E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September2016

Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM1

Oleh:

I Made Adhy Mustika2

Abstract

The enactment of Law No. 44 of 2008 on Pornography has caused widespread controversy among the people. Some regions refused enact the legislation as it is considered not reflect the spirit of culturally diverse,or The Bhineka Tunggal Ika principle. Therefore, it should be a review of the legislation of the philosophical, juridical and sociological comprehensively in accordance with national character, openness, honesty, and tolerance based on the spirit of national unity.

Keywords: Law No. 44 In 2008, the Law on Pornography, controversy over the application of Law No. 44 of 2008.

Abstrak

Diberlakukannya UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah menimbulkan kontroversi luas di kalangan masyarakat. Beberapa daerah menolak memberlakukan undang-undang tersebut karena dianggap tidak mencerminkan semangat beragam budaya, atau Prinsip Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu, harus review undang-undang yang filosofis, yuridis dan sosiologis secara komprehensif sesuai dengan karakter nasional, keterbukaan, kejujuran, dan toleransi berdasarkan semangat persatuan nasional.

Kata kunci: Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008, UU Pornografi, kontroversi atas penerapan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008.

menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008, dan disahkan oleh Presiden serta diundangkan pada tanggal 26 Nopember 2008.

Sejak dari munculnya ide, kemudian pengajuan RUU, pembahasan RUU di DPR, sampai pada akhirnya disetujui oleh DPR

Artikel ini merupakan karya ilmiah mahasiswa pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana serta mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Gusti Ngurah Warocana, SH.,MH dan Dr. Nyoman Suyatna, SH.,MH selaku Pembimbing Tesis

Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Bali, email: [email protected]

E-ISSN 2502-3101

Jurna         P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana September 2016                 Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

untuk menjadi UU, ia menuai banyak kontroversi. Berbagai dukungan maupun penolakan terjadi dalam skala yang tergolong masif. Saat dilakukan pemungutan suara/voting pada rapat paripurna DPR untuk mengesahkan RUU menjadi UU, dua fraksi di DPR (Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Damai Sejahtera) melakukan walk out. Bahkan setelah UU tersebut resmi diundangkan, Gubernur NTT, Gubernur dan Ketua DPRD Bali secara serentak menolak berlakunya UU ini. Ketua DPRD Papua Barat bahkan mengancam, bahwa Papua Barat akan memisahkan diri dari NKRI jika UU ini tidak dibatalkan.

Berbagai komponen masyarakat yang merasa keberatan dengan diundangkan nya UU No. 44 tahun 2008 tersebut kemudian sepakat untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka adalah dari kelompok Minahasa (registrasi perkara No. 10/PUU-VII/2009), Tim Advokasi Bhineka Tunggal Ika sebagai kuasa hukum dari beberapa LSM dan para pekerja seni (registrasi perkara No. 17/PUU-VII/2009) dan Tim Advokasi Perempuan untuk Keadilan (registrasi perkara No. 23/ PUU-VII/2009). Namun, tanggal 25 Maret 2010 pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak gugatan mereka, walaupun putusannya tidak bulat. Seorang hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida Indrawati, punya pendapat berbeda (dissenting opinion). Guru Besar Universitas Indonesia ini menilai meski UU itu telah disahkan

dan diundangkan, tapi efektivitas dan implementasinya susah dilaksanakan. Menurutnya, masih ada kerancuan dalam pasal-pasalnya. Karena itu, ia berpendapat, permohonan pemohon judicial review seharusnya dikabulkan.

Dalam sejarah pembentukan undang-undang di Indonesia, baru sekali ini terjadi gejolak kontroversi yang terbuka dan berskala begitu besar, baik pada tahap timbulnya ide, pengajuan RUU, pembahasan RUU, persetujuan DPR, pengesahan Presiden, sampai Pengundangan dan pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Persoalan inilah yang akan ditelaah lebih lanjut, dilihat dari perspektif Politik Hukum.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah : Apakah Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi merupakan suatu kebutuhan apabila dilihat dari perspektif Politik Hukum?

Orisinalitas Penelitian Sebelumnya yang dilakukan pertama oleh kandi aryani berjudul analisis penerimaan remaja terhadap wacana pornografi dalam situs-situs seks di media online pada jurnal masyarakat kebudayaan dan Politik, vol 7 no 2 tahun 2008 dan kedua oleh Euis Supriati & Sandra Fikawati berjudul Efek Paparan Pornografi Pada Remaja SMP Negeri Kota Pontianak Tahun 2008 pada Jurnal Makara, Sosial Humaniora, vol 13 no 1 Juli tahun

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


2009. Perbedaan penelitian-penelitian sebelumnya dari jurnal tersebut diatas adalah penelitian ini dikaji dari ilmu hukum normatif dan pola penelitian terdahulu bisa menjadi masukan dari penelitian ini terhadap hukum di indonesia yang ditinjau dari perspektif politik hukum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi apabila dilihat dari perspektif Politik Hukum serta secara khusus untuk mengetahui apakah diberlakukannya Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi merupakan suatu kebutuhan ataukah hanya wujud suatu kepentingan kelompok atau golongan tertentu, apabila dilihat dari perspektif Politik Hukum.

  • II.    METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu riset kepustakaan, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan/statutory approach serta pendekatan konseptual (conceptual approach)3. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer berupa semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik bahasan, sedangkan bahan hukum sekunder berupa textbooks, jurnal-jurnal hukum, karya

tulis hukum, pandangan ahli hukum, kamus dan ensiklopedi hukum serta situs-situs internet yang relevan dan kredibel4.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Sekilas Tentang Politik Hukum

Politik Hukum, dalam Black’s Law Dictionary dirumuskan sebagai “that branch of Jurisprudence which treats of the science of politics, or the organization and administration of government5. Menurut Satjipto Rahardjo Politik Hukum, adalah “aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat”. Sementara Padmo Wahyono mendefinisikan Politik Hukum adalah “kebijakan penyelenggaraan negara yang bersifat mendasar untuk menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk”. Sedangkan Utrecht menyatakan bahwa politik hukum “memuat suatu ius constitutum dan berusaha menciptakan ius constituendum, untuk kemudian berfungsi sebagai ius constitutum6”.

4


5


6


Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Secara alamiah, tantangan yang dihadapi suatu ius constitutum atau aturan hukum yang (sedang) berlaku adalah perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat, sehingga pada suatu ketika ia (ius constitutum) dirasa kurang sesuai lagi dengan dinamika yang ada, dan pada tahap tersebut terdapat kebutuhan untuk mengamandemen atau mengganti aturan hukum tersebut dengan aturan yang baru (ius   constituendum).

Pemikiran terhadap materi suatu ius constituendum umumnya mengandung segala sesuatu yang bersifat ideal, yang (mengikuti ajaran Lawrence Friedman) berisikan materi-materi sistemik yang ideal secara struktural, ideal secara substansial, dan sesuai dengan budaya lokal7. Sesuatu yang sumum-bonum8. Aturan hukum yang baik menurut apa yang dikenal sebagai geldings theorie adalah : ia harus baik secara filosofis, baik secara yuridis, serta baik pula secara sosiologis. Baik secara filosofis (filosofische gelding) artinya bahwa peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat.

Baik secara yuridis (yuridische gelding) artinya suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan berdasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi. Baik secara sosiologis (sociologische gelding) berarti bahwa peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat, termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat9.

  • 3.2.    Kontroversi Undang-Undang

No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi

UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, oleh para pencetus nya (dan pendukungnya) dianggap suatu jawaban atas “kebutuhan” untuk menanggulangi dampak globalisasi dan kemajuan pesat dari teknologi informasi (IT, information technology) yang menembus batas negara tanpa dapat dikendalikan, yaitu maraknya penyebaran pornografi (dan pornoaksi), sehingga perlu ‘dipagari’ dengan suatu aturan hukum yang jelas dan tegas, agar supaya dapat dicegah “kemerosotan moral yang menodai nilai-nilai kesusilaan dan agama”.

Disisi lain, para penentang UU tersebut beralasan bahwa menanggulangi pornografi tidak harus dengan menciptakan aturan hukum baru, oleh karena sudah ada perangkat peraturan (mengenai penanggulangan pornografi) yang cukup memadai, serta

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


yang terpenting adalah bagaimana memaknai pengertian pornografi dengan perspektif yang benar. UU Pornografi adalah sebuah set back, oleh karena ia telah menodai kebhinekaan, sangat ambigu, dan terlihat sebagai suatu pemaksaan kehendak atau upaya untuk menyeragamkan persepsi tentang makna pornografi secara sepihak oleh suatu kelompok atau golongan tertentu.

Kata Pornografi berasal dari bahasa Yunani : porne (berarti pelacur) dan graphe (berarti tulisan atau gambar)10. HB Jassin menyatakan bahwa : “pornografi adalah setiap tulisan atau gambar yang ditulis atau digambardenganmaksuduntuksengaja merangsang seksual. Pornografi menimbulkan fantasi pembaca menjadi bersayap dan mengelayap ke daerah-daerah kelamin yang menyebabkan syahwat berkobar-kobar”11. Sementara Andi Hamzah menyatakan bahwa pornografi adalah : a) suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacuran atau prostitusi; dan b) suatu ungkapan dalam bentuk tulisan tentang kehidupan erotik dengan hanya untuk menimbulkan rangsangan seks kepada pembacanya atau yang melihatnya12”.

Definisi pornografi dalam rumusan pasal 1 angka 1 UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi selengkapnya adalah “…gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Beberapa opini dari masyarakat melihat rumusan alinea terakhir : “yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” sangatlah ambigu, karena bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, dan latar belakang, dan berpotensi menimbulkan multi-tafsir dalam masyarakat. Selanjutnya, monopoli tafsir dan pemaksaan nilai-nilai dari suatu kelompok atau golongan terhadap kelompok atau golongan lain akan dapat muncul dengan mudah, karena UU Pornografi memungkinkan masyarakat berperan serta melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Apabila hal ini terjadi, tujuan dibentuknya UU Pornografi dapat diselewengkan demi kepentingan sebagian kelompok. Alih-alih melindungi anak, perempuan dan masyarakat dari pengaruh buruk pornografi, justru menimbulkan konflik sosial berkepanjangan akibat munculnya interpretasi yang berbeda.

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


Pada saat Tim Advokasi Bhineka Tunggal Ika mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, mereka mengajukan dua orang ahli hukum yang memaparkan berbagai alasan penolakan mereka terhadap UU Pornografi. Kedua orang ahli tersebut adalah Prof. Soetandyo Wignyosoebroto dan Prof. J.E. Sahetapy.

Prof. Soetandyo Wignyo soebroto, dalam paparannya, antara lain menyatakan :

“Majelis Hakim yang saya muliakan, bagi saya undang-undang yang ideal adalah undang-undang yang berkarakter responsif dan fasilitatif untuk mengakomodasi kebutuhan rakyat yang tengah mendambakan kehidupan damai dan berkesejahteraan tanpa adanya perlakuan-perlakuan yang diskriminatif, juga dalam hal mendefinisikan apa yang harus didefinisikan sebagai pornografi. Undang-undang akan jauh dari sifatnya yang ideal demikian itu apabila ternyata secara sepihak telah dibuat dan dimanfaatkan untuk merealisasi secara koersif nilai-nilai atau norma yang sebenarnya belum terwujud sebagai norma sosial yang diterima secara umum. Undang-undang seperti itu alih-alih berperan mewujudkan kehidupan sejahtera dan damai serta terbebas dari segala bentuk diskriminasi, justru malah akan mengundang datangnya konflik dalam masyarakat dan salah-salah akan memperdaya gunakan undang-undang seperti itu oleh suatu

golongan masyarakat yang satu untuk mengurangi kebebasan dan hak kultural golongan masyarakat yang lain. Dalam implementasinya undang-undang seperti itu akan kehilangan signifikansi sosialnya secara penuh, undang-undang yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat akan mengundang aparat untuk mengoptimalkan penggunaan sanksi-sanksi pidana yang akan menjadikan undang-undang seperti itu tidak lagi berfungsisebagaipengayom melainkan terpersepsi sebagai pengontrol bahkan juga yang berkesan menindas kebebasan dan sekaligus mengingkari hak kebebasan warganegara - the civil right, yang dijamin konstitusi suatu negara yang demokratik”13.

Sementara Prof. J.E. Sahetapy dalam paparannya antara lain menyatakan :

“….Para legislator yang keminter (sok pintar, pen,) itu selalu berdalih bahwa undang-undang itu sudah dikaji secara filosofis, sosiologis dan secara yuridis….. Kalau ditanya filosofi yang mana? Mereka pasti kelabakan. Apakah mereka telah kuasai eksistensi filosofis dari Kirker Hart? Sudah berapa persen mengerti? pernah baca dan menerapkannya, padahal filosofi itu luas sekali. Barangkali 13 “Undang-Undang Yang Ideal Adalah Undang-Undang Yang Berkarakter Responsif Dan Fasilitatif Untuk Mengakomodasi Kebutuhan Rakyat”, pendapat dari Prof. Soetandyo Wignyosoebroto terkait dengan Permohonan Pengujian UU Pornografi yang dimohonkan oleh Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika, dikutip dari https://anggara.files.wordpress. com/2009/05/soetandyo_pornografi.pdf, diakses pada tanggal 6 Juni 2016.

Magister Hukum Udayana September2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


akan dijawab filsafat Pancasila. Kalau begitu pasti rencana undang-undang pornografi dan pornoaksi itu pasti tidak akan berhasil kecuali kalau Pancasila sudah dipencaksilatkan. Kalau secara sosiologis apa sudah baca uraian Nonet dan Selznick yang tadi sudah disinggung oleh Profesor Soetandyo. Justru kalau diimplementasikan pasti rencana undang-undang itu akan gagal sebab undang-undang itu harus mendapat dukungan penuh rakyat dari Sabang sampai Jayapura dimana unsur hak asasi manusia itu sangat dominan agar undang-undang itu dapat dilabel sebagai responsive law dan bukan autonomous law. Ternyata sosialisasi dilaksanakan di daerah-daerah yang tidak resisten pada Rencana Undang-undang Pornografi. Secara yuridis kajiannya tidak dilaksanakan secara etis. Tidak ada draf naskah akademis yang mumpuni dan obyektif berdasarkan grounded research dan mereka menabrak Pasal 121 Tatib DPR-RI Bab ke-17 dan juga memperkosa Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 tahun 2004”14.

Kedua pendapat ahli hukum tersebut dengan sangat jelas telah memperlihatkan bahwa UU No. 44 tahun 2008, dari perspektif politik hukum tidak dapat dikatakan sebagai suatu wujud ius constituendum atau

hukum yang dicita-citakan. UU No. 44 tahun 2008, diakui atau tidak, adalah wujud atau hasil dari suatu kepentingan, bukan suatu kebutuhan.

  • IV.    KESIMPULAN

Dari Pembahasan diatas maka dapat di tarik kesimpulan yaitu Kontroversi yang melingkupi UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, sejak saat masih berwujud RUU sampai dengan sekarang, delapan tahun setelah menjadi UU, menunjukkan dengan jelas bahwa ada ‘ketidakberesan’ di dalam materi muatannya, terutama bila dikaitkan dengan prinsip kebhinekaan yang dianut di Indonesia. Walaupun telah resmi menjadi UU, namun ia hanya dapat diberlakukan pada daerah-daerah tertentu saja, namun tidak dapat diterapkan di daerah-daerah yang yang masih menunjukkan resistensi (didukung oleh pernyataan sikap otoritas setempat) yang menolak keberlakuan UU tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara faktual UU No. 44 tahun 2008 tidak mencerminkan suatu aturan yang full legitimate, karena kekuatan mengikatnya tidak diterima oleh seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kondisi sedemikian, keberadaan UU ini justru dapat menjadi alat untuk memecah-belah persatuan, yang berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa.

Magister Hukum Udayana September 2016

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Vol. 5, No. 3 : 459 - 466

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu


DAFTAR PUSTAKA

Ade Armando, 2004, Mengupas Batas Pornografi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta.

Andi Hamzah, 1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Bina Mulia, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill Co., Jakarta.

HB Jassin, dalam Tjipta Lesmana, 1995, Pornografi Dalam Media Massa, PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Henry Campbell Black, 1968, Black’s Law Dictionary, 4TH Revised Edition, West Publishing Co., St Paul, Minn.

I Wayan Suandi, Materi Perkuliahan Politik Hukum, disajikan pada mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Semester II, Februari – Mei 2011.

Lawrence M. Friedman, 1984, Americqn Law, W.W. Norton &Company, New York-London.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.

Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

https://anggara.files.wordpress. com/2009/05/soetantyo_pornografi. pdf, diakses pada tanggal 6 Juni 2016.

https://anggara.files.wordpress. com/2009/05/sahetapy_pornografi. pdf, diakses tanggal 6 Juni 2016.

466