Jurnal

ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana • September 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 3: 455 - 463


URGENSI PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh :

Ida Puspa Jaya Miha1

ABSTRACT

The rise of the disputed local elections assessed due to poor direct voting system that always end with anarchic conflict. Direct voting system is briefly diverted to be chosen by the House of Representatives (DPR) through Law 22 of 2014 concerning Election of Governors, Regents and Mayors but this law received widespread rejection by the people so that the President issued Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2014 which regulates the same things that later passed into Law No. 1 of 2015. Article 157 paragraph (1) of Law No. 8 of 2015 on the Amendment of Act No. 1 of 2015 mandates the establishment of a special tribunal to deal with the settlement of disputes nationwide simultaneous election to be held in 2027. If the judiciary is not yet formed, the implementation of election dispute resolution made by the Constitutional Court (MK). Based on the description above background, as for the formulation of the problem to be studied is; What advantages and disadvantages of the establishment of a special judicial body which handles dispute resolution election? And what is the urgency of the election dispute resolution by the Constitutional Court? This type of research is a kind of normative legal research descriptive analysis using the approach of legislation, the legal concept analysis approach, historical approach, and the approach of case law derived from the source material of primary, secondary and tertiary using a card system as its legal material collection technique.

The conclusion of this study is the establishment of a special judicial body has advantages and disadvantages. The drawback is; unconstitutional existence of the judicial authorities for not guided by Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution and Article 27 paragraph (1) of Act 48 of 2009 on Judicial Power, the magnitude of the amount of the budget that will be issued by the state to establish such institutions. The advantage is ease the burden on the MK, more focused and rapid election dispute resolution process.

Keywords: Urgency, Local Elections, and the Constitutional Court.

berujung pada perselisihan atau konflik pasca pesta demokrasi tersebut. Sebagai contoh sepanjang tahun 2005-2007, pilkada telah menciptakan perkara besar yang berujung pada kekerasan dan kekisruhan seperti contoh pada pilkada Depok, pilkada Tuban dan sebagainya.2

Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Alamat: Jl. Dr. Goris Gang Teknik Nomor 1, e-mail: idapuspajayamiha@windowslive. com.

Alham Humaidi, 2009, Sengketa Pilkada Mengeksaminasi Mahkamah Konstitusi, LP3YK, Yogyakarta, hlm.2-4.

Magister Hukum Udayana • September 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 3: 455 - 463


Penyelesaian terhadap adanya sengketa pilkada awalnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA) berdasarkan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,undang-undang inikemudian direvisi hingga disahkanlah menjadi UU 12/2008.Penyelesaian sengketa pilkada kemudian dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), hal ini tidak lepas dari adanya pengalihan kewenangan penanganan sengketa pilkada yang berasal MA ke MK berdasarkan ketentuan Pasal 236 huruf c UU 12/2008. Dan pada akhir bulan Oktober 2008, MK dan MA menandatangani nota kesepahaman terkait pengalihan kewenangan tersebut.

Maraknya sengketa-sengketa yang terjadi setiap kali pilkada, dinilai juga akibat dilakukan sistem pemungutan suara secara langsung oleh rakyat, untuk meminimalisir hal tersebut pemerintah mengambil inisiatif untuk merubah sistem pemungutan suara yang ada.

Melalui UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota, sistem pemungutan suara dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun oleh karena undang-undang ini mendapat penolakan secara luas oleh rakyat maka presiden mengeluarkan Perpu 1/2014, yang kemudian disahkan menjadi UU 1/2015 yang mengatur kembali sistem pemungutan suara secara langsung oleh rakyat dengan syarat harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap persoalan mendasar yang mengakibatkan adanya permasalah-permasalahan selama menggunakan sistem pemungutan suara secara langsung.

Pada tanggal 2 Oktober 2013, Akil Mochtar yang menjadi Ketua MK pada masa

itu tertangkap tangan karena kasus suap terkaitpenyelesaian sengketa pilkada yang ditanganinya.

Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan pertama terkait penanganan sengketa Pilkada Kota Palembang, Pilkada Empat Lawang, Pilkada Kabupaten Gunung Mas,Pilkada Lebak di Banten,danPilkada Kalimantan Tengah.3

Persoalan Akil ini sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadapkinerjaMK dalam menangani sengketa pilkada, namun di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Masyarakat secara luas tidak menolak kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa pilkada namun oleh karena adanya permohonan dari para Pemohon ke MK maka dalam putusannya Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menghapus-kan Pasal 236 huruf c UU 12/2008 tentang Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan kewenangannya untuk mengadili sengketa Pilkada namun selama belum ada peraturan yang menindaklanjuti putusan MK maka kewenangan tersebut masih ditangani oleh MK.

Putusan MK tersebut mendapat tanggapan dari berbagai pihak, ada beberapa pendapat pilihan akan diserahkan ke pada

Ambaranie Nadia Kemala Movanita, 27 Desember 2014, Kasus Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mochtar yang Menggurita, http://nasional. kompas.com/read/2014/12/27/15533261/Kasus.Suap. Penanganan.Sengketa.Pilkada.Akil.Mochtar.yang Menggurita, di-akses tanggal 13 Juli 2015

Magister Hukum Udayana • September 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 3: 455 - 463


lembaga mana kewenangan tersebut, ada yang berpendapat tetap dijalankan oleh MK, pendapat lainya dikembalikan ke MA, diserahkan ke Bawaslu, diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau dibentuknya lembaga baru.

Tindaklanjut terhadap hal di atas, DPR menjawabnya dengan mengesahkan UU 8/2015 tentang Penetapan Perpu 1/2014 Menjadi Undang-Undang yang mana dalam Pasal 157 ayat (1), (2) dan (3) menentukan bahwa Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus; badan peradilan tersebut dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional; dan selama belum ada badan peradilankhususmakaMK yang menjalankan kewenangan tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah :

  • 1.    Apa kekurangandan kelebihan dibentuknya badan peradilan khusus yang menangani penyelesaian sengketa pilkada?

  • 2.    Apa urgensi penyelesaian sengketa pilkada oleh Mahkamah Konstitusi?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

  • 1.    Untuk mengetahui dan menggambarkan apa saja kekurangan dan kelebihan dari dibentuknya badan peradilan khusus.

  • 2.    Untuk mengetahui dan memahami apa urgensi penyelesaian sengketa pilkada oleh Mahkamah Konstitusi.

  • II. METODE PENELITIAN

  • 2.1.    Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sebagaimana diketahui penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, dan penelitian sejarah hukum.4 Penelitian ini mencakup ke dalam yang berusaha menemukan asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum dan sekaligus sejarah hukum.

  • 2. 1. Jenis Pendekatan

Adapun jenis-jenis pendekatan yangdigunakan dalam peneltian ini adalah: 1. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach). Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian hukum normatif pendekatan pertama dan utama yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan persoalan yang akan diteliti adalah aturan hukum sebagai fokus dan juga tema sentral, dalam hal ini UUD 1945, UU 8/2015 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

  • 2.    Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conceptual Approach). Pendekatan ini tidak kalah pentingnya dengan pendekatan lain bahkan sangat kuat untuk penulis gunakan karena menyangkut konsep-konsep hukum dan pandangan para ahli hukumyang relevan dan akan mendukung penulis dalam menganalisis permasalahan ini.

    Magister Hukum Udayana • September 2015


    (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


    Vol. 4, No. 3: 455 - 463


  • 3.    Pendekatan Kasus (The CaseApproach). Secara umum pendekatan kasus yang digunakan di sini adalah kasus yang diajukan ke MK yang melalui pendekatan ini juga penulis mengkaji pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus perkara sehingga dapat dijadikan referensi bagi ketajaman analisis yang penulis lakukan.

  • 2.3.    Sumber Bahan Hukum

Jenis penelitian hukum normatif mengenal beberapa sumber bahan hukum antara lain: Bahan Hukum Primer, yang digunakan di sini berupa peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan permasalahan yang penulis bahas; Bahan Hukum Sekunder, yakni buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, doktrin atau pendapat ahli hukum yang termuat dalam media masa baik media cetak maupun media eletronik (internet) dan yang relevan dengan pokok permasalahan; sedangkan bahan hukum tersier adalah kamus hukum dan ensiklopedia yang relevan dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.

  • 2.4.    Teknik Pengumpulan Bahan

    Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini penulis sesuaikan dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan. Bahan hukum ini dikumpulkan melalui sistem kartu (card system) kemudian disusun berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasikan menurut hirarki dan sumbernya untuk dikaji secara komprehensif.

Sebagaimana diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa hal-hal yang dianggap penting perlu dicatat dan catatan-

catatan tersebut dibuat pada kartu dengan ukuran tertentu dan dengan cara tertentu pula, halamannya akan memudahkan penulis untuk menelusuri kembali data yang telah diperolehnya.5

Sistem kartu yang digunakan adalah kartu kutipan, yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data yang diperoleh beserta sumber darimana data itu diperoleh (nama pengarang/penulis, tahun terbit, judul buku, penerbit, nama tempat buku diterbitkan, halaman, dan lain sebagainya).

  • 2.5.    Teknik Analisis Bahan Hukum

Ada beberapa teknik analisis bahan hukumyang penulis gunakan dalam kajian ini. Teknik analisis bahan hukum yang pertama dan tidak dapat dihindarkan oleh penulis adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif adalah penggambaran/ uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.6 Berdasarkan definisi di atas teknik analisis ini memudahkan peneliti dalam melakukan analisis dan menguraikan permalasahan sesuai dengan kondisi yang ada kemudian disusun secara runtut dan sistematis.

Selain itu juga penulis menggunakan teknik evaluasi, di mana teknik ini dilakukan dengan memberikan penilaian berupa tepat atau tidak tepatnya suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, dan keputusan yang tertera dalam bahan hukum. Dan yang terakhir adalah teknik argumentasi,

Magister Hukum Udayana • September 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 3: 455 - 463


teknik argumentasi ini tidak terlepas dari teknik evaluasi, karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

  • III.    HASIL PEMBAHASAN

    • 3.1.    Kekurangan dan Kelebihan

      Dibentuknya Badan Peradilan
      Khusus

Diterbitkannya UU 8/2015 berujung pada polemik mengenai siapa yang berwenang untuk mengadili sengketa pilkada. Kewenangan tersebut disematkan kepada sebuah badan peradilan khususyang akan menyelesaikan perselisihan hasil pilkada dalam pelaksanaan pemilihan serentak nasional nanti, hal ini sesuai dengan Pasal 157 ayat (1) UU 8/2015.

Apabila badan peradilan tersebut belum dibentuk maka sesuai ketentuan Pasal 157 ayat (3) penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan oleh MK. Akan tetapi, desain kelembagaan badan peradilan khusus ini belum tersusun baik nama, kedudukan, prosedur beracara bahkan hakim yang akan duduk pada badan peradilan khusus tersebut belum ada. Hal tersebut tidak mengherankan sebab berdasarkan Pasal 201 ayat (7) UU 8/2015 pemungutan suara serentak nasional ini akan diselenggarakan pada tahun 2027.

Penyelesaian sengketa pilkada yang masih dilakukan oleh MK ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan amar Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan penyelesaian sengketa pilkada dilaksanakan oleh MK sepanjang belum ada lembaga yang akan menangani sengketa tersebut.

Penyelesaian sengketa pilkada oleh badan peradilan khususini dalam beberapa perspektif memiliki kekurangan dan

kelebihan. Analisis terhadap kekurangan dan kelebihan akan penulis uraikan sebagai berikut:

  • 3.1.1.    Kekurangan kekurangan Dibentuknya Badan Peradilan Khusus

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Pengejawantahan atas ketentuan di atas, dalam Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009menentukan bahwa “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung…”. Berdasarkan itu, pembentukan lembaga baru di luar MA dapat dikatakan inkonstitusional.

Adanya pengembangan badan peradilan khusus yang inkonstitusional akan merusak sistem peradilan itu sendiri sebab pembentukan badan peradilan khusus hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi atas penyatuatapan atau dengan kata lain melanggar sistemasi lembaga peradilan yang telah menentukan MA sebagai top judicialdan skala lebih luas tentu akan mengacaukan sistem hukum tata negara Indonesia.

Perspektif lain mengenai adanya pembentukan badan peradilan khusus ini akan semakin menambah jumlah lembaga negara yang ada, hal ini tentu akan berdampak pada semakin besarnya jumlah anggaran yang harus dikeluarkannegara untuk membiayai seluruh keperluan lembaga tersebut.

Magister Hukum Udayana • September 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 3: 455 - 463


Ditambah lagi kerugian lainnya adalah dari sisi efektifitas kerja lembaga ini hanya akan benar-benar berfungsi melaksanakan tugas dan kewenangannya hanya pada saat ada penyelenggaraan pilkada saja.

  • 3.1.2.    Kelebihan – kelebihan dibentuknya Badan Peradilan Khusus

Gagasan pembentukan badan peradilan khusus dalam perspektif yang berbeda sebenarnya memiliki beberapa keuntungan atau kelebihan bahkan jika eksistensinya secara konstitusional diperjelas akan memberikan pencerahan dalam tata hukum Indonesia.

Keuntungan–keuntungan dibentuknya badan peradilan khusus tersebut antara lain ialah meringangkan beban kerja lembaga peradilan yang selama ini menangani persoalan sengketa pilkada, dalam hal ini MK. Sebab sebagaimana diketahui, di antara kelima kewenangan MK, kewenangan utama dan yang paling banyak ditangani oleh MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD, atau biasa disebut dengan menguji konstitusional undang-undang (judicial review).7

Adanya ide pembentukan badan peradilan khusus entah akan berkedudukan di tingkat ibukota provinsi atau berkedudukan di ibukota negara sekalipun dapat menjadi solusi yang tepat, lebih efektif dan efisien juga memberikan manfaat terhadap adanya proses penyelenggaraan peradilan yang lebih cepat, mudah dan sederhana.

  • 3.2.    Urgensi Penyelesaian Sengketa Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dilaksanakan menurut prinsip demokrasi sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dalam pasal tersebut diatur bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.

Pilkada secara langsung tidak termaktub dalam ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945,8 jadi sesungguhnya konstitusi tidak memasukkan pilkada ke dalam bagian pemilu.9

MK melalui putusannyaNomor 072-073/PUU-II/2004 secara tidak langsung telah memberi ruang kepada para pembentuk undang-undang untuk memperluas makna pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945. Berdasarkan putusan tersebut, para pembentuk undang-undang membentuk UU 22/2007 tentang penyelengaraan pemiludengan memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam rezim pemilihan umum.

Putusan MK Nomor 97/PUU-XII/2013 menyebutkan bahwa Pasal 236C UU 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuataan hukum mengikat.Dalam putusan tersebut MK juga memberikan pertimbangan dengan menggunakan penafsiran sistematis dan

Widayati, Tinjuan Konstitusional Terhadap Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jurnal Hukum, Volume 5 No. 2, Juli 2010, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, hlm.7.

Joko Widarto, Konstitusionalitas Keweanngan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah, Lex Jurnalica, Volume 11 No. 2, Agustus 2014, Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta, hlm.2.

Magister Hukum Udayana • September 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 3: 455 - 463


original intent bahwayang dimaksud dengan pemilihan umum menurut UUD 1945 adalah pemilihan yang dilaksanakan sekali dalam 5 (lima) tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden serta DPRD.

Dengan demikian, berdasarkan putusan tersebut pilkada tidak termasuk dalam rezim Pemilu dan masuk dalam rezim Pemerintahan Daerah. Konsekuensinya adalah MK tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada. Akan tetapi, MK masih berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada selama belum ada undang-undang yang mengatur hal tersebut.

Sistem pilkada secara langsung memiliki korelasi yang erat dengan pelaksanaan paham kedaulatan rakyat.10 Pilkada secara langsung memberikan kesempatan kepada rakyat untuk aktif berpartisipasi memilih pemimpin yang mereka harapkan. Mahfud MD memberikan dua alasan mengapa pemilihan langsung dianggap perlu. Pertama, pemilihan langsung membuka peluang tampilnya calon pemimpin yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar sulit dijatuhkan ditengah jalan oleh parlemen.11

MK adalah lembaga yang paling tepat untuk melaksanakan sengketa pilkada sebab MK pernah mengadili 600-an sengketa pilkada dalam rentang waktu tahun 2008 – 2012 dan itu relatif berjalan lancar.

Walaupun penyelesaian sengketa pilkada di MK hanya pada masa transisi

saja namun MK adalah lembaga yang paling ideal untuk menyelesaikan sengketa pilkada. Bahkan penyelesaian sengketa pilkada di MK adalah urgen sebab MK merupakan lembaga yang dibentuk untuk memberikan perlindungan konstitusional terhadap warga negara apabila ada yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebab pemilihan kepala daerah adalah merupakan bagian dari hak konstitusional dari setiap orang sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 sehingga MK yang berfungsi menegakkan konsitusi Indonesia dan juga sekaligus memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negaranya yang lebih tepat menyelesaikannya, karena tidak menutup kemungkinan jika persoalan ini diselesaikan pada ranah peradilan lain bisa saja perkaranya dibawa ke MK karena alasan-alasan dirugikannya hak konstitusional, hal ini tentu akan menambah semakin kompleksnyaproses penyelengaraan peradilan dan/atau tata hukm Indonesia. Sehingga tepat jika persoalan ini diputus di MK karena MK merupakan badan pengawal konstitusi yang juga merupakan lembaga peradilan yang tugas dan fungsinya adalah untuk menjamin dan memberikan perlindungan atas hak-hak konstitusional warga negara.

  • IV.    PENUTUP

    • 4.1.    Simpulan

  • 1.    Pembentukan badan peradilan khusus sebagaimana diamanatkan UU 8/2015

    Magister Hukum Udayana • September 2015


    (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


    Vol. 4, No. 3: 455 - 463


memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan dibentuknya peradilan khusus tersebut antara lain: eksistensi badan peradilan khusus tersebut dapat dikatakan inkonstitusional sebab badan peradilan khusus tersebut tidak masuk dalam atap badan peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 terkhusus MA, sebab dalam Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 menentukan bahwa pembentukan badan peradilan khusus hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan peradilan yang berada di bawah MA. Kekurangan lainnya adalah akan menambah banyaknya jumlah lembaga negara yang berimplikasi pada besarnya jumlah anggaran yang harus dikeluarkan untuk itu, padahal lembaga tersebut hanya bekerja efektif sekali dalam lima tahun.

Di samping itu, adapula keuntungan atau kelebihan dari pembentukan badan peradilan khusus adalah meringankan beban MK, terlebih lagi dalam menangani pilkada serentak nanti. Selain itu, adanya badan peradilan yang khusus menangani sengketa pilkada yang terfokus akan lebih efektif dan efisien.

  • 2.    Penyelesaian sengketa pilkada olehMK adalah urgen sebab MK berfungsi untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Selain itu hakim MK sudah profesional dan berpengalaman dalam hal penyelesaian sengketa pilkada selama ini relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti.

  • 4.2.    Saran

Melihat kondisi proses penyelenggaraan pilkada yang selalu berakhir pada permasalahan panjang yang tak kunjung usai akibat terjadinya disharmonisasi antara peraturan perundang-undangan dan karena adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di berbagai daerah maka solusi yang paling tepat adalah melakukan kajian ulang terhadap norma-norma yang ada di dalam konstitusi dan peraturan pelaksanaannya selain itu melakukan penataan terhadap sistem pilkada sehingga meminimalisir berbagai pelanggaran yang marak terjadi dan juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara.

  • V.    DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku-Buku

Gaffar, Janedjri M., 2013, Hukum Pemilu

Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.

Humaidi, Alham, 2009, Sengketa Pilkada Mengeksaminasi       Mahkamah

Konstitusi, LP3YK, Yogyakarta.

MD, Mahfud, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta.

ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika, Yogyakarta.

Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Magister Hukum Udayana • September 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 3: 455 - 463


Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

  • 2.    JURNAL ILMIAH

Nopyandri, Pemilihan Kepala Daerah yang Demokratis dalam Perspektif UUD 1945, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 No. 2, Jambi.

Widayati, Tinjuan Konstitusional Terhadap Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jurnal Hukum, Volume 5 No. 2, Juli 2010, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang.

Widarto, Joko, Konstitusionalitas Keweanngan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah, Lex Jurnalica, Volume 11 No. 2, Agustus 2014, Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta.

  • 3.    INTERNET

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala, 27 Desember 2014, Kasus Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mochtar yang Menggurita,http://nasional.kompas. com/read/2014/12/27/15533261/Kasus. Suap.Penanganan. Sengketa.Pilkada.Akil. Mochtar.yang.Menggurita, diakses tanggal 13 Juli 2015.

463