut akan menjadi domain penuh dari kerja kurator.

Hal senada juga dikemukakan oleh Imran Nating18 kurator yang berkedudukan di jakarta bahwa perlu dibentuk lembaga pengawas yang bertugas mengontrol dan mengawal proses penjualan harta perusahaan pailit hingga tahap pembayaran seluruh utang-utangnya termasuk utang kepada pekerja/buruhnya sehingga tidak menimbulkan saling curiga dan terkesan saling berebut diantara para kreditor.

Lebih lanjut Imran Nating dalam wawancara yang sama bahwa salah satu fakta yang menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap pembayaran hak-hak pekerja/buruh

perusahaan pailit adalah pemberian hak kepada pekerja/buruh untuk didahulukan seperti yang diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UUK dan KPKPU serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 dan Pasal 21 UU KUP dan Pasal 21 ayat (1) undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa tidak dapat diartikan sebagai hak yang lebih tinggi dari hak kreditor separatis. alasannya adalah Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata juga telah secara tegas mengatur tentang keistimewaan gadai dan hipotik.

Jadi jelas menurut Imran Nating bahwa hak mendahulu yang diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UUK dan KPKPU serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 dan Pasal 21 UU KUP dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan surat paksa tidak mengatur bahwa kedudukan hak-hak pekerja/buruh dan utang pajak perusahaan pailit lebih tinggi dari hak kreditor separatis. Artinya bahwa hak mendahului negara dan hak istimewa pekerja/buruh adalah untuk mendapatkan pembayaran dari harta-harta debitor pailit yang belum dijaminkan. Senada dengan pernyataan tersebut di atas, menurut Makkasau19 potensi permasalahan akan timbul jika hak-hak kreditor separatis dikorbankan untuk kepentingan pajak dan buruh.

Berdasarkan penelusuran penulis selama melakukan penelitian ditemukan bahwa selama ini pengawasan terhadap pembayaran hak-hak pekerja/buruh perusahaan pailit sebetulnya sudah dilaksanakan dimana utang terhadap pekerja/buruh perusahaan pailit sudah jelas tertera dalam surat tagihan hasil rapat verifikasi penentuan besarnya utang pailit yang disaksikan oleh perwakilan buruh, pegawai pajak, kurator dan hakim pengawas, Demikian pula jumlah uang yang terbayarkan jelas tertera dalam nota atau kwitansi dan surat pembayarannya. namun yang seringkali menjadi kendala selama ini adalah komunikasi antara pihak pekerja/buruh dengan kurator dan aparat perpajakan serta kreditor separatis sering mandek atau kurang berjalan akibat dari lemahnya pengawasan, hal ini bisa menimbulkan celah untuk terjadinya penyelewengan atau tindakan yang kurang jujur.

Di samping itu, seringkali dalam pemberesan boedel pailit, tidak ada transparansi dari para pihak baik yang berkaitan dengan berapa utang pekerja/buruh yang sudah terbayarkan dan berapa yang belum terbayarkan maupun aparat khususnya pegawai pajak20 mulai dari penetapan besarnya jumlah pajak pailit hingga berapa besar pajak yang terbayarkan bahkan hingga setelah penyetoran utang pajak pailit masyarakat kehilangan informasi dan data mengenai hal tersebut, demikian pula dengan utang kreditor separatis berapa utang yang sudah terbayarkan dan berapa yang belum terbayarkan, sehingga diperlukan lembaga pengawas yang dapat mengontrol keseluruhan proses penagihan dan pembayaran utang pajak perusahaan pailit.

Namun, UU-KPKPU tidak mengatur tentang perusahaan yang sedang proses pailit adanya proses pelunasan hutang pajak.21 Namun menurut Imran Nating bahwa UU-

KPKPU hanya sebatas mengatur tentang kreditor separatis atau secured creditor yang melekat hak mengeksekusi terhadap jaminan kebendaan untuk kepentingan pelunasan piutang terhadap debitor.

Menyikapi pembayaran utang perusahaan pailit, maka salah satu rujukan atau acuan pentingnya adalah Putusan MK, No. 67/PUU-XI/2013 dengan pertimbangan:

  • 1.    Keputusan mahkamah tersebut telah mempertimbangkan bahwa secara mutatis mutandis pengujian Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang secara substansi sama dengan pengujian Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU sebagaimana putusan MK No: 18/PUU-VI/2008, yang menegaskan pada pemenuhan hak buruh/pekerja dan seimbang dengan pada kepentingan kreditor (separatis).

  • 2.    Mengenai utang pajak negara, mahkamah berpendapat bahwa pajak perusahaan pailit hanya salah satu dari sumber pendapatan negara, sedangkan masih banyak sumber-sumber pendapatan negara lainnya sehingga negara sebetulnya masih punya pilihan dalam konteks ini, lagi pula menurut mahkamah konstitusi bahwa pajak juga peruntukannya adalah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sementara bagi pekerja/buruh utang perusahaan pailit tersebut adalah satu-satunya penghasilan dan pendapatannya untuk membiayai hidupnya dan keluarganya sehingga mereka tidak mempunyai pilihan lain, jadi sangat tidak pantas jika memperhadap-hadapkan antara utang pajak dengan utang pekerja/buruh.

Menurut penulis adanya kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut (Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 dan Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008) bahwa pada kedudukan kreditor Separatis di dalam kepailitan telah menimbulkan ketidakpastian hukum di dalam proses kepailitan karena kreditor separatis diakui hak mendahulunya di dalam UU KPKPU, tercermin pada Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 59 jo. Pasal 191 UU KPKPU. Putusan ini juga bertentangan dengan prinsip structured creditors di dalam kepailitan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, Putusan MK Nomor 18/PUU-XI/2008, dan hukum jaminan. Hal lain pula bahwa kaidah hukum jaminan akan saling bertentangan karena kreditor separatis sebagai pemegang jaminan kebendaan yang telah dilindungi asas asas droit de preference, sehingga hak preferensi (droit de de preference) yang merupakan salah satu asas di dalam hukum jaminan menjadi tidak ada artinya lagi.

  • 2.    Penegakan Sanksi

Salah satu variabel yang perlu diperhatikan dalam proses pembayaran hak-hak pekerja dalam kasus kepailitan adalah penegakan sanksi. Berdasarkan penelusuran penulis selama melakukan penelitian ditemukan bahwa selama ini belum pernah ada debitor pailit yang dikenakan sanksi jika tidak membayar atau kurang membayar hak-hak pekerjanya/buruhnya. Hal ini disebabkan karena undang-undang tidak memuat secara detail tentang sanksi yang dapat dijatuhkan jika terjadi kasus demikian, sehingga tidak patuhnya debitor pailit juga merupakan dampak dari lemahnya undang-undang. Di samping itu, aparat hukum juga khususnya kementerian tenaga kerja yang membidangi pekerja/buruh terkesan acuh dan kurang peduli. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penegakan sanksi menjadi salah satu faktor penghambat pelaksanaan pembayaran hak-hak pekerja/buruh perusahaan pailit.

Menurut Imran Nating 22 bahwa ada tiga hal yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan pembayaran utang perusahaan pailit khususnya terkait dengan penegakan sanksi, yakni data tagihan yang sering tidak akurat dan komunikasi antara aparat dengan kurator serta kurangnya hasil penjualan asset. Dalam hal komunikasi antar instansi, ini seringkali mandek atau kurang berjalan, hal ini sebagai dampak dari tarik ulur kepentingan dalam proses pemberesan boedel pailit, aparat pajak misalnya merasa bahwa negara harus didahulukan pembayarannya karena memiliki hak mendahulu. sementara kreditor lainnya (buruh dan kreditor separatis juga menginginkan didahulukan pembayaran utangnya karena sudah ada perjanjian sebelumnya dengan pihak debitor (perusahaan pailit).

Menurut pengamatan penulis selama melakukan penelitian, dalam hal koordinasi aparat yakni antara pihak buruh yang diwakili oleh serikat buruhnya dan aparat pajak serta kreditor separatis dan pihak perusahaan pailit itu kurang bersinergi. Sebagai contoh misalnya selama ini kurator tidak pernah tahu berapa besar jumlah tagihan hak pekerja/buruh lainnya oleh perusahaan wajib dibayarkan. Hal ini disebabkan oleh karena perwakilan buruh/pekerja tidak pernah berkoordinasi dengan kurator, mereka hanya muncul tiba-tiba dan menyodorkan blangko perhitungan jumlah utang yang harus dibayarkan.

Demikian pula sebaliknya, laporan kekayaan dari hasil penjualan asset perusahaan pailit yang seharusnya dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, namun selama ini pihak pekerja/buruh tidak tahu berapa dan bagaimana siklus penerimaan dan pengeluaran dari asset hasil penjualan kekayaan perusahaan pailit tersebut termasuk pelaporan pajaknya yang tidak dijalankan secara transparan sehingga pihak pekerja/buruh tidak memiliki akses informasi mengenai perusahaan pailit tersebut.

Dengan demikian, belum adanya regulasi yang mengatur adanya pengenaan sanksi terhadap perusahaan pailit yang tidak membayar hak-hak pekerja/buruh. Berdasarkan teori23 bahwa sanksi adalah pengenaan kepada orang atau badan hukum yang sifatnya memaksa terhadap perbuatan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Jika dikaitkan dengan penegakan sanksi dalam hal perusahaan tidak memenuhi hak-hak pekerja/buruh atau kurang memenuhi hak-hak pekerja/buruhnya dalam proses pemberesan boedel pailit, maka penegakan sanksi tidak dilaksanakan karena undang-undang tidak mengatur mekanisme tersebut, sehingga perlu kajian tersendiri bagi pembentuk undang-undang bahwa nantinya hal tersebut bisa diakomodir dalam undang-undang.

  • 3.    konflik aturan

Sebuah perusahaan setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, maka penyelesaian pemberesan atas harta pailit dilaksanakan berdasarkan UU KPKPU. Pelaksanaan pemberesan utang harta pailit, kurator diperhadapkan dengan persoalan yang tidak sederhana. berbagai persoalan dihadapi oleh kurator diantaranya adalah bagaimana mengambil keputusan yang benar-benar adil, objektif dan transparan serta

sesuai dengan ketentuan berlaku. 24 terkadang pihak kreditor, pekerja/buruh yang diwakili oleh serikat buruh, kemudian negara yang diwakili oleh aparat perpajakan cenderung mencari celah dan pembenaran melalui tafsir undang-undang untuk kepentingan mereka masing-masing, sehingga dibutuhkan seorang kurator yang paham dan mengerti aturan yang terkait dengan kepailitan secara komprehensif.

Dalam pandangan masyarakat bahwa dalam pemberesan boedel perusahaan pailit telah terjadi konflik aturan atau pertentangan norma antara satu dengan lainnya. Konflik aturan dimaksud adalah pada KUHPerdata; UU No. 37 Tahun 2004 Tentang PKPU; UU No.13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan; UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia; UU No. 16 Tahun 2009 Tentang Perpu UU No. 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Serta Permen No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Namun, jika dikaitkan dengan putusan MK No.67/PUU-XI/2013, maka ditemukan isi Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan UU-KPKPU dan ketentuan Pasal 1131, 1132, 1133 dan 1134 KUH Perdata.

Jadi pendapat penulis, dalam hal terjadi kepailitan ketentuan perundang-undangan yang berlaku telah memberi jaminan perlindungan pembayaran yang didahulukan terhadap upah pekerja sebagai hak istimewa sebagai bagian dari amanat Pasal 39 ayat (2) UU-PKPU. Potensi konflik sebetulnya yang terjadi adalah antara utang kreditor separatis dengan utang hak-hak pekerja/buruh lainnya (yang bukan upah), dimana jika hal ini timbul, maka akan ditempuh mekanisme renvoi yakni dilanjutkan melalui proses pengadilan.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, ditarik kesimpulan bahwa: pertama, tanggung jawab perusahaan terhadap pemenuhan hak-hak pekerja dalam proses pemberesan boedel pailit pada barang jaminan dari kreditor separatis dan negara dengan pajaknya menjadi manusiawi dan cukup adil jika pemenuhan hak-hak pekerja didahulukan dari tagihan lainnya. Rasio legis dan rasio decidendi pemenuhannya adalah timbulnya hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang tertuang dalam perjanjian kerja sebagai perikatan yang kuat untuk pemenuhan prestasi para pihak. Secara sosial ekonomi kedudukan pekerja/buruh sangat lemah dibandingkan pengusaha, sehingga, perlunya payung hukum yang dapat menjangkau perlindungan terhadap hak pekerja/buruh. Kedua, faktor yang mempengaruhi hak mendahulu pemenuhan hak-hak pekerja/buruh dalam proses pemberesan boedel pailit adalah lemahnya pengawasan, tidak adanya penegakan sanksi serta kurangnya transparansi dalam proses pemberesan boedel perusahaan pailit.

Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 8 No. 3 September 2019, 403-413

Daftar Pustaka

Buku

Terry, G. R. (2006). Prinsip-Prinsip Manajemen, Penerjemah Smith. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Subhan, M. H. (2008). Hukum Kepailitan: Prinsip. Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Jurnal

Abbas, I., Salle, S., & Djanggih, H. (2019). Corporate Responsibility Towards

Employees’welfare: Case Study Pt Semeru Ratu Jaya Makassar. Yuridika, 34(1), 36-52. https://doi.org/10.20473/ydk.v34i1.9304

Anisah, S. (2009). Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan. Ius Quia Iustum Law Journal, 16, 31-50.

Budiyono, T. (2013). Problematika Posisi Buruh pada Perusahaan Pailit. Masalah-Masalah Hukum, 42(3), 416-425. https://doi.org/10.14710/mmh.42.3.2013.416-425

Irianto, C. (2015). Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaraan Utang (Pkpu). Jurnal Hukum dan Peradilan, 4(3), 399-418. http://dx.doi.org/10.25216/JHP.4.3.2015.399-418

Kurniawan, R. (2015). Harmonisasi Hukum Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Pada Perusahaan Pailit Ditinjau Dari Perspektif Pancasila Sila Ke Lima. Jurnal Wawasan Yuridika, 28(1), 687-704. http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v28i1.64

Lumowa, A. B. (2013). Tanggung Jawab Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit Terhadap Pihak Ketiga. Lex Privatum, 1(3), 18-27.

Nadriana, L. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Harta Ahli Waris Dari Pewaris Penjamin Akta Personal Guarantee Di Perusahaan Pailit. Jurnal Bina Mulia Hukum, 2(1), 93-105.

Rachmah, A. A., Susilowati, E., & Suharto, R. (2016). Analisis Yuridis Kedudukan Penjamin Perorangan (Personal Guarantee) pada Kepailitan Perseroan Terbatas. Diponegoro Law Journal, 5(4), 1-17.

Salam, A. (2014). Optimalisasi Aset Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Milik Perseroan Terbatas di dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. LAW REFORM, 9(2), 1-14.

Sukatra, I. W. (2017). Kedudukan dan Hak Bank Terhadap Hak Preferen Upah Buruh dalam Kepailitan. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 6(3), 300-309. https://doi.org/10.24843/JMHU.2017.v06.i03.p03

Sumbaga, A. P., Halim, P., Badruddin, S., Bombang, S., & Djanggih, H. (2018). LEGAL EFFORTS OF TAX MANDATORY OBJECTIVES ON TAX PROVISIONS (Study in the Regional Office of General Directorate of Taxation of South Jakarta I). Yustisia Jurnal Hukum, 7(3), 507-518.

Yuanita, E. (2017). Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Atas Penolakan Permohonan Pernyataan Pailit Yang Diajukan Oleh PT. Magnus Indonesia Terhadap PT. Garuda Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 36(3), 257-288.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie);

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39;

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42;

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168;

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62;

413