Sikap Mahkamah Konstitusi Mengenai Keberlakuan Perjanjian Internasional dalam Hubungannya dengan Hukum Nasional
on
JuitNALMaGisTERHUKOMJIDnKlU
P>KMS ≡(3ES≡ ≡W p≡Sffi)
Vol. 7 No. 3 September 2018
E-ISSN: 2502-3101 P-ISSN: 2302-528x
http: //ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
Sikap Mahkamah Konstitusi Mengenai Keberlakuan Perjanjian Internasional dalam Hubungannya dengan Hukum Nasional
Gede Marhaendra Wija Atmaja1, Nyoman Mas Aryani2 , Anak Agung Sri Utari3, Ni Made Ari Yuliartini Griadhi4
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
3Fakultas Hukum Univeritas Udayana, E-mail: [email protected]
4Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail:: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 4 September 2018
Diterima: 28 September 2018
Terbit: 30 September 2018
Keywords:
Politic law; International treaty; Constitution Court
Kata kunci:
Politik Hukum; Perjanjian Internasional; Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Corresponding Author:
Gede Marhaendra Wija
Atmaja, E-Mail: [email protected]
DOI:
10.24843/JMHU.2018.v07.i03.
p05
Abstract
The purpose of this study is to find out the position of the Constitutional Court which later? an understanding of the politic of International agreement law adopted by the Republic of Indonesia. This can be reviewed from the legal considerations that underlying the Constitutional Court Decision. It is a legal research that examines the laws and regulation related to Constitutional Court through several stages: elaborate textual studies, completing textual studies, analyzing legal materials and determine conclusions. The study shows that International and legalized agreement that has not been ratified are placed as part of national law and are used as a reference to enrich the reasoning horizon in interpreting the constitution. Law on the ratification of the International Agreement containing norms which are attachments and an inseparable part of the law, which in its existence as a law constitutes the authority of the Constitutional Court to examine its constitutionality. In this context, the constitutional Court embraced the politic law of monism with the primate of national law and the Constitutional Court embraced the politic law of dualism when examining the constitutionality of the law concerning the ratification of the International Agreement-in terms of subject matter.
Abstrak
Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui sikap Mahkamah Konstitusi yang nantinya akan memberikan pemahaman tentang politik hukum Perjanjian Internasional yang dianut Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat ditinjau dari pertimbangan hukum yang mendasari amar Putusan Mahkamah Konstitusi. Artikel ini merupakan suatu penelitian hukum yang mengkaji Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang ada dengan langkah-langkah melakukan studi tekstual, melengkapi studi tekstual serta melakukan analisis terhadap bahan hukum yang terkumpul dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa Perjanjian Internasional yang telah disahkan maupun yang belum disahkan ditempatkan sebagai bagian dari hukum
nasional dan dijadikan rujukan guna memperkaya cakrawala penalaran dalam menafsirkan Undang-Undang dasar. Undang-Undang tentang pengesahan Perjanjian internasional memuat norma yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang bersangkutan, yang dalam keberadaannya sebagai Undang-Undang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitasnya. Dalam konteks ini Mahkamah Konstitusi menganut politik hukum monisme dengan primat hukum nasional dan Mahkamah Konstitusi menganut politik hukum dualisme saat menguji konstitusionalitas Undang-Undang tentang pengesahan Perjanjian Internasional dalam hal menyangkut pokok perkaranya.
Hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang tidak dapat dipisahkan walaupun hubungan antara hukum nasional masing-masing negara dan hukum internasional seringkali menimbulkan pertentangan kepentingan antara kedua sistem hukum tersebut, antara lain berkaitan dengan keberlakuan hukum internasional dimana masing-masing negara memiliki praktik kenegaraan yang berbeda-beda. Dalam hal ini terdapat dua aliran besar yang di satu sisi berpendapat bahwa hukum nasional merupakan bagian dari hukum internasional yang tentunya hukum nasional harus tunduk pada hukum internasional dan di sisi lain berpendapat bahwa keberlakuan hukum internasional sangat tergantung pada penerimaan hukum nasional masing-masing negara. Demikian juga halnya dengan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (selanjutnya disebut UUD 1945) tidak eksplisit mengatur politik hukum perjanjian internasional. Akan tetapi, dengan memahami politik hukum sebagai kebijakan negara mengenai hukum yang diberlakukan dan yang akan diberlakukan, maka ditemukan politik hukum perjanjian internasional dalam Pasal 11 UUD 1945. Mengenai perjanjian internasional, UUD 1945 memberi arahan kebijakan bahwa pembuatan perjanjian internasional merupakan kekuasaan pemerintahan negara. Hal ini diindikasikan dengan penempatan Pasal 11 tersebut di bawah Bab III yang bertajuk Kekuasaan Pemerintahan Negara. Kekuasaan pembuatan perjanjian internasional tersebut dilakukan oleh Presiden, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang dasar (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). UUD 1945 juga memberikan arahan, Presiden membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945). Edi Suryono mengkritisi bahwa UUD 1945 tidak memuat ketentuan secara lengkap untuk persetujuan seperti apa yang harus diberikan, apakah harus berbentuk Undang-Undang atau yang lainnya. 1 Pelibatan DPR tersebut menunjukkan pembuatan perjanjian internasional ditempatkan dalam prinsip negara hukum yang demokratis, dengan perkataan lain, negara hukum yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi (Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945).
Menurut Mochtar Kusumaatmaja, Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat Bangsa-Bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Oleh karena itu, perjanjian haruslah dibuat oleh subyek hukum internasional. 2 Berikut dipaparkan arahan kebijakan lainnya yang terdapat dalam UUD 1945 adalah menyangkut jenis perjanjian internasional, yakni: 1) Perjanjian dengan negara lain; 2) Perjanjian internasional lainnya, yakni perjanjian yang subjek lainnya selain negara, yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang. Pembentuk Undang-Undang memberikan tafsir “perjanjian internasional lainnya” adalah perjanjian dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU 24/2000). Kedua jenis perjanjian internasional tersebut merupakan kewenangan Presiden untuk membuatnya dengan persetujuan DPR. Makna dari “persetujuan DPR” tidak terdapat dalam UUD 1945. Pembentuk Undang-Undang memberikan tafsir, bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang (Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000). Selain itu, terdapat perjanjian internasional yang pengesahannya dengan keputusan presiden (Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), Keputusan Presiden tersebut dibaca sebagai Peraturan Presiden. Sehingga dengan demikian pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden.
Beberapa persoalan mengemuka, yakni Pertama, UUD 1945 tidak memberikan arahan kebijakan mengenai status perjanjian internasional dalam hubungannya dengan hukum nasional, tepatnya menyangkut perjanjian internasional dapat diberlakukan di Indonesia tanpa harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Kedua, mengenai status Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian internasional, tepatnya memiliki status yang sama atau tidak dengan Undang-Undang pada umumnya. Sekalipun UUD 1945 tidak memberikan politik hukum atau arahan kebijakan mengenai status Undang-Undang pengesahan perjanjian international, praktik Mahkamah Konstitusi mengindikasi bahwa perjanjian internasional memiliki fungsi yang kuat sebagai sumber hukum karena menganggap ada satu keterikatan moral dengan hukum internasional, walaupun berlaku dalam bentuk Undang-Undang tetapi memiliki perlakuan lebih istimewa.3 Mahkamah Konstitusi melalui sejumlah putusannya, telah meletakkan politik hukum perjanjian internasional baik menyangkut status perjanjian internasional dalam hubungannya dengan hukum nasional maupun status Undang-Undang pengesahan perjanjian internasional.
Dari uraian di atas maka artikel ini akan menganalisa sikap Mahkamah Konstitusi terhadap status perjanjian internasional, baik status perjanjian internasional dalam hubungannya dengan hukum nasional maupun status Undang-Undang tentang
ISSN: 1978-1520
pengesahan perjanjian internasional. Diajukan 2 (dua) rumusan masalah: Pertama, Bagaimanakah sikap Mahkamah Konstitusi mengenai keberlakuan perjanjian internasional dalam hubungannya dengan hukum nasional?; Kedua, Bagaimanakah sikap Mahkamah Konstitusi mengenai keberadaan Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian internasional?
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas isu hukum mengenai politik hukum perjanjian hukum perjanjian internasional yang dianut Mahkamah Konstitusi. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap Mahkamah Konstitusi mengenai keberlakuan Perjanjian Internasional dalam hubungannya dengan hukum nasional, dan untuk mengetahui sikap Mahkamah Konstitusi mengenai keberadaan Undang-Undang tentang pengesahan Perjanjian Internasional.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal Putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan terkait;2) melengkapi studi tekstual, yakni menganalisis informasi yang diperoleh dari pakar baik di bidang Hukum Tata Negara maupun Hukum Internasional;3) melakukan analisis terhadap bahan hukum yang terkumpul dan penarikan kesimpulan dimana kesimpulan yang ada terus menerus diverifikasi sehingga memperoleh kesimpulan yang valid.
Bahan hukum yang terkumpul dikaji melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara pembacaan dan pencatatan bahan hukum berupa putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan, serta data penunjang diperoleh melalui wawancara mendalam dibantu dengan pertanyaan tertulis kepada para pakar. Teknik analisis bahan hukum dilakukan dengan cara melakukan interpretasi berbasis hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum merupakan penerapan hermeneutika pada bidang hukum yang intinya adalah kegiatan menginterpretasi teks hukum, yakni pemberian makna pada kata-kata dalam putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kebijakan.4
Putusan Mahkamah Konstitusi turut menentukan politik hukum.5 Putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya adalah: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut PUMK 013/PUU-I/2003); Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
PUMK 2-3/PUU-V/2007; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Assosiation of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut PUMK 33/PUU-IX/2011).
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, pokok perkaranya adalah keseluruhan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.6 Adapun pada intinya, amar putusannya menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.7 Pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan adalah hukum itu pada dasarnya harus berlaku ke depan. Artinya, Mahkamah Konstitusi menolak pemberlakuan asas retroaktif. Untuk menunjukkan betapa asas retroaktif tidak diinginkan, Mahkamah mengutip beberapa peraturan internasional.8
-
1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Pasal 29 ayat (2), “Di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dari kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis.9 Deklarasi ini memiliki pengaruh yang kuat baik secara langsung maupun tidak langsung kepada hukum yang mengatur hak-hak asasi manusia secara umum.10
-
2. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 4 ayat (2) “Penyimpangan terhadap Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18, tidak boleh dilakukan oleh ketentuan ini. Pasal 15 ayat (1) “Tidak seorangpun dapat dinyatakan salah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bukan merupakan tindak pidana berdasarkan hukum nasional maupun internasional pada saat tindakan tersebut dilakukan. Demikian pula, tidak dapat dijatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan. Apabila setelah dilakukannya tindak pidana ketentuan hukum menentukan hukuman yang lebih ringan maka pelaku harus memperoleh keringanan tersebut.” Pasal 15 ayat (2) “Tidak ada sesuatu pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan persidangan dan penghukuman terhadap setiap orang atas tindakan yang dilakukan atau yang
tidak dilakukan, yang pada saat dilakukannya, adalah suatu tindak pidana sesuai dengan prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat internasional.”11
-
3. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (1998) yang dalam Bagian III Prinsip-Prinsip Umum Hukum Pidana, Pasal 22 Nullum Crimen Sine Lege, ayat (1) “Seseorang tidak dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta ini kecuali kalau perbuatan yang termaksud merupakan, pada saat perbuatan itu berlangsung, suatu kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah” Ayat (2) “Definisi mengenai kejahatan harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi. Dalam hal terdapat kekaburan definisi itu harus ditafsirkan yang menguntungkan orang yang sedang diselidiki, dituntut atau dihukum” Ayat (3) “Pasal ini tidak mempengaruhi karakterisasi dari setiap perilaku sebagai bersifat pidana berdasar hukum internasional yang mandiri terhadap Statuta ini.” Pasal 23 Nulla poena sine lege: “Seseorang yang dinyatakan bersalah oleh Mahkamah dapat dihukum hanya sesuai dengan Statuta ini.” Pasal 24 Non-retroactivity ratione personae, Ayat (1) “Tidak bertanggung jawab secara pidana
berdasarkan Statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya Statuta ini.” Ayat (2) “Dalam hal ada perubahan dalam hukum yang dapat diterapkan kepada suatu kasus tertentu sebelum keputusan akhir pengadilan, maka berlaku hukum yang lebih menguntungkan bagi orang yang sedang diselidiki, dituntut atau dihukum.”12
Putusan dalam perkara a quo tidak diambil secara bulat, melainkan ada pendapat berbeda (dissenting opinion). Menyangkut perujukan peraturan internasional, pendapat berbeda itu menyatakan, ketentuan Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Umum PBB dapat disimpulkan bahwa limitasi terhadap hak asasi itu diperbolehkan bahkan memenuhi kriteria “just” (adil) menurut moralitas, public order, dan kemakmuran umum dalam masyarakat demokratis. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memperbolehkan pelunakan (derogation) terhadap ketentuan-ketentuan kovenan yang ditentukan dalam keadaan darurat.13Jadi, menurut Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda, bahwa pembatasan terhadap hak-hak asasi itu diperbolehkan berdasarkan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Atas dasar yang sama, mayoritas Hakim Konstitusi menolak pemberlakuan asas retroaktif, yang artinya menolak adanya pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia dalam hal ini adalah “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut”.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007. Adapun pokok perkaranya adalah bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengenai konstitusionalitas pidana mati bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyangkut hak
hidup. Amar Putusan dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 pada intinya adalah permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).14 Amar Putusan tersebut didasari oleh pertimbangan hukum yang pada intinya adalah hak asasi manusia dapat dibatasi, yang berimplikasi pada ketidakmutlakan hak untuk hidup, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut: 15
-
1. Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada originalintent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. Hal ini diperkuat pula dengan penempatan Pasal 28J UUD 1945 sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistimatische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
-
2. Ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat juga ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, ICCPR yang digunakan para Pemohon untuk mendukung dalil-dalilnya, tidaklah melarang negara-negara pihak (stateparties) untuk memberlakukan pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut (Pasal 6 ayat (2) ICCPR). Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara memberlakukan pidana mati (meskipun dengan pembatasan-pembatasan), hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak.
Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Diantaranya Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, menurutnya, instrumen internasional bisa digunakan sebagai salah satu acuan, dan dapat digunakan sebagai bandingan untuk memperkaya cakrawala penalaran dalam menafsirkan Undang-Undang dasar. Tetapi manakala terdapat perbedaan yang tegas antara instrumen internasional itu dengan UUD 1945, sebagai Hakim Konstitusi harus mengutamakan UUD 1945. Sebab, sebagai Hakim Konstitusi, diberikan amanat dan wewenang konstitusional untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan untuk menguji Undang-Undang terhadap instrumen internasional. Lebih-lebih lagi bukan tugas Mahkamah Konstitusi untuk menguji UUD 1945 terhadap instrumen internasional. 16 Perbedaan yang dimaksud oleh Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi intinya adalah ―yang disebutnya sebagai― Gradasi (tingkat) Pembatasan. Dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, larangan pembatasan terhadap hak asasi itu bersifat mutlak, artinya tidak boleh diadakan pembatasan dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu pembatasan yang dimungkinkan oleh Pasal 28J ayat (2) tidak dapat diberlakukan terhadap hak asasi yang disebut
dalam Pasal 28I ayat (1). Sedangkan dalam Pasal 4 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik disebutkan bahwa pembatasan terhadap hak asasi pada umumnya bisa dilakukan” dengan syarat-syarat keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan negara”. Tetapi syarat keadaan darurat itu tidak dapat diberlakukan (non derogable) terhadap hak asasi yang disebut dalam Pasal 4.17
Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi 33/PUU-IX/2011. Pokok perkaranya adalah pengujian konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n Piagam ASEAN yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Assosiation of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (selanjutnya disebut UU 38/2008) terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Amar putusan dalam perkara tersebut adalah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.18 Amar putusan tersebut dilandasi oleh sejumlah pertimbangan hukum. Menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi, bahwa permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, yaitu Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n ASEAN Charter yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari UU 38/2008 (vide Pasal 1 UU 38/2008), dengan demikian, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo. 19 Menyangkut pokok perkara, pada intinya pendapat Mahkamah Konstitusi adalah bahwa ketentuan Pasal 1 angka 5 Piagam ASEAN tersebut tidak berlaku secara serta merta dengan disahkannya UU 38/2008 pada tanggal 6 November 2008, melainkan diperlukan pembuatan legislasi dalam negeri guna melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Piagam ini secara efektif, sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (2) Piagam ASEAN yang menyatakan, “Negara-Negara Anggota wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai, guna melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Piagam ini secara efektif, dan mematuhi kewajiban-kewajiban keanggotaan”.20
Pendapat berbeda Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, memang benar formil UU 38/2008 adalah Undang-Undang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang. UU 38/2008 a quo, hanyalah semata-mata bentuk ratifikasi atau adopsi atas suatu perjanjian Internasional, yang tidak serta merta berlaku sebagai Undang-Undang yang secara seketika mengikat warga negara.21 Pendapat ini dipertegas Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang juga mengajukan pendapat berbeda karena menganggap bahwa, Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional bukanlah suatu peraturan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif, yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kepada setiap orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju”
dengan Undang-Undang. Dengan demikian seharusnya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).22
-
3.1. Sikap Mahkamah Konstitusi Mengenai Keberlakuan Perjanjian Internasional Dalam Hubungannya Dengan Hukum Nasional.
Negara nasional dan masyarakat internasional adalah dua kenyataan yang hanya mampu dipilah tetapi tidak dapat dipisahkan, di satu sisi diakui memiliki identitas dan kedaulatan masing-masing tetapi di sisi lain pemenuhan kebutuhan domestik tidak jarang memaksa suatu negara untuk bekerjasama dengan negara lainnya.23Untuk melihat keberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional terdapat aliran dualisme yang berpendapat bahwa daya ikat hukum internasional terletak pada kemauan negara serta aliran monism yang berpendapat kedua sistem tersebut sebagai satu kesatuan yang mengatur hidup manusia.24
Untuk mengkaji aliran mana yang digunakan Negara Indonesia, maka perlu melihat sikap Mahkamah Konstitusi mengenai keberlakuan perjanjian internasional dalam hubungannya dengan hukum nasional. Baik dalam PUMK 013/PUU-I/2003 maupun dalam PUMK 2-3/PUU-V/2007 menggunakan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, juga digunakan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (1998). Status hukum dari Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik pada saat itu (PUMK 2-3/PUU-V/2007 diucapkan Selasa 30 Oktober 2007) belum mendapat pengesahan dari pemerintahan Negara Republik Indonesia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik baru mendapat pengesahan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005. Demikian juga dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (1998) baik pada saat PUMK 2-3/PUU-V/2007 diucapkan Selasa 30 Oktober 2007 maupun sampai saat sekarang belum dilakukan pengesahan.
Fakta tersebut menunjukkan dianutnya suatu politik hukum perjanjian internasional, yakni arah kebijakan dari negara tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional, baik menyangkut hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional maupun karakter dari peraturan perundang-undangan yang mengesahkan perjanjian internasional. Dilihat dari sudut tata hukum Indonesia, perlu kiranya dikembangkan pilihan politik hukum antara beberapa kemungkinan pokok, sebagai berikut:25 pertama, Hukum Internasional dianggap sebagai tata hukum yang mutlak terpisah dari dan tiada hubungan hukum secara sistematis dengan hukum nasional; kedua, hukum internasional dan hukum nasional dianggap sama-sama merupakan
bagian dari hukum secara keseluruhan; ketiga, hukum internasional dianggap tidak hanya terinkoporasi dalam lingkungan hukum nasional, bahkan diakui sebagai hukum yang bertingkat lebih tinggi sehingga mendahului hukum nasional yang berlawanan dengannya. Politik hukum perjanjian internasional itu berkaitan dengan alur pemikiran, pertama, menempatkan perjanjian Internasional yang telah disahkan sebagai bagian dari hukum nasional; kedua, yang mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk mengimplementasikan perjanjian internasional yang telah disahkan.26 Alur pemikiran tersebut terkait dengan dua macam teori yang mencoba menerangkan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu teori monisme dan teori dualisme.
Pertama, aliran monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Beberapa hal yang penting diperhatikan adalah:27
-
1. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki, yang menimbulkan aliran monisme dengan primat hukum internasional dan monisme dengan primat hukum nasional.
-
2. Aliran monisme dengan primat hukum nasional, memandang berlakunya hukum internasional karena negara atau hukum negara itu menyetujui berlakunya hukum internasional, dan karena hukum internasional itu tidak lain merupakan kelanjutan hukum nasional.
-
3. Aliran monisme dengan primat hukum internasional, memandang hukum nasional mengatur sesuatu karena diperbolehkan oleh hukum internasional. Menurut aliran ini hukum nasional membuat peraturan pelaksanaan, dan pada hakekatnya tidak terjadi penciptaan hukum tersendiri oleh hukum nasional. Pembuatan hukum nasional dianggap sebagai penerusan dan penciptaan hukum internasional.
Kedua, aliran dualisme, berpendirian hukum internasional dan hukum nasional itu sama sekali terlepas satu sama lainnya karena masing-masing mempunyai sifat yang berlainan. Aliran ini merupakan penyangkalan dari adanya hukum internasional mengingat berlaku/tidaknya hukum internasional tergantung pada hukum nasional. Apabila hukum nasional tidak menginginkan keberlakuan internasional maka hukum itu tidak dapat berlaku 28 Menurut aliran dualisme ini, daya pengikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Dengan perkataan lain, dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hierarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada hakekatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya tetapi juga lepas satu dari yang lainnya. Dengan demikian, hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum
nasional. 29 Dari teori-teori tersebut jelaslah bahwa sebagai bagian dari masyarakat internasional tidak dapat melepaskan diri dari pemberlakuan hukum internasional dan juga tidak dapat mengesampingkan hukum positif atau hukum nasionalnya. 30 Dengan perkataan lain, aliran monisme (inkorporasi) memandang perjanjian internasional akan langsung menjadi bagian dari hukum nasional sebuah negara setelah seluruh syarat entry into force dipenuhi, tanpa diperlukannya pembentukan legislasi nasional. Sedangkan aliran dualisme (transformasi) memandang perjanjian internasional baru dapat berlaku, apabila telah terdapat legislasi nasional yang mentransformasikan perjanjian Internasional ke dalam hukum nasional.31 Jadi, bagi penganut monisme, Hukum Internasional merupakan bagian dari Hukum Nasional otomatis terinkoporasikan ke dalam Hukum Nasional sehingga tidak memerlukan proses transformasi lagi. Sedangkan penganut dualisme berpandangan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional terpisah sama sekali, maka untuk dapat diberlakukannya Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional harus melalui proses transformasi dulu, yakni harus dijelmakan dulu ke dalam Hukum Nasional baik secara formal maupun substantif.32Aliran monisme, dengan demikian, menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan sebagai bagian dari hukum nasional, karena itu pemberlakuannya tanpa perlu lagi proses legislasi nasional. Sedangkan aliran dualisme mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk mengimplementasikan perjanjian internasional yang telah disahkan ke dalam hukum nasional.
Berdasarkan atas pandangan teoritik tentang politik hukum perjanjian internasional, maka interpretasi yang dapat disematkan pada fakta tersebut (dalam PUMK 013/PUU-I/2003 dan PUMK 2-3/PUU-V/2007, perjanjian internasional yang dirujuk Mahkamah Konstitusi belum ditransformasikan ke dalam hukum nasional, bahkan perjanjian internasional dalam PUMK 013/PUU-I/2003 belum mendapat pengesahan) adalah Mahkamah Konstitusi menganut politik hukum monisme dengan primat hukum nasional.
-
3.2. Sikap Mahkamah Konstitusi Mengenai Keberadaan Undang-Undang Tentang Pengesahan Perjanjian Internasional.
Ada dua fakta hukum yang muncul dalam PUMK 33/PUU-IX/2011, yakni:
-
1. Bahwa secara formal ASEAN Charter oleh Pemerintah Negara Indonesia diberi bentuk Undang-Undang, yaitu UU 38/2008, yang menjadi alasan Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang mengadili permohonan pengujian UU 38/2008.
-
2. Bahwa secara substansi ASEAN Charter berisikan kebijakan makro dalam bidang perdagangan yang disepakati oleh negara anggota ASEAN, dan secara nasional berlakunya kebijakan makro tersebut tergantung kepada
masing-masing negara anggota ASEAN untuk melaksanakan Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter, artinya kalau sebuah negara belum melakukan ketentuan Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter termasuk Indonesia, maka charter tersebut belum secara efektif berlaku. Ini yang menjadi alasan bagi Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian UU 38/2008.
Berdasarkan atas pandangan teoritik tentang politik hukum perjanjian internasional, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka interpretasi yang dapat disematkan pada fakta tersebut adalah:
-
1. Terhadap fakta hukum yang pertama, menunjukkan Mahkamah Konstitusi
menganut politik hukum monisme, bahwa perjanjian internasional yang telah disahkan dengan Undang-Undang sebagai bagian dari hukum nasional dapat diuji konstitusionalitasnya.
-
2. Terhadap fakta hukum yang kedua, menunjukkan Mahkamah Konstitusi menganut politik hukum dualisme, bahwa suatu ketentuan perjanjian internasional tidak berlaku serta merta dengan disahkannya Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian internasional, melainkan diperlukan pembuatan legislasi dalam negeri guna melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional bersangkutan.
Berdasarkan keseluruhan uraian dalam hasil dan pembahasan, dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan, yakni:
Mahkamah Konstitusi menganut politik hukum monisme dengan primat hukum nasional saat menjadikan perjanjian internasional sebagai rujukan guna memperkaya cakrawala penalaran dalam menafsirkan Undang-Undang dasar dan dalam hal menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan dengan Undang-Undang sebagai bagian dari hukum nasional dapat diuji konstitusionalitasnya.
Mahkamah Konstitusi menganut politik hukum dualisme saat menguji konstitusionalitas Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian internasional-dalam hal menyangkut pokok perkaranya.
Ucapan terima Kasih (Acknowledgments)
Terima kasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan untuk terlibat dan dibiayai dalam program Hibah Penelitian Unggulan Udayana.
Daftar Pustaka
Buku
Agusman, D. D. (2010). Hukum perjanjian internasional: kajian teori dan praktik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Brownlie, I., Beriansyah, & Rudiansyah. (1993). Dokumen-dokumen pokok mengenai hak asasi manusia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Cahyadi, Erasmus dan Riyadi, Edisius, eds. (2007). Mahkamah Pidana Internasional: Statuta Roma, Hukum Acara, dan Unsur-Unsur Kejahatan. Jakarta: Elsam.
Hartono, S. (1994). Penelitian hukum di Indonesia pada akhir abad ke-20. Bandung: Alumni.
Hidayat, Arief. (2016). “Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia” dalam Jimly Asshiddiqie (et.al) Putusan Monumental: Menjawab Problematika Kenegaraan. Malang-Yogyakarta: Setara Press dan Forum Kajian Yurisprudensi.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (tanpa tahun) Lembar Fakta HAM, Edisi III, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Mahkamah Konstitusi (2008). Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-2008. Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Pratomo, E. (2011). Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi. Bandung: PT Alumni.
Sefriani. (2016). Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Artikel Jurnal
Ariadno, M. K. (2007). Kedudukan Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional. Indonesian J. Int'l L., 5(3), 505-524.
Dewanto, W. A. (2009). Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum di Indonesia. Mimbar Hukum, 21(2), 325-340.
Firdaus, f. (2015). Kedudukan Hukum Internasional Dalam Sistem Perundang-Undangan Nasional Indonesia. Fiat Justisia, 8(1). 36-52.
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v8no1.285
Hakim, F. Y. (2006). Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Indonesian Journal of International Law, 4(1). 133-168.
Hilda. (2013). Kedudukan Dan Daya Mengikat Konvensi Denhaag 1954. Jurnal Cita Hukum. Vol 1 Nomor 1.
Hilda, H. (2013). Kedudukan dan Daya Mengikat Konvensi Denhaag 1954 Tentang Perlindungan Obyek Budaya Dalam Sengketa Bersenjata Terhadap Pihak-Pihak Yang Bersengketa (Amerika Serikat-Irak) Menurut Konvensi Wina 1969 Tentang Perjanjian Internasional. Jurnal Cita Hukum, 1(1). 109-122.
https://doi.org/10.15408/jch.v1i1.2984
Rehatta, Veriena J.B. (2016). Indonesia Dalam Penerapan Hukum Berdasarkan Aliran Monisme, Dualisme dan Campuran, Jurnal Sasi, 22(1).54-58.
Sik, K. S. (2008). Beberapa Catatan atas Permasalahan Treaty di Indonesia. Indonesian J. Int'l L., 5(3), 431-442.
Sukarno, K. (2016). Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Studi terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi. Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, 3(3). 587-608.
Tenripadang, A. (2016). Hubungan Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional. DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, 14(1), 67-76.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,diucapkan Jumat,23 Juli 2004.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,diucapkan Selasa, 30 Oktober 2007.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Assosiation of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diucapkan Selasa, 26 Februari 2013.
Dokumen lainnya
Badan Legislasi DPR RI (2012) Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perjanjian Internasional (Usul Inisiatif DPR RI, masih dalam proses Pembahasan Tingkat I). Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
342
Discussion and feedback