Perlindungan Hukum terhadap Wisatawan yang Mendapat Perlakuan Diskriminatif
on
Perlindungan Hukum terhadap Wisatawan yang Mendapat Perlakuan Diskriminatif
Sang Ayu Ditapraja Adipatni1
1 PD BPR “Bank Pasar” Kabupaten Bangli, E-mail: dithaprjadi@gmail.com
Info Artikel Masuk : 19 Januari 2018 Diterima : 26 Mei 2018 Terbit : 28 Mei 2018 |
Abstract Tourism which is one of leading sectors in Bali island in increasing the state budget must provide an assurance of human rights protection to both domestic and foreign tourists, since in the provision of Article 5 letter b and g the Law No.10 the year |
Keywords : legal protection, law enforcement, discrimination, tourist |
2009 regarding Tourism, stating that tourism is organized based on the principle of upholding human rights and adhere to world tourism ethical code as well as international agreement. In order to uphold justice and respect for Human Rights, it is better than in tourism, discrimination treatment must be eliminated. The problems being encountered is how about legal protection for tourists who are getting discriminative treatment and how about law enforcement toward tourists who are getting discriminative treatment. This study used normative legal research, by using statute approach and case approach. Study shows that in Tourism Law, it is not regulated regarding the sanction to discriminative treatment, so in accordance with case approach, the applicable one is general rule in Indonesian Penal Code (KUHP) that is in Article 170 paragraph (1) and (2) and it is adjusted with main duty by Police Department as law enforcer then the procedure of criminal justice is being adjusted to Indonesian Penal Code (KUHAP) which is starting from probing, investigation, prosecution, trial in the court up until legal verdict. Abstrak |
Kata kunci: hukum, penegakan perlindungan hukum, diskriminasi, wisatawan |
Kegiatan pariwisata yang merupakan salah satu andalan di Pulau Bali dalam meningkatkan anggaran pendapatan negara harus memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia pada wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, karena dalam ketentuan Pasal 5 huruf b dan |
Corresponding Author: Sang Ayu Ditapraja Adipatni, E-mail: dithaprjadi@gmail.com |
g Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, menyatakan bahwa kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mematuhi kode etik kepariwisataan |
DOI : 10.24843/JMHU.2018.v07.i01. p10 |
dunia dan kesepakatan internasional. Demi menjunjung tinggi keadilan rasa hormat pada Hak Asasi Manusia sebaiknya dalam berwisata perlakuan diskriminasi harus dihilangkan. Permasalahan yang dikaji adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif dan bagaimana penegakan hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah |
penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang Kepariwisataan tidak mengatur mengenai sanksi perlakuan diskriminatif maka sesuai dengan pendekatan kasus yang berlaku adalah aturan umum di dalam KUHP yaitu Pasal 170 ayat (1) dan (2) ke-1 KUHP dan disesuaikan dengan tugas pokok kepolisian sebagai penegak hukum maka prosedur peradilan pidananya disesuaikan pada KUHAP yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dijatuhkan putusan.
-
1. Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menganut suatu ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Bagi segala aktivitas termasuk dalam kegiatan kepariwisataan hukum dijadikan (guiding principle). Dalam UU 10/2009 Tentang Kepariwisataan (LN No. 11-TLN No. 4966) (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kepariwisataan), Kepariwisataan bertujuan untuk: meningkatkan pertumbuhan ekonomi; kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antar bangsa.
Untuk mengoptimalkan tercapainya tujuan kepariwisataan tersebut maka sangat perlu dilakukan penataan atau pengaturan kepariwisataan di negara Indonesia yang bersifat Internasional yang tidak bertentangan dengan filsafat Pancasila. Hal ini sangat jelas tertuang dalam butir kedua (2) sila kedua (2) dalam Pancasila mengakui persamaan hak, derajat dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Yang mempunyai makna bahwa di negara Indonesia tidak mengenal adanya diskriminasi dalam bentuk dan bidang apapun. Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, maka hukum memiliki tugas untuk menciptakan keteraturan dan kepastian hukum, tidak hanya kepastian yang diciptakan oleh hukum itu sendiri, melainkan juga kepastian di dalam substansi hukum itu sendiri.1
Hal ini pun tertuang dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI 1945, Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Pengertian Diskriminasi tersebut tertuang dalam Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 Tentang HAM (LN No. 165-TLN No. 3886) Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pengucilan atau pelecehan didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, ras, suku, etnik, golongan, kelompok, jenis kelamin, status ekonomi, status sosial, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat penyimpangan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan, pengakuan atau
penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Diskriminasi itu merupakan bagian dari HAM yang harus dilindungi dan menjadi tanggung jawab negara dan setiap orang mempunyai kewajiban untuk menghormati HAM setiap orang baik secara individu maupun kelompok.
Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (atau disingkat ICESCR) part II, Article 2 number 2 The States Parties to the present Covenant undertake to guarantee that the rights enunciated in the present Covenant will be exercised without discrimination of any kind as to race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. (Negara-negara yang berpartisipasi pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa akan dilaksanakan hak tanpa diskriminasi apapun seperti ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, bahasa, pendapat politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya).
Demi menjunjung tinggi keadilan rasa hormat pada Hak Asasi Manusia sebaiknya dalam melakukan kegiatan berwisata perlakuan diskriminasi itu harus dihilangkan. Seperti suatu contoh kecil perlakuan diskriminasi ketika wisatawan berwisata (membeli barang) di suatu daerah tanpa menggunakan bahasa daerah akan mendapat perlakuan diskriminasi pada pembayaran yang mengakibatkan kerugian terhadap wisatawan. Hal kecil ini memang belum menjadi topik hangat dalam dunia pariwisata, tetapi mempunyai dampak besar terhadap perkembangan kepariwisataan berkelanjutan. Dimana hal ini bisa mencoreng citra dan nama besar suatu negara dalam dunia pariwisata. Contoh lain kegiatan pariwisata yang bersifat diskriminatif terjadi di club La Favela and Resto di Jalan Oberoi, Seminyak, Badung, Bali pada tanggal 8 Januari 2017 melalui Tribun News, dengan kronologi secara singkat:
“Argam Sarkisian dan Denis Prisiazhniuk asal Rusia, memesan minuman 4 shot Jameson dan 2 kaleng Coca Cola kepada Bartender bernama Dika dengan jumlah total tagihan harga sebesar Rp 680.000,-. Argam Sarkisian dan Denis Prisiazhniuk merasa kemahalan, maka mereka meminta daftar menu dan struk pembayaran, kemudian datanglah dua orang manajer bernama Maresa dan Anwar dengan tujuan untuk menjelaskan tentang tagihan harga sebesar Rp 680.000,-. Dibuatkanlah tagihan harga dengan menggunakan semacam kertas yang ditulis tangan oleh kasir bernama Ayu. Argam Sarkisian dan Denis Prisiazhniuk merasa tidak puas karena tidak diberikannya daftar menu dan struk pembayaran, tindakan protes Argam Sarkisian dan Denis Prisiazhniuk menimbulkan ketegangan sehingga pihak sekuriti bernama Tutde bersama rekannya Step menarik keluar dan melakukan pemukulan kepada Argam Sarkisian dan Denis Prisiazhniuk.2”
Dilihat dari contoh kasus diatas kisah Argam Sarkisian dan Denis Prisiazhniuk mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dalam berwisata yang dilakukan secara terstruktur dimana dalam hal ini dilakukan oleh seluruh bagian dari pegawai La Favela and Resto yang terlingkup oleh bartender, manajer, kasir dan sekuriti. Dalam
hal ini wisatawan seharusnya mendapatkan perlakuan yang setara tanpa adanya diskriminasi sosial maupun ekonomi. Perlakuan anti diskriminatif merupakan salah satu elemen dalam kegiatan berwisata yang berlandaskan hak asasi manusia.
Kegiatan pariwisata yang merupakan salah satu andalan di Pulau Bali dalam meningkatkan anggaran pendapatan negara harus memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia pada wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, karena dalam ketentuan Pasal 5 huruf b dan g Undang-Undang Kepariwisataan, menyatakan bahwa kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi HAM dan mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional. Pemerintah Indonesia sudah sepatutnya memberikan perhatian berupa perlindungan hukum terhadap para wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif di Indonesia. Bagi setiap negara yang menjadi anggota perjanjian internasional di bidang HAM memiliki kewajiban: obligation to respect, to protect and to fulfil human rights. Dalam konteks ini, obligation to protect, berarti kewajiban negara untuk melindungi individu maupun kelompok terhadap pelanggaran hak asasi manusia.3 Kewajiban negara untuk melindungi kehidupan individu atau kelompok (obligation to protect) adalah kewajiban yang tidak dapat diubah dalam hal kewajibannya untuk melindungi kehidupan, moral termasuk perlindungan terhadap materi sesungguhnya bersumber dari dorongan hukum negara dari norma hukum ius cogen yang merupakan bagian dari tatanan hukum serta norma hukum internasional.4
Para wisatawan yang berkunjung di suatu daerah untuk melakukan kegiatan berwisata bisa disebut dengan konsumen. Dalam Pasal 1 angka 2 UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (LN No. 42-TLN No. 3821) Konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Yang artinya apabila wisatawan dalam melakukan kegiatan berwisata dan memakai barang atau jasa yang tersedia hal itu bisa dikategorikan adalah konsumen. Menyinggung masalah diskriminasi sudah adanya pengaturan yang mengatur seperti UU 40/2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis (LN No. 170-TLN No. 4919). Akan tetapi jika perumusan norma dan prinsip hukum itu hanya berlaku secara yuridis dalam arti hanya undang-undang semata-mata dan tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Yang artinya masih terdapat kesenjangan antara aturan hukum (das sollen) dengan kenyataan/peristiwa konkret (das sein), 5 maka masih terjadi kesenjangan terhadap tingkat validitas dan keefektifan sebuah norma dalam mengatur masyarakat. Maka diperlukanlah kepastian hukum yang dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang yang penerapannya akan jelas, dengan kata lain berarti tepat hukumnya, subjeknya, objeknya serta ancaman hukumannya. Fokus kajian dalam tulisan ini adalah pertama Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif? serta bagaimanakah penegakan hukum terhadap wisatawan yang
mendapat perlakuan diskriminatif yang mengakibatkan kerugian?, Fokus studi ini adalah perlindungan dan penegakan hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif yang diatur di dalam KUHP dan prosedur penegakan di dalam KUHAP berbeda dengan studi sebelumnya yang juga mengkaji tentang kepariwisataan termasuk hak asasi manusia, yang diantaranya dilakukan oleh Putu Eva Laheri yang menekankan tanggung jawab Negara terhadap kerugian wisatawan berkaitan dengan pelanggaran hak berwisata sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia6.
Ni Ketut Supasti Dharmawan et.al. dalam studinya menekankan pada keberadaan dan ruang bagi the right to tourism sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia yang juga penting mendapat pengakuan sebagaimana diatur dalam the UN WTO Global Code of Ethic. 7 Princess Innez Primantara melakukan studi tentang perlindungan hukum terhadap wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata, studi ini lebih menekankan tentang hak dan kewajiban wisatawan khususnya dalam kaitannya dengan biro perjalanan.8 Lebih lanjut juga dapat dicermati bahwa studi ini berbeda dengan studi dari Sarsiti dan Muhammad Taufik yang mengkaji tentang penerapan perlindungan hukum terhadap wisatawan yang mengalami kerugian di obyek wisata (Studi di Kabupaten Purbalingga).9
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif, serta untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif yang mengakibatkan kerugian.
-
2. Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif, peneliti menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Analisa bahan hukum menggunakan analisis kualitatif.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3. 1 Perlindungan Hukum terhadap Wisatawan yang Mendapat Perlakuan Diskriminatif
Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum baik yang bersifat represif maupun yang bersifat preventif termasuk dalam kegiatan kepariwisataan. Dalam melakukan kegiatan berwisata sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) mewajibkan seluruh partisipasi dalam mewujudkan tujuan kepariwisataan harus menjaga kode etik kepariwisataan dunia. Pengertian perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 2/2002 tentang
Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada saksi dan korban, dari ancaman, teror, gangguan, dan kekerasan dari pihak mana pun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam hal melindungi wisatawan dari perlakuan diskriminasi terhadap seseorang ataupun sekelompok orang maka diperlukan payung hukum yang kuat dalam mewujudkan mengangkat citra bangsa. Pasal 26 huruf c Undang-Undang Kepariwisataan “setiap pengusaha pariwisata berkewajiban memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif”. Unsur -unsur dari ketentuan tersebut: Setiap pengusaha pariwisata; berkewajiban memberikan pelayanan; serta tidak diskriminatif.
Unsur tidak diskriminatif menjadi salah satu poin penting dalam kegiatan kepariwisataan. Sebagai contoh, wisatawan berwisata (membeli barang) di daerah tertentu tanpa menggunakan bahasa daerah tersebut mendapat perlakuan diskriminasi dalam pembayaran yang mengakibatkan kerugian terhadap wisatawan. Apakah pasal ini dapat memberikan perlindungan tidak diskriminatif terhadap wisatawan yang membeli barang. Konsep diskriminatif merupakan hal yang belum diatur secara komprehensif. Tiga komponen yang dihasilkan dalam diskriminatif adalah: pertama, penyebab; kedua, fakta (perbedaan perlakuan dan tidak diberi peluang); ketiga, dampak. Misalkan dalam contoh kasus dilatar belakang masalah penyebabnya adalah asal negara, faktanya perbedaan perlakuan dan dampaknya menurunkan citra pariwisata.
Sehubungan dengan diskriminasi, jika dicermati Undang-Undang Kepariwisataan hanya mengatur sanksi administratif terhadap setiap wisatawan yang tidak menghormati dan menjaga norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai dalam masyarakat setempat; memelihara dan melestarikan lingkungan; turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan turut mencegah bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan melanggar hukum. Dan juga sanksi pidananya hanya mengenai siapa pun orang yang merusak fisik dan daya tarik wisata, dalam artian mengubah bentuk, warna, mencemarkan lingkungan menghilangkan spesies tertentu, mengambil, memindahkan, menghancurkan atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga menyebabkan hilangnya keunikan, keindahan dan nilai autentik daya tarik wisata.
Dalam Undang-Undang Kepariwisataan sudah jelas tidak memuat sanksi terkait perlakuan diskriminasi terhadap wisatawan, maka sesuai dengan pendekatan kasus di atas digunakan aturan yang bersifat umum. Sebagaimana disebutkan dalam asas lex specialis derogat legi generalis yang mengandung makna aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Namun sepanjang tidak diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus, maka berlaku ketentuan yang bersifat umum.
Seperti disebutkan dalam contoh kasus di atas, wisatawan tersebut dipukuli oleh 4 orang security di depan umum sehingga menyebabkan luka-luka, adanya kekerasan yang ditimbulkan dapat diancam dengan Pasal 170 ayat (1) dan (2) ke-1 KUHP yang isinya :
-
(1 ) “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
-
(2 ) “Yang bersalah diancam: 1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka”
Dalam hal ini, citra pariwisata akan tetap turun dan berdampak menurunnya jumlah kunjungan wisatawan dan apabila kunjungan wisatawan menurun maka perekonomian yang bertumpu pada pariwisata akan menurun pula. Kepariwisataan yang merupakan peningkatan persahabatan antar bangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia yang bertumpu pada kekhasan bangsa akan tercemar dengan indiom dari kegiatan berwisata seperti bangsa Indonesia adalah bangsa yang diskriminatif. Kegiatan kepariwisataan adalah merupakan salah satu dari kegiatan bisnis di sektor jasa yang secara internasional salah satu pengaturannya melalui the General Agreement on Trade in Services (GATS), salah satu prinsip dari GATS adalah Non-discrimination.10
Wisatawan merupakan faktor utama penentu laju suatu industri pariwisata. Untuk dapat memajukannya, diperlukan rasa nyaman dan tidak diskriminasi terhadap wisatawan. Faktor paling penting guna menarik minat wisatawan adalah dengan melindungi hak-haknya. Yang artinya Undang-Undang Kepariwisataan belum mampu memberikan perlindungan hukum terhadap wisatawan dan tidak efektif dalam mewujudkan kepariwisataan yang berlandaskan hak asasi manusia dalam melindungi wisatawan terhadap perlakuan diskriminasi. Dalam hal ini Undang-Undang Kepariwisataan gagal menyinkronkan norma dengan ekspektasi komunitas, termasuk ekspektasi obyek yang diaturnya. Norma yang dibangun di atas konstruksi epistemologi spekulatif menggunakan dugaan dan prakiraan 11 akan mengalami kesenjangan antara das sollen dan das sein.
Tujuan perlindungan hukum menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum terhadap wisatawan yang bisa disebut sebagai konsumen dari kegiatan kepariwisataan. Secara substansi hukum mengenai diskriminasi terdapat dalam UU 40/2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis (LN No. 170-TLN No. 4919) (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi) subjeknya adalah ras dan etnis yang masih dalam ruang lingkup bangsa bukan mengenai asal negara. Bisa dikatakan sebagai penunjang kepariwisataan yang menjunjung tinggi HAM sebaiknya Undang-Undang ini diperlukan perubahan agar memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh kegiatan pariwisata. Kepastian hukum ini bertujuan untuk menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat seperti yang diungkap Roscoe Pound adalah Law as a tool of social engineering and social controle. Perlindungan terhadap wisatawan dari segala bentuk tindakan diskriminasi diselenggarakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
-
3. 2 Penegakan Hukum terhadap Wisatawan yang Mendapat Perlakuan Diskriminatif yang Mengakibatkan Kerugian
Penerapan Undang-Undang Kepariwisataan dalam hal perlakuan diskriminasi masih belum berjalan secara optimal. Penghapusan diskriminasi merupakan salah satu landasan agar tercapainya HAM. Dalam hal ini penegakan HAM merupakan tujuan dari Komnas HAM secara atribusi dan eksplisit melalui Pasal 75 huruf b Komnas HAM bertujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM untuk berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Menurut Rene J.G.H. Seerden yang menyatakan bahwa “All act of administrative authorities are subject to the principle of legality, this implies that no organ of state has any authority unless it has been attributed to it explicitly by a norm it did not make it self”.12 Negara sebagai pemegang legitimasi dan otoritas, diwajibkan menyusun dan menjalankan berbagai kebijakan baik secara yuridis maupun nonyuridis dalam pemenuhan hak-hak tersebut. 13 Dalam hal ini wisatawan harus mendapatkan perlakuan yang setara tanpa adanya diskriminasi sosial maupun ekonomi. Perlakuan anti diskriminatif merupakan salah satu elemen dalam kegiatan berwisata yang berlandaskan hak asasi manusia yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu: siapa pemegang hak (The Holders), siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan hak tersebut (The Duty Bearers) dan apa yang menjadi substansi dari hak yang dimaksud (The Substance). 14 Sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat), Negara Indonesia harus menjalankan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dengan cara antara lain: penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan memenuhi (to fulfill). 15 Agar suatu hukum dapat efektif Derita Prapti Rahayu mengemukakan beberapa elemen dasar dalam hukum haruslah berjalan atau berfungsi dengan baik yaitu sebagai berikut:
-
a. Aturan hukum harus lengkap dan up to date;
-
b. Penegakan hukum harus berjalan dengan baik dan fair;
-
c. Penegakan hukum harus berjalan dengan sungguh-sungguh imajinatif, dan tidak memihak.
-
d. Budaya hukum dan kesadaran masyarakat harus mendukung pelaksanaan hukum.16
Undang-Undang HAM merupakan payung hukum yang artinya dalam pelaksanaannya memerlukan bantuan Undang-Undang lain, seperti pada Undang-Undang 2/2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (LN No. 2-TLN No. 4168) bahwa Pasal 13 huruf b, tugas pokok Kepolisian Negara RI adalah menegakkan hukum. Dan Pasal 14 ayat (1) huruf d dan i dalam melaksanakan tugas pokok seperti yang dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara RI bertugas: turut serta dalam
pembinaan hukum nasional dan melindungi keselamatan jiwa raga, masyarakat, harta benda, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberi pertolongan dan bantuan dengan menjunjung tinggi HAM. Apabila wisatawan mendapat perlakuan diskriminasi sampai mengalami kerugian yang ditimbulkan dari keadaan yang bertentangan dengan hukum akan timbul kewajiban untuk mengganti kerugian atau perbaikan. Seorang individu menurut hukum positif dapat menghindari sanksi dengan melakukan penggantian atas kerugian yang juga merupakan bagian dari pertanggungjawaban.17
Sesuai dengan pendekatan kasus pada wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif, penegakannya tetap sesuai dengan KUHAP. Prosedurnya mulai dari Kepolisian (Polisi), kemudian Kejaksaan (Jaksa) dan terakhir di Pengadilan (Hakim). Tahap penyidikan oleh Kepolisian, Penuntutan oleh Kejaksaan, kemudian Persidangan oleh Pengadilan yang melahirkan putusan. Adapun tahapan peradilan pidana sesuai dengan KUHAP yaitu pertama dari adanya laporan, pengaduan dan tertangkap tangan, kemudian akan dilakukan penyelidikan oleh Kepolisian, apabila telah diyakini benar adanya tindak pidana maka dilanjutkan dengan penyidikan, kemudian penyidik membuat BAP kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dipelajari dan diteliti, setelah berkas dianggap lengkap oleh Kejaksaan maka akan dibuatkan surat dakwaan dan dilakukan penuntutan, setelah itu dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
-
4. Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif tidak diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Kepariwisataan, sehingga asas lex specialis derogat legi generalis yang mengandung makna aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum tidak berlaku. Namun sebaliknya karena tidak diatur dalam aturan khusus, maka yang berlaku adalah aturan umum, yaitu pada KUHP. Seperti dalam pendekatan kasus di atas, yang mendapat perlakuan diskriminatif maka dapat diancam dengan Pasal 170 KUHP ayat (1) dan (2) ke-1 yang di dalamnya mengandung unsur : barang siapa yang artinya siapa pun itu dalam bentuk manusia termasuk WNI maupun WNA; terang-terangan yang artinya tidak ada yang disembunyikan, dengan sengaja dan sangat berniat; dengan tenaga bersama yang artinya tidak hanya sendiri, lebih dari 1 orang, bekerja sama, melakukan pengeroyokan; menggunakan kekerasan yang artinya melakukan dengan paksa, menggunakan tenaga yang tidak ringan; dan terhadap orang/barang yang artinya korbannya adalah orang atau bisa saja merusak barang. Sehingga di sini yang dilindungi adalah semua orang tanpa membeda-bedakannya, termasuk wisatawan asing yang hanya berwisata ke tempat tertentu.
Penegakan Hukum terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif karena tidak diatur dalam Undang-Undang Kepariwisataan maka harus disesuaikan dengan Undang-Undang Kepolisian Negara RI karena tugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum. Maka bagi wisatawan yang mendapat perlakuan diskriminatif harus disesuaikan dengan prosedur peradilan pidana yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berawal dari adanya laporan, pengaduan dan tertangkap tangan, kemudian akan dilakukan penyelidikan oleh Kepolisian, apabila
telah diyakini benar adanya tindak pidana maka dilanjutkan dengan penyidikan, kemudian penyidik membuat BAP kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dipelajari dan diteliti, setelah berkas dianggap lengkap oleh Kejaksaan maka akan dibuatkan surat dakwaan dan dilakukan penuntutan, setelah itu dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan hingga dikeluarkannya putusan.
Daftar Pustaka
Buku
Kartohadiprodjo, S. (2010). Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Jakarta: Gatra Pustaka.
Kelsen, H. (2013). Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif). Bandung: Nusa Media.
Kleden, M. (2008). Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal. Yogyakarta: Lamalera.
Mertokusumo, S. (2000). Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Edisi I, Cetakan ke I, Jakarta: Liberty.
Putra, Ida Bagus Wyasa, (2016). Teori Hukum dengan Orientasi Kebijakan. Denpasar: Udayana University Press.
Rahayu, D. P. (2014). Budaya Hukum Pancasila . Yogyakarta: Thafa Media.
Seerden, R. J.G. H. (2007). Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States: A Comparative Analysis. Oxford: Intersentia Antwerpen.
Widiatedja, I. G. N. P. (2011). Kebijakan Liberalisasi Pariwisata (Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi). Denpasar: Udayana University Press.
Jurnal
Dharmawan, N. K. S., Sarjana, M., & Samshitawrati, P. A. (2018). Perusahaan dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut: The Right To Tourism Vs Sustainable Tourism. Masalah-Masalah Hukum, 46(2).
Bytyqi, V. (2017). The State’s Obligation to Protect the Individuals Lives from the Consequences of Domestic Violence.Hasanuddin Law Review, 3(1), 27-35.
http://dx.doi.org/10.20956/halrev.v3i1.897
Laheri, P. (2015). Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerugian Wisatawan Berkaitan Dengan Pelanggaran Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 4(1), 126-137. https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i01.p10
Dharmawan, N. K. S., Nurmawati, N. M., & Sarna, K. (2011). “The Right To Tourism” Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Di Indonesia1. Kertha Patrika, 36(2), 3-20.
Innez Primantara, P. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata Oleh Biro Perjalanan Wisata. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 4(2), 263-271.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i02.p06
Sarsiti, S., & Taufiq, M. (2012). Penerapan Perlindungan Hukum terhadap Wisatawan yang Mengalami Kerugian di Obyek Wisata (Studi di Kabupaten Purbalingga). Jurnal Dinamika Hukum,12(1), 27-44.
http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.1.198
Driss, B. (2017). GATS and International Trade in Health Services: Impact and Regulations. Hasanuddin Law Review, 3(2), 104-116.
http://dx.doi.org/10.20956/halrev.v3i2.1050
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (LN No. 42-TLN No. 3821)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (LN No. 165-TLN No. 3886)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (LN No. 2-TLN No. 4168)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis (LN No. 170-TLN No. 4919)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (LN No. 11-TLN No. 4966)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
Internet
Tribun-Bali.com. (2017, Januari 12). Rekaman CCTV: Bule Ditarik Lalu Dipukul di La Favela Bar Bali, Kabarnya Hingga Buta Permanen!. Diakses pada http://bali.tribunnews.com/2017/01/12/rekaman-cctv-bule-ditarik-lalu-dipukul-di-la-favela-bar-bali-kabarnya-hingga-buta-permanen
132
Discussion and feedback