Jurnal

ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana • Desember 2015

Vol. 4, No. 4 : 736 - 746

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

Oleh:

Anak Agung Ngurah Agung Satrya Diana1

ABSTRACT

Licensing is one of the fundamental problems in the administration of the licensing applicant investment in Indonesia . Licensing is one of the very important first step in starting a business activity which is a testament to the legality of an otherwise legitimate business activities or the permissibility of a person or legal entity to conduct business activities . With the enactment of Law No. 25 of 2007 on Investment has shown that the character of a paradigmatic shift in the organization of centralized to decentralized investment in Indonesia , with the authority given to the Government of Blood to organize affairs in the administration of Investment mandatory . Especially with the issuance of Presidential Decree No. 27 Year 2009 on One Stop Services in the Field of Investment , is expected to provide legal certainty to investors who want to invest in an area designated by the legislation in force . The Province of Bali has established Investment and Licensing Agency Bali Province as Provincial Tool to Investment ( PDPPM ) , which has been granted delegation of authority from the Governor of Bali to host Investment in accordance with the authority granted by the laws and existing undnagan . However, there are shortcomings in the regulation of the Governor of Bali Delegation Authority in the Field Licensing and Nonperizinan To the Head of Investment and Licensing province of Bali , which does not include the authority to issue permissions to Investment based on legislation in the field of investment , so that in case PDPPM this as an institution in Bali province can not provide legal certainty associated with the licensing application filed by investors in doing business in Bali Province in accordance with the issuance authority.

(Keywords : Licensing , Nonperizinan , Authority , PTSP in the Field of Investment)

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Perizinan merupakan salah satu permasalahan yang mendasar bagi pemohon perizinandalampenyelenggaraanpenanaman modal di Indonesia. Perizinan merupakan salah satu langkah awal yang penting dalam memulai kegiatan usaha. Kepemilikan perizinan sesuai ketentuan yang berlaku

merupakan suatu bukti legalitas bagi suatu kegiatan usaha yang dinyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan hukum untuk melakukan kegiatan usaha. Tanpa bukti legalitas tersebut, kegiatan usaha yang bersangkutan berada dalam kondisi informal. Bukti legalitas yang dibutuhkan oleh penanam modal merupakan bentuk perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dengan kegiatan usaha yang bersangkutan. Dengan arti lain, apabila usaha yang dilakukan tidak dilengkapi dengan dokumen legalitas yang dibutuhkan

Magister Hukum Udayana• Desember 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan sulit bagi suatu kegiatan usaha untuk mengembangkan usahanya di Indonesia.

Dengan lahirnya Undang-Undnag Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal(LembaranNegaraRepublikIndonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724) telah menunjukan terjadinya perubahan paradigma yang bercorak sentralistik menjadi desentralisasi dalam penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), yang disebutkan bahwa baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota hanya memiliki kewenangan di bidang Penanaman Modal sebagai urusan wajib Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pasal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737), yang dipertegas dalam Pasal 2 ayat (4) yang menekankan urusan wajib di bidang penanaman modal yang merupakan salah satu diantara 31 (tiga

puluh satu) urusan wajib yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Pendelegasianwewenangmelaluicorak desentralisasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam bidang Penanaman Modal, paling tidak telah memberikan hembusan angin segar kepada Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan sendiri di bidang Penanaman Modal. Berdasarkan iklim desentralisasi tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi diharapkan segera membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Penanaman Modal.

Hal ini dipertegas kembali dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu SatuPintu yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang proses pengolahannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap diterbitkannya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas layanan publik dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik agar terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau dan meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.

Dalam penyelenggaran penanaman modal di Indonesia sebagai pelaksana Pasal 26 ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Dalam Pasal 1 ayat 4 Peratuan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

disebutkan bahwa : Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu Perizinan dan Nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Dan dalam Pasal 10 dijelaskan bahwa : Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dalam Pasal 11 juga dijelaskan bahwa :

  • (1)    Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh pemerintah provinsi dilaksanakan oleh PDPPM.

  • (2)    Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur memberikan PendelegasianWewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal yang menjadi urusan pemerintah provinsi kepada kepala PDPPM.

  • (3)    Urusan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:

  • a.    urusan pemerintah provinsi di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi; dan

  • b.    urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang diberikan Pelimpahan Wewenang kepada Gubernur.

PDPPM dalam hal ini dijelaskan berdasarkan Pasal 1 ayat 7 adalah : Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat PDPPM adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang Penanaman Modal di Pemerintah Provinsi.

Sebagai pedoman dalam penyelenggaraan penanaman modal yang merupakan penjabaran dari Pasal 15 ayat (1) Peratuan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal telah diterbitkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal dalam Pasal 7 disebutkan :

  • (1) . Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilaksanakan oleh PDPPM / Instansi Penyelenggara PTSP.

  • (2) . Untuk penyelenggaraan PTSP bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur memberikan pendelegasian wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan

    Magister Hukum Udayana• Desember 2015


    (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


    Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


atas urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi kepada Kepala PDPPM/instansi Penyelenggara PTSP.

  • (3) . Urusan Pemerintahan di Bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi yang diselenggarakan oleh PDPPM/instansi penyelenggara PTSP terdiri atas :

  • a.    urusan Pemerintah Provinsi di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas Kabupaten / Kota berdasarkan Peraturan Perundang-undangan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi;

  • b.    urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal yang diberikan pelimpahan wewenang kepada Gubernur: dan

  • c.    urusan Pemerintah Provinsi yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal dalam Pasal 1 ayat 6 menyebutkan Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 7 disebutkan Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas

fiskal dan nonfiskal, serta informasi mengenai Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dalam proses penyelenggaraan perizinan dan nonperizinan dilakukan melalui Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 ayat 37 yaitu: Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik, yang selanjutnya disebut SPEPISE,adalahsystemelektronikpelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang terintegrasi antara BKPM dengan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan, Badan Pengusahaan KPBPB, Administrator KEK, PDPPM, PDKPM, dan Instansi Penyelenggara PTSP di Bidang Penanaman Modal.

Hal ini kemudian memunculkan interpretasi adanya konflik norma dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atasdanperaturanpelaksananyaterkaitdengan lembaga penyelenggara PTSP di Bidang Penanaman Modal dan tingkat kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga tujuan dari PTSP di bidang Penanaman Modal yang bertujuan untuk membantu Penanam Modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiscal, dan informasi mengenai Penanaman Modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan biaya pengurusan Perizinan dan Nonperizinan sesuai dengan yang ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

Magister Hukum Udayana • Desember 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


  • 1.2.    Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan mengenai kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam penyelenggaraan penanaman modal di Provinsi Bali dan penyelenggaraan kewenangan penerbitan perizinan di bidang penanaman modal.

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian di sini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum (het doel van het onderzoek) dan tujuan yang bersifat khusus (het doel in het onderzoek), sebagai berikut :

  • 1.3.1.    Tujuan Umum.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum, khususnya bidang hukum pemerintahan melalui pemahaman tentang kewenangan penerbitan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal.

  • 1.3.2.    Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum di atas, yang menekankan pada aspek normatifnya, maka tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan di atas adalah : a. Untuk mengkaji dan menganalisis secara hukum terhadap kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam penyelenggaraan penanaman modal di Provinsi Bali.

  • b. Untuk memahami dan menganalisis terhadap           penyelenggaraan

kewewenangan penerbitan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian merupakan ”suatu upaya pencarian” dan bukannya sekedar mengamati dengan penelitian terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang di tangan.Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research yang berasal dari kata ”re” (kembali) dan ”to search” (mencari). Dengan demikian secara harfiah berarti ”mencari kembali”2

Disamping itu juga, penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini dikarenakan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten.3

  • 2.1.    Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, bertujuan untukmengungkapkankenyataansejauhmana perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal atau mempunyai keserasian secara horisontal apabila menyangkut perundang-undangan menyangkut bidang yang sama.4

Penelitian hukum normatif yang dimaksud, juga merupakan penelitian hukum doktrinal yang disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

Dimaksudkan demikian karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan sebagai penelitian perpustakaan atau studi

Magister Hukum Udayana• Desember 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


dokumen, penelitian ini labih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.5

Penelitian ini berangkat dari adanya konflik norma berkaitan dengan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif dengan fokus penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

Dengan kata lain, penelitian ini menekankan kepada penelitian bahan-bahan hukum yang ada dalam rangka menjawab permasalahan penyelenggaraan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal. Dalam membahas pokok permasalahan akan didasarkan pada hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.

  • 2.2.    Jenis Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach), yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Melalui pendekatan demikian akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari dan meneliti konsistensi suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.6

Berdasarkan pendekatan tersebut selanjutnya ingin mengkaji perundang-undangan di bidang penanaman modal, khususnya mengenai penyelenggaraan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal, terkait dengan konsistensinya terhadap beberapa perundang-undangan tentang Penanaman Modal. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach), yaitu dengan menganalisa konsep hukum yang menyangkut regulasi di bidang Penanaman Modal yang dikaitkan dengan konsep PTSP di Bidang Penanaman Modal, Perizinan, Nonperizinan, konsep wewenang, serta dengan mengkaitkannya dengan teori-teori hukum yang relevan dengan masalah di atas.

Juga menggunakan pendekatan sejarah hukum (historical approach), untuk mengkaji atau menelusuri perkembangan hukum yang ada kaitannya dengan masalah hukum dalam penelitian ini, seperti peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku yang mengatur tentang regulasi di Bidang Penanaman Modal, disamping juga menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach).

Namun demikian, pendekatan yang paling dominan dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan. Secara hukum dalam peraturan perundang-undangan, yang dibenarkan secara akademik berdasarkan teori, konsep, asas-asas dan pandangan dari para sarjana.

  • 2.3.    Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, bahan hukum yang dipergunakan berasal dari beberapa sumber, antara lain :

Magister Hukum Udayana • Desember 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


  • a.    Bahan hukum primer; berupa peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan masalah penelitian di atas, seperti : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, PeraturanPemerintah Nomor38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Peratuan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian diatas.

  • b.    Bahan hukum sekunder; adalah bahan-bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan-bahan hukum primer. Ataujugamerupakanbahanhukumyang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian atau hasil karya ilmiah kalangan hukum serta buku-buku literatur serta tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan masalah yang di bahas, yaitu mengenai kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam

penyelenggarakan penanaman modal di Provinsi Bali dan penyelenggaraan kewenangan penerbitan perizinan di bidang penanaman modal.

  • c.    Bahan hukum tersier; yakni bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari kamus hukum, ensiklopedia, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya.

  • 2.4.    Teknik Pengumpulan Bahan

    Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menginventarisasi, menyusun berdasarkan subyek, selanjutnya dikaji / dipelajari, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Teknik ini disebut juga dengan teknik studi dokumentasi dengan mengunakan alat bantu berupa kartu kutipan berdasarkan pengarang/penulis (subyek) maupun tema atau pokok masalah (obyek).7 3.5. Tehnis Analisis

Analisis dalam penelitian merupakan bagian yang sangat penting karena dengan analisa inilah bahan hukum yang ada akan nampak manfaatnya dalam memecahkan masalah.8 Bahan hukum yang diperoleh melalui investarisasi peraturan Perundang-undangan, sinkronisasi vertikal dan horisontal dan kajian pustaka, dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya disajikan dalam bentuk deskripsi, yang merupakan teknik dasar yang dapat berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi

Winarno Surachmad, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tersito, Bandung, hlm.257.

P. Joko Subagyo, 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.104.

Magister Hukum Udayana• Desember 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.9

Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.10 Adapun dasar penggunaan analisis secara normatif, karena bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajian-kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas, konsepsi-konsepsi atau pandangan-pandangan serta kaedah hukum. Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dianalisis dengan langkah diskripsi, sistematisasi, interpretasi, evaluasi dan argumentasi.

Diskripsi mencakup isi maupun struktur hukum positif.11 Bahan hukum yang telah dikumpulkan dari penelitian pada awalnya diolah dan dideskripsikan dan ditentukan pokok permasalahannya. Bahan hukum yang dideskripsikan dan ditentukan pokok masalahnya, hal itu dipakai landasan evaluasi Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam penyelenggaraan Penanaman Modal berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Rincian Tugas Pokok Badan Penanman Modal dan Perizinan Provinsi Bali.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 82 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali yang merupakan

turunan dari Pasal 172 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali disebutkan bahwa : Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali adalah sebagai unsur pendukung tugas kepala daerah yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang penanaman modal dan perizinan. Sedangkan fungsinya adalah :

  • a.    Perumusan kebijakan teknis bidang Penanaman Modal dan Perizinan;

  • b.    Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah bidang penanaman modal dan perizinan;

  • c.   Pembinaan dan pelaksanaan tugas

bidang penanaman modal  dan

perizinan; dan

  • d.   Pelaksanaan tugas lainnya  yang

diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

  • 3.2.    Pengaturan Lembaga/Instansi Penyelenggara Penanaman Modal di Provinsi Bali.

Keberadaa lembaga tersebut mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan bukan mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal yang merupakan penjabaran dari Undang-Undang

Magister Hukum Udayana • Desember 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali diatur dalam Pasal 172 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 82 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali dan dengan ini telah dilimpahkan penandatangan Perizinan sebanyak 36 dan Nonperizinan sebanyak 16 dari Gubernur Bali kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 62 Tahun 2013 tanggal 31 Desember 2013. Namun demikian dalam Peraturan Gubernur tersebut tidak terdapat pelimpahan kewenangan terkait dengan penerbitan periiznan di bidang Penanaman Modal berdasarkan peraturan teknis yaitu: Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal selaku lembaga Perangkat Daerah Provinsi Bidang Penanaman Modal (PDPPM) di Provinsi Bali.

Dalam upaya memberikan kepastian hokum terhadap penanam modal yang ingin menanamkan modalnya di Provinsi Bali yang semestinya dapat diterbitkan oleh Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali berdasarkan kewenangan yang telah diberikan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal dengan sendirinya tidak dapat diterbitkan

mengingat dalam pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh Gubernur Bali kepada KepalaBadanPenanmanModaldanPerizinan Provinsi Bali tidak diatur di dalamnya. Adapun Perizinan di Bidang Penanaman Modal yang semestinya dapat diterbitkan berdasarkan kewenangan yang diberikan adalah: Izin Prinsip Penanaman Modal; Izin Usaha; Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal; Izin Usaha Perluasan; Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal; Izin Usaha Perubahan; Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal; dan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan, sedangkan Nonperizinan disamping memfasilitasi permohonan perizinan penanaman modal asing yang masih menjadi kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia, juga terkait dengan pemberian insentif/kemudahan-kemudahan dan pemberian informasi tentang penyelenggaraan Penanaman Modal.

  • IV.    Penutup

    4.1.    Simpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam penyelenggarakan penanaman modal di Provinsi Bali masih rancu dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Penanaman Modal di Indonesia.

  • 2.    Bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan penerbitan perizinan di bidang penanaman modal perlu dilakukan peningkatan sumber daya manusia dan infrastruktur penunjang disamping tetap melakukan koordinasi dengan instansi dan lembaga yang menangani penanaman modal.

    Magister Hukum Udayana• Desember 2015


    (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


    Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


  • 4.2.    Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah :

  • 1.    Perlunya dilakukan kajian ulang terhadap Peraturan Gubernur Bali tentang Pelimpahan Kewenangan di Bidang Perizinan dan Nonperizinan kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Prizinan Provinsi Bali yang mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi penanam modal yang mengajukan permohonan perizinan di bidang penanaman modal sebagai lembaga PDPPM di Provinsi Bali berdasarkan kewenangannya.

  • 2.    Perlunya diterbitkan Standar Operasional dan Prosedur dalam penyelenggaraan penanaman modal, menerbitkan Standar Pelayanan Minimal, melengkapi infrastruktur yang kurang dan terlebih lagi meningkatkan sumber daya manusia terutama pada posisi Front Office dan Back Office yang menangani langsung permohonan sampai penerbitan dokumen perizinan yang dimohonkan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anonim, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penelitian Tesis Ilmu Hukum, 2006, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Hadjon, Philipus M., 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember – Desember, Surabaya.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Mulia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 1986, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta.

Subagyo, P. Joko, 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III, Rineka Cipta, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Surachmad, Winarno, 1985, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tersito, Bandung

Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Perubahannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota

Peratuan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

Magister Hukum Udayana • Desember 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 4 : 736 - 746


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 jo Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali.

Peraturan Gubernur Bali Nomor 82 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali

Peraturan Gubernur Bali Nomor 62 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Dibidang Perizinan dan Non Perizinan Kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali

746