PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP TAS BERMEREK YANG DIIMPORT KE INDONESIA
on
Jurnal
E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016
Vol. 5, No. 2 : 281 - 291
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP TAS BERMEREK YANG DIIMPORT KE INDONESIA1
Oleh:
Nyoman Supariyani2
Abstract
Painstaking efforts and long process to make one product widely popular among the consumers force the producers to take an illegal short cut by doing a piracy or imitating a well-known brand. The damage is not only done to the license holder, but also to the consumers and the importing country. For the license holder, the practice will significantly reduce the benefit. The lower quality of the illegal product will also contribute to the decreasing image of the original products. This practice will make the consumers unsatisfied, due to the product of lower quality, and it also reduces the revenue for the state. Legal protection for branded product, which are mostly imported, is badly in need, without denying the right of local producers to use the well-known branded in a good intention. Keywords: Brand, Legal, Protection, Immitating.
Abstrak
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menjadikan suatu merek terkenal secara luas dan dipergunakan oleh masyarakat, menjadikan beberapa produsen melakukan jalan pintas dengan menjalankan perilaku bisnis curang yaitu dengan melakukan “pembajakan” atau peniruan dari merek yang telah lama beredar di pasaran atau dapat disebut sebagai merek yang sudah terkenal. Adanya praktik curang ini, tidak hanya merugikan pemilik merek terkenal, akan tetapi masyarakat sebagai konsumen dan negara juga dirugikan. Bagi pemilik merek, kerugian yang dirasakan adalah menurunnya pendapatan, dan apabila kualitas dari barang dan jasa yang ditiru lebih rendah, maka akan menurunkan citra produk tersebut di mata konsumen. Bagi konsumen kerugian yang dideritanya adalah mutu barang yang rendah, sedangkan bagi negara kerugian yang timbul adalah berkurangnya penerimaan pajak. Perlindungan hukum yang memadai terhadap merek-merek terkenal,yang kebanyakan adalah merek terkenal dari luar negeri mutlak diperlukan, tanpa mengurangi hak pengusaha pribumi yang memiliki merek yang sama dengan merek terkenal tersebut yang menggunakannya dengan itikad baik.
Kata Kunci: Merek, Hukum, Perlindungan, Pemalsuan.3
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
Manusia sebagai pelaku utama dalam pembangunan memiliki rasa cipta, karya dan karsa dari kemampuan intelektual mereka. Masyarakat mempunyai pola pikir dan perilaku tertentu, yang menghasilkan kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu. Rasa dan cipta masyarakat itu menghasilkan norma-norma dan ilmu pengetahuan yang merupakan kebudayaan inmaterial, sedangkan karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk kepentingan masyarakat. Teknologi yang dihasilkan itu, yang merupakan salah satu unsur pokok dari kebudayaan, yang selalu berkembang dan terus mengejar perkembangan aneka kebutuhan para warganya. Kemajuan teknologi yang dicapai memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap aspek-aspek kehidupan manusia, antara lain di bidang industri yang menghasilkan barang-barangkebutuhanprimerseperti mobil, televisi, Compact Disc (CD), Video Compact Disc (VCD). Dengan meningkatkan jenis, maupun jumlah sirkulasi barang di dalam masyarakat menyebabkan permasalahan Hak Kekayaan Intelektual yang semakin banyak mendapat sorotan, khususnya
dari kalangan pengusaha-pengusaha industri maupun masyarakat konsumen.
Geliat perekonomian di bidang pembelian barang-barang bermerek di Indonesia semakin tinggi. Dapat dilihat dari fakta secara umum bahwa konsumen di Indonesia menyukai produk buatan luar negeri. Kondisi ini disebabkan karena konsumen menganggap produk luar negeri bergengsi dan berkualitas tinggi. Produk luar negeri ini tentunya memiliki harga jual yang relatif tinggi, tetapi disaat yang bersamaan, sebagian besar daya beli masyarakat Indonesia relatif rendah. Adanya gap antara permintaan produk luar negeri dan rendahnya daya beli masyarakat Indonesia menyebabkan timbulnya permintaan pada produk tiruan. Banyaknya permintaan terhadap produk tiruan ini menyebabkan beberapa produsen dengan sengaja membuat logo dan trademark yang sama persis dengan tujuan mengelabui atau membohongi konsumen yang tidak terlalu paham dan sadar akan bentuk produk asli. Namun selain itu, ada juga konsumen yang secara sadar membeli produk tiruan tersebut untuk meningkatkan status sosial karena tidak mampu membeli barang dengan merk asli. Berdasarkan data yang diperoleh Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HKI), produk yang tergolong barang tiruan di Indonesia seperti tekstil, elektronik, farmasi dan kosmetika, piranti lunak (software),
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
CD/DVD musik dan film, spare-part otomotif, serta produk fashion padahal harga dari tas asli merk tersebut dapat mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah per satuannya.4
Penjualan produk tas tiruan di Indonesia belakangan ini semakin marak dan telah menjadi perhatian masyarakat luas, pelaku bisnis dan pemerintah. Lebih disukainya produk tiruan, terutama pada produk fashion tas, daripada produk asli oleh konsumen Indonesia, menjadi permasalahan mendasar sulitnya menghapuskan perdagangan produk tiruan tersebut. Hal ini tentu menyebabkan kerugian bagi pemilik Hak Merek tas tersebut, bukan hanya kerugian materiil tetapi juga inmaterial. Berdasarkan hal itu, perlu dicarikan solusi untuk mencarikan solusi masalah tersebut.
Fokus kajian dalam tulisan ini membahas permasalahan sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah bentuk
perlindungan hukum terhadap tas bermerek?
-
2. Bagaimanakah upaya hukum dan sanksi terhadap pelanggaran HKI terhadap tas bermerek?
Memberikan analisis tentang perlindungan tas bermerek yang di import ke Indonesia
Dalam penulisan proposal peneliti menggunakan penelitian hukum empiris, karena meneliti tentang perlindungan hak cipta terhadap tas bermerek yang di import ke Indonesia. Penelitian hukum empiris mendekati masalah dari peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian hukum dengan aspek empiris digunakan bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.5 Penelitian ini mempergunakan teknik non probability sampling, yaitu purposive sampling. Penentuan sample dipilih / ditentukan sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan, bahwa sample telah memenuhi kriteria atau sifat dan karakteristik tertentu yang merupakan ciri - ciri utama dari populasinya.
-
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Perlindungan Hukum
Terhadap Tas Bermerek
Dalam bahasa Inggris, istilah teori perlindungan hukum dikenal dengan legal protection theory, sedangkan dalam bahasa belanda teori perlindungan hukum disebut dengan van de wettelijke bescherming.6 Perlindungan hukum dalah suatu kaidah-kaidahhukumuntukmelindungi
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
individu-individu dalam semua kegiatan interaksi sosial. Menurut Phillipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat reprensif.7 Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.8
Hak yang diberikan oleh sistem hak kekayaan intelektual bersifat eksklusif yang berarti hak tersebut bersifat khusus dan hanya dimiliki oleh orang terkait langsung dengan kekayaan intelektual yang dihasilkan.9 Dengan hak tersebut, pemegang hak dapat mencegah orang lain membuat, menggunakan atau berbuat sesuatu tanpa izin.
Dalam penelitian ini, untuk menghubungkan teori-teori tersebut diperlukan definisi dan ruang lingkup tentang Hak Kekayaan Intelektual. Hak Kekayaan Intelektual adalah hak yang berkenan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia, berupa temuan
atau ciptaan dibidang tekonologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Ciptaan atau temuan yang dimaksud diharapkan akan dapat memecahkan masalah dibidang teknologi maupun penyempurnaaan atau perbaikan pemecahan masalah dibidang teknologi. Hak atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya.10
Ditinjau dari perwujudannya HKI dikatagorikan sebagai benda bergerak tak terwujud, karena pada prinsipnya yang dilindungi dalam HKI adalah haknya bukan benda material bentuk jelmaan dari HKI tersebut. Alasannya adalah HKI merupakan hak ekslusif yang hanya ada dan melekat pada pemilik atau pemegang hak, sehingga pihak lain apabila ingin memanfaatkan atau menggunakan hak tersebut untuk menciptakan atau memproduksi benda material bentuk jelmaanya wajib memperoleh lisensi (izin) dari pemilik atau pemegang hak. Benda material bentuk jelmaan HKI itu hanya berfungsi sebagai bukti fisik dalam hal Hak atas Kekayaan Intektual seseorang telah dilanggar orang lain.11
Hak Kekayaan Intelektual merupakan sebuah konsep dan berkembang di negara barat. Oleh karena itu, manfaat sistem Hak Kekayaan Intelektual lebih sering dibicarakan oleh negara-negara maju
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
selaku produsen atau penghasil Hak Kekayaan Intelektual.12 Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri, sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. Hak Kekayaan Intelektual telah diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan tuntutan ( The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights ) TRIPs, yaitu Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-usur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Merk dibedakan atas 3 jenis, yaitu :
-
1. Merek Dagang
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. 2. Merek jasa
Adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
-
3. Merek kolektif
Adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang dengan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
Adapun fungsi dari pendaftaran merek tersebut adalah sebagai alat bukti, bahwa pemilik yang berhak atas merek yang didaftarkan, sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang/jasa sejenisnya serta sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang/jasa sejenisnya.
Perlindungan merek terkenal merupakan salah satu aspek penting dari hukum merek. Ketentuan terkait perlindungan merek terkenal utamanya
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
diatur dalam the Paris Convention for the Protection of Industrial Property (“Konvensi Paris”) dan juga dalam the TRIPs Agreement (“Perjanjian TRIPs”). Konvensi Paris dalam Pasal 6bis di antaranya mengatur bahwa:
“The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permits, or at the request of an interested party, to refuse or to cancel the registration, and to prohibit the use, of a trademark which constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the competent authority of the country of registration or use to be well known in that country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this Convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to create confusion therewith.”
Pasal 16(2) Perjanjian TRIPs, yang kemudian melengkapi Pasal 6bisKonvensi Paris di atas mengatur sebagai berikut:
“In determining whether a trademark is well-known, Members shall take account of the knowledge of the trademark in the relevant sector of the public, including knowledge in the Member concerned which has been obtained as a result of the promotion of the trademark.”
Ketentuan untuk melindungi merek terkenal di atas berlaku bagi seluruh negara anggota Konvensi Paris dan penanda tangan Perjanjian TRIPs(the World Trade Organization’s TRIPs Agreement) termasuk Indonesia yang juga turut meratifikasi kedua treaty tersebut masing-masing melalui Keppres No. 15 Tahun 1997 dan Keppres No. 7 Tahun 1994.
Pada umumnya, negara-negara dengan sistem hukum Civil Law, termasuk Indonesia, menganut sistem First to file dalam memberikan hak merek. Berdasarkan sistem First to file tersebut, pemilik merek, termasuk merek terkenal, harus mendaftarkan mereknya di Ditjen HKI untuk memperoleh hak eksklusif atas mereknya dan perlindungan hukum. Hak eksklusif tidak dapat diperoleh pemilik merek hanya dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa ia adalah pemakai pertama merek tersebut di Indonesia. First-to-file system berarti bahwa pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran diberi prioritas untuk mendapatkan pendaftaran merek dan diakui sebagai pemilik merek yang sah.
Secara eksplisit prinsip ini diatur pada Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) yang menentukan bahwa Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Dengan pendaftaran merek, pemilik merek memiliki hak-hak berikut: Hak untuk menggunakan atau mengizinkan orang lain untuk menggunakan mereknya; Hak untuk melarang orang lain menggunakan mereknya dan Hak untuk mengalihkan dan/ atau melisensikan hak mereknya. Indonesia, perlindungan merek terdaftar diberikan selama jangka waktu 10 tahun terhitung dari tanggal pengajuan permohonan merek yang bersangkutan, dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun. Pelanggaran merek dianggap terjadi hanya apabila ada pemakaian merek oleh pihak yang beriktikad buruk yang dilakukan dalam jangka waktu perlindungan. Dalam UU Merek tidak dikenal pelanggaran hak atas pemakaian merek yang tidak terdaftar. Begitu juga untuk merek terkenal. Karenanya, ketentuan pidana dalam UU Merek tidak mengatur sanksi atas ‘pelanggaran’ merek terkenal yang tidak terdaftar. Upaya hukum pidana maupun perdata terhadap pihak yang memakai merek terkenal dengan iktikad buruk, hanya dapat dilaksanakan pemilik merek terkenal dengan menunjukkan pendaftaran merek sebagai bukti kepemilikan merek yang sah. Untuk memenuhi komitmennya sebagaisalahsatuNegara anggota Konvensi Paris dan penanda tangan Perjanjian TRIPs, pemerintah Indonesia sejak 1997 telah melakukan beberapa kali perubahan terhadap UU
Merek dan melengkapinya dengan pasal-pasal yang memberi wewenang kepada otoritas terkait yakni Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (“Ditjen HKI”), dalam hal ini Direktorat Merek, untuk melindungi merek terkenal dengan menolak permohonan pendaftaran merek yang mengandung persamaan baik pada pokoknya maupun secara keseluruhan dengan merek terkenal milik pihak lain terutama untuk barang dan/atau jasa sejenis. Dalam UU Merek yang saat ini berlaku, kewenangan melindungi merek terkenal tersebut diberikan melalui Pasal 4, Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6 ayat (2).
Baik Konvensi Paris maupun Perjanjian TRIPs tidak memberi definisi yang baku mengenai kriteria merek terkenal ini. Masing-masing Negara anggota bebas merumuskan kriteria untuk menentukan apakah sebuah merek dapat dikategorikan sebagai merek terkenal. Mengenai hal ini, UU Merek dalam Penjelasannya melengkapi ketentuan pada Pasal 6 ayat (1) huruf b sebagai berikut:
“Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.“
Berkaitan dengan pengaturan HKI sedunia, ada dua organisasi yang sangat berpengaruh yaitu WIPO dan WTO. Indonesia sebagai anggota WIPO memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan sebagai Negara anggota WTO.13 Kepentingan ekonomi dari merek-merek terkenal diakui dalam Bab XX perjanjian internasional WIPO. Dalam perkembanganya merek-merek terkenal juga diakui di Amerika Serikat, Inggris, Australia dan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-undang Merek Indonesia, yaitu “permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa yang sejenis”.
Pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjianbahwa lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. Perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada DJHKI dengan dikenai biaya
dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian lisensi wajib dimohonkan pencatatan pada DJHKI dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian lisensi berlaku pada pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga.
-
3.2 Upaya Hukum Dan Sanksi
Terhadap Pelanggaran HKI Terhadap Tas Bermerek
Terkait pelaksanaan Pasal 4, dan Pasal 6 ayat (1) huruf b oleh Ditjen HKI, bagi pemilik merek terkenal yang dapat menunjukkan bukti-bukti keterkenalan mereknya, UU Merek menyediakan mekanisme pembatalan pendaftaran merek melalui pengadilan niaga dan oposisi (Pengajuan Keberatan), apabila merek terkenal mereka terlanjur didaftarkan atau diajukan permohonan pendaftarannya di Indonesia oleh pihak lain yang beriktikad buruk.
Undang-undang Merek memungkinkan pemilik merek terkenal yang asli untuk mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek melalui pengadilan niaga, berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf b walaupun ia tidak memiliki pendaftaran merek. Bagi pemilik merek terkenal yang belum memiliki pendaftaran merek, dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran setelah mengajukan permohonan pendaftaran mereknya kepada Ditjen HKI (Pasal 68 ayat [2] UU Merek). Dengan pengajuan
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
permohonan, pemilik merek terkenal dianggap memiliki iktikad baik untuk mengikuti peraturan yang berlaku dengan mendaftarkan dan memakai mereknya di Indonesia.
Sampai saat ini sudah banyak kasus yang dibawa ke meja hijau menyangkut pendaftaran merek terkenal oleh pendaftar merek yang beriktikad buruk. Beberapa pemilik merek terkenal yang pernah membawa kasus mereka ke pengadilan di antaranya Gianni Versace Spa (Gianni Versace Spa v. Ricky Tan); Prefel SA (Prefel SA v. Fahmi Babra); dan Alfred Dunhill Limited (Alfred Dunhill Limited v. Muljati Kusnadi). Banyak kasus dimenangkan oleh pemilik merek terkenal yang asli di mana pendaftaran merek yang telah terlanjur diberikan kepada pendaftar beriktikad buruk, dihapus dari Daftar Umum Merek dan kemudian pendaftaran diberikan kepada pemilik asli dari merek terkenal.
Dalam Hak Kekayaan Intelektual terdapat permasalahan-permasalahan yang akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan
bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Padaera globalisasi ini, Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Proses globalisasi membawa akibat tolok ukur utama hubungan antar bangsa atau negara yang tidak lagi bersifat ideologi, melainkan ekonomi, yakni keuntungan atau hasil nyata apa yang dapat diperoleh dari adanya hubungan tersebut. Pengaruh luar dapat cepat sekali masuk ke Indonesia sebagai implikasi terciptanya sistem ekonomi yang terbuka. Aspek dari sistem ekonomi adalah masalah produk yang pemasarannya tidak lagi terbatas pada satu negara melainkan juga mengglobal. Hal ini menuntut standar kualitas dan persaingan yang adil, serta terhindarnya produk industri palsu, berdasarkan pada kesepakatan-kesepakatan dunia internasional.
Penelitian yang dilakukan Jurnalnet pada tahun 2007, mengenai pembelian barang tiruan di Indonesia, dapat diketahui bahwa sekitar 63,4% responden mengakui pernah membeli barang tiruan dan 82,9% diantaranya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah tiruan. Alasan harga lebih murah menjadi alasan utama pembelian barang tiruan (68%). Wirausahanews pada tahun 2011 mengungkapkan bahwa tas merupakan salah satu produk fashion tiruan yang laris dipasaran. Harga tas tiruan dengan
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
berbagai merek seperti Hermes, Guess, Esprit, Prada, Burberry, Louis Vuiton, dan Gucci hanya dipatok pada kisaran harga Rp. 50.000,- hingga Rp. 2.000.000,- bergantung klasifikasi kualitas tiruannya, padahal harga dari tas asli merk tersebut dapat mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah per satuannya.
-
IV. PENUTUP
-
1. Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar UmumMerekuntukjangkawaktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Dengan pendaftaran merek, pemilik merek memiliki hak-hak berikut: Hak untuk menggunakan atau mengizinkan orang lain untuk menggunakan mereknya; Hak untuk melarang orang lain menggunakan mereknya dan Hak untuk mengalihkan dan/atau melisensikan hak mereknya.
-
2. Undang-undang Merek
memungkinkan pemilik merek terkenal yang asli untuk
mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek melalui pengadilan niaga, berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf b walaupun ia tidak memiliki pendaftaran merek. Bagi pemilik
merek terkenal yang belum memiliki pendaftaran merek, dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran setelah mengajukan permohonan pendaftaran mereknya kepada Ditjen HKI (Pasal 68 ayat [2] UU Merek). Dengan pengajuan permohonan, pemilik merek terkenal dianggap memiliki iktikad baik untuk mengikuti peraturan yang berlaku dengan mendaftarkan dan memakai mereknya di Indonesia.
-
1. Perlindungan hukum terhadap merek terkenal terutama harus didukung oleh produsen itu sendiri karena bagi konsumen dalam membeli tas bermerek semata-mata bukan tertarik pada mereknya saja tetapi pada model dan harganya yang cukup murah.
-
2. Perlindungan hukum terhadap merek terkenal tetap harus dilindungi dan didukung sesuai dengan program yang dibuat oleh negara dengan beberapa kali merubah peraturan perundang-undangan tentang merek, apalagi menyangkut nama baik bangsa Indonesia di mata international agar tidak menyandang gelar sebagai negara penjiplak merek terkenal.
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 2001, Hukum Ekonomi Hak Kekayaa Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hadi, Soetrisno, 1978, Metodologi Research, UGM, Yogyakarta.
H. Salim & Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada penelitanTesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo, Jakarta
Muhammad Djumahana dan R.Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual, Sejarah Teori dan Praktek, Edisi Revisi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung
Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Utomo, Tomi Suryo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Graha Ilmu, Yogyakarta.
INTERNET
Putri,R,2008, Karakter unik
konsumen Indonesia, suka
buatan luar negeri, http:// management.co.id/journal/ index/catagory/sales_ marketing/114/350, diakses pada tanggal 02 Juni 2016.
Wahabi Martanio, 2008, Tindak Pidana Pelanggaran Hak
Cipta di Media Internet Serta Pengaturannya di Indonesia, http://www.adln.lib.unair. ic.id/go.php?id=gdlhub-gdl-sl, diaskes pada tanggal 30 Mei 2016.
UNDANG-UNDANG
UU No 15 tahun 2001 tentang Merek
JURNAL
Dharmawan, Supasti dan Wiryawan, Wayan, 2014,Keberadaan dan Implikasi Prinsip MFN dan NT dalam Pengaturan HakKekayaan Intelektual di Indonesia,Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol 6, No2, ISSN: 2302-528X.
291
Discussion and feedback