JURNAL HUKUM

KEBIJAKAN REHABILITASI TERHADAP

PENYALAH GUNA NARKOTIKA PADA UNDANG – UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

IDA BAGUS PUTU SWADHARMA DIPUTRA

NIM : 0990561013

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2012

ABSTRACT

Positive law states, drug users are criminals because it has met the qualifications in the law of narcotics, narcotic offenses such as drug abuse in the study of criminology can be classified as a crime without a victim or a victimless crime. This is because they will become dependent on illicit goods (narcotics), the way it deems appropriate to cure the addiction is to rehabilitate the victims of drug abuse

For law journal writing, the writer uses normative legal research with one character is using secondary data, where the data consists of primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. And the theoretical foundation that is used is the law, norms and theories appropriate to the problem

The results reveal the writing on the rehabilitation policy on Narcotics has been strictly regulated in Chapter IX legislation, policies were aimed at drug addicts and victims of drug abuse, arguing that victims of drug abuse is a victim of crime narcotics and therefore the appropriate sanctions to be meted out to him is the rehabilitation of the victims will be able to return to society and become useful

Key word : Rehabilitations,narcotics,victims

  • I.    Pendahuluan

Di dunia Internasional, perkembangan konvensi pengaturan masalah narkotika secara Internasional

telah dimulai dari The Haque Convention atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konvensi Candu 1912. Selanjutnya, telah muncul berbagai konvensi yang mengatur masalah narkotika seperti Konvensi Jenewa tahun 1925 atau The International Opium Convention of 1925, The 1936 Convention of the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs, The

Single Convention on Narcotic Drugs 1961, the Psychotropic Substances Convention 1971, Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988. Perkembangan konvensi-konvensi Internasional tentang narkotika tersebut, apabila dilihat lebih jauh membawa implikasi adanya perubahan, baik yang mengatur masalah tujuan, maupun lingkup masalah obat-obatan berbahaya. Aturan-aturan ini patutnya disepakati menjadi kebiasaan Internasional sehingga dipatuhi oleh semua negara

untuk kepentingan bangsa-bangsa yang beradab. Sebagai suatu perangkat hukum Internasional, konvensi tersebut mengatur kerjasama Internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan narkotika, serta pemberantasan penyalahgunaannya yang dibatasi penggunaanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Cita-cita bangsa Indonesia telah tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke–4 yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia diharapkan dapat diisi dengan melakukan pembangunan guna mencapai masyarakat adil dan makmur.

Untuk mewujudkan cita–cita yang diinginkan oleh bangsa melalui tangan generasi mudanya pastilah banyak

tantangan yang mesti dilalui. Tantangan–tantangan tersebut timbul dikarenakan banyaknya pengaruh budaya luar yang mulai masuk ke Negara Indonesia. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang sepatutnya generasi muda dapat menyaring budaya– budaya yang masuk tersebut. Pada kenyataannya terdapat beberapa budaya luar yang sekarang mulai merusak generasi muda seperti seks bebas, budaya minuman beralkohol dan penggunaan obat–obatan terlarang seperti narkotika.

Salah satu penyebab rusaknya generasi muda adalah dengan adanya penyalahgunaan terhadap narkotika. Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika digunakan untuk hal – hal yang negatif.

Narkotika bersifat adiktif, yakni menimbulkan ketagihan serta ketergantungan. Penggunanya cenderung akan menambahkan dosis pemakaian secara terus menerus yang berakhirnya dengan kematian akibat over dosis.

Indonesia merupakan salah satu negara peserta penandatanganan

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi 1988. Keikutsertaannya dalam pengaturan narkotika secara Internasional ini merupakan perwujudan suatu kehendak sebagai negara merdeka, serta ikut menjaga ketertiban dunia. Disamping itu, langkah yang dilakukan Indonesia merupakan “political will” pemerintah, khususnya dalam masalah penanggulangan narkotika baik di dalam negeri maupun dalam percaturan internasional. Langkah Pemerintah Indonesia tersebut apabila dihubungkan dengan posisi Indonesia sebagai daerah yang rawan dijadikan tempat transit narkotika sangatlah beralasan.

Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 (Covention on Psychotropic Subtances 1971) dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan

Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Kemudian tahun 1997 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, dan pada tahun 2009 Pemerintah kembali mengeluarkan undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika dikualifikasikan menjadi beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah berhubungan dengan pemakai dan pengedar narkotika. Jika berbicara tentang pengedar narkotika, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli narkotika, keduanya merupakan pelaku tindak pidana narkotika. Akan tetapi, jika kita

berbicara tentang pemakai narkotika, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang mengenai pemakai narkotika. Hukum positif menyatakan, pemakai narkotika adalah pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam undang-undang 1 narkotika.

Tindak pidana narkotika seperti penyalahgunaan narkotika dalam kajian kriminologi dapat digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime. Penggolongan ini merujuk kepada sifat kejahatan tersebut yaitu adanya dua pihak yang melakukan transaksi atau hubungan  (yang dilarang) namun

keduanya  merasa tidak menderita

kerugian atas pihak lain2. Pengguna narkotika  sesungguhnya merupakan

korban dari tindak pidana narkotika, namun pengguna tersebut tidak merasa sebagai korban, karena dia secara sengaja dengan kehendaknya sendiri untuk menggunakan narkotika tersebut, baik itu karena anjuran teman, maupun rasa ingin coba-coba.

Pengguna narkotika dapat dimasukkan sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika. Hal ini dikarenakan mereka akan mengalami ketergantungan terhadap barang haram (narkotika) tersebut. Penyalahgunaan narkotika selain berbahaya terhadap diri si pemakai itu sendiri juga berbahaya terhadap lingkungan masyarakat, dimana agar dapat memenuhi hasratnya mendapatkan narkotika, maka si pemakai narkotika tentu saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi orang–orang yang tidak berpenghasilan cukup maka dia akan berupaya untuk mencuri, merampok serta melakukan berbagai tindakan kriminal lainnya3. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahahatan.

Pecandu narkotika merupakan Self victizing victims karena pecandu narkotika menderita sindroma

ketergantungan narkotika akibat dari

penyalagunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.

Cara yang dianggap tepat untuk menyembuhkan ketergantungan tersebut adalah dengan melakukan rehabilitasi terhadap para korban penyalahgunaan narkotika. Karena rehabilitasi dapat melepaskan ketergantungan narkotika sampai dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika4.

Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan korban pengguna narkotika dari ketergantungan. Karena pengertian dari rehabilitasi adalah usaha untuk memulihkan untuk menjadikan pecandu ketergantungan nakotika dan hidup normal sehat jasmani dan rohani sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali keterampilannya, pengetahuannya, kepandaiannya, pergaulannya dalam lingkungan hidup atau dengan keluarganya yang disebut juga resosialisasi5. Rehabilitasi terhadap pengguna narkotika tersebut adalah merupakan serangkaian upaya yang

terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar6.

Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang untuk menekan jumlah peredaran narkotika di Indonesia yang telah bersifat transnasional dan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika terutama di kalangan remaja yang membahayakan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran Undang– undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan tujuan untuk

mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika tersebut maka dalam Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab IX yang mencantumkan mengenai hukuman rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Pencantuman bab ini dimaksudkan agar korban penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan hukuman rehabilitasi dan bukannya hukuman pidana penjara maupun pidana kurungan.

Pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI no 7/2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009.

Untuk mencapai penyembuhan para korban penyalahgunaan narkotika

dari ketergantungan tersebut, maka hukuman yang sepatutnya diberikan kepada mereka adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur dalam Pasal 54, dan Pasal 103 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta diatur juga dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, serta SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Kemudian di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk menerapkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang diperintahkan untuk dijalani oleh pecandu narkotika. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban

yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.

Penggunaan rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara atau pidana kurungan. Penjatuhan rehabilitasi ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang menyatakan bahwa mereka sebagai tahanan kasus narkotika sesungguhnya orang yang sakit sehingga tindakan rehabilitasi hendaknya lebih tepat dijatuhkan dan kondisi LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) yang tidak mendukung dikhawatirkan malah mengakibatkan efek yang tidak baik terhadap mereka karena dapat semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalah guna narkotika tersebut.

Penjatuhan rehabilitasi masih jarang dijatuhkan kepada para korban penyalah guna narkotika padahal telah

diatur secara tegas dalam Undang– undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana        perumusan

kebijakan rehabilitasi dalam Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • a.    Tujuan Umum

Untuk mendeskripsi dan melakukan analisis mendalam terhadap kebijakan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika.

  • b.    Tujuan Khusus

  • a) Untuk mendeskripsi dan melakukan          analisis

mendalam      perumusan

kebijakan rehabilitasi dalam Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

  • II.    Metode Penelitian

Untuk penulisan jurnal hukum ini penulis mempergunakan penelitian hukum normatif dengan salah satu cirinya adalah mengunakan data sekunder,dimana data ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dan landasan teoritis yang digunakan merupakan undang–undang, norma– norma maupun teori–teori yang sesuai dengan permasalahan yang penulis angkat.7

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Ketentuan Penjatuhan Sanksi Rehabilitasi dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Penyalahguna Narkotika adalah orang yang memakai Narkotika yang tidak ada alasan hak atau melawan hukum. Sedangkan Pecandu adalah orang yang menyalahgunakan tetapi 8 sudah dalam taraf ketergantungan.8

Dengan demikian, dapat kita artikan bahwa penyalahguna narkotika adalah seseorang yang menggunakan narkotika tanpa mengikuti aturan atau dosis yang serta tanpa hak dan melawan hukum

Dalam Undang–undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah diatur secara tegas ketentuan mengenai penjatuhan sanksi rehabilitasi. Penjatuhan sanksi rehabilitasi ini merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan kepada tidak hanya mereka yang sebagai pecandu narkotika tetapi juga kepada mereka yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi rehabilitasi ini diatur dalam BAB IX tentang pengobatan dan rehabilitasi bagian kedua. Dengan adanya pengkhususan bab yang mengatur tentang rehabilitasi ini kita dapat melihat bahwa pemerintah telah menekankan penjatuhan sanksi rehabilitasi kepada mereka yang menjadi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Ketentuan yang mewajibkan penjatuhan sanksi rehabilitasi tersebut terdapat dalam Pasal 54 yang menyatakan “Pecandu Narkotika dan korban

alahgunaan-atau-kepemilikan.html diakses tanggal 14 September 2012

penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Dalam Undang–undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika pengaturan yang menekankan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi terdapat dalam Pasal 103 yang menyatakan bahwa :

  • (1)    Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :

  • a.    Memutus          untuk

memerintahkan yang

bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

  • b.    Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah

melakukan tindak pidana Narkotika.

  • (2)    Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu          Narkotika

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitunngkan sebagai masa menjalani hukuman.

Dalam Pasal 103 ayat (1) ini, kata ‘dapat’ menyatakan untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Dan hakim juga diberikan wewenang untuk menetapkan seorang pecandu yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi9.

Selain itu, penjatuhan sanksi rehabilitasi ini juga diatur dalam BAB XV Ketentuan Pidana Pasal 127 yang menyatakan :

  • (1)    Setiap Penyalah Guna :

  • a.    Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

  • b.    Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

  • c.    Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

  • (2)    Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103.

  • (3)    Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 103 ayat (1) ini, kata ‘dapat’ menyatakan untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau

perawatan melalui rehabilitasi. Dan hakim juga diberikan wewenang untuk menetapkan seorang pecandu yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi10

Melihat ketentuan pidana Pasal 127 ayat (2) dan (3), dapat disimpulkan bahwa hakim dalam memutus perkara yang disebutkan dalam Pasal 127 ayat (1) diwajibkan untuk memperhatikan pasal–pasal yang mengatur ketentuan rehabilitasi sehingga nantinya para pecandu dan korban penyalah guna narkotika dapat dijatuhkan sanksi rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan tidak lagi dipidana penjara maupun pidana kurungan karena sanksi rehabilitasi tersebut dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

  • 3.2 Hambatan dalam Penjatuhan Sanksi Rehabilitasi

Berdasarkan bagan penjatuhan pidana terhadap pengguna narkotika yang terjadi di Pengadilan Negeri Denpasar, dapat dilihat bahwa penjatuhan sanksi rehabilitasi tersebut masih sangat jarang dilakukan. Masih jarang atau sedikitnya penjatuhan sanksi rehabilitasi untuk mereka yang menjadi pecandu maupun korban penyalah guna narkotika ini dikarenakan masih terdapat beberapa hambatan yaitu hambatan dari pemerintah dan hambatan dari segi hukum. Hambatan–hambatan yang berasal dari pemerintah ini oleh Firman Tambunan, SH. (dalam wawancara tanggal 2 September 2010 di Pengadilan Negeri Denpasar), disebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) hambatan, yaitu:

  • 1.    Belum ada ditetapkannya tempat khusus bagi para pecandu maupun korban–korban penyalah guna narkotika untuk melakukan rehabilitasi.

  • 2.    Masalah biaya rehabilitasi bagi terpidana kasus penyalahgunaan narkotika.

  • 3.    Belum ada panti rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Dari paparan diatas, dapat dijelaskan bahwa hambatan tentang belum adanya tempat khusus untuk para pecandu

maupun korban penyalah guna narkotika di Denpasar karena dalam hal penanganan rehabilitasi ini masih meminjam tempat–tempat medis seperti Rumah Sakit Sanglah yaitu Klinik Rumatan Methadon Sandat dan Rumah Sakit Jiwa Bangli. Ke dua tempat ini bukanlah tempat khusus untuk menangani masalah rehabilitasi bagi pengguna narkotika, akan tetapi hanya memperbantukan saja.

Untuk masalah biaya rehabilitasi bagi terpidana kasus penyalahgunaan narkotika itu sendiri, hakim memandang bahwa anggaran yang dimiliki oleh negara untuk membiayai pengobatan rehabilitasi bagi para terpidana masih sangat minim. Pandangan hakim ini diperkuat dengan pidato Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri pada seminar yang diadakan dalam rangka Hari Anti Narkotika Internasional 2010 yang mengatakan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk merehabilitasi lebih dari tiga juta penderita kecanduan narkoba di Indonesia sekitar Rp100-Rp150 miliar, akan tetapi jumlah dana yang ada hanya sekitar Rp30-an miliar11.

Dan pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh dr. I Made Oka Semadi,Sp.K.J. (dalam wawancara tanggal 9 September 2010 di Rumah Sakit Bayangkara Tingkat 3 Trijata Polda Bali), yang mengatakan ”Untuk seorang pecandu ringan dan tanpa adanya komplikasi medis saja, dalam waktu 1 (satu) minggu perawatan akan menghabiskan biaya sekitar Rp 4,5 juta dan akan jauh lebih mahal lagi apabila seorang pecandu sudah mengalami komplikasi medis seperti sakit jantung, TBC, HIV / AIDS, karena pengobatan rehabilitasi ini akan membutuhkan lebih banyak macam obat–obatan dan penanganan dokter spesialis lainnya”.

Untuk masalah belum adanya panti rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah ini menimbulkan permasalahan akan ditempatkan dimanakah nantinya para terpidana kasus penyalahgunaan narkotika tersebut. Karena dengan tidak ada penunjukkan panti rehabilitasi secara jelas oleh pemerintah, dapat menimbulkan kebingungan pada para hakim dalam memutus perkara narkotika, bingung akan ditempatkan dimanakah terpidana

tersebut apabila diputus untuk melakukan rehabilitasi. Karena hakim tidak mengetahui secara pasti panti– panti rehabilitasi mana saja yang dapat ditunjuk untuk mengobati para terpidana tersebut.

Ditambahkan oleh Posma P. Nainggolan, SH. (dalam wawancara tanggal 2 September 2010 di Pengadilan Negeri Denpasar), mengenai hambatan– hambatan dari segi hukum, yaitu :

  • 1.    Terjadinya perbedaan keterangan antara terdakwa, saksi dan hasil laboratorium kriminalistik.

  • 2.    Terjadi masalah eksekusi.

Dengan adanya perbedaan keterangan antara terdakwa, saksi dan hasil laboratorium kriminalistik ini juga dapat membuat hakim semakin berfikir untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi terdapat terdakwa. Terkadang hakim akan menemukan suatu keadaan dimana seorang terdakwa yang mengaku sebagai korban dari penyalah guna narkotika dan dibenarkan juga dengan keterangan dari saksi, akan tetapi berdasarkan hasil tes laboratorium kriminalistik, menyatakan bahwa terdakwa ini baik urin maupun darahnya negatif mengandung zat narkotika.

penderita-narkoba-butuh.htm, diakses tanggal 7 September 2010,


Dalam hal eksekusi, hakim juga harus memikirkan apakah nantinya terdakwa akan dapat menjalankan putusan hakim dengan sebaik–baiknya. Melihat biaya rehabilitasi yang mahal dan dengan anggaran dari pemerintah yang sangat minim, menimbulkan putusan agar terdakwa wajib menjalani rehabilitasi dengan biaya sendiri, padahal ada kemungkinan si terdakwa berasal dari golongan dengan status sosial yang rendah sehingga tidak dapat menjalankan sanksi tersebut. Sehingga, apabila putusan hakim pada akhirnya tidak dapat terlaksana, maka akan menimbulkan kepastian hukum yang tidak jelas.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dilihat bahwa hambatan yang dialami oleh para hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi masih sangat banyak. Dari kelima hambatan yang ada, hambatan yang paling utama adalah masalah biaya rehabilitasi. Karena dengan mahalnya biaya rehabilitasi tersebut, menyebabkan pemerintah harus memiliki dana ekstra untuk membiayai semua putusan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkotika. Walaupun putusan hakim menyatakan biaya rehabilitasi di

tanggung oleh terpidana, hal tersebut dapat memberatkan terpidana karena para terpidana berasal dari status sosial yang berbeda–beda. Sehingga menyebabkan tidak dilaksanakannya putusan pengadilan tersebut dengan sebaik–baiknya.

Permasalahan mengenai tempat rehabilitasi yang belum ada dan belum ditunjuknya suatu tempat rehabilitasi oleh pemerintah tersebut, hakim untuk saat ini dapat menitipkan terpidana ke Rumah Sakit milik pemerintah yang memiliki tempat rehabilitasi seperti Rumah Sakit Jiwa Bangli dan Rumah Sakit Sanglah untuk melaksanakan hukumannya. Walaupun permasalahan mengenai penempatan terpidana tersebut dapat ditanggulangi dengan melakukan penitipan terpidana, tetapi sebaiknya pemerintah dengan segera membangun suatu panti rehabilitasi khusus untuk para terpidana kasus penyalahgunaan narkotika agar tidak terjadi pencampuran terhadap mereka yang melakukan rehabilitasi atas kesadaran sendiri dan mereka yang melaksanakan rehabilitasi berdasarkan putusan hakim.

Untuk permasalahan yang timbul dari segi hukum, dapat diperbaiki dengan cara hakim lebih bersikap

proaktif dalam menemukan bukti–bukti yang dapat menyatakan bahwa seorang terdakwa benar sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika, sehingga sanksi rehabilitasi ini tidak dijadikan suatu celah untuk menghindari pidana penjara. Sehingga nantinya pidana rehabilitasi ini dapat mengurangi jumlah korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika di Indonesia.

IV.Simpulan dan Saran

4.1    Simpulan

Kebijakan rehabilitasi pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah diatur secara tegas pada bab IX undang – undang tersebut, kebijakan tersebut ditujukan kepada pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika,dengan alasan bahwa korban penyalahgunaan narkotika tersebut merupakan korban dari tindak pidana narkotika dan oleh karena itu sanksi yang tepat dijatuhkan kepadanya adalah rehabilitasi agar nantinya korban tersebut dapat kembali ke masyarakat dan menjadi orang yang berguna. Masa menjalani rehabilitasi dalam putusan pengadilan dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

  • 4.2    Saran

Hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi baik terhadap korban penyalahgunaan narkotika maupun pecandu narkotika diharapkan selain memperhatikan alat bukti serta fakta di persidangan, karena diharapkan nantinya putusan yang dijatuhkan adalah putusan yang tepat, karena korban dari penyalahgunaan narkotika tersebut jika memang terbukti sebagai korabn maka tindakan yang patut diberikan adalah rehabilitasi, agar nantinya mereka dapat kembali ke masyarakat dan menjadi orang yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Makaro,Moh.Taufik,dkk,2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta

Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius, Yogyakarta

Martono, Lydia Harina dan Satya Joewana, 2006, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika, Balai Pustaka, Jakarta.

Algin Moenthe A Reader on Punisment, Oxford University Press

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985,Peneiitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Sinqkat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta

INTERNET :

Tommy, Korban TIndak Pidana Narkotika,2011 available from : URL                     :

http://www.facebook.com/topic.p hp?uid=341355375076&topic=1 1176

Kurniawan, 2010, “Mengkritisi dan Memperbandingan UU No.35 / 2009 tentang Narkotika dengan Undang – undang Terdahulu”, available from : URL : http://my.opera.com/Kurniawan wp97/blog/2010/07/12/mengkriti si-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009-tentang-narkotika-dengan-undang.htm,

Yoyoh Yusroh, 2010, “Rehabilitasi Penderita Narkoba Butuh Rp 150 Miliar”, available from : URL : http://facebook.com/yoyoh_yusro h/rehabilitasi-penderita-narkoba-butuh.htm,

M. Tavip, 2010, “Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”, available from : URL : http://www.ma-ri.go.id/info/lapas/rehabilitasi,

Wasis Priyanto,”Penyalahgunaan Narkotika” available from url http://waktuterindah.blogspot.co m/2012/05/penyalahgunaan-atau-kepemilikan. html

Alwi Sihab, 2010, “Mengkritisi dan Memperbandingan UU No.35 /”, available from : URL : http://my.opera.com/alwi/p97/blo g/2010/07/12/mengkritisi-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009-tentang-narkotika-dengan-

undang. htm,

16