E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September 2017                  Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)                                          http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

KEDUDUKAN DAN HAK BANK TERHADAP HAK PREFEREN UPAH BURUH DALAM KEPAILITAN

Oleh:

I Wayan Sukatra1

Abstract

The Bank is the creditor holder of the right of security of material in the form of mortgage right, categorized as separatist creditor. Insurers’ rights to land and other property related to the land, namely the right of Dependent, are the security rights imposed on the Land Rights referred to in UU no. 5 of 1960 on the UUPA. This separatist position can execute its right as if there was no bankruptcy”. The right to sell on its own powers under Article 6 of the UUHT which is the embodiment of the right of the creditor’s rights holder to the other creditor and does not require any further approval to the debtor to execute the guarantee goods. The Bank as a Separatist Creditor has a separate and irrevocable position and rights on the collateral pledged against it, whilst the preemptive right of wage workers with a pre-emptive right, when the enterprise is declared bankrupt or liquidated, wages and other rights of workers or workers constitute Debt which must be preceded by the payment, in Bankruptcy in Indonesia the position and the prefensity level is under separatist creditor. The notion of precedence here is not elaborated further and in detail that the wage bill must take precedence over any creditor, thereby leading to a legal confusion of both separatist creditors and other preferred creditors.

Keywords: Banks, wages, bankruptcy

Abstrak

Bank merupakan kreditor pemegang hak jaminan atas kebendaan berupa hak tanggungan, masuk sebagai kreditor separatis. Tanah sebagai jaminan dan benda-benda yang berhubungan dengan tanah dapat dikatakan sebagai hak Tanggungan yaitu hak jaminan yang dijadikan beban atas kebendaan sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria ( UU No.5 Tahun 1960.) Kedudukan separatis ini bisa mengambil haknya seperti tidak ada putusan pailit. Adapun hak tersebut adalah hak untuk menjual sebagaimana benda tersebut hak miliknya sesuai ketentuan dalam Pasal 6 UUHT .merupakan perwujudan dari hak kreditor separatis terhadap kreditor lainnya dan tidak memerlukan persetujuan lagi kepada debitor untuk melakukan eksekusi atas barang jaminannya. Bank sebagai Kreditor Separatis mempunyai kedudukan dan hak yang terpisah dan tidak dapat dikurangi atas barang jaminan yang diagunkan terhadapnya, sementara hak prefensi upah buruh yang memilki hak didahulukan, dan bila perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi, pembayaran tagihan/utang dan tagihan lainnya dari pekerja harus mendapatkan prioritas karena dalam Kepailitan di Indonesia kedudukan dan tingkat prefensinya adalah di bawah kreditor separatis.

Kata kunci: Bank, upah buruh, pailit

Magister Hukum Udayana September 2017

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

  • I.    PENDAHULUAN

Pada jaman globalisasi dan dengan telah dilakukan pengesahan beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan dan jasa, maka sangat dibutuhkan peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor Perbankan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 perlu dilakukan penyempurnaan untuk dapatnya mengikuti perkembangan hukum internasional di bidang perdagangan barang dan/atau jasa di era globalisasi.2

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Pasal 1 ayat (2) definisi bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan Pasal 21 ayat (11) UU No. 10 Tahun 1998 menyebutkan yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yaitu mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Bank adalah kreditor pemegang hak jaminan atas kebendaan disebut kreditor separatis. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, uang selanjutnya disebut hak Tanggungan, adalah hak Jaminan yang dibebankan pada Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, berikut atau tidak benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor separatis dalam melaksanakan hak-hak separatis nya daripada kreditor lainnya.

Ada beberapa aturan terkait dengan jaminan pemberian kredit, antara lain adalah Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi:

“Segala barang-barang / kebendaan seorang debitor baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”.

“Selanjutnya dalam Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi:

“Barang-barang/kebendaan tersebut dalam Pasal 1131 menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur dan hasil penjualan barang-barang/

Magister Hukum Udayana September 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


kebendaan tersebut dibagi diantara kreditur seimbang menurut besar kecilnya/ perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan seperti antara lain piutang dengan hak privilege, gadai dan hipotik”.

Berdasarkan teori, kreditor dibagi menjadi 2 jenis yaitu kreditor dengan jaminan (secured creditor) yang terdiri dari pemegang hak gadai dan atau hak fiducia (jaminan benda bergerak), serta pemegang hak tanggungan dan atau hipotek (jaminan benda tidak bergerak) dan satu lagi kreditor tanpa jaminan (unsecured creditor) yang dapat memiliki hak istimewa (baik umum maupun khusus) ataupun tidak. Walaupun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang berpiutang pada umumnya, dengan , posisi/kedudukan pemegang hak istimewa pada dasarnya masih berada di bawah pemegang hak gadai/hipotek, dengan beberapa perkecualian untuk urutan tersebut, seperti misalnya biaya-biaya perkara atau tagihan pajak.

Tagihan pembayaran upah buruh sebagai hak istimewa umum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 95 ayat (4 ) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur: Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau di likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak Negara dan para kreditor separatis yang merujuk pada Buku Dua Bab XIX KUH Perdata dan Pasal 21 UU No. 6 Tahun 1983 yang diubah oleh UU No. 9 Tahun 1974. Di sini hak Negara ditempatkan sebagai pemegang pertama, diikuti oleh kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fiducia, hipotik). Pengertian didahulukan di sini tidak dijelaskan lebih lanjut dan terperinci bahwa atas tagihan upah buruh ini harus didahulukan dari kreditor mana saja, sehingga menyebabkan terjadinya suatu kerancuan hukum baik kreditor separatis maupun kreditor preferen lainnya.

Berdasarkanlatarbelakangdiatas, maka dapat dirumuskan permasalahan adalah pertama bagaimanakah Kedudukan Hukum dan Hak Bank Sebagai Kreditor Separatis Terhadap Jaminan Kebendaan Atas Pembagian Hasil Eksekusi Barang Jaminan Debitor Pailit?, kedua bagaimanakah pengaturan Hak Preferen Upah Buruh Terhadap Kreditor Separatis Dalam Kepailitan Di Indonesia?

Untuk originalitas dari jurnal ini, maka akan dicantumkan penelitian-penelitian sebelumnya, untuk membuktikanbahwapenelitiantersebut mirip akan tetapi permasalahannya dan bidang kajiannya berbeda antara lain Pertama, Sinkronisasi Pengaturan

Magister Hukum Udayana September 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Tentang Kedudukan Hukum Antara Kreditor Separatis Dan Buruh Terkait Dengan Pembayaran Utang Dalam Putusan Kepailitan oleh Mohammad Fikri Ichsan dari Universitas Brawijaya. Kedua, Perlindungan Pekerja/Buruh Dalam Hal Pemberian Upah Perusahaan Yang Terkena Pailit oleh Grace Vina dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah Tujuan umum untuk mengembangkan ilmu hukum pada umumnya, khususnya Kedudukan Hukum dan Hak Bank Sebagai Kreditor Separatis Terhadap Jaminan Kebendaan Atas Pembagian Hasil Eksekusi Barang Jaminan Debitor Pailit dan untuk dijadikan referensi bagaimanakah pengaturan Hak Preferen Upah Buruh Terhadap Kreditor Separatis Dalam Kepailitan di Indonesia.

Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengkaji, memahami dan menemukan hal-hal yang berkaitan dengan aspek normatif. Kedudukan Hukum dan Hak Bank sebagai Kreditor Sparatis Terhadap Jaminan Kebendaan Atas Pembagian Hasil Eksekusi Barang Jaminan Debitor Pailit serta untuk mengkaji dan memberi solusi hukumnya tentang Upah Buruh Terhadap Kreditor Separatis Dalam Kepailitan Di Indonesia.

  • II.    METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian mengenai asas-asas, norma,

kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)”. Bahan hukum yang didapat akan dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif. Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan pada keberagaman bahan hukum yang dianalisis, dan sifat dasar bahan hukum yang dianalisis adalah komprehensif.

  • III.    HASIL              DAN

PEMBAHASAN

  • 3.1.    Kedudukan Hukum dan Hak Bank sebagai Kreditor Sparatis terhadap Jaminan Kebendaan atas Pembagian Hasil Eksekusi Barang Jaminan Debitor Pailit

Kreditor Separatis mempunyai kedudukan dan hak yang didahulukan, terpisah dan tidak dapat dikurangi atas barang jaminan yang diagunkan terhadapnya. Beberapa aturan terkait dengan jaminan pemberian kredit, antara lain adalah Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi:

“Segala barang-barang / kebendaan seorang debitor baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu”.

Selanjutnya dalam Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi:

Magister Hukum Udayana September 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


“Barang-barang/kebendaan tersebut dalam Pasal 1131 menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur dan hasil penjualan barang-barang/ kebendaan tersebut dibagi diantara kreditur seimbang menurut besar kecilnya/ perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan seperti antara lain piutang dengan hak privilege, gadai dan hipotik.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan yaitu kreditor yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing yang disebut dengan kreditor konkuren dan kreditor yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberipinjamanyanglainberdasarkan peraturan perundang-undangan yang disebut dengan kreditor Preferen. Dalam perkembangannya, terdapat satu jenis kreditor yang kedudukan dan haknya dipisahkan dari kreditor lainnya yang dikenal dengan kreditor Separatis yaitu kreditor yang memiliki jaminan hutang kebendaan yang berupa pemegang Hak Tanggungan, hipotik, gadai, fiducia.3 Jaminan kebendaan yang banyak diminta oleh bank adalah tanah dan bangunan karena mempunyai

prospek yang sangat menguntungkan dan diangap paling efektif dan aman dalam pembebanan hak tangungan, kepastian hukum dan eksekusinya. Dalam tahap analisa terhadap jaminan hutang yang diajukan pihak debitor perlu diadakan penilaian oleh bank sebelum diterima sebagai obyek jaminan atas kredit yang diberikan. Penilaian dilihat dari segi hukum dan ekonomi. Dari segi hukum apakah jaminan/agunan itu dinilai telah aman dan tidak akan menimbulkan sengketa di kemudian hari, sedangkan dari segi ekonomi perlu dilakukan analisa secara mendalam apakah jaminan/agunan tersebut mampu membayar lunas kredit yang telah dicairkan oleh bank kepada debitor tersebut. Jaminan pemberian kredit bank tersebut pada hakikatnya berfungsi untuk menjamin kepastian akan pelunasan hutang debitor bila debitor cidera janji atau dinyatakan pailit.4 Apabila di kemudian hari debitor wanprestasi dan tidak melunasi hutangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian kredit, maka akan dilakukan penjualan atas obyek jaminan kredit tersebut dimana hasil penjualan jaminan kredit diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan utang debitor yang telah dinyatakan macet. Penjualan benda-benda tersebut dapat terjadi melalui penjualan di muka umum karena adanya janji terlebih dahulu (parate executie) terhadap benda-benda

Magister Hukum Udayana September 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


tertentu yang dipakai sebagai jaminan. Juga dapat terjadi karena penjualan setelah adanya penyitaan (beslag) atau karena adanya kepailitan.5 Pada setiap eksekusi benda jaminan (gadai, hipotik, fiducia dan hak tangungan) undang-undang memberikan hak kepada kreditor untuk menjual obyek hak tanggungan melalui lelang yang telah diberikan oleh undang-undang sendiri kepada kreditor pemegang hak tangungan.6 Kreditor pemegang hak separatis yang mempunyai prefensi terhadap hak tanggungan yang dipegangnya. Parate Executie dapat dikatakan merupakan sarana perlindungan hukum bagi kreditor separatis yang dapat mempercepat pelunasan piutang kreditor separatis atas cidera janji dari debitor. Selain menggunakan alternative penyelesaian berupa parate executie, di dalam bidang perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun debitor tidak mau untuk membayar hutangnya kepada kreditor (disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa), maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan persoalan tersebut yaitu dikenal dengan lembaga kepailitan dan penundaan pembayaran.7 Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (UU KPKPU) Kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesan nya dilakukan oleh curator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Kepailitan merupakan proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Kepailitan merupakan sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan kreditor nya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor oleh curator kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Melalui sita umum tersebut, dihindari dan diakhiri sita eksekusi oleh para kreditor secara sendiri-sendiri. Dengan demikian para kreditor harus bertindak secara bersama-sama (Concursus creditorium) sesuai dengan azas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1131 dan pasal 1132 KUH Perdata.8 Undang-Undang Kepailitan dibentuk untuk memberikan perlindungan hukumbagikreditordalammemperoleh akses terhadap harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit. Kreditor harus memperoleh kepastian bahwa hasil penjualan agunan dan asset debitor

Magister Hukum Udayana September 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


dapat digunakan sebagai sumber pelunasan piutang melalui putusan pengadilan niaga yang ada.9

Bank merupakan kreditor pemegang hak jaminan atas kebendaan berupa hak tanggungan dikategorikan sebagai kreditor separatis. Pasal 1 UUHP yang menyatakan bahwa:

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, uang selanjutnya disebut hak Tanggungan, adalah hak Jaminan yang dibebankan pada Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, berikut atau tidak benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor separatis dalam melaksanakan hak-hak separatisnya daripada kreditor lainya”.

Dalam        undang-undang

Ketenagakerjaan Penerapan hak mendahulu atas utang upah buruh harus dibatasi kewenangannya secara jelas yaitu dengan mengajukan tagihannya hanya terbatas pada barang yang bukan agunan atau jaminan kebendaan bank jika bank melakukan eksekusi sendiri atas barang jaminan yang dijamin dengan hak Tanggungan.

Berdasarkan salah satu Pasal dalam UU ketenagakerjaan yaitu Pasal 95 ayat (4) menyatakan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau di likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah buruh dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh berupa utang yang didahulukan pembayarannya. Namun dalam pelaksanaan putusan pailit, kata “didahulukan” ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak Negara dan para kreditor separatis yang merujuk pada Buku Dua Bab XIX KUH Perdata dan Pasal 21 UU No. 6 Tahun 1983 yang diubah oleh UU No. 9 Tahun 1974. Di sini hak Negara ditempatkan sebagai pemegang pertama, diikuti oleh kreditur separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fiducia, hipotik). Ketentuan Pasal tersebut dapat dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

Kreditor Separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan atas kebendaan, yang dapat bertindak sendiri, merupakan golongan kreditor yang tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor. Kreditor golongan ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Namun hak ini ditangguhkan selama 90 hari (masa stay) jika debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Dalam Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) menyebutkan Kreditor separatis yaitu

E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September 2017                  Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

kreditor pemegang Gadai, Jaminan Fiducia, hak Tanggungan, Hipotik atau Hak agunan atas kebendaan lainnya. Bank selaku kreditor separatis yang mandiri berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) maupun selaku kreditor pemohon pailit berhak melakukan eksekusi atas barang jaminan debitor pailit dalam rangka pemenuhan piutangnya.

Kedudukan separatis ini dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor Pemegang Gadai, Jaminan Fiducia, Hak Tangungan, Hitpotik atau Hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seoleh-oleh tidak terjadi kepailitan”.

Apabila dilihat dari makna kreditor separatis ini, maka Undang-Undang memberikan kedudukan yang terpisah dari kreditor lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan atau kreditor separatis dapat melakukan eksekusi secara mandiri diluar kepailitan. Oleh karena sudah adanya kedudukan yang jelas, maka akan menimbulkan hak-hak bagi kreditor separatis yaitu hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang hak jaminan untuk

tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitor telah dinyatakan pailit. Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 6 UUHT yang merupakan perwujudan dari hak separatis kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya dan tidak memerlukan persetujuan lagi kepada debitor untuk melakukan eksekusi atas barang jaminannya. Undang-Undang memberikan hak berupa waktu 2 bulan sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (12) UUK-PKPUuntukmelakukaneksekusi secara mandiri dan terpisah dari harta pailit sebelum seluruh pemberesan nya diserahkan pada kurator.

  • 3.2.    PengaturanHakPreferenUpah Buruh terhadap Kreditor Separatis dalam Kepailitan di Indonesia

Buruh adalah manusia biasa, yang memiliki hasrat akan terpenuhinya kebutuhan pokok dalam kehidupannya: sandang, pangan dan papan, hasrat tersebut dapat terwujud apabila buruh mendapatkan hak-haknya atas kesejahteraan yang ada padanya yaitu secara umum berupa pembayaran upah ketika bekerja dan ketika berhenti bekerja. Pemberi kerja/ perusahaan memiliki tanggung jawab atas pemenuhan hak-hak tersebut, setelah sebelumnya perusahaan telah mendapatkan hak-haknya baru buruh yaitu kerja yang menghasilkan barang dan/atau jasa-jasa. Tagihan upah buruh memiliki hak prefensi

Magister Hukum Udayana September 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


didahulukan terhadap kreditor lain dalam pembagian piutangnya apabila debitor dalam keadaan pailit. Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan:

“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja atau buruh merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya”.

Pengertian didahulukan di sini tidak dijelaskan lebih lanjut dan terperinci bahwa atas tagihan upah buruh ini harus didahulukan dari kreditor mana saja, sehingga menyebabkan terjadinya suatu kerancuan hukum baik kreditor separatis maupun kreditor preferen lainnya.

Dalam Pasal 1149 butir ke 4 KUH Perdata yang menggolongkan utang upah buruh sebagai kreditor preferen hak previlege golongan umum. Munir berpendapat bahwa KUH Perdata mengategorikan tagihan tenaga kerja sebagai general statutory priority dalam Pasal 1149 butir ke 4 KUH Perdata sehingga kedudukannya di bawah kreditor separatis. Dari ke dua ketentuan ini tampak tidak adanya suatu batasan dan posisi yang cukup jelas bagi hak prefensi tagihan upah buruh dan UU TK seperti halnya pada tagihan utang pajak. Hanya KUH Perdata yang menempatkan

tagihan upah buruh sebagai general statutory priority sehingga kedudukan dan tingkat prefensi utang upah buruh adalah tetap di bawah kreditor separatis.

  • IV.    KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan adalah Bank sebagai Kreditor Separatis mempunyai kedudukan dan hak yang didahulukan, terpisah dan tidak dapat dikurangi atas barang jaminan yang diagunkan terhadapnya. Pengaturan Hak Preferen Upah Buruh Terhadap Kreditor Separatis dalam Kepailitan di Indonesia kedudukan dan tingkat prefensinya adalah di bawah kreditor separatis. Oleh karena itu kepada pemerintah dan instaasi terkait dengan berlakukan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dapat mengakomodir masalah pengembalian (pembayaran) piutang kreditor, sehingga dapat terlaksana dengan adil, cepat, terbuka dan efektif. Penerapan hak mendahulu atas utang upah buruh harus dibatasi kewenangannya secara jelas dalam undang-undang Ketenagakerjaan yaitu dengan mengajukan tagihannya hanya terbatas pada barang yang bukan agunan atau jaminan kebendaan bank jika bank melakukan eksekusi sendiri atas barang jaminan yang dijamin dengan hak Tanggungan.

Magister Hukum Udayana September 2017

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 6, No. 3 : 300 - 309

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Asikin, Zainal, 2002, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indoensia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta.

Gazali, Djoni.S., 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta.

Hartanto, J. Andy, 2015, Hukum Jaminan dan Kepailitan, LaksBang Justitia, Surabaya.

Poesoko, Herowati, 2007, Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan,        Laksbang

Pressindo, Jogyakarta.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 2007, Hukum Jaminan di Indonesia, Liberty Offset, Yogyakarta, 2007.

Sutedi, Ardian, 2010, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39.

309