Jurnal

ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana • Juli 2015

Vol. 4, No. 2 : 281 - 291

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

TINDAK PIDANA KESOPANAN DIBIDANG

KESUSILAAN ( PERZINAHAN ) DALAM KUHP SERTA PADANANNYA

DENGAN HUKUM PIDANA ADAT.

Oleh:

Ida Bagus Made Danu Krisnawan1

ABSTRACT

Adultery that in terms of customary criminal law known as drati karma a deviant act and violates decency offense under customary law. It is considered a serious offense and is a destructive act of moral and behavior that damages the harmony and balance, causing impure state (cuntaka). From the description that has been proposed, as for the formulation of the problem that arises in this paper is: “Does Crime Decency act in the field of ethics (Adultery) who had been sentenced to criminal sanctions in accordance with the Criminal Code may also be subject to criminal sanctions custom?”

This type of research used in this research is the research journal of law by using the approach of normative aspect in this case means that the laws of science research using normative legal research. Normative legal research done through the inventory of positive law as a basic introduction before conducting research activities.

The study results showed that the process of law enforcement by law enforcement officers in the enforcement of national legislation (the Criminal Code) and village that enforce local village who was born based on local wisdom each more attention and importance of concepts of justice. Legal certainty is applied based on the Law and the Constitution of the Pancasila. Law enforcement does not mean sanctions but tends to give priority to justice (Restorative Justice) so that the public at large can understand, be aware of and comply with applicable norms.

Keywords: Adultery, Decency, Indigenous Criminal, Criminal General (Criminal Code).

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang.

Tindak Pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum (Rechtbelang) terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan termasuk didalamnya). Kehidupan sosial manusia

dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi oleh norma- norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh norma-norma pergaulan yaitu norma- norma kesopanan. Norma- norma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Patokan patut atau tidak patutnya suatu tingkah laku yang dianggap menyerang kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan itu tidaklah semata- mata bersifat individual, tetapi lebih ke sifat universal

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


walaupun mungkin mengenai suatu hal tertentu lebih terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu. Nilai – nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang mencerminkan sifat dan karakter suatu lingkungan masyarakat bahkan suatu bangsa ( bersifat nasional ), telah teradopsi didalam norma- norma hukum mengenai tindak pidana terhadap kesopanan ini.

Dalam usaha negara menjamin terjaganya nilai- nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh warga masyarakat inilah dibentuk tindak pidana dalam Bab XIV buku II KUHP mengenai kejahatan terhadap kesopanan ( dan disingkat menjadi kejahatan kesopanan ) dalam BAB VI buku III KUHP mengenai pelanggaran terhadap kesopanan. Pembagian tindak pidana kesopanan yang tersebut diatas sesuai sistem KUHP yang membedakan antara kejahatan (buku II) dengan pelanggaran ( buku III ). Berdasarkan pertimbangan pembentuk undang- undang mengenai obyek rasa kesopanan masyarakat itu, dapat dipilah antara penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak kejahatan dimana sifat penyerangan pada kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan yang lebih berat daripada penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak pelanggaran maka undang- undang ini membagi tindak pidana kesopanan ini, menjadi kejahatan kesopanan dimuat dalam bab XIV ( Misdrijven tegen de zeden ) pasal 281- 303 bis dan pelanggaran kesopananbabVI(Overtredingenbetreffende de zeden ) pasal 532- 547. Pada kenyataannya memang pelanggaran kesopanan ini lebih ringan daripada kejahatan kesopanan.

Untuk kata zeden dalam kalimat Misdrijven tegen de zedendan Overtredingen

betreffende de zedenditerjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata kesusilaan dan kesopanan. Kata kesusilaan telah dipahami oleh setiap orang, sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi. Apabila kita menganut pendapat pada umumnya ahli hukum kita yang menyatakan bahwa kesusilaan dalam suatu pengertian adat istiadat mengenai tingkah laku dalam pergaulan dalam hidup yang baik dalam hal berhubungan dengan masalah seksual, kesopanan yang juga berasal dari kata yang sama yakni zeden seharusnya juga demikian. Menurut wirjono prodjodikoro pelanggaran-pelanggaran tentang kesopanan, tindak pidana kesopanan itu di bagi menjadi 2 macam, yakni antara lain :

  • 1.    Tindak pidana melanggar kesusilaan (Zedelijkheid). Untuk kejahatan melanggar kesusilaan terdapat pada pasal 281 sampai dengan pasal 299, sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama kesusilaan ini dirumuskan dalam pasal 532 sampai dengan pasal 535.

  • 2.    Tindak pidana melanggar kesopanan (Zeden ) yang bukan kesusilaan, artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan kesopanan ini dirumuskan dalam pasal 300 sampai dengan pasal 303. Sementara itu untuk jenis pelanggaran terhadap kesopanan (diluar hal yang berhubungan dengan masalah seksual ) dirumuskan dalam pasal 536 sampai dengan 547.2

    Magister Hukum Udayana • Juli 2015


    (UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


    Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


Untuk bentuk-bentuk tindak pidana yang dirumuskan dalam bab XIV buku II maupun bab VI buku III KUHP dapat dibedakan antara kejahatan dengan pelanggaran di bidang adat istiadat baik dibidang yang berhubungan dengan masalah seksual maupun diluar mengenai masalah seksual. Karena pada kenyataannya kejahatan- kejahatan maupun pelanggaran yang dirumuskan dalam bab XIV buku II maupun buku III memang secara jelas dapat dibedakan antara dua bidang kepentingan hukum tersebut. Dengan mengikuti pendapat wirjono, maka kata zeden dalam titel asli bab XIV buku II dan bab VI buku III yang ditulis dengan kata yang sama yakni kesopanan, maka kesopanan dapat dibagi ke dalam dua bidang yakni :

  • 1.    Kesopanan dibidang kesusilaan (zedelijkheid )

  • 2.    Kesopanan di luar bidang kesusilaan (zeden ).

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa, jika melihat asal katanya dari kata zeden dalam titel asli bab XIV buku II dan bab VI buku III, tentu yang disimpulkan diatas tadi tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh pembentuk undang- undang. Karena undang- undang telah menentukan bahwa kata zeden dalam titel bab XIV buku II dan titel bab VI buku III terdiri dari kedua bidang obyek hukum tindak pidana tersebut, yaitu mencangkup nilai- nilai adat istiadat mengenai sikap dan perbuatan dalam lapangan yang berhubungan dengan masalah seksual maupun yang di luar masalah seksual.

Seharusnya jika kata zeden ditulis dengan kata kesopanan, arti kata kesopanan itu lebih luas daripada kata kesusilaan, karena kesusilaan adalah bagian dari kesopanan. Namun dalam kenyataannya, para ahli hukum kita menggunakan dua istilah. Kesusilaan dan kesopanan sebagai salinan dari kata zeden dalam judul titel bab XIV buku II dan titel bab VI buku III. Kata kesopanan sebagai kata lain dari zeden, berdasarkan pada kenyataan yang ada tindak pidana mengenai kesopanan itu dapat dibedakan antara tindak pidana terhadap rasa kesopanan di bidang seksual dan tindak pidana kesopanan selain di bidang seksual.

Ketentuan mengenai hukum pidana adat merupakan suatu aturan yang tertulis maupuntidaktertulis yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat adat, dimana orang yang berada di dalam komunitas maupun ruang lingkup masyarakat adat diwajibkan tunduk dan melaksanakan ketentuan adat sebagaimana dimaksud. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum adat maka akan dikenakan sanksi sebagaimana sanksi yang dimaksud bersumber dari kesepakatan (mufakat) dari tokoh- tokoh adat (Desa Mewicara).

Kesepakatan itu merupakan sanksi adat atas tindakan pelanggaran adat yang dilakukan sehingga dituntut untuk mengembalikan keadaan seperti semula apa yang dimaksud ketidakseimbangan. (Kosmis) melalui rangkaian upacara maupun ritual adat sehingga masyarakat merasa bahwa dengan ritual tersebut keseimbangan telah pulih kembali seperti sediakala. Namun sanksi dari hukum adat tersebut terkadang diluar konteks dari aturan hukum

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

yang berlaku karena dirasakan sangat berat mengingat antar satu aturan adat tidak sama dengan aturan adat yang lain.

Sebagaimana contoh kasus yang temukan karena kebetulan dalam hal ini kami selaku penulis pernah ditunjuk sebagai narasumber dalam penyuluhan hukum dan sekaligus masuk sebagai tim penyuluh hukum pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Bali yang bersama- sama dengan Pemerintah Kabupaten Badung melakukan penyuluhan hukum di kantor perbekel desa sangeh kecamatan abian semal, disana terdapat salah satu permasalahan hukum adat yang masuk dalam delik Drati Karma (Perzinahan). Salah satu warga desa meminta pendapat karena salah satu warganya yang telah beristri dengan cara pernikahan dimana perempuannya menikah dengan perwakilan (keris) dan hal tersebut dibenarkan menurut awig- awig yang berlaku di desa setempat, mengingat calon suami bekerja di pelayaran (kapal pesiar). Namun ketika sang suami kembali dari kapal pesiar justru tidak mengakui keabsahan pernikahan yang dilakukan oleh pihak keluarga di desanya. Malahan yang bersangkutan memiliki wanita simpanan yang berstatus diluar nikah, hal tersebut ditunjukan ketika si suami beralasan untuk berangkat kembali berlayar tetapi justru tidak dan yang bersangkutan tinggal di suatu tempat dengan wanita lain yang dalam nota bene adalah wanita simpanan yang berasal dari desa lain.

Sehingga warga desa merasa perbuatan tersebut telah mencemarkan kesucian areal desa dan mengenakan sanksi kesepekang terhadap si laki- laki karena telah berbuat zina (drati karma) dengan anak gadis di desa

setempat yang masih kategori remaja (belum cukup umur).

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang timbul dalam penulisan ini adalah :

“Apakah perbuatan Tindak Pidana Kesopanan di bidang kesusilaan ( Perzinahan) yang telah dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan KUHP dapat pula dikenakan sanksi pidana adat?”

  • 1.3.    Ruang Lingkup Masalah.

Di dalam masyarakat adat dikenal dengan awig- awig adat sebagai suatu hukum yang dinyatakan hidup dan berlaku bagi masyarakat adat setempat. Hukum pidana adat merupakan salah satu hukum yang dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat adat itu sendiri untuk membuat suatu aturan yang akan dilaksanakan sebagai wujud ketaatan terhadap aturan yang berlaku di adat setempat. Awig – awig adat atau delik hukum adat dibuat untuk menjaga keseimbangan antara kesucian dengan perbuatan masyarakat yang bernaung didalamnya. Sehingga aturan hukum yang dibuat akan menjadi tolak ukur perbuatan masyarakat yang dianggap melanggar, tercela dan dianggap suatu kejahatan.

Hukum Pidana Adat sebagai salah satu komponen hukum asli yang berlaku di Indonesia selain hukum nasional memiliki perananyangsangatpentingseiringperubahan paradigma dan pola pikir masyarakat adat tersebut akan keadilan yang dianggap harus terpenuhi. Dalam hal ini keadilan yang ingin dilaksanakan mengingat terjadi berbagai bentuk pelanggaran, kejahatan

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


bahkan kriminalitas dalam kehidupan bermasyarakat khususnya.Tantangan negara pada umumnya untuk memberikan rasa adil terhadap masyarakat masih belum terpenuhi, sehingga masyarakat tersebut membuat suatu aturan untuk mereka patuhi dan taati demi terciptanya rasa keadilan.

  • 1.4.    Landasan Teori.

Guna memecahkan masalah ini maka penulismenggunakanbeberapalandasanteori berkaitan dengan Tindak Pidana Kesopanan Dibidang Kesusilaan ( Perzinahan ) dalam Hukum Pidana Adat serta Padanannya dengan KUHP.

Dalam hal ini faktor yang menjadi aspek adalah faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Untuk sebagai dasar pemikiran hal tersebut maka akan dikemukakan teori sebagai berikut :

Untuk merealisasikan kepastian hukum yang berdimensi pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia maka dalam pemberlakuan suatu ketentuan hukum harus berlandaskan pada Teori Keberlakuan Hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo Kekuatan berlakunya undang-undang. ada tiga macam, antara lain :3 a. Kekuatan berlaku yuridis (Juristiche

Geltung); Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan material dan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi.

  • b.    Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung); Hukum merupakan kenyataan di masyarakat.

  • c.    Kekuatanberlakufilosofis (Filosofische

Geltung);    Hukum mempunyai

kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi. Untuk memenuhi tuntutan berlaku filosofis maka harus memasukkan unsur ideal.

  • II.    METODE PENELITIAN.

Dalam suatu karya ilmiah, metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya, di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan- permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.4

  • 2.1.    Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian jurnal ini adalah penelitian ilmu hukum dengan menggunakan pendekatan dari aspek normatif dalam hal ini berarti bahwa penelitian ilmu hukum dengan menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan melalui inventarisasi hukum positif sebagai pendahuluan mendasar sebelum kegiatan

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.18

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


melakukan penelitian. Sebelum penelitian sampai kepada usaha penemuan norma hukum in conreto, atau kepada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula kepada usaha menemukan teori- teori tentang Law in process dan Law in action, maka terlebih dahulu harus mengetahui apa saja yang terbilang hukum positif yang tengah berlaku tersebut.5

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 3.1.    Delik Kesusilaan Dalam Hukum Pidana Adat

  • a.    Kajian Delik Adat.

Masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tenang dan suasananya harmonis. ide tersebut didasari pada alam pikiran yang tradisional yang bersifat kosmis yang mengutamakan adanya perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang per orang, antara persekutuan dan masyarakat. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum sehingga petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum yang telah terganggu dengan melakukan reaksi adat. Menurut R.Soepomo, di dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum jika hukum itu dilanggar dan tidak diakui keberadaannya.

Perbuatan illegal atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat disebut juga dengan delik adat.Beberapa delik adat yang masih berlaku dalam masyarakat baik yang tercantum dalam awig-awig desa adat maupun dalam catur agama, yaitu kitab-kitab yang memuat ajaran hukum Hindu. Kitab Agama hindudi Bali masih mengenal empat jenis delik adat yaitu:

  • 1.    Delik adat yang menyangkut kesusilaan

  • 2.    Delik adat yang menyangkut harta benda

  • 3.    Delik yang melanggar kepentingan pribadi

  • 4.   Pelanggaran adat karena kelalaian atau

tidak menjalankan kewajiban.

Dalam hal ini akan mengulas mengenai, delik adat yang menyangkut kesusilaan dengan beraneka ragam bentuknya dalam pertumbuhannya masih banyak diatur dalam awig-awig desa adat seperti :

  • -    Lokika Sanggraha

  • -    Drati karma (berzina)

  • -    Gamia Gemana

  • -    Memitra Ngalang (Kumpul kebo)

  • -    Salah Krama.

Ketika salah seorang warga adat di Bali melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, dalam hal ini yang dilanggar adalah hukum pidana, maka sesuai dengan peraturan yang ada, sudah pasti yang bersangkutan akan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Proses verbal dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai akhirnya diadili di pengadilan akan senantiasa dijalani oleh mereka-mereka yang berani melanggar hukum. Setelah diadili di pengadilan dan mendapatkan vonis hakim, yang

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


bersangkutan akan menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Ini konsekuensi dari penerapan konsep negara hukum. Pada suatu desa adat tertentu, kadang kala juga menerapkan sanksi tambahan kepada warganya yang melakukan tindak pidana tertentu dengan cara menjatuhkan sanksi kedua berupa sanksi adat.

Sanksi adat yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tertentu tersebut sangat bervariasi, dari sanksi yang sangat ringan sampai sanksi yang dirasakannya sangat berat. Sehingga pelaku tindak pidana yang merupakan warga adat setempat harus menanggung sanksi dua kali. Disatu sisi harus menerima sanksi pidana dari negara, yang kedua menerima sanksi adat. Mengingat sanksi yang dijatuhkan sangat bervariasi sesuai dengan delik-delik adat tersebut dalam pandangan masyarakat adat Bali menimbulkan suatu keadaan tidak suci (Cuntaka). Cuntaka adalah suatu keadaan yang tidak suci yang berpangkal tolak dari opini rasa hati yang benar-benar bersifat gaib dan sulit diukur. Keadaan suci adalah suatu keadaan yang dapat menyebabkan ketenangan, keharmonisan, sehingga dapat menciptakan suasana kehidupan yang seimbang baik lahir dan bathin.

  • b.    Padanan Sanksi Pidana Dalam

KUHP Terkait Dengan Delik Kesusilaan.

Terkait dengan permasalahan yang terjadi dan telah disebutkan pada latar belakang penulisan ini maka apabila perzinahan tersebut dilakukan dengan wanita yang belum berusia lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas maka dapat

dikenakan sanksi sesuai pasal 287 ayat 1 KUHP. Hal tersebut merupakan perumusan kejahatan terhadap kesusilaan, maka dari itu selain dikenakan sanksi adat dikenakan juga sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam KUHP.

Selain dikenakan sanksi pidana dalam KUHP dapat pula si suami yang meninggalkan kewajiban sebagai suami untuk menafkahi istri dan anak merupakan perbuatan penelantaran sebagaimana diatur dalam UU No : 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Pasal 5 huruf d, sesuai dengan pasal 49 huruf a. dimana seharusnya suami dan istri telah diatur mengenai hak dan kewajibannya di dalam UU No: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  • 3.2.    Tindak Pidana Kesopanan Dalam KUHP

  • a. Kejahatan Perzinahan.

Tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan tidak masuk terhadap jenis pelanggaran melainkan masuk pada jenis kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan ini dimuat dalam pasal yakni 284 (perzinaan), kejahatan kesusilaan di bidang persetubuhan ini ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum kaum perempuan di bidang kesusilaan dalam hal persetubuhan. Jadi seorang laki- laki dan perempuan yang dikatakan melakukan kejahatan perzinahan apabila memenuhi unsur melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki- laki yang bukan suami atau istrinya, yang pada diri mereka masing- masing terikat dalam hubungan perkawinan.

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


Sementara itu apabila baik laki- laki maupun perempuan tidak tunduk pada pasal 27 BW, maka keduanya baik laki- laki maupun perempuan tidaklah melakukan hubungan perzinaan. Begitu pula apabila laki- laki dan perempuan tidak sedang terikat perkawinan artinya tidak sedang beristri atau bersuami melakukan hubungan persetubuhan tidak termasuk dalam kejahatan perzinahan. Apa yang dimaksud dengan persetubuhan atau bersetubuh, Hoge Raad dalam pertimbangan hukum menyatakan bahwa persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana keduanya berkontraksi sehingga mengeluarkan cairan yang disebut air mani.6

Sampai kini pengertian bersetubuh seperti itu tetap dipertahankan dalam praktik hukum. Apabila alat kelamin laki- laki tidak sampai masuk ke dalam alat kelamin wanita walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar air mani menurut pengertian bersetubuh seperti itu maka belumlah terjadi persetubuhan. Namun telah terjadi percobaan persetubuhan dan menurut ketentuan pasal 53 KUHP telah dapat dipidana karena telah masuk ke dalam percobaan berzina.

Pengertian zina menurut pasal 284 yang disyaratkan harus laki- laki ataupun perempuan yang telah kawin. Berlatar belakangpadapemikiranorang-orangbelanda bahwa zina itu sebagai bentuk pengingkaran perkawinan, yang berbeda menurut hukum

adat yang berlatar belakang pada penodaan nilai- nilai kesucian pada persetubuhan. Menurut hukum adat di dalam persetubuhan itu terkandung nilai- nilai kesucian. Oleh karena itu untuk melakukannya diperlukan syarat yaitu perkawinan.Apabila dilakukan diluar perkawinan maka dianggap telah berdosa dan melanggar nilai- nilai kesucian itu karena telah berzina, oleh sebab itu pelakunya harus di hukum.

Bagaimana kedudukan kejahatan perzinahan itu seperti diterangkan diatas pada masa ini dengan syarat- syarat seperti yang telah disebutkan diatas. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 8 Tahun 1980 tanggal 31 Desember 1980, yang pada dasarnya berisi hal sebagai berikut : 1. Seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW yang tidak ada izin beristri lebih dari seorang (menurut Pasal 3, Jo pasal 4 dan 5 UU Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan) berlaku pula asas monogami seperti yang terdapat pada pasal 27 BW.

  • 2.    Pasal 284 ayat (1) huruf a KUHP berlaku pula terhadap para suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW dan tidak ada izin dari pengadilan agama untuk beristri lebih dari seorang, yang melakukan perzinahan sesudah berlakunya Undang- undang pokok Perkawinan.

  • 3.    Oleh karena itu, seorang suami yang berzina baik hal tersebut dilakukan dengan seorang perempuan yang telah kawin maupun tidak kawin, melakukan perzinahan ini termasuk sebagai pembuat (dader)

Bahkan ada putusan Mahkamah Agung

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


yang telah sedemikian jauh menafsirkan pengertian zina sehingga zina menurut hukum adat pun dapat dipidana, sebagaimana dalam pertimbangan hukum putusannya Nomor : 93 K/Kr/1976 tanggal 19 Nopember 1977 yang menyatakan sebagai berikut :

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai padanan terhadap KUHP. Delik adat zina merupakan perbuatan yang terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau perbuatan tersebut dilakukan seperti diisyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak kawin atau tidak seperti dimaksud dalam pasal 284 KUHP.7

Kejahatan zina itu merupakan tindak pidana aduan absolut, artinya dalam segala kejadian perzinahan itu diperlukan syarat pengaduan untuk didapatnya si pelaku atau pembuat pelakunya dilakukan penuntutan. Mengingat kejahatan zina adalah tindak pidana untuk terwujudnya diperlukan dua orang, disebut dengan penyertaan mutlak, yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya (Onsplitsbaarheid). Walaupun si pengadu mengadukan satu orang saja diantara dua manusia telah berzina itu, tidak menyebabkan untuk tidak dilakukannya penuntutan terhadap orang yang tidak diadukan oleh si pengadu.Akan tetapi jaksa penuntut umum, tidak menjadikan hapus

R. Achmad Sumadi di Praja, Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung disertai Kaedah kaedahnya. Bandung, 1997.

haknya untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang tidak di adukan berdasarkan asas opportunitas. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukum putusannya Nomor : 52 K/Kr/ 1953 Tanggal 19 Maret 1955 yang menyatakan bahwa suatu pengaduan perihal kejahatan perzinahan (OperSpel), yang oleh suami hanya dimajukan terhadap si lelaki yang melakukan perzinahan itu. Tidaklah mungkin berhubung dengan sifat yang tidak dapat dipisahkan (Onsplitsbaarheid) dari pengaduan itu (Pendapat JaksaAgung ) pengaduan semacam itu berarti pengaduan juga terhadap istri yang melakukan perzinahan, tetapi Penuntut umum leluasa untuk tidak menuntut si istri itu berdasarkan asas opportuniteit.

Pengaduan yang dimaksud dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan, bagi yang tunduk pada BW diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur.Akan tetapi bagi yang tidak tunduk dengan pasal 27 BW syarat yang terakhir tidak diperlukan.Dalam hal pengaduan semacam ini pasal 72, 73 dan 75 KUHP tidak berlaku.Pasal 72 mengenai pengadu yang belum dewasa yang umurnya belum genap enam belas tahun atau di bawah pengampuan.Pasal 73 tentang korban yang berhak mengadu meninggal dunia.Pasal 75 Tentang hak menarik pengaduan dalam waktu tiga bulan.Pengaduan dapat ditarik sewaktu-waktu sebelum dimulainya pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam praktik pada sidang pertama hakim terlebih dahulu menanyakan pada saksi pengadu apakah dia tetap akan meneruskan pengaduannya ataukah akan menariknya. Apabila dalam sidang itu si

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

pengadu menyatakan menarik pengaduannya maka hakim tidak akan melanjutkan dan menghentikan pemeriksaan. Apabila si pengadu pada sidang pertama tidak menarik pengaduannya untuk seterusnya maka dia tidak dapat lagi menarik pengaduannya itu.

Apabila rumusan pasal 287 ayat 1 dirinci terdapat unsur- unsur sebagai berikut:

  • 1.    Unsur Obyektif : perbuatannya (bersetubuh), obyek denganperempuan diluar kawin), yang umurnya belum 15 tahun, atau jika umurnya tidak jelas dan belum waktunya kawin.

  • 2.    Unsur Subyektif : diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun.8

Berbeda dengan pasal 285 dan 286 dimana persetubuhan itu terjadi diluar kehendak korban perempuan, pada pasal 287 ini persetubuhan itu terjadi atas persetujuan atau kehendak perempuan itu sendiri artinya suka sama suka letak patut dipidananya adalah pada umurnya yang belum lima belas tahun dan belum waktu untuk kawin.

Perbuatan perempuan yang belum berumur 15 tahun, sesuai pasal 284 tetap merupakan perbuatan turut berzina, namun terhadapnya tidak boleh dipidana karena dengan berdasarkan pasal 287 ini perbuatannya itu kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi disini terdapat alasan peniadaan pidana diluar Undang-undang. Sementara itu si laki- laki yang telah beristri ini dia telah melakukan 2 tindak pidana sekaligus (berbarengan) yakni pasal

  • 284    sebagai pleger (pembuat pelaksana ) dan pasal 287 sebagai dader (pembuat tunggal).

  • IV. PENUTUP a. Kesimpulan.

Dalam kasus perzinahan yang dalam istilah hukum pidana adat dikenal dengan drati karma merupakan suatu perbuatan yang menyimpang dan melanggar delik kesusilaan dalam hukum adat. Hal tersebut merupakan pelanggaran yang dianggap serius dan sekaligus merupakan perbuatan yang merusak moral serta perilaku yang merusak keharmonisan dan keseimbangan sehingga menimbulkan keadaan tidak suci (cuntaka). Dalam hukum pidana adat perzinahan merupakan pelanggaran delik kesusilaan yang dikenakan sanksi adat, sanksi tersebut dapat berupa pengasingan (kesepekang), sanksi sosial, sanksi denda dan sanksi tidak diberikan hak- haknya selaku warga adat setempat. Sanksi adat memang dikenal sangat berat apabila diterapkan karena sanksi yang ditimbulkan terkadang dijatuhkan tanpa adanya hukum tertulis dan sanksinya lahir dari sebuah konsensus yang menjadi kesepakatan warga adat setempat. Selain penjatuhan sanksi adat, perbuatan perzinahan tersebut dikenakan pula sanksi pidana dalam KUHP sebagaimana disebutkan dalam pasal 284 ayat (1) Jo 287 ayat (1).

b. Saran.

Agar dalam proses penegakan hukum hendaknya aparat penegak hukum dalam penegakan peraturan yang bersifat nasional (KUHP) dan perangkat desa yang menegakkan peraturan desa setempat

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 281 - 291


yang lahir berdasarkan kearifan lokal masing- masing lebih memperhatikan dan mementingkan konsep- konsep keadilan. Kepastian hukum diterapkan berlandaskan pada Undang- undang dan Dasar Negara Pancasila. Penegakan hukum yang tidak berarti cendrung terhadap penjatuhan sanksi melainkan mengutamakan keadilan ( Restorative Justice ) sehingga masyarakat pada umumnya dapat memahami, menyadari dan mematuhi norma- norma yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung.

Zainuddin, Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2005, Pelanggaran pelanggaran Tentang Kesopanan, Rajawali Pers, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Rajawali Pers, Jakarta.

Sumadi, di Praja, R, Achmad, 1997, Himpunan Putusan- putusan Mahkamah Agung disertai Kaedah kaedahny, Bandung.

Abdussalam, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta.

Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence ), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana   Kontemporer,   Kencana

Prenada Media Group, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2005, Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan

291