Jurnal

E-ISSN 2502-3101

P-ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana Juli 2016

Vol. 5, No. 2 : 292 - 300

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

PENGATURAN TERHADAP KETERWAKILAN

PEREMPUAN DALAM UNDANG-UNDANG TENTANG

MPR, DPR, DPD, DAN DPRD DITINJAU BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 82/PUU-XII/20141

Oleh:

I Putu Oka Pratiwi Widasmara2

Abstract

The enactment of Law No. 42 of 2014 on the People’s Consultative Assembly, House of Representatives, Regional Representatives Council, and the House of Representatives has been structured and systematically remove all provisions relating to the representation of women. This law creates legal uncertainty representation of women and contrary to the constitution, thus filed a judical review to the Constitutional Court which led to the Cosntitutional Court Decision No. 82/PUU-XII/2014. Issues raised in this research is how the arrangement representation of woman in Act No. 42 of 2014 after the enactment of the Cosntitutional Court Decision. Normative juridical approach to the analysis of legislation and approachment concepts is used in this legal research. The conclusion of this law is the removal of the clause representation of women in Act No. 42 of 2014 was contrary to the various sources of international law, also contrary to Article 28D (1) and Article 28H paragraph (2) of the Constitution of 1945 and in iys decision, the Cosntitutional Court restore “representation of women”clause apllies in Act No. 27 of 2009 by replacing the phrase “pay attention”with “make as priority”to regulate womem’s representation more seriously.

Keywords : Diposition, Women’s representation, Legal Uncertainty, The Constitutional Court Decision.

Abstrak

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang MD3) telah secara terstruktur dan sistematis menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum keterwakilan perempuan dan bertentangan dengan konstitusi, sehingga diajukan uji materiil ke Mahkamah

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Konstitusi yang berujung pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 822/PUU-XII/2014. Berkaitan dengan hal ini maka perlu dibahas mengenai permasalahan yang diangkat adalah pengaturan terhadap keterwakilan perempuan berdasarkan Undang-Undang MD3 dan kedudukan hukum keterwakilan perempuan dalam menggunakan hak politik sebagai anggota DPR RI ditinjau dari perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XII/2014. Metode penelititan yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Kesimpulan dari penelitian hukum ini adalah dihilangkannya klausula keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang MD3 telah bertentangan dengan berbagai sumber hukum internasional, bertentangan pula dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 serta dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengembalikan klausula keterwakilan perempuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dengan mengganti frasa “memperhatikan” dengan frasa “mengutamakan” untuk lebih sungguh-sungguh mengatur keterwakilan perempuan.

Kata Kunci : Pengaturan, Keterwakilan Perempuan, Ketidakpastian Hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi.

  • I.    PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam dunia politik nasional, partisipasi perempuan dalam bidang politik masih sangat rendah. Walaupun secara eksplisit Pasal 27 dan 28 UUD 1945 telah mengatur kedudukan, hak, dan kewajiban warga Negara di mata hukum dan pemerintahan. Secara kuantitatif masih sedikit sekali perempuan secara aktif terlibat dalam bidang politik. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa politik adalah dunia politik dan dunianya kaum laki-laki. Politik dianggap penuh persaingan dan kejam dan sedikit perempuan yang tahan untuk memasuki dunia publik seperti politik, sedang perempuan sendiri diperankan atau memerankan dirinya di dunia domestik. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap

yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.3 Anggapan seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila perempuan mampu meyakini dirinya untuk mampu bersaing dalam berbagai hal. Padahal pemahaman terhadap demokrasi tidak terlepas dari salah satu unsur yaitu pemilu. Demokrasi mewujud terutama dalam institusi pemilu, pemerintahan dan legislatif. Sedangkan hukum bekerja melalui peradilan dan aparat penegak hukum.4 Demokrasi diyakini mampu untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, hingga para feminis mulai memunculkan paham androsentrisme dalam proses demokratisasi sebagai pendorong representasi politik perempuan.

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Androsentrisme diartikan sebagai asumsi, konsep, keyakinan, argument, teori, metodologi, hukum, kebijakan, dan institusi yang kesemuanya sesungguhnya berdimensi gender.5 Seharusnya melalui hal ini perempuan dapat mengambil langkah-langkah konkrit untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan ataupun terjun dalam dunia politik.

Ditengah rendahnya partisipasi perempuan dalam politik, muncul kembali permasalahan dengan diberlakukannya Undang-Undang MD3 yang telah secara terstruktur dan sistematis menghapus klausula keterwakilan perempuan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Penghapusan seluruh klausula keterwakilan perempuan ini bertentangan dengan UUD NRI 1945, yakni telah mengakibatkan adanya ketidakpastianhukumterhadapjaminan pemenuhan keterwakilan perempuan yang berarti telah menghilangkan hak anggota DPR perempuan untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan sebagai pemimpin atas kelengkapan DPR dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dimaksud Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945. Sehingga Undang-Undang MD3 digugat ke Mahkamah Kosntitusi yang berujung pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2014.

  • 1.2.    Perumusan Masalah

Kajian dalam tulisan ini membahas permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan hukum keterwakilan perempuan berdasarkan Undang-Undang MD3 ?

  • 2.    Bagaimanakah kedudukan hukum keterwakilan perempuan dalam menggunakan hak politik sebagai Anggota DPR RI ditinjau dari perspektif Putusan MK No. 82/PUU-XII/2014?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk mengkaji dan mendeskripsikan keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang MD3 ditinjau dari teori perundang-undangan dan pengaturan keterwakilan perempuan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2014.

  • II.    METODE PENELITIAN

    • 2.1.    Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini berbentuk penelitian yuridis normatif. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sentral dalam penelitian ini.6 Selanjutnya dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan konsep-

6 Ibrahim dan Jhonny, 2006, Teori Metodologi

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

konsep hukum yang ada disertai dengan berbagai literatur seperti buku, internet, dan lainnya.

  • 2.2.    Jenis Pendekatan

Pendekatan yang diguakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan        (Statute

Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.7 Dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan konsep-konsep hukum yang ada.

  • 2.3.    Sumber Bahan Hukum

Bahan Hukum dalam penelitian normatif terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.8 Sumber bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang dalam perwujudannya berupa undang-undang dasar, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan. Adapun sumber-sumber bahan hukum yang dimaksud yaitu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No.

7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tenatang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Convenant On Civil And Political Right (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011, Tentang Perubahan Atas Undang-Undanng No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang No. 10 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang MD3, Putusan MK No. 82/PUU-XII/2014. Bahan Hukum Sekunder yakni berbagai literatur dan jurnal hukum, dimana seluruh bahan hukum tersebut berhubungan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan tesis ini. Sedangkan bahan hukum tersier yaitu kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum.

  • 2.4.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini mempergunakan sistem kartu (card system) yang terbagi dalam kartu ikhtisar, kartu kutipan, dan kartu analisis. Kartu ikhtisar ini memuat nama pengarang, tahun penerbitan,

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

judul buku, nama penerbit, dan halaman karangan yang dikutip. Kartu kutipan berisikan catatan mengenai berbagai bahan hukum yang digunakan maupun isi dan bentuk asli karangan (pemikiran) yangdikutip. Kartukutipan diikuti dengan kartu ulasan (analisis) sebagai catatan khusus yang berisi tanggapan penelitian terhadap bahan hukum yang dipakai dalam penelitian. Tanggapan dapat berupa penambahan atau penjelasan dengan cara mengkritik ataupun menginterpretasikan pandangan, menarik kesimpulan, saran dan komentar. Ketiga macam kartu tersebut secara praktis dapat digabung dalam bentuk satu kartu.9

  • 2.5.    Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam kepustakaan dikenal beberapa teknik analisis diantaranya melalui langkah deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, dan sistematisasi.10 Dalam penelitian ini pada hakikatnya dilakukan dengan teknik deskripsi, interpretasi, dan argumentasi. Deskripsi digunakan karena menjabarkan apa adanya kemudian digunakan interpretasi karena penelitian ini akan menjelaskan tentang keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. Kemudian teknik evaluasi karena memberikan

penilaian terhadap bahan-bahan hukum primer maupun sekunder. Serta teknik argumentasi digunakan karena dari hasil penilaian tersebut diberikan argumentasi-argumentasi yang dapat diterima secara logika keilmuan.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keterwakilan Perempuan

Dalam Undang-Undang MD3

Secara konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Negara Hukum (Rechsstaat) adalah yang diidealkan oleh pendiri bangsa Indonesia. Carl Schmitt menyebutkan “a state is a Rechtsstaat only when the entire administrative activity, in particular the police, stands under the reservation and priority of the statute and when instrusions into the individual’s sphere of freedom are permitted only on the basis of a statute11. Suatu Negara dianggap rechtsstaat apabila campur tangan terhadap individu dilakukan semata-mata atas dasar undang-undang. Keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang MD3 tidak dapat kita simak didalam pengaturan manapun. Hal ini tentunya menuai kontroversi sejak diundangkannya sehingga banyak elemen masyarakat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tidak diaturnya keter-

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

wakilan perempuan tentunya sangat merugikan hak konstitusional anggota DPR perempuan. Apapun yang menjadi alasan terhadap gagasan yang menghilangkan pengaturan hukum terkait keterwakilan perempuan sangatlah tidak tepat karena menjadi ketidakpastian hukum dan menjadi sulit dalam pelaksanaan teknis. Ukuran bahwa suatu Pemilu demokratis atau tidak harus memenuhi tiga syarat, yaitu: a) ada tidaknya pengakuan, perlindungan, danpemupukanHAM; b) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate, dan c) terdapat persaingan yang adil dari para peserta Pemilu.12 Alasan untuk langkah perbaikan demokrasi penataan kelembagaan Negara yang berbasis kepada kedaulatan anggota dalam rekruitmen pimpinan secara proporsional, namun tidak mencantumkan suatu aturan adalah merupakan suatu kesalahan yang besar. Meskipun dalam ketentuan Undang-Undang MD3 tidak menyebutkan adanya pengaturan keterwakilan perempuan untuk duduk sebagai unsur pimpinan di dalam lembaga Negara tersebut, namun ini menjadi keleluasan terhadap keterwakilan perempuan untuk menentukan pilihan dalam konteks memilih alat kelengkapan dewan baik sebagai pimpinan ataupun anggota.

Keterwakilan perempuan menjadi wacana penting dalam upaya meningkatkan peran politik perempuan. Keterwakilan politik (politic representative), diartikan sebagai terwakilinya kepentingan anggota masyarakat (termasuk perempuan) oleh wakil-wakilnya di institusi-institusi perwakilan melalui proses politik.13 Manfaat keterwakilan perempuan sangat penting dalam dunia politik karena dapat terwujudnya keadilan dan kesetaraan. Ini tentunya sejalan dengan norma-norma hak asasi di internasional karena akan lebih demokratis, representatif, dan adil. Hak sebagai manusia dan warga Negara untuk dapat dipilih dan memilih akan terjamin baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan keterwakilan perempuan dalam politik yang mampu membuat perubahan dalam dunia politik, ketika mampu berperan dengan prestasi yang baik, maka perempuan akan menjadi panutan bagi masyarakat luas yang nantinya memberikan motivasi lebih kepada setiap perempuan yang memiliki kemampuan dalam berbagai hal.

  • 3.2.    Klausula Keterwakilan Perempuan Dalam Undang-Undang MD3 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PU-XII/2014

Klausula merupakan ketentuan tersendiri baik berupa perluasan

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

maupun pembatasan dalam suatu pasal dengan suatu persyaratan khusus. Dalam berbagai produk hukum di Indonesia, klausula keterwakilan perempuan dapat berbentuk suatu kuota dan dapat pula berbentuk sebuah frasa seperti “memperhatikan”dan “mengutamakan”. Klausula keterwa-kilan dalam berbagai produk hukum di Indonesia merupakan sebuah perlakuan khusus yang dijamin oleh konstitusi untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam ranah politik. Diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama untuk mencapai persamaan dan keadilan juga telah diakui secara international.14 Selain itu perlu diingat bahwa hak-hak asasi manusia (HAM) berawal dari hak hak alamiah (natural right).15 Dari hal tersebut diberi pengertian sebagai “minimal rights that every individual must have against the State other public authority by virtue of his being a ‘member of the human family, irrespective of any other consideration16. Hal ini dibuktikan dengan adanya Convention on the Political Right of Woman (CPRW) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-

Undang Nomor 68 Tahun 1958 dan Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Woman (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Dihilangkannya klausula keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang MD3 secara tegas telah bertentangan dengan berbagai sumber hukum internasional yang telah menjadi dasar perkembangan upaya keseteraan gender di Indonesia serta bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, khususnya tentang hak atas kepastian hukum yang adil. Dalam perubahan Undang-Undang MD3 sama sekali tidak memperhatikan Putusan MK dalam merubah beberapa Pasal karena Putusan MK No. 82/ PUU-XII/2014 diputuskan sebelum adanya perubahan terhadap Undang-Undang MD3. Pembentuk undang-undang juga tidak memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang P3). Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang P3 yang menyebutkan bahwa dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas : a) pengesahan perjanjian internasional tertentu; b) akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupten/Kota; dan

Magister Hukum Udayana

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Juli 2016

e) penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Disini akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi harus sangat diperhatikan dalam merumuskan suatu undang-undang.

Pengarusutamaan gender dalam bidang politik teleh menjadi agenda politik hukum Negara Republik Indonesia yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945. Maka dari itu, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dan menambahkan klausula keterwakilan perempuan berupa frasa “mengutamakan” dalam setiap ketentuan pasal yang menyangkut keterwakilan perempuan untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam pimpinan alat kelengkapan DPR.

  • IV.    PENUTUP

    • 4.1    Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Bahwa dihilangkannya klausula keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang MD3 telah bertentangan dengan berbagai sumber hukum internasional. Selain itu, bertentangan juga dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tentang hak atas kepastian hukum yang adil dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 tentang perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

  • 2.    Dikembalikannya klausula keterwakilan perempuan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan frasa “mengutamakan” untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam pemilihan pimpinan alat kelengkapan DPR namun dalam perubahan Undang-Undang MD3 sama sekali tidak memperhatikan Putusan MK dalam merubah beberapa Pasal padahal Putusan MK No. 82/PUU-XII/2014 diputuskan sebelum adanya perubahan terhadap Undang-Undang MD3.

  • 4.2    Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, adapun beberapa saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Dalam pembentukan undang-undang dengan penyusunan materi muatan undang-undang, Pemerintah maupun DPR RI harus benar-benar memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang P3. Keterwakilan perempuann dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan dewan harus menjadi bentuk perlakukan yang setara terhadap perempuan yang dijamin oleh konstitusi dan harus diwujudkan secara konkret

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

melalui suatu bentuk undang-undang maupun peraturan kebijakan yang bersifat teknis.

2. Bahwa dalam melakukan persiapan terhadap perubahann suatu undang-undang maka perlu diperhatikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang menjadi dasar dalam perubahan tersebut. Hal ini tentunya dapat memberikan kepastian hukum bagi setiap warga Negara. Selain itu diberlakukannya kuota keterwakilan perempuan akan lebih efektif karena ada batasan jumlah yang jelas, sehingga terjamin dan berdasar secara hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ani Soetjipto dan Shelly Adelina, 2012, Partai Politik dan Strategi Gender Separuh Hati, Gajah Hidup, Jakarta.

Asmaeny Aziz, 2013, Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen, Rangkang Education, Yogyakarta.

Carl Schmitt, 2008, Constitutional Theory (transited and edited by Jeffrey Seitzer), Duke University Press, Durham and London.

Elisabeth Reichert, 2006, Understanding Human Rights, Sage Publications, Thousand Oaks-London-New Delhi.

I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), Sinar Grafika, Jakarta.

Ibrahim dan Jhonny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I, Cet ke-V, PT. RajaGrafinfo Persada, Jakarta.

Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konpress, Jakarta.

Jhonny Ibrahim,   2006, Teori

Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang.

Mansoru Fakih, 2005,Analisis Gender dan Transformasi    Sosial,

Insistpress, Yogyakarta.

Mukthie Fadjar,    2013,Pemilu,

Perselisihan Hasil Pemilu, dan Demokrasi, Setara Press, Malang.

Soerjono Seokanto & Sri Mamudji,2012, Penelitian Hukum Normatif. Suatu tinjauan Singkat,Cet. Ke-14,PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Surakhmad, Winarno, 1994, Pengantar Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, Tarsito, Bandung

300