KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis diberikan kemudahan dan kekuatan untuk menyelesaikan tulisan hukum “MEKANISME PENERBITAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN SEBAGAI ALAS HAK LAHIRNYA SHM SARUSUN/SKBG SARUSUN BERIKUT PERALIHAN DAN PEMBEBANANNYA”

Tinjauan dan pembahasan yang dikemukakan dalam tulisan ini, bertitik tolak dan bersumber dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun yang baru saja mengantikan UU Rumah Susun yang terdahulu yaitu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 serta Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 dan peraturan perundangan terkait dengan hukum jaminan kebendaan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Penulis mencoba memaparkan secara singkat dan padat segala aspek hukum yang menyangkut pembebanan rumah susun dan satuan rumah susun sebagai jaminan hak tanggungan dan fidusia, agar tulisan ini dapat memberikan pemahaman dan manfaat kepada pelbagai lapisan dan kalangan masyarakat termasuk lingkungan perguruan tinggi, praktisi hukum dan dunia bisnis. Pemaparan tinjauan dan pembahasan yang terkandung dalam penguraiannya disajikan dalam susunan kalimat dan bahasa yang komunikatif serta mudah dicerna bagi mereka yang membacanya.

Penulis sadar tulisan ini kemungkinan besar masih belum lengkap dan sempurna sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, paling tidak tulisan ini merupakan sumbangsih kecil memperkaya khazanah kepustakaan dalam bidang hukum Rumah Susun.

Penulis

ISSUANCE MECHANISM OF DEED OF HIGH-RISE SEPARATION AS THE LEGAL BASIS OF HIGH RISE TITLE SHM SARUSUN/SKBG SARUSUN ALONG WITH ITS TRANSFER AND ENCUMBRANCE

OLEH: DESY EKA WIDYANTARI

ABSTRACT:

Deed of High-Rise Separation is an important stage in the development and ownership of high-rise because deed of separation is proof of high-rise separation upon high-rise units, mutual parts, mutual objects and mutual land with clear report in the form of drawings, descriptions and boundaries in vertical and horizontal directions which containing proportional comparison value. Proportional comparison value is very important for the owner of high-rise unit because it represents the owner’s rights and obligations on ownership, maintenance and management of such high-rise. Proportional comparison value is a number that indicates the ratio high-rise unit towards the rights over mutual parts, mutual objects and mutual land, calculated based on total area and value of the concerned high-rise unit towards the building total area or the high-rise overall value at the first time the developer calculates its overall development cost to determine its selling price. In relation to the issue of deed of separation, some problems raised as follow; firstly, its legal consequences if there is changes on building plan in further stage during the high-rise development which results in changes on proportional comparison value of the Deed of High-Rise Separation, and secondly, whether strata unit and Strata title / Building title can be used as credit security and how is the implementation of partial revocation mortgage in high-rise construction credit.

A research is designed as normative legal research in order to respond those problems by using 2 types of approaches that consists of: The Statue Approach and The Legal Content Analitical Approach. The legal materials analyzed herein are primary legal material and secondary legal material, arranged descriptively and systematically.

Research shows that it is possible for the high-rise developer to change the building plan provided that before making any changes on the building plan, it must inform such changes to the Association of High-Rise Residents and also has received approval from the Association of High-Rise Residents, especially if such changes result in changes of the high-rise comparison value. High-rise and high-rise unit can also be used as debt security through Mortgage/Fiduciary Institution, which allows the developer to pledge the high-rise for construction credit, in which the high-rise unit that has been fully paid by its owner can be released from the credit security of high-rise construction, thus the high-rise owner may then transfer their high-rise unit for credit security of apartment ownership (KPA) as well as other financing credit security.

Key words: Deed of Separation, Proportional Comparison Value, Mortgage/Fiduciary Credit Security and Partial Mortgage Revocation.

  • I.    Pendahuluan

Pasal 31 PP No. 4/1988 tentang Rumah Susun mewajibkan pengembang atau penyelenggara pembangunan rumah susun untuk membuat pertelaan yang menunjukan batas-batas yang jelas dari masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama beserta uraian nilai perbandingan proporsional.

Rumah susun menurut Arie Sukanti Hutagalung adalah sebagai berikut:1

“suatu pemilikan bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing merupakan satu-kesatuan yang dapat digunakan dan dihuni secara terpisah, serta dimiliki secara individual berikut bagian-bagian lain dari bangunan itu dan tanah diatas mana bangunan itu berdiri yang karena fungsinya digunakan bersama, dimiliki bersama-sama oleh pemilik bagian yang dimiliki secara individual tersebut diatas”.

Sedangkan Charles F Floyd, dan Marcus T Allen, merumuskan condominium atau dikenal dengan rumah susun di Indonesia sebagai berikut:2

“The Condominium declaration describes the individual units and all common areas, assign a specific schemes of the common areas to each unit, create association to govern the project and maintain the common area, and set forth restriction on use”.

Rumah susun atau condominium menurut terjemahan dari Blacks law dictionary3 yang terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut: sebuah bangunan gedung bertingkat dimana pemilik unit bangunan tersebut memiliki hak milik individual atas unit yang bersangkutan dan memiliki kepentingan/kepemilikan bersama-sama dengan pemilik unit bangunan lainnya atas area yang digunakan bersama.

Pengertian dan definisi rumah susun tersebut diatas sejalan dengan pengertian rumah susun menurut pasal 1 angka 1 UU Rumah Susun No. 20 Tahun 2011.4

Pertelaan adalah uraian mengenai batas-batas yang jelas dari setiap satuan rumah susun baik secara horizontal dan vertikal, yang merupakan bagian tertentu dari gedung, termasuk bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang didalamnya mengandung nilai perbandingan proporsional. Nilai perbandingan proporsional adalah angka yang menunjukan perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Nilai perbandingan proporsional sangat penting artinya bagi pemilik satuan rumah susun karena nilai perbandingan proporsional mencerminkan hak dan kewajiban pemilik satuan rumah susun atas pemilikan bagian, benda dan tanah bersama, hak dan kewajiban dalam

pemeliharaan dan pengelolaan rumah susun serta hak suara (voting right) dalam Persatuan Penghuni Rumah Susun (PPRS).

Pertelaan sangatlah penting dalam sistem rumah susun karena disinilah titik awal dimulainya proses hak milik atas satuan rumah susun. Dari pertelaan tersebut akan muncul satuan-satuan rumah susun yang terpisah secara hukum dengan rumah susun dan hak atas tanah bersamanya melalui proses pembuatan akte pemisahan. Proses pertelaan ini dapat dimulai apabila gambar perencanaan sudah secara terperinci dibuat dan diterima oleh instansi yang menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Akta Pemisahan adalah tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang mengandung nilai perbandingan proporsional. Akta pemisahan merupakan akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun. Akta pemisahan berikut pertelaannya dimintakan pengesahannya kepada Pemda setempat dan didaftarkan di kantor pertanahan kabupaten/kotamadya sebagai dasar bagi penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ( SHM Sarusun) atau Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun).

Undang-undang Rumah Susun memungkinkan penyelenggara pembangunan rumah susun untuk dapat menjual satuan rumah susun meskipun pembangunan rumah susun belum selesai melalui mekanisme “pemesanan terlebih dahulu” yang dituangkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan notaries, sepanjang telah memenuhi 5 persyaratan kepastian atas :

  • a.    Status kepemilikan tanah

  • b.    Kepemilikan IMB

  • c.    Ketersedian prasarana, sarana dan utilitas umum

  • d.    Keterbangunan paling sedikit 20 % dan;

  • e.    Hal yang diperjanjikan.

UU rumah susun mengamantkan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah daerah untuk memberikan insentif kepada pelaku pembanguan rumah susun serta memberikan bantuan dan kemudahan bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Insentif yang diberikan kepada

  • 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, ps. 42

pelaku pembangunan dapat berupa fasilitas dalam pengadaan tanah, fasilitas dalam proses sertifikasi tanah, fasilitas dalam proses perizinan, fasilitas kredit kontruksi dengan suku bunga rendah, insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) berupa; kredit kepemilikan sarusun dengan suku bunga rendah, keringan biaya sewa sarusun, asuransi dan penjaminan kredit kepemilikan rumah susun(KPA), insentif perpajakan dan sertifikasi rumah susun6.

Pembangunan rumah susun umumnya memerlukakan dana yang sangat besar dan kadangkala penyelenggara pembangunan rumah susun membutuhkan dana/kredit dari pihak perbankan untuk penyelesaian pelaksanaan konstruksi rumah susun ataupun membutuhkan dana dari pembeli satuan rumah susun baik melalui dana pembeli rumah susun sendiri maupun dari pihak bank yang merupakan kreditur dari pembeli satuan rumah susun melalui kredit kepemilikan apartemen (KPA). Pembeli satuan rumah susun juga dapat menjaminkan satuan rumah susun sebagai jaminan pelunasan suatu hutang dengan jaminan hak tanggungan atau fidusia tergantung dari hak atas tanah bersamanya. satuan rumah susun dengan sertifikat HM Sarusun yang didirikan di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan hak tanggungan sedangkan satuan rumah susun dengan sertifikat SKBG sarusun yang didirikan diatas tanah sewa dan wakaf dapat dijadikan jaminan fidusia.

Adanya peluang bagi penyelengara pembangunan rumah susun untuk dapat memasarkan dan menjual satuan rumah susun sebelum selesai dibangun dan adanya insentif bagi penyelenggara pembangunan rumah susun untuk memperoleh kredit konstruksi dan insentif bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk dapat memiliki satuan rumah susun melalui Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA) dijadikan permasalahan dalam penelitian ini yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah akibat hukumnya bila dalam pembangunan rumah susun pada tahap selanjutnya mengalami perubahan rencana bangun yang mengakibatkan perubahan terhadap nilai perbandingan proporsional Akta Pemisahan Rumah Susun?

  • 2.    Apakah Satuan Rumah susun ( Sarusun) dan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ( SHM Sarusun)/ Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun

(SKBG Sarusun) dapat dijadikan jaminan kredit dan bagaimana penerapan roya parsial dalam kredit konstruksi rumah susun.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui:

  • 1.    Untuk mengetahui konsep pengembangan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu hak milik atas satuan rumah susun yang dapat digunakan secara terpisah dan dimiliki secara perseorangan dengan kepemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah bersama.

  • 2.    Untuk mengetahui mekanisme penerbitan akta pemisahan sebagai alas hak atas lahirnya SHM Sarusun dan SKBG Sarusun.

  • 3.    Untuk mengetahui proses pembebanan rumah susun dan satuan rumah susun sebagai jaminan KPA bagi pembeli satuan rumah susun dan Kredit Konstruksi pembangunan rumah susun oleh penyelenggara pembangunan dan penerapan roya parsial pada kredit konstruksi rumah susun.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normative, yaitu penelitian kepustakaan yang mengunakan metode penelitian dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penulisan. Pendekatan masalah yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statutory Approch) dan pendekatan analisa subtansi hukum (The legal Content Analysis) melalui penjelajahan hukum (legal exploration), tinjauan hukum (legal review) dan analisis hukum (legal analysis) yakni dengan menganalisa secara mendalam terhadap bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan, kemudian diseleksi dan dideskripsikan secara sistimatif untuk mencapai kesimpulan akhir.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersumber pada peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, dan data yang bersumber pada bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku ilmiah dan tulisan hukum.

  • III.    Hasil Dan Pembahasan

Penulis mengunakan 4 (empat) landasan teori dalam memecahkan permasalahan hukum diatas.yaitu:

  • 1.    Teori Negara Hukum

  • 2.    Teori Keadilan

  • 3.    Teori Pemilikan Bersama

  • 4.    Teori Pemisahan Horizontal

Adapun penjabaran teori-teori tersebut akan dituliskan dibawah ini:

  • 1.    Teori Negara Hukum

Professor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau Negara hukum klasik dengan negara hukum materiil atau negara hukum moder. Indonesia menganut prinsip negara hukum modern.

Di Indonesia salah satu prinsip dasar yang menegaskan prinsip negara hukum adalah pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan” Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dan dalam penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa” Negara Indonesia berdasarkan pada hukum (RechtStaat), tidak berdasarkan kekuasan belaka (MachtStaat). Oleh karena itu aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui peraturan perundangan-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat.

Konsepsi negara hukum secara konstitusional dapat dirujuk pada rumusan tujuan negara yang dijabarkan pada alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 yaitu:”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan social”. Tujuan negara tersebut kemudian dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945. Penggunaan tanah dan sember kekayaan alam yang terkandung dalam pasal 33 ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang 7

Nomor % Tahun 1960 Tentang Peeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah berpenduduk padat, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga

  • 7 Jeane Neltje Saly, 2007, Penelitian Hukum Pemanfaatan Hak Atas Tanah Dalam Hubungannya Dengan Pembangunan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta,h.7.

pemanfaatannya betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak, menjadi titik tolak dibuatnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun dan Peraturan Pelaksanaanya antara lain Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun.

  • 2.    Teori Keadilan

Aristoteles dalam buah pikirannya Ethica Nicomachea dan Rhetorica mengatakan hukum mempunyai tugas suci, yaitu member kepada setiap orang apa yang berhak diterima. Anggapan ini berdasarkan etika dari Aristoteles yang berpendapat bahwa hukum hanya bertugas membuat keadilan (ethische theorie).8Keadilan menurut ristoteles bukanlah penyamarataan tiap-tiap orang mempunyai bagian yang sama (Komutatif) melainkan keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang menurut jatah jasanya. Bukan persamaan melainkan keseimbangan.

Teori keadilan dalam UU Rumah Susun tercermin dalam Nilai Perbandingan Proposional (NPP) Rumah Susun, yang mencerminkan hak dan kewajiban pemilik Satuan Rumah Susun akan kepemilikan satuan rumah susun, benda, bagian dan tanah bersama, penghunian dan pengelolaan rumah susun.

  • 3.    Teori Kepemilikan Bersama

UU Rumah Susun memperkenalkan suatu lembaga pemilikan baru sebagai suatu hak kebendaan, yaitu Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Rumah Susun (SKBG Sarusun) yang terdiri dari hak perorangan atas unit Satuan Rumah Susun dengan hak bersama atas tanah, bagian dan benda bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan-satuan yang bersangkutan.

Konsep dasar yang melandasi SHM sarusun dan SKBG Sarusun berpangkal pada teori kepemilikan suatu benda. Menurut hukum, suatu benda/bangunan dapat dimiliki oleh seseorang atau lebih, yang dikenal dengan istilah pemilikan bersama. Dalam pemilikan bersama atas suatu benda/bangunan pada pokoknya dikenal dua bentuk pemilikan, yaitu:

  • 1.    Pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede eigendom).

  • 8 Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,h.40

Adalah ikatan hukum yang ada diantara para pemilik benda bersamanya, misalnya pemilikan bersama pada harta perkawinan atau harta peninggalan. Para pemilik bersama (mede eigendom) tidak dapat bebas memindahkan haknya kepada orang lain tanpa persetujuan mede eigenaar lainnya.

  • 2.    Pemilikan bersama yang bebas (vrije made eigendom).

Para pemilik bersama tidak terdapat ikatan hukum terlebih dahulu, selain dari hak bersama menjadi pemilik dari suatu benda. Ada kehendak untuk bersama-sama menjadi pemilik atas suatu benda untuk digunakan bersama. 9

Bentuk pemilikan bersama yang bebas inilah yang menurut Hukum Romawi disebut Condominium yang penerapannya diatur dalam UURS.

Berdasarkan konsep tersebut, maka dalam UURS dirumuskan suatu jenis pemilikan perseorangan dan pemilikan bersama dalam satu paket jenis pemilikan baru yang disebut Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Rumah Susun ( SKBG sarusun), yaitu hak pemilikan perseorangan atas Satuan Rumah Susun (sarusun), dan hak bersama atas bagian, benda dan tanahnya sebesar NPP satuan rumah susun.

Sebagai kelembagaan baru, SHM Sarusun dan SKBG sarusun dinyatakan lahir sejak didaftarkan akta pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah/Bangunan atas setiap Satuan Rumah Susun yang bersangkutan (pasal 39 ayat (5) PP. Nomor 4 Tahun 1988). Pemilik Satuan Rumah Susun yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanahnya. Untuk menjamin kepastian hak bagi pemilikan satuan rumah susun, pemerintah memberikan alat pembuktian yang kuat berupa “Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) apabila tanah bersamanya adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atau Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun) apabila hak atas tanah bersamanya adalah hak sewa atau tanah wakaf, yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

  • 4.    Teori Pemisahan Horizontal

Ketentuan pasal 25 UUPA mengunakan asas pemisahan horizontal yang memisahkan tanah dari benda-benda lain yang melekat pada tanah tersebut, sehingga rumah terpisah dengan pemilikan tanah. Berdasarkan ketentuan asas pemisahan horizontal tanah adalah terpisah dari benda-benda yang melakat padanya, pemilik tanah dapat berbeda dengan pemilik bangunan yang berdiri diatasnya. Dianutnya asas pemisahan horizontal dalam hukum pertanahan (UUPA), status hukum dari benda yang ada di atas tanah, termasuk rumah tidak lagi mengikuti status tanah dimana rumah tersebut dibangun, tetapi memiliki status yang berdiri sendiri. 10 Dengan demikian rumah menurut hukum bukan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tidak otomatis meliputi benda-benda yang ada diatasnya.

Apabila dilakukan penerapan asas pemisahan horizontal yang dianut dalam UUPA, apabila bangunan atau rumah atau rumah susun telah disertifikatkan secara terpisah dari tanahnya, pemilik bangunan bersertifikat dapat mempunyai hak untuk mempertahankan bangunan dengan kedudukan yang sama dengan pemilik tanah.

Asas pemisahan horizontal dalam UUPA pada prinsipnya adalah memisahkan antara tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya dapat diterapkan pada pembangunan rumah susun di Indonesia. Konsekuensi dari diterapkannya asas ini dalam pembangunan rumah susun adalah pendirian bangunan atau rumah tidak perlu dikaitkan dengan pemilikan hak atas tanahnya. Penerapan asas secara konsisten dapat menyelesaikan permasalahan pertanahan pada umumnya dan rumah susun pada khususya. Konsistensi dalam penggunaan asas sangat penting karena asas adalah pondasi dari hukum positif. Sesuai dengan prinsip dalam asas ini yang memisahkan kepemilikan tanah dan kepemilikan bangunan, sehingga pemilik tanah dapat saja berbeda dengan pemilik bangunan. Konsep pemilikan yang demikian dapat menyelesaikan permasalahan perumahan bagi semua lapisan masyarakat dan juga masalah pemasaran rumah susun kepada orang asing.

Sebelum penulis menganalisis permasalahan dalam penulisan ini, ada baiknya kita memahami beberapa pengertian yang ada dalam judul penelitian dan permasalahan diatas antara lain Akta Pemisahan11 dan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)12.

Hasil dari tinjauan dan analisis hukum ini adalah:

  • 1)    Menurut pasal 42 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, pembangunan rumah susun dapat dilakukan secara bertahap, artinya dapat diselesaikan blok demi blok termasuk penjualan satuan rumah susunnya, dengan demikian apabila dalam pelaksanaan pembangunan rumah susun secara bertahap tersebut, ternyata pada tahap pembangunan berikutnya oleh penyelenggara pembangunan direncanakan akan dirubah jumlah satuan rumah susun yang akan dibangun dan dijual, perubahan tersebut dengan sendirinya akan berpengaruh pada nilai perbandingan proporsional dalam akta pemisahan rumah susun yang telah ditetapkan, disahkan dan didaftarkan dikantor pertanahan. Untuk memecahkan masalah tersebut maka dapat digunakan teori keadilan distributif dan teori kepemilikan bersama suatu benda. Nilai perbandingan proporsional mencerminkan bagian hak dan kewajiban pemilik satuan rumah susun atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Nilai perbandingan proporsional dihitung berdasarkan nilai/luas satuan rumah susun berbanding dengan luas/nilai bangunan secara keseluruhan pada waktu penyelenggara rumah susun untuk pertama kalinya memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya. Nilai perbandingan proporsional memberikan keadilan bagi pemilik satuan rumah susun atas hak dan kewajibannya berkaitan dengan penghunian, pengelolaan dan pemilikan atas bagian,benda dan tanah bersama rumah susun.

Dengan demikian apabila terjadi perubahan rencana bangun oleh penyelenggara pembangunan wajib memberitahukan perubahan tersebutnya kepada Perhimpunan Penghuni Rumah Susun dan nilai perbandingan proporsionalnya diperhitungkan kembali, apabila perubahan rencana bangun itu menyebabkan nilai perbandingan proporsional menurun maka diperlukan persetujuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), dan perhitungan nilai proporsional baru, pertelaan harus dibuatkan dalam akta pemisahan baru/penyesuaian dan didaftarkan kembali kepada kantor pertanahan kabupaten untuk diterbitkan buku tanah baru atas masing-masing satuan rumah susun yang akan dibangun.

  • 2)    UU Rumah Susun juga memungkinkan penyelenggara rumah susun dapat menjual satuan rumah susun sebelum rumah susun tersebut selesai dibangun juga dapat dipahami. Pembangunan rumah susun memakai biaya yang sangat besar dan seringkali penyelenggara rumah susun tidak memiliki cukup dana sendiri untuk dapat menyelesaikan pembangunan rumah susun, penyelenggara rumah susun menyiasatinya dengan menjaminkan tanah dimana rumah susun itu akan dibangun berikut rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan kredit konstruksi dan menjual satuan-satuan rumah susun tersebut sebelum selesai dibangun dengan harapan mendapatkan dana segar untuk kelanjutan pembangunan rumah susun dari dana milik pembeli sendiri atau dana perbankan atas KPA pembeli. Penjualan satuan rumah susun itu digunakan untuk pembayaran angsuran kredit kosntruksi penyelenggara rumah susun kepada bank. Pembayaran kredit konstruksi ini dapat dilakukan secara parsial dan penghapusan pembebanannya pun dilakukan secara parsial, yaitu bahwa pelunasan hutang yang dijamin tersebut dapat dilakukan secara angsuran yang besarnya sama dengan nilai jaminan masing-masing satuan rumah susun ( sesuai NPP satuan rumah susun) yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan/Jaminan Fidusia. Dengan pelunasan itu maka satuan rumah susun yang harganya telah dilunasi dan telah digunakan untuk membayar angsuran tersebut, terbebas dari hak tanggungan/fidusia yang semula membebaninya. Hak tanggungan dan jaminan fidusia hanya membebani sisa obyek hak tanggungan/fidusia sebagai jaminan pelunasan sisa hutang yang belum terbayar atau dengan kata lain pembebanan hak tanggungan/fidusia hanya membebani sisa satuan rumah susun yang belum terjual. Ketentuan ini sejalan dengan teori keadilan, adalah

adil bagi pemilik satuan rumah susun yang telah membayar lunas harga satuan rumah susun untuk dibebaskan dari pembebanan hak tanggungan atau fidusia atas kredit konstruksi penyelenggara pembangunan sehingga pemilik yang bersangkutan dapat memperoleh SHM Sarusun/SKBG Sarusun yang bebas dari pembebanan dan mengunakan SHM Sarusun/SKBG sarusun tersebut sebagai jaminan hutang atas kredit pemilikan apartemen (KPA) ataupun jaminan hutang bagi kredit pembiayaan lainnya.

Pasal 47 dan pasal 48 UU Rumah Susun menyatakan bahwa Satuan Rumah susun yang didirikan diatas tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai, yang tanda kepemilikannya berupa Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) dapat dijadikan jaminan hutang melalui lembaga Hak Tanggungan. Sedangkan apabila satuan rumah susun itu dibangun diatas tanah hak sewa tanah pemerintah maka dapat dijadikan jaminan Fidusia. Yang dijadikan obyek pokok hak jaminan bukan tanahnya melainkan bangunan rumah susun atau satuan rumah susun, walaupun dapat diperjanjikan bahwa tanah tempat dimana rumah susun itu didirikan dapat turut dibebani jaminan hak tanggungan atau fidusia dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan Akta Jaminan Fidusianya. Pasal 47 dan pasal 48 Undang-Undang Rumah susun sejalan dengan teori kepemilikan bersama suatu benda dan teori pemisahan horizontal.

  • IV. Simpulan dan Saran

    Simpulan

  • 1)    Dimungkinkan perubahan rencana bangun rumah susun yang dapat merubah nilai perbandingan proporsional sepanjang dibuatkan pertelaan dan akta pemisahan penyesuaian dan perubahan nilai perbandingan proporsional ini harus disetujui oleh Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) dan dibuatkan perubahan akta pemisahan dan pertelaan. Akta pemisahannya perlu disahkan kembali oleh Pemda dan didaftarkan kembali pada Kantor Pertanahan Kabupaten untuk dilakukan perubahan pertelaan pada buku tanah/bangunan dan SHM Sarusun/SKBG Sarusun.

  • 2)    Rumah Susun dan Satuan Rumah Susun dapat dijadikan jaminan pelunasan hutang/kredit melalui lembaga Hak Tanggungan apabila hak atas tanah bersamanya

adalah tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai dan dapat dijadikan jaminan Fidusia apabila hak atas tanah bersamanya adalah tanah sewa dari tanah milik pemerintah serta dimungkinnya roya parsial dalam pembayaran kredit konstruksi pembangunan rumah susun.

Saran

  • 1.    Aspek kepemilikan hak tanah pada sarusun dalam kerangka hukum benda baik secara normatif (UURS) maupun secara empiris harus konsisten yaitu menerapkan asas pemisahan horizontal sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 UUPA. Seperti halnya UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang diatur dalam pasal 6 jo. Pasal 8 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2001 tentang Bangunan Gedung dengan Sistem Kondominium sebagaimana yang dianut dalam UURS seyogyanya diharmoniskan dengan UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dimana kepemilikan tanah adalah terpisah dari kepemilikan bangunan atau benda-benda yang melekat diatas tanah sehingga subyek yang dapat memiliki satuan rumah susun tidak perlu dikaitkan dengan subyek yang memenuhi syarat sebagai pemegang tanah bersamanya. Dengan demikian siapapun dapat menjadi pemilik satuan rumah susun termasuk untuk orang asing, sehingga upaya penyelundupan hukum yang tidak memberikan kepastian hukum terhadap orang asing tidak terjadi lagi.

  • 2.    Perlu dibuatnya aturan yang baku mengenai keharusan pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) yang mewakili pemilik/penghuni rumah susun atas kepemilikan, pemeliharaan dan pengelolaan rumah susun untuk menghindari kesewenang-wenangan pihak developer atas pemeliharan dan pengelolaan rumah susun bahkan atas keinginannya untuk merubah rencana bangun rumah susun yang dapat mengurangi nlai perbandingan proporsional satuan rumah susun yang dapat mengurangi pula hak dan kewajiban pemilik satuan rumah susun atas pemilikan, pemeliharaan dan pengelolaan rumah susun.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Badan Pertanahan Nasional, 1989, Himpunan karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Garfika, Jakarta.

Floyd, F, Charles and Marcus T. Allen, 2002, Real Estate Principle, Evan Butterfield

Garner,A, Bryan, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St.Paul, Minn

Halim A. Ridwan, 2000, Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium, Rumah Susun dan Sari-Sari Hukum Benda (Bagian Hukum Perdata), Puncak Karma, Jakarta

Hutagalung.Arie.s, 2000, Membangun Condominium (Rumah Susun): Masalah Yuridis Praktis dalam Penjualan, Pemilikan, Pembebanan, serta Pengelolaannya. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

_______________, 2007, Condominium Dan permasalahannya, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Jeane Neltje Saly, 2007, Penelitian Hukum Pemanfaatan Hak Atas Tanah Dalam Hubungannya Dengan Pembangunan, Badan Pembinaan Hukum Departmen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar pokok-Pokok Agraria. UU No.5, LN No.104 Tahun 1960, TLN No. 2043.

_______. Undang-Undang Tentang Rumah Susun. UU No. 20, LN No. 108 Tahun 2011, TLN No. 5252.

_______. Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan. UU No. 4, LN 42Tahun 1996, TLN No. 3632

_______. Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia, UU No. 42, LN No.168 Tahun 1999, TLN No. 3889.

_______. Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Susun. PP No. 4, LN No. 7 Tahun 1988, TLN No. 3372.

16