Perpajakan Optimal dalam Perspektif Hukum Pajak Berfalsafah Pancasila
on
Perpajakan Optimal dalam Perspektif Hukum Pajak Berfalsafah Pancasila
Arvie Johan1, Fadhilatul Hikmah2, Anugrah Anditya3
1Departemen Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]
-
2Departemen Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]
-
3Departemen Hukum Pajak, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 3 Januari 2018
Diterima: 11 September 2019
Terbit: 30 September 2019
Keywords :
Tax law; Pancasila; optimal taxation
Kata kunci:
Hukum pajak; Pancasila; perpajakan optimal
Abstract
Pancasila as philosofiche grondslag guides positioning tax law in Indonesia. While taxation as a science has developed from the ability to pay's principle towards the optimal taxation concept. There are two main objectives in this research such as identifying the characteristics of tax law based on the Pancasila philosophy and describing tax law based on the Pancasila philosophy in the context of optimal taxation. To answer both questions, normative research method was utilized by identifying the Pancasila philosophy of tax law and the concepts and principles of tax law and optimal taxation. This research reveals two things: firstly, the characteristics of tax law based on the Pancasila Philosophy include tax compliance, welfare, and burden prevention. Secondly, optimal taxation is compatible with the last two aspects of tax law based on Pancasila Philosophy. Yet, we found conflicting concept between tax compliance based on Pancasila philosophy and horizontal equity as part of optimal taxation. The object of conflict is a progressive tariff tax.
Abstrak
Pancasila sebagai philosofiche grondslag memberikan pegangan mengenai pemosisian hukum pajak di Indonesia. Sementara perpajakan sebagai suatu disiplin keilmuan telah berkembang dari prinsip kemampuan bayar menuju konsep perpajakan yang optimal. Ada dua tujuan artikel penelitian ini yakni mengidentifikasi karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila, serta menjelaskan hukum pajak berfalsafah Pancasila dalam konteks perpajakan optimal. Penelitian ini menggunakan metode normatif melalui identifikasi pajak berfalsafah Pancasila, serta identifikasi konsep dan asas-asas hukum pajak dan pajak optimal. Hasil temuan penelitian terdiri atas 2 hal, yaitu pertama, karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila meliputi kepatuhan pajak, kesejahteraan, dan pencegahan beban. Kedua, perpajakan optimal sesuai dengan dua aspek terakhir dari hukum pajak berfalsafah Pancasila. Namun, terdapat ketidakcocokan diantara kepatuhan pajak berdasarkan Pancasila dengan keadilan horizontal berdasarkan konsep perpajakan optimal. Objek konflik yang dimaksud adalah tarif pajak progresif.
-
1. Pendahuluan
Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) alasan mengapa penelitian mengenai hukum pajak berfalsafah Pancasila dalam konteks perpajakan optimal penting dilakukan. Pertama, Pancasila sebagai philosofiche grondslag memberikan pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya posisi pajak dalam kehidupan bernegara.1 Sementara kajian mengenai hukum pajak berfalsafah Pancasila yang ada masih terbatas pada kesesuaian hukum pajak terhadap Pancasila2, belum mendiskripsikan karakteristik pajak yang diinginkan Pancasila.3
Karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila penting didiskripsikan, karena Pancasila sebagai jiwa serta pedoman hidup bangsa (aspek material) dan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia (aspek formal)4 , tidak semata-mata menjadi standar nasional, tetapi lebih jauh lagi, ia menjadi pedoman nasional5. Sebagai tambahan, pedoman nasional ini lahir bukan pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi saat disahkannya Pembukaan dan Batang Tubuh UUD pada tanggal 18 Agustus 1945.6 Tambahan ini penting untuk menunjukkan bahwa produk hukum pasca 18 Agustus 1945 termasuk di dalamnya hukum pajak, haruslah linier terhadap pedoman negara.
Kedua, dalam khasanah perpajakan terdapat 5 (lima) prinsip umum yang sudah mapan, yakni: Four Maxims dari Adam Smith, General Principle of Taxation dari John Stuart Mill, Principle of Taxation dari Francis A. Walker, Principle of Apportionment dari Henry C. Adams, dan The Fundamental Problems dari Edwin R.A. Seligman.7 Ide penting dari kelima prinsip umum perpajakan bukan pada pajak sebagai penutup biaya operasional bernegara (budgetair function).8 Budgetair merupakan fungsi utama atau tradisional pajak, dan itu tidak terbantahkan.
Ide penting dari kelima prinsip umum perpajakan terletak pada kehati-hatian dalam memungut pajak. Ini berangkat dari situasi bahwa pajak mengakibatkan nestapa (deadweight loss) bagi individu dalam pertukaran (market). Ini bermuara pada konsep pajak yang baik9 yang menempatkan pajak menuju Fungsi Kesejahteraan Sosial (Social
Welfare Function).10 Konsekuensinya prinsip netralitas11 dan efisiensi12 menjadi persyaratan mutlak dalam pemungutan pajak. Keduanya menjelma pada perpajakan optimal.13
Sementara penstudi hukum pajak masih berpegang pada prinsip ability to pay14 sebagai standar solidaritas dan redistribusi sosial.15 Ability to pay dapat dikatakan vis a vis terhadap perpajakan optimal. Ability to pay mengarahkan pemungutan pajak berpijak pada kesejahteraan masing-masing individu, sementara perpajakan optimal menganggap hal tersebut tidak tepat karena menghadirkan disinsentif bagi individu dalam mengelola sumber daya terbatasnya.
Ketiga, reformasi pajak pada tahun 1983 seringkali menarasikan bahwa produk hukum pajak yang ada merupakan produk hukum kaum penjajah yang kapitalis dan liberalis (ius constitutum) sehingga diubah menjadi produk hukum pajak yang sesuai dengan cita-cita luhur kemerdekaan (ius constituendum).16 Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa itu produk hukum pajak kaum penjajah dan bagaimana karakteristiknya, serta apa yang membedakannya dengan produk hukum pajak yang sesuai dengan cita-cita luhur kemerdekaan.
Sementara lanskap pengetahuan tentang peran pajak bagi ekonomi suatu negara hanya berujung pada 2 (dua) kebijakan, yakni alokasi dan distribusi. Kebijakan alokasi merujuk pada pentingnya pajak untuk membiayai barang-barang yang tidak sanggup disediakan oleh individu privat, sedangkan kebijakan distribusi fokus pada pajak sebagai skema pendistribusian kesejahteraan individu-individu dalam masyarakat.17 Berangkat dari lanskap ini, maka sebagai suatu negara, baik Hindia Belanda maupun Indonesia, tetap menempatkan pajak sebagai bagian dari kebijakan alokasi dan kebijakan distribusi. Konsekuensinya, frasa “produk hukum pajak penjajah” menjadi janggal, karena pemerintahan negara sudah beralih dari Hindia Belanda ke Indonesia.
Berkenaan dengan ketiga alasan di atas, sepengetahuan penulis, penelitian atau artikel yang ada belum mendiskusikan interaksi antara hukum pajak, Pancasila, dan perpajakan optimal. Artikel I Nyoman Darmayasa yang berjudul Preskriptif KUP pada Perspektif Pancasila menunjukkan nilai Pancasila yang seharusnya menjadi pondasi utama RUU KUP belum tampak dijadikan pijakan dari menimbang sampai dengan pasal-pasal pelaksanaannya.18 Berikutnya, tulisan Marc Fleurbaey memperlihatkan konsep perpajakan optimal yang mendominasi kajian tentang perpajakan serta perkembangannya di era post-Mirrless.19 Terakhir, artikel Cucu Solihah dan Aji Mulyana yang mendiskripsikan bahwa skema zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak merupakan hakikat negara hukum Pancasila.20
Artikel ini membahas isu yang berbeda dengan tema yang didiskusikan dalam tulisan Darmayasa, Freurbaey, dan Solihah serta Mulyana. Artikel ini mendiskusikan interaksi antara hukum pajak, falsafah Pancasila, dan perpajakan optimal. Artikel ini bertujuan: (a)mengidentifikasi karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila; dan (b)menjelaskan hukum pajak berfalsafah Pancasila dalam konteks perpajakan optimal.
-
2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan telaah norma-norma hukum yang ada yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, sehingga penelitian ini mengkaji bahan sekunder atau bahan pustaka.21 Pendekatan undang-undang digunakan penelitian ini untuk mengidentifikasi falsafah, konsep dan asas-asas hukum pajak.
Ada 3 (tiga) tahap analisis pada penelitian ini22, yakni tahap pertama, menginventarisasi data sekunder, guna diperiksa kelengkapan dan kejelasannya. Tahap kedua, data kepustakaan ditarik kesimpulan sebagai jawaban rumusan masalah yang diteliti. Analisis dilakukan secara kualitatif. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif atau metode penalaran merupakan metode untuk menarik kesimpulan dari hal-hal umum ke hal-hal khusus.
Kehadiran pajak dalam masyarakat dapat dikenali melalui ciri-ciri berikut: (a)pajak dipungut berdasarkan undang-undang; (b)tidak ada kompensasi langsung yang diberikan pemerintah kepada pembayar pajak; (c)dipungut oleh pemerintah pusat maupun daerah; dan (d)digunakan untuk kemaslahatan rakyat, baik sebagai budgetair maupun regulerend.23
Pertama, pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) argumen untuk menjelaskan ciri pertama tersebut.24 Argumen pertama, kecenderungan sistem pajak menjadi buruk bilamana tidak ada pemisahan antara pemberi kewenangan dan penerima kewenangan dalam pemungutan pajak. Argumen berikutnya, pemisahan kekuasaan pada negara merupakan suatu keniscayaan karena kekuasaan yang berlebihan untuk memungut pajak akan menjadi sarana penindasan yang luar biasa. Argumen terakhir, hadirnya peluang tata kelola perpajakan modern yang berbasis pada sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances).
Dalam kerangka berpikir yang berangkat dari argumen-argumen diatas dapat dikatakan bahwa corak demokrasi menjelma pada ciri pertama pajak. Corak demikian meyakini pemerintah yang demokratis merupakan pemerintah yang mempunyai kewenangan terbatas serta tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.25 Konsekuensinya, kekuasaan negara harus dijalankan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kepentingan pejabat individu (prinsip law not discretion).26
Di lihat dari sejarah pajak, prinsip law not discretion merupakan muara dari gerakan oposisi melawan kesewenangan pemungutan pajak (taxation without representation is robbery).27 Prinsip ini menginginkan agar pajak diatur melalui perundang-undangan, bukan didasarkan pada diskresi fiskus. Fiskus merupakan aplikator perundang-undangan pajak, dan tidak dibenarkan untuk merumuskan peraturan pajak yang baru.28 Demikian, maka jelaslah bahwa prinsip law not discretion mendambakan adanya pembagian kekuasaan antara pemberi kewenangan memungut pajak (legislatif), dan penerima kewenangan memungut pajak (eksekutif/fiskus).29
Di Indonesia, prinsip law not discretion dirumuskan pada Pasal 23A UUD 1945 (amandemen) yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Rumusan pasal tersebut merupakan hasil amandemen ketiga, yang sebelumnya terdapat pada Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 (asli) yang berbunyi “Semua pajak-pajak untuk kegunaan kas negara
berdasarkan undang-undang”. Pada pembahasan amandemen ketiga mengenai ketentuan pajak tidak ada diskusi berlarut-larut, karena seluruh fraksi sepakat bahwa pemungutan pajak haruslah berdasar persetujuan legislator yang termanifestasi dalam wujud perundang-undangan.30 Situasi demikian memperlihatkan bahwa prinsip law not discretion pada pajak telah terinternalisasi di Indonesia.
Kedua, tidak ada kompensasi langsung yang diberikan pemerintah kepada pembayar pajak. Penjelasan ciri kedua pajak ini berpijak dari hal yang sama dengan raison d'etre-nya hukum yang baru dipersoalkan bilamana ada konflik pada pergaulan antar individu dalam masyarakat.31 Argumennya dapat disampaikan melalui ilustrasi sederhana: seorang pelaut yang terdampar sendirian di pulau terpencil tidaklah perlu hukum. Ilustrasi ini memperlihatkan bahwa raison d'etre-nya hukum berangkat dari hubungan antar individu. Tanpa hubungan antar individu, niscaya tidak ada konflik, konsekuensinya keberadaan hukum tidaklah diperlukan.
Raison d'etre-nya hukum diatas tidaklah berbeda dengan kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun. Ketiga kaedah sosial (hukum, kesusilaan, dan sopan santun) hanya diperlukan dalam interaksi sosial.32 Perbedaan terletak pada kaedah sosial keempat, yakni kaedah keagamaan, yang tetap meminta ketundukan pada norma agama sekalipun individu tersebut hidup sendirian di pulau terpencil.
Kembali ke Pajak. Mengulang kembali penjelasan sebelumnya bahwa pajak sebagaimana hukum, ia hanya diperlukan apabila terdapat pergaulan antar individu. Pajak, sebagai peralihan kekayaan dari individu kepada organisasinya (negara) untuk mempertahankan pergaulan hidup antar individu, tidak akan pernah dijumpai pada situasi seorang individu sendirian di pulau terpencil. Raison d'etre pajak ini menunjuk budgetair sebagai fungsi utama pajak, yakni untuk membiayai kepentingan umum yang diklasifikasikan ke dalam pengeluaran negara.
Pertanyaannya, mengapa individu perlu membiayai kepentingan umum? Jawaban dari pertanyaan demikian dapat ditelusuri dari postulat ekonomika: kelangkaan sumber daya (scarcity).33 Kelangkaan sumber daya menuntun individu untuk melakukan pertukaran (trade-off) dengan sesamanya.34 Sebagai contoh sederhana: seseorang memilih menjadi mahasiswa suatu kampus yang sudah ada, daripada ia mendirikan kampus sendiri dan menjadi mahasiswa di kampus yang ia dirikan. Contoh ini memperlihatkan kelangkaan sumber daya menuntun individu menjadi mahasiswa di kampus yang sudah ada dibandingkan mendirikan kampus sendiri yang kemudian ia menjadi mahasiswa di kampus yang didirikannya.
Berkenaan dengan pajak, individu dihadapkan kelangkaan sumber daya untuk menegakkan haknya. Misalnya, ganti rugi yang diajukan korban kecelakaan. Dalam hal pelaku menolak memberikan ganti rugi, peluang korban kecelakaan untuk menegakkan haknya hanyalah melalui alat negara. Tentu saja alat negara
membutuhkan biaya operasional (pengeluaran negara), yang ditutup melalui pajak. Jelaslah bahwa pajak dipahami sebagai media pertukaran individu dengan negara, untuk penggunaan alat negara dalam rangka menegakkan hak.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak setiap saat individu dihadapkan pada persoalan penegakan hak terkait ganti rugi kecelakaan. Ada banyak persoalan penegakan hak yang terjadi pada realitas sosial, seperti: ingkar janji, penipuan, pencemaran lingkungan, kebakaran, dan lain sebagainya. Tidak ada individu yang mengetahui secara pasti, kapan penegakan hak ia diperlukan. Ketidaktahuan demikian menarik konsep biaya kesempatan (opportunity cost).35 Sehingga sejak setiap individu dihadapkan pada kelangkaan sumber daya, maka penegakan hak memerlukan biaya anggaran (budgetair) yang penggunaannya harus memperhatikan biaya kesempatan.
Berangkat dari biaya kesempatan sebagaimana uraian diatas, maka jelaslah bahwa tidak adanya “kompensasi langsung” yang melekat pada ciri kedua pajak ini sesungguhnya merupakan konsekuensi dari biaya kesempatan untuk menggunakan alat negara dalam rangka penegakan hak.36 Seseorang boleh jadi pada suatu hari menggunakan kendaraan melewati jalan raya (jalan raya dibangun dari uang pajak), tetapi keesokan harinya ia seharian tinggal di rumah. Ketidakpastian demikian yang harus ditutup melalui pajak. Penempatan pajak sebagai budgetair cost tersebut menjelaskan juga tujuan pemerintah untuk melakukan perluasan pajak: menekan free rider (orang yang tidak membayar pajak, tetapi menikmati penegakan hak dengan menggunakan alat negara layaknya pembayar pajak).37
Ketiga, pajak dipungut oleh pemerintah pusat maupun daerah. Ciri ketiga ini beririsan dengan ciri kedua pajak, yakni ada pembagian antara pemberi kewenangan dan penerima kewenangan dalam pemungutan pajak. Legislatif merupakan merupakan organ negara yang memberi kewenangan memungut pajak, sedangkan eksekutif menjadi organ negara yang menerima kewenangan untuk memungut pajak.38 Selain pembagian bersifat horisontal ini, juga terdapat pembagian kewenangan secara vertikal. Pembagian vertikal berhulu pada sistem negara kesatuan yang dianut Indonesia.
Konsekuensinya, sistem pemerintahan Indonesia bersifat hierarkis. Pemerintahan pusat sebagai “pengayom” bagi pemerintahan pada level di bawahnya (propinsi dan kabupaten).39 Fungsi tersebut meminta pembagian kewenangan dalam pemungutan pajak, yakni antara pemerintah/fiskus pusat dan daerah.40 Ini membawa konsekuensi dasar pemungutan pajak pusat adalah undang-undang, sementara dasar pemungutan pajak daerah adalah peraturan daerah. Ini disebut sebagai desentralisasi, yakni sebuah model pendekatan untuk menghadirkan sistem yang lebih mencerminkan nilai-nilai
demokratis dengan cara menyerahkan sebagian kewenangan (termasuk pemungutan pajak) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Penyerahan kewenangan tersebut dirumuskan pada Pasal 2 UU No. 28 Tahun 2009 yang menentukan jenis pajak propinsi dan kabupaten/kota, masing-masing sebagai berikut. Pajak propinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Pajak kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Selain pajak-pajak tersebut digolongkan sebagai pajak pusat, seperti Pajak Penghasilan41, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah42, Bea Materai43, Bea Masuk dan Bea Keluar44, dan Cukai45.
Keempat, pajak digunakan untuk kemaslahatan rakyat, baik sebagai budgetair maupun regulerend. Mengulang kembali penjelasan ciri pajak kedua, bahwa fungsi budgetair merupakan konsekuensi dari biaya kesempatan untuk menggunakan alat negara dalam rangka penegakan hak.46 Biaya kesempatan ini ditutup dari pajak yang dibayar individu kepada pemerintah. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hulu dari budgetair cost adalah keterbatasan sumber daya (scarcity).47
Sedangkan fungsi regulerend dipahami sebagai fungsi pajak untuk mengarahkan masyarakat menuju arah yang diinginkan oleh negara. Fungsi ini dapat dijelaskan dalam konteks cukai tembakau dan pajak rokok. Keduanya berangkat dari postulat bahwa rokok merupakan komuditas yang peredarannya perlu diawasi, karena dianggap mengancam kesehatan. Kedua pungutan dimaksudkan untuk menekan jumlah konsumen rokok. Tujuan demikian dikatakan berhasil bilamana jumlah perokok menurun.48
Kedua fungsi, baik budgetair maupun regulerend, berhilir pada kemaslahatan rakyat. Kata “kemaslahatan” secara terminologi berasal dari kata “maslahat” yang artinya sesuatu yang mendatangkan faedah atau kebajikan. Dengan demikian, maka negara
ditempatkan sebagai entitas yang semata-mata menghadirkan kemaslahatan bagi rakyat.49
Uraian sub-bab sebelumnya menjelaskan bahwa ciri-ciri pajak bertolak dari: biaya kehidupan bernegara, produk legislatif, dijalankan pemerintah, dan kepentingan kemaslahatan rakyat. Produk legislatif merupakan cerminan frasa “taxation without representation is robbery” yang dilekatkan pada Pasal 23A UUD 1945, biaya bernegara (budgetair cost) adalah penutupan biaya kesempatan dalam penggunaan alat-alat negara untuk penegakan hak, dan kepentingan kemaslahatan negara merupakan hakikat negara sebagai entitas.
Tekanan pada ciri kedua menempatkan pajak konteks konstelasi kepentingan dan ideologi.50 Alasan pertama, ia sebagai otoritas yang absah yang dilakukan pemerintah berdasarkan hasil proses legislasi.51 Alasan kedua, ia merupakan bagian integral dari sistem politik yang dilekatkan pada pengambil kebijakan negara untuk kemaslahatan rakyat. Alasan terakhir, fakta memperlihatkan berbagai kelompok mewakili berbagai kepentingan yang berbeda saling berebut pengaruh dalam kebijakan perpajakan seperti: penentuan besaran tarif, sifat pengenaan pajak, pemberian insentif dan fasilitas, penutupan celah penghindaran pajak, dan lain sebagainya.52
Pertanyaannya, bilamana Pancasila merupakan national guidelines bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka wujud pajak seperti apakah yang diinginkan Pancasila? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena konstelasi kepentingan dan ideologi pada pajak haruslah selaras dengan Pancasila. Postulatnya adalah bahwa Pancasila merupakan dasar statis untuk mempersatukan individu dalam kehidupan bersama sekaligus menjadi penuntun yang bersifat dinamis, yang mengarahkan bangsa dan negara dalam mencapai tujuannya.53
Jawaban pertanyaan alinea di atas dapat ditelusuri dari ikhtiar Pancasila yang menginginkan perubahan mendasar pada sistem sosial (ranah material, mental, dan politikal) untuk mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewarganegaraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.54 Ikhtiar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Ikhtiar Pancasila untuk mengubah Sistem Sosial
⅝ MentaI-IaJlturaI (Sila 1,2,3)
Ikhtiar Pancasila
Mi svaα Ut m⅛us ber∣mιeπiΛ⅛in egj∣πβ, n□ndιπ. araaih. Mik mt∏MJ Tctn-Bitini AMoaoti menjilin cerutoin dengan StnungJt peljρnuι
Agen Politikal (Sila 4)
Hntononbn mtretU ym∣ BeItidiO" ⅛ι MrtenMmnrs MfiinSjJun uum κlαχ-Otiwtani ment⅛jrim pen(∣uuin re∣M Krtuiiie ktctw JfJlees Mrap member-grtimt l>* oli pnbil Krgm Iunp wω∣
Komentar tamta∏ nascml melata dβnokraw SerTtorjMwXan w bσv∣e∏Uβ∣ 0ruw2 dan IuescjjhiCMfi
v BasisMateriaI(SiIaS)
Sumber: Latif, Y. (2015). Revolusi Pancasila, Jakarta Selatan: Mizan, h.98
Ada tiga ranah garapan Pancasila, yakni mental, material, politikal. Ketiga ranah, sekalipun dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dilepaspisahkan. Perubahan mental memerlukan dukungan politik dan material, perubahan material membutuhkan dukungan mental dan politik, serta perubahan politik memerlukan dukungan mental dan material.55
Ketiganya selaras dengan gagasan Trisaksi Bung Karno: bangsa Indonesia yang berdikasi dalam perekonomian (ranah material), bangsa Indonesia yang berkepribadian dalam berkebudayaan (domain mental), dan bangsa Indonesia yang berdaulat (ranah politik).56
Kembali ke pertanyaan: wujud pajak seperti apakah yang diinginkan Pancasila. Pertama, ranah mental. Ranah ini dijiwai Sila Pertama Pancasila yang menempatkan welas asih dan moralitas pada kehidupan keagamaan.57 Ranah ini juga dijiwai Sila Kedua Pancasila yang mengandung visi kebangsaan yang humanis, dengan komitmen kuat untuk menjalin persaudaraan berlandaskan nilai keadilan dan keadaban, yang memuliakan hak-hak asasi manusia.58 Terakhir, ranah mental dijiwai Pasal Ketiga Pancasila yang menginginkan penyelenggaraan negara yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia berdasarkan semangat persatuan.59
Berangkat dari penjiwaan Sila Pertama, Kedua, dan Ketiga Pancasila di atas, maka ranah mental dalam lingkup pajak mengarah pada pajak sebagai kesadaran masyarakat dalam memberikan konstribusi terhadap negara.60 Kata “kesadaran” ini, dalam konteks pajak, disebut sebagai kepatuhan. Di sini ada 2 (dua) aspek yang perlu diperhatikan: kekuatan otoritas pajak dalam menegakkan peraturan pajak, dan kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak.61 Interaksi keduanya (kekuatan
otoritas pajak dan kepercayaan masyarakat) menghasilkan perilaku kepatuhan pajak sebagai berikut:
-
a) Bilamana keduanya (kekuatan otoritas pajak dan kepercayaan masyarakat) berada pada titik minimal, maka dapat dipastikan kepatuhan pada titik terendah;
-
b) Apabila keduanya (kekuatan otoritas pajak dan kepercayaan masyarakat) berada pada titik maksimal, maka kepatuhan relatif berapa pada titik tertinggi;
-
c) Bilamana keduanya (kekuatan otoritas pajak dan kepercayaan masyarakat)
berada pada titik yang biasa saja, maka kepatuhan berpotensi menurun; dan
-
d) Apabila kekuatan otoritas pajak (baik substansi maupun implementasinya)
mencerminkan fairness, maka kepatuhan berpotensi meningkat.62
Keempat situasi memperlihatkan bahwa kepatuhan (kesadaran pajak) tidaklah statis, tetapi dinamis. Ia dipengaruhi oleh interaksi antara kekuatan otoritas pajak dan kepercayaan masyarakat kepada otoritas pajak. Dua aspek inilah menjadi ranah mental pajak garapan Pancasila.
Kedua, ranah material. Ranah ini dijiwai oleh Sila Kelima Pancasila yang menginginkan setiap individu bergotong-royong dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melakukan pembangunan berkelanjutan untuk keadilan dan perdamaian dengan karakter kemandirian, sikap hemat, etos kerja, dan ramah lingkungan.63 Prinsip yang berlaku “berat sama dipikul, berat sama dijinjing”, sehingga tidak sepantasnya penyelenggaraan negara berorientasi pada kemanfaatan selain kemanfaatan bagi seluruh rakyat.64
Ranah material tersebut, dalam lingkup pajak, mengarah pada: (1)pajak harus dikembalikan kepada rakyat, sehingga penerimaannya tidak digunakan untuk menutup defisit anggaran; dan (2)pembayar pajak mendapat benefit terutama akses informasi dan akses ekonomi.65 Keduanya menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik melalui ketersediaan berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Titik berat ini memperlihatkan adanya semangat pembentukan negara kesejahteraan.66
Pada tataran konstitusi, semangat pembentukan negara kesejahteraan ditunjukkan melalui Penjelasan UUD 194567 yang menyebutkan:
Alinea kedua:………negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea keempat:….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi keadilan sosial.
Hal yang sama juga ditunjukkan pada pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 194568, yang menyatakan:
Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan ratu adil. Oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Kedua uraian diatas, baik konstitusi maupun pidato Soekarno, secara eksplisit menyebutkan negara kesejahteraan. Konsekuensinya, negara atau pemerintah mempunyai kewajiban mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.69 Aspek inilah yang menjadi ranah material pajak garapan Pancasila.
Terakhir, ranah politik. Ranah ini dijiwai Sila Keempat Pancasila yang menginginkan demokrasi yang tidak mengarah pada diktator mayoritas atau tirani minoritas, melainkan demokrasi permusyawaratan yang menghargai hak individu, hak kelompok marginal, dan hak teritorial.70 Secara teoritis, karakteristik demokrasi yang diinginkan Sila Kelima Pancasila cocok dengan demokrasi partisipatoris yang desain umumnya sebagai berikut71:
Prinsip-prinsip pembenar
Hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat dicapai dalam suatu “masyarakat partisipasif”, suatu masyarakat yang memelihara perhatian pada masalah-masalah kolektif dan memberikan konstribusi pada pembentukan pengetahuan yang luas bagi rakyat dalam memelihara kepentingan berkelanjutan dalam proses pemerintahan
Ciri-ciri umum
(a)partisipasi rakyat secara langsung dalam regulasi lembaga-lembaga sosial yang penting; (b)reorganisasi sistem kepartaian dengan menciptakan pejabat partai yang bertanggungjawab kepada anggota partai; (c)bekerjanya “partai partisipasif” dalam struktur parlemen; dan (d)memelihara sistem kelembagaan yang terbuka untuk membuka ekperimental bentuk-bentuk politik baru.
Kondisi umum
(a)redistribusi sumber daya material yang berpihak kepada kelompok rentan; (b)minimalisasi kekuatan birokrasi yang tidak akuntabel; (c)sistem informasi yang terbuka untuk menjamin keputusan-keputusan yang relevan; dan (d)pengujian kembali aturan-aturan pemeliharaan anak-anak sehingga perempuan maupun laki-laki memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik.
Hanya saja pada tataran praktis, demokrasi partisipatoris tidak mudah untuk diciptakan dan dijalankan.72 Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) persoalan dalam menciptakan dan menjalankan demokrasi partisipatoris: (a)kecenderungan kelompok
elit negara mengabaikan keberpihakan kepada kelompok lemah; dan (b)ketika kelompok elit negara berpihak kepada kelompok lemah, maka kelompok yang sejahtera akan meninggalkan negara tersebut.
Situasi yang sama juga dihadapi pajak. Fungsi distribusi berakar dari tanggungjawab pemerintah/negara untuk mendistribusikan pendapatan agar kesejahteraan dapat menyebar ke setiap lapisan masyarakat. Bilamana kelompok kaya dipungut pajak yang tinggi, maka dalam skala ekstrim mereka akan berpindah warga negara. Sebaliknya, apabila kelompok kaya dipungut pajak berbasis keadilan horisontal, maka muncul kecemburuan sosial yang akan mudah menjadi pemicu konflik dalam masyarakat.
Berangkat dari uraian di atas, maka hal penting untuk diperhatikan adalah sejauhmana manfaat pajak bagi kesejahteraan masyarakat. Idealnya pajak tidak memberikan nestapa berlebih bagi kelompok kaya, dan mampu meningkatkan kesejahteraan total. Manfaat inilah yang semestinya memiliki pengukuran, misalnya melalui transparansi penggunaan hasil pajak untuk pembangunan infrastruktur dan beasiswa. Aspek inilah yang menjadi ranah politik pajak garapan Pancasila.
Sebagai sebuah konsep, perpajakan optimal berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai pajak, seperti: jenis pajak mana yang paling tepat dipungut oleh pemerintah? apakah pajak penghasilan atau pajak komoditas? dalam pajak komoditas, bagaimanakah pengenaan tarif untuk masing-masing komoditas?73 dan seberapa progresif sebaiknya suatu sistem pajak?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas di jawab dengan dalil: peningkatan penerimaan pajak haruslah meminimalkan beban tambahan (excess burden) yang ditimbulkan oleh sistem pajak.74 Minimalisasi beban tambahan penting diperhatikan, karena proses pertukaran diasumikan sudah berjalan efisien pada kondisi ex-ante. Intervensi pemerintah melalui pajak (ex-post) mengakibatkan deadweight loss (penurunan surplus total).75
Situasi deadweight loss (penurunan surplus total) dapat diilustrasikan sebagai berikut: harga gandum sebelum pajak sebesar Rp. 100.000,-/kg. Pemerintah memutuskan mengenakan pajak terhadap gandum sebesar 10% per-kg, sehingga harga di pasar menjadi Rp. 110.000,-/kg. Pedagang jagung, sebagai individu yang rasional, membebankan tambahan tersebut kepada konsumen (disebut insiden pajak). Konsumen, juga sebagai mahluk rasional, dapat mengalihkan konsumsinya ke jagung yang tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak lebih rendah. Perubahan perilaku konsumen (disebut pergeseran pajak) ini mengakibatkan nestapa bagi pedagang gandum. Sekalipun demikian, sesungguhnya konsumen juga menderita nestapa akibat pembelian komoditas yang tidak sesuai preferensinya pada pra-pajak.
Ilustrasi di atas menjelaskan secara gamblang bahwa intervensi pemerintah melalui pajak mengakibatkan deadweight loss (penurunan surplus total). Sementara dilihat dari sisi lain, pajak merupakan keniscayaan bagi suatu negara untuk membiayai perlindungan harta dan jiwa warganya. Dilema inilah yang memunculkan dalil pada perpajakan optimal yang menyebutkan: peningkatan penerimaan pajak haruslah meminimalkan beban tambahan (excess burden) yang ditimbulkan oleh sistem pajak.
Penelusuran terhadap orisinalitas perpajakan optimal memperlihatkan bahwa konsep tersebut berakar dari diskusi 2 (dua) kriteria Four Maxims Adam Smith yang kotradiktif, yakni equity dan economic of collection. Prinsip equity berkenaan dengan pajak yang sama diberlakukan bagi individu yang mempunyai kemampuan bayar yang sama (horisontal).76
Dalam perkembangannya, muncul pemikiran bahwa pajak yang lebih besar dikenakan kepada individu yang mempunyai kemampuan bayar yang lebih besar.77 Perkembangan ini dipengaruhi berkiblat pada konsep keadilan distributif yang menginginkan tarif flat untuk pajak atas konsumsi pajak regresif dikenakan terhadap penghasilan.78
Berikutnya, prinsip economic of collection yang disebut juga sebagai prinsip efisiensi. Prinsip ini pada menggunakan pendekatan untung-rugi (cost-benefit approach) pada pemungutan pajak. Prinsip ini mendalilkan pajak tidaklah efisien bilamana menimbulkan pungutan yang besar pada individu tetapi membuat pemasukan kecil bagi penerimaan negara. Prinsip ini berangkat dari keterbatasan sumber daya yang dihadapi setiap individu. Keterbatasan demikian menuntun individu untuk mengambil keputusan terbaik (berdasarkan preferensinya) dari pilihan-pilihan yang tersedia. Pemberlakuan pajak akan mengubah perilaku, yang dampaknya dikenali sebagai penurunan kesejahteraan (deadweight loss). Ini belum dikaitkan dengan berbagai jenis pajak yang mempunyai karakteristik berbeda satu sama lain, yang konsekuensinya menarik biaya administrasi untuk mengoperasionalkan berbagai macam pungutan tersebut.79
Penjelasan diatas memperlihatkan bahwa prinsip economic of collection memiliki definisi yang sangat luas, karena ia tidak sebatas pada biaya administratif pemungutan pajak saja. Kerugian atau beban tambahan lain yang disebabkan oleh sistem pajak dapat dijadikan sebagai biaya yang perlu diperhitungkan dalam mengukur efisiensi pajak.
Kembali ke perpajakan optimal. Konsep ini pada dasarnya berusaha menyeimbangkan antara equity dan economic of collection. Ada 2 (dua) kiblat kajian yang menjelaskan titik keseimbangan tersebut, yakni kajian Frank Ramsey (1927) dan kajian James Mirrless (1971). Pertama, kajian Frank Ramsey. Kajian ini menggelisahkan deadweight losses yang berkaitan dengan pajak komoditas: apakah tarif pajak komoditas yang seragam, yaitu mengenakan tarif pajak yang sama atas seluruh barang dan jasa, dapat disebut optimal? 80
Pertanyaan di atas di jawab dengan cara mengabstraksi seluruh biaya administrasi atas pengenaan pajak dengan tarif beragam, hasilnya adalah pajak komoditas dengan tarif seragam jarang dapat menjadi optimal.81 Lebih lanjut kajian mendalilkan bahwa sistem perpajakan yang optimal harus sedemikian rupa sehingga permintaan kompensasi untuk masing-masing pihak berkurang dalam proporsi yang relatif sama terhadap posisi sebelum adanya pajak. Artinya pajak yang efisien adalah pajak yang beragam jenisnya. Mengapa demikian? seperti telah dijelaskan sebelumnya, sistem pajak menimbulkan beban tambahan atau distorsi. Secara ekonomis, distorsi kecil yang banyak jumlahnya jauh lebih baik daripada satu jenis distorsi besar.82
Kajian Frank Ramsey menemukan bahwa perpajakan optimal adalah pajak yang merupakan kebalikan dari elastisitas permintaan dan penawaran.83 Secara konkrit pajak dengan tarif tinggi yang dikenakan terhadap barang inelastis dianggap tidak menimbulkan distorsi. Rekomendasinya adalah dengan memungut pajak atas barang kebutuhan pokok yang elastisitas harganya rendah dengan tarif tinggi. Model yang digunakan oleh kajian ini menemukan bahwa perpajakan optimal menganggap semua individu adalah sama. Dengan demikian tarif pajak yang optimal adalah tarif regresif. Sekalipun demikian, pajak progresif masih mungkin untuk diterapkan apabila penghasilan (penghasilan per jam dan jumlah jam kerja) dapat diketahui.84
Kedua, kajian James Mirrless. Kajian ini berangkat dari tiga postulat: (1)individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam memperoleh penghasilan; (2)otoritas pajak memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi kemampuan atau usaha seseorang; dan (3)pemungutan pajak kepada individu high ability mengakibatkan disinsentif bagi individu tersebut untuk memperoleh penghasilan lebih tinggi. Dari ketiga postulat ini, maka permasalahan dalam pajak optimal berada pada informasi yang tidak sempurna antara wajib pajak dan pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan mengenakan pajak terhadap high ability agar dapat melakukan distribusi kesejahteraan kepada yang berkemampuan rendah. Jangan sampai sistem perpajakan justru membuat high ability menjadi low ability.85 Pada titik ini pembuat kebijakan perlu memastikan bahwa sistem perpajakan dilengkapi dengan insentif bagi para high ability agar tetap terus produktif pada level tertinggi. Meskipun pada akhirnya kelompok ini lah yang akan dipungut pajak dengan tarif tinggi.
Kelebihan kajian James Mirrless terletak pada kebebasan yang diberikan bagi pembuat kebijakan untuk memilih sistem pajak yang paling tepat. Temuan kajian ini yang paling terkenal adalah perpajakan optimal dengan model “zero top marginal tax rate”:
“Suppose there is a positive marginal tax rate on the individual earning the top income in an economy, and suppose that income is y. The positive marginal tax rate has a discouraging effect on the individual's effort, generating an efficiency cost. If the marginal tax rate on that
earner was reduced to zero for any income beyond y, then the same amount of revenue would be collected and the efficiency costs would be avoided.”86
Kajian James Mirrless berpendapat tarif pajak marginal positif dapat mempengaruhi perilaku individu, yaitu keengganan untuk berusaha lebih giat karena tidak ingin dipungut pajak dengan tarif lebih tinggi. Dampak negatif ini dihitung sebagai biaya efisiensi. Namun, jika tarif pajak marginal positif diturunkan menjadi nol untuk orang berpenghasilan tertinggi (top earner), maka biaya efisiensi dapat dimitigasi. Secara teori mungkin saja mengandaikan adanya (dapat diketahui) individu dengan penghasilan tertinggi. Dalam praktek sangat sulit untuk menentukan top earner. Tarif pajak marginal di bawah top earner dalam hal ini tetap bersifat progresif.
Sub-bab sebelumnya telah menguraikan perpajakan optimal berdasarkan kajian Frank Ramsey (1927) dan kajian James Mirrless (1971). Kajian Frank Ramsey memberikan 3 (tiga) poin penting, yakni pajak semakin optimal bilamana obyek pajak semakin beragam, memperhatikan elastisitas permintaan silang, dan tarif regresif untuk pajak penghasilan. Sedangkan kajian James Mirrless menghasilkan 5 (lima) poin penting: tarif nol pada individu berpenghasilan tertinggi, tarif pajak harus memperhatikan kemampuan distribusi, tarif menurun dapat dikenakan terhadap penghasilan tinggi, fungsi redistribusi meningkat seiring dengan ketimpangan penghasilan, dan hanya barang akhir yang dikenakan pajak dengan tarif seragam.
Sementara, sebagai pedoman nasional, Pancasila memberikan 3 (tiga) karakteristik hukum pajak: pajak sebagai kesadaran masyarakat dalam memberikan konstribusi terhadap negara, negara atau pemerintah mempunyai kewajiban mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, dan pajak tidak memberikan nestapa berlebih bagi kelompok kaya serta mampu meningkatkan kesejahteraan total.
Persandingan antara perpajakan optimal dan karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila menampakkan hasil sebagai berikut.
Tabel Persandingan antara Perpajakan Optimal dan Hukum Pajak Berfalsafah Pancasila
Kajian Frank Ramsey |
Kajian James Mirrless |
Pajak Berfalsafah Pancasila |
• Pajak semakin |
• Tarif nol pada individu |
• Kesadaran masyarakat |
optimal |
berpenghasilan |
dalam memberikan |
bilamana obyek |
tertinggi. |
kontribusi terhadap negara |
pajak semakin |
• Tarif pajak harus |
(aspek kultural) |
beragam. |
memperhatikan |
• Tujuan pajak untuk |
• Memperhatikan |
kemampuan distribusi. |
menyelenggarakan |
elastisitas |
• Tarif menurun dapat |
kesejahteraan rakyat (aspek |
permintaan |
dikenakan terhadap |
material) |
silang. |
penghasilan tinggi. |
• Pajak tidak memberikan |
• Tarif regresif |
meningkat seiring dengan ketimpangan penghasilan.
yang dikenakan pajak dengan tarif seragam |
nestapa berlebih bagi kelompok kaya serta mampu meningkatkan kesejahteraan total (aspek politik) |
Sumber: Data Sekunder (diolah sendiri)
Tabel di atas memperlihatkan bahwa inti aspek material dan aspek politik mengarah pada intervensi negara melalui pajak haruslah dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan rakyat serta tidak memberikan nestapa berlebih bagi kelompok kaya. Inti material-politik ini merupakan ranah garapan perpajakan optimal.
Dari aspek kajian Frank Ramsey, inti material-politik yang sesuai perpajakan optimal adalah skema pajak yang: (a)obyeknya sebanyak mungkin; (b)memperhatikan elastisitas permintaan silang; (c)tarif regresif. Sedangkan dari aspek kajian James Mirrless, inti material-politik yang linier terhadap perpajakan optimal mensyaratkan: (a)tarif nol pada individu berpenghasilan tertinggi; (b)arif pajak harus memperhatikan kemampuan distribusi; (c)tarif menurun dapat dikenakan terhadap penghasilan tinggi; (d)fungsi redistribusi meningkat seiring dengan ketimpangan penghasilan; dan (e)hanya barang akhir yang dikenakan pajak dengan tarif seragam.
Tidak terbantah bahwa dilihat dari perpajakan optimal, aspek material dan aspek politik merupakan obyek kajian (baik Frank Ramsey maupun James Mirrless) yang mendampakan situasi ideal: peningkatan penerimaan pajak haruslah meminimalkan beban tambahan (excess burden) yang ditimbulkan oleh sistem pajak. Dalam kalimat lain, pajak merupakan intervensi yang tidak mungkin dihindari, tetapi itu haruslah tidak dijalankan negara secara hati-hati agar tidak memberikan nestapa berlebih bagi seluruh wajib pajak, baik kelompok kaya maupun bukan.
Hanya saja situasi ideal yang diinginkan perpajakan optimal di atas tidak cocok bahkan bertentangan dengan aspek kultural pajak berfalsafah Pancasila. Mengulang penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa aspek kultural pajak mendiskusikan interaksi antara kekuatan otoritas pajak dan kepercayaan masyarakat, yang didalamnya memperhatikan substansi perundang-undangan pajak. Bilamana
perundang-undangan pajak dianggap tidak mencerminkan fairness, maka kepatuhan masyarakat berpotensi menurun.
Pertanyaan mendasar yang muncul dari uraian alinea sebelumnya adalah apakah kelompok masyarakat non-kaya menganggap skema keadilan horisontal merupakan cerminan fairness? Dalam lingkup pajak transaksi (atau konsumsi) dan pajak kepemilikan, barangkali itu dapat dikatakan sebagai cerminan fairness. Ini dibuktikan dari tidak ada putusan judicial review yang mempermasalahan persamaan perlakuan dalam pemungutan Pajak Penambahan Nilai maupun Pajak Bumi dan Bangunan.
Situasi menjadi berbeda dalam domain pajak penghasilan. Kelompok non-kaya menganggap skema keadilan vertikal merupakan cerminan fairness, yakni kelompok kaya sudah seharusnya diperlakukan berbeda dengan kelompok non-kaya. Mengikuti dalil sebelumnya, tidak ada putusan judicial review yang mempermasalahkan tarif progresif dalam pemungutan Pajak Penghasilan. Ini menunjukkan bahwa pajak penghasilan bertarif progresif secara substansi diterima dan dipercayai oleh mayoritas wajib pajak sebagai situasi yang ideal.
Dalam kaitannya dengan kepatuhan pajak, penjelmaan keadilan horisontal (yang menjadi basis perpajakan optimal) ke dalam pajak penghasilan justru berpotensi menurunkan kepatuhan masyakat non-kaya untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Penjelasannya sederhana, masyarakat non-kaya menganggap keadilan horizontal bukanlah situasi yang ideal. Sampai disini, jelaslah bahwa aspek kultural pajak berfalsafah Pancasila belumlah selaras dengan perpajakan optimal.
-
4. Kesimpulan
Karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila meliputi aspek kultural, aspek material, dan aspek politik. Aspek kultural fokus terhadap kesadaran individu untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Aspek pertama ini dipengaruhi interaksi antara kepercayaan masyarakat dan kekuatan otoritas pajak, yang bermuara pada kepatuhan pajak. Berikutnya aspek material, yang memusatkan perhatian terhadap esensi negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan warganya. Aspek kedua ini menginginkan intervensi negara melalui pajak haruslah dalam koridor menyelenggarakan kesejahteraan warga. Terakhir aspek politik, yang tidak menginginkan adanya nestapa berlebih bagi kelompok kaya, serta mampu memberikan kesejahteraan total.
Ada 2 (dua) aspek dari karakteristik hukum pajak berfalsafah Pancasila yang linear terhadap perpajakan optimal, yakni material dan politik. Kedua aspek ini pada intinya menginginkan peningkatan penerimaan pajak yang harus meminimalkan beban tambahan (excess burden) yang ditimbulkan oleh sistem pajak. Ini merupakan tujuan yang sama dengan kajian Frank Ramsey dan James Mirrless. Hanya saja untuk aspek kultural, ada ketidakcocokan bahkan pertentangan antara hukum pajak berfalsafah Pancasila dan perpajakan optimal. Obyek pertentangannya ialah pajak penghasilan bertarif progresif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat menganggap pajak penghasilan bertarif progresif merupakan situasi yang adil, sementara perpajakan optimal menganggap itu tidak menghadirkan kesejahteraan total.
Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Unit Riset dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dahliana Hasan, S.H., M.Tax., Ph.D., dan Moch. Najid Yuliantoro, S.Fil., M.Phil., yang telah memberikan masukan terhadap penelitian ini.
Daftar Pustaka
Buku
Adler. Matthew D. (2012). Well-Being and Fair Distribution: Beyod Cost-Benefit Analysis, Oxford: Oxford University Press.
Ayza, B. (2017). Hukum Pajak Indonesia, Jakarta: Kencana.
Azhari, A. F. (2010). Tafsir Konstitusi Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia. Penerbit Jagad Abjad, Solo.
Bingham, T. (2011). The Rule of Law, London: Penguin Books.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. Jogyakarta: Kanisius.
Fleurbaey, M. (2018). Welfarism, libertarianism, and fairness in the economic approach to taxation. In Taxation: Philosophical Perspectives. Oxford: Oxford
University Press.
Haula, R., & Irianto, E. S. (2012). Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan
Implementasinya di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Irianto, E.S. (2012). Kebijakan Fiskal & Pengelolaan Pajak di Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Ismail, T. (2008). Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Jakarta: Yellow Printing.
Kaplow, L. (2010). The Theory of Taxation and Public Economics, New Jersey: Pricenton University Press.
Latif, Y. (2014). Mata Air Keteladan: Pancasila dalam Perbuatan, Jakarta Selatan: Mizan.
Latif, Y.. (2015). Revolusi Pancasila, Jakarta Selatan: Mizan.
Yudi, L. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta-Kompas Gramedia.
Mankiw, N.G. (2009). Essentials of Economics, Ohio: South-Western Cengage Learning.
Mertokusumo, S. (2010). Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
Posner, R. (2014). Economic Analysis of Law (Ninth Edition), New York: Wolters Kluwer Law & Business.
Prastowo, Y. (2017). Antologi Perpajakan Indonesia, Jakarta: CITA Riset Fiskal.
Pudyatmoko, Y. S. (2009). Pengantar Hukum Pajak (Edisi Revisi). Yogyakarta: Andi.
Salanie, B. (2011), The Economics of Taxation. Massachusetts: MIT Press.
Soebechi, I. (2012). Judicial Review Perda Pajak dan Restribusi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945. (2010). Buku VII: Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial (Edisi Revisi), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Jurnal
Auerbach, A. J. (1985). The theory of excess burden and optimal taxation. In Handbook of public economics (Vol. 1, pp. 61-127). Elsevier.
https://doi.org/10.1016/S1573-4420(85)80005-7
Aziz, M. (2018). Landasan Formil Dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, 6(4), 585-594.
Barus, Z. (2013). Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis. Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 307-318. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2013.13.2.212
Bawazier, F. (2011). Reformasi Pajak di Indonesia Tax Reform In Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 8(1), 1-28.
Burman, L. E. (2012). Taxes and inequality. Tax L. Rev., 66, 563.
Darmayasa, I, N., (2019). Preskriptif KUP pada Perpektif Pancasila. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10 (1).
Mankiw, N. G., Weinzierl, M., & Yagan, D. (2009). Optimal taxation in theory and practice. Journal of Economic Perspectives, 23(4), 147-74.
https://doi.org/10.1257/jep.23.4.147
Jarczok-Guzy, M. (2017). The principles of tax law equality in the context of direct taxation. Journal of Economics & Management, 30(4), 70-84.
Hamzani, A. I., & Mukhidin, M. (2018). National Law Development As
Implementation of Pancasila Law Ideals and Social Change Demands. Jurnal Dinamika Hukum, 18(2), 131-138.
http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2018.18.2.898
James, M. (2010). Humpty Dumpty's guide to tax law: Rules, principles and certainty in taxation. Critical Perspectives on Accounting, 21(7), 573-583.
https://doi.org/10.1016/j.cpa.2010.03.007
Stiglitz, J. E. (2015). In praise of frank Ramsey's contribution to the theory of taxation. The Economic Journal, 125(583), 235-268. https://doi.org/10.1111/ecoj.12187
Lind, H. dan Grangvist, R. “A Note on the Concept of Excess Burden”, Economic Anlysis & Policy Journal, Vol. 40 (1), 2010.
Lind, H. (2010). A Note on the Concept of Excess Burden. Economic Analysis & Policy, 40(1). 63-73. https://doi.org/10.1016/s0313-5926(10)50004-3
Listokin, Y. (2012). Equity, Efficiency, and Stability: The Importance of Macroeconmics for Evaluating Income Tax Policy. Yale J. on Reg., 29, 45-89.
Mankiw, N. G., & Weinzierl, M. (2010). The optimal taxation of height: A case study of utilitarian income redistribution. American Economic Journal: Economic Policy, 2(1), 155-76. https://doi.org/10.1257/pol.2.1.155
Prasetyia, F. (2012). Rekonstruksi Sistem Fiskal Nasional Dalam Bingkai Konstitusi. Journal of Indonesian Applied Economics, 5(2). 141-156.
http://dx.doi.org/10.21776/ub.jiae.2016.005.02.8
Solihah, C. (2017). Pembayaran Zakat dan Pajak di Negara Hukum Pancasila. Syiar Hukum, 15(1), 17-27. https://doi.org/10.29313/sh.v15i1.2205
Sumantry, D. (2011). “Reformasi Perpajakan sebagai Perlindungan Hukum yang Seimbang antara Wajib Pajak dengan Fiskus sebagai Pelaksanaan terhadap Undang-Undang Perpajakan”, Jurnal Legislasi Indonesia. 8(1).
Thohari, A. A. (2018). Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara Taxes Epistemology, Constitutional Law Perspective. Jurnal Legislasi Indonesia, 8(1), 69-78.
Warassih, E. (2018). Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Gema Keadilan, 5(1). 1-15.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3313.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4661.
Undang-Undang Republik Indonesia 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4755.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4953.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5069.
Internet
Yustinus Prastowo, Kerangka Filosofis bagi Paradigma Baru Kebijakan Pajak. Academia. Diakses pada https://www.academia.edu/14112762/Kerangka_Filosofis _untuk_Paradigma_Baru_Kebijakan_Pajak?auto=download
Lainnya
Istanto, S. Politik Hukum, Materi Kuliah Magister Hukum Bisnis FH UGM.
Kristiaji, B. B., Febriyanto, T., & Abiyunus, Y. F. (2013). Memahami Ke (tidak) patuhan Pajak. Dalam Inside Tax Edisi, 15.
Sumardjono, M.S.W. (2014). Metode Penelitian Ilmu Hukum, Yogyakarta: Bahan Kuliah FH UGM.
337
Discussion and feedback