Jurnal

ISSN 2302-528X

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


IMPLIKASI UJI KOMPETENSI

TERHADAP KESADARAN HUKUM PERS

WARTAWAN MEDIA CETAK DI KOTA DENPASAR

Oleh:

I Made Adnyana1

ABSTRACT

This research aim to analyze how far the competency test implication on press legal awareness of print journalists in Denpasar. The research method used is sociology approach on print journalists in Denpasar that pass competency test. To collect data from print journalists in Denpasar on how the implication of competency test affect press legal awareness, method of law as it is in society is used with quantified non-doctrinal approach. Based on the press laws in Indonesia, there no rules that sternly or specifically made regarding competency test.The competency test conducted base on Regulation of Press Council No. 1 of 2010 about Journalists Competency Standard. The enactment of regulation is part of function implementation of Press Council according toArticle 15 of Law No. 40 of 1999 on the Press. Press legal awareness of print journalists in Denpasar basically affected by own awareness to know and learn about press legal regulations and opportunity that given by print media company to attend training on law and ethic, both internal or external, and taking competency test.In conclusion, competency test has implication on the press legal awareness of print journalists.

Keywords :Competency Test Implication, Legal Awareness, Law Press, Journalist

I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang

Pers adalah refleksi dari kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi serta media untuk berkomunikasi.Hal ini juga menjadi refleksi dari pemenuhan HAM sebagai dasar operasional pers yang harus senantiasa merujuk pada dasar-dasar HAM.2 Karena itulah, keberadaan pers dalam kehidupan masyarakat modern menjadi satu hal yang sangat penting.

Peran penting itu pula yang kemudian menjadikan pers memiliki kekuatan besar, bahkan sering juga disebut sebagai kekuasaan keempat di samping legislatif, eksekutif dan yudikatif. Seperti yang dikemukakan Jamieson dan Waldman, the press serves many functions in a democracy. It informs the public of the worlds event, it prepares citizens for democratic participation; it acts as watchdog to expose government failure and corruption; and it serves as conduct between government and citizens informing each to others beliefs and intentions”.3

3


Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


Namun demikian ada hal mendasar yang lebih perlu dipahami, yakni untuk apasesungguhnya kekuatan dan kekuasaan besar itu, karena apabila pers hanya terlena oleh kekuasaan besar yang dimiliki sangat mungkin dalam perkembangannya pers bisa bersifat merusak atau destruktif. Sesungguhnya akan menjadi sangat ideal apabila dengan kekuatannyatersebut pers bisa menjadi mengawal kepentingan rakyat, atau apa yang diistilahkan sebagai guardian of people.4

Dalam arti sempit, pers dapat dikatakan sebagai aktivitas menyampaikan gagasan, pemikiran atau kabar berita secara tertulis.Namun secara luas, pers mencakup penyebarluasan gagasan dan pemikiran melalui media komunikasi massa, baik tertulis maupun lisan.5 Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers),yang dimaksud dengan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Kegiatan tersebut meliputi proses mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Lahirnya UU Pers sendiri dipandang sebagai awal perubahan mendasar dalam kehidupan pers di Indonesia.Salah satunya karena negara memberikan jaminan kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Pers. Dasar pertimbangannya, kemerdekaan pers dipandang sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat. Selain itu kemerdekaan pers menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.Terlebih lagi kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, dan oleh karenanya harus dijamin.

Pengaruh kemerdekaan pers terlihat secara nyata dalam kurun waktu belasan tahun sejak diberlakukannya UU Pers. Seperti terus bertambahnya jumlah media massa di berbagai daerah di Tanah Air, baik media cetak, elektronik maupun media siber. Sebagai contoh di Bali, sebelum tahun 1998, media massa cetak yang terbit di Bali hanya Bali Post, Mingguan Prima, Koran Sekolah Wiyata Mandala, Nusa Tenggara, SKM Karya Bhakti. Begitu pula stasiun televisi hanya ada TVRI Bali. Setelah era reformasi, jumlah media massa cetak dan elektronik di Bali meningkat tajam. Hingga akhir 2014 media massa cetak yang terbit umum di Bali, baik harian, mingguan, maupun majalah bulanan, berjumlah lebih dari 20 media, antara lain Bali Post, DenPost, Bisnis Bali, International Bali Post, Koran Wiyata Mandala, Nusabali, Radar Bali, Bali

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


Express, Warta Bali, Fajar Bali, Tribun Bali, Bali & Beyond Magazine, Bali Tribune, Pos Bali, Bali Aga. Di luar tersebut masih banyak terdapat media massa cetak yang tidak atau belum terdaftar di Dewan Pers, seperti Koran Renon, Tokoh, Bali Travel News, Majalah Taksu, Bali Travelnewspaper, Koran Mingguan Manggala. Jumlah tersebut belum terhitung media massa yang termasuk kategori penerbitan khusus seperti media periklanan, media pariwisata.

Pertumbuhan media massa tentu saja diikuti dengan pertambahan secara signifikan jumlah pekerja pers atau lebih umum disebut sebagai jurnalis atau wartawan. Jumlah wartawan di Bali tentu saja tidak hanya dihitung dari media massa yang ada dan terbit atau siaran dari Bali, namun juga media massa nasional dan internasional yang menempatkan biro, reporter atau koresponden di Bali, juga perwakilan kantor berita nasional dan internasional. Media massa nasional yang memiliki kantor perwakilan atau reporter di Bali seperti Kompas, The Jakarta Post, Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Koran Tempo, termasuk televisi swasta nasional.

Menjadi satu masalah kemudian,ketika dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan tidak selalu disertai dengan kompetensi yang memadai, baik menyangkut tata cara kerja dan etika profesi, juga pemahaman terhadap peraturan hukum yang berkenaan dengan tugas kewartawanan. Ketika wartawan tidak memahami hukum, tidak memiliki kesadaran hukum yang baik, akan muncul celah untuk terjadinya pelanggaran baik terhadap etika profesi dan yang terpent-

ing pelanggaran hukum. Padahal apabila pers ditinjau dari aspek hukum, dapat diartikan bahwa pers harus berkinerja atas dasar hukum.Sehingga apabila dalam praktiknya terjadi permasalahan menyangkut informasi yang disampaikan dalam pemberitaan sebagai produk pers, maka pers harustunduk pada hukum.6

Untuk mengantisipasi terus meningkatnya laporan pengaduan terhadap media massa berkenaan dengan pelanggaran etika dan hukum, baik yang disampaikan oleh masyarakatmaupun pemerintah, maka pada 2 Februari 2010, Dewan Pers menetapkan Peraturan Dewan PersNo. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Standar dimaksud, menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan ketrampi-lan yang harus dimiliki seorang wartawan, ditetapkan melalui satu mekanisme uji kompetensi. Salah satu pokok dalam standar kompetensi wartawan adalah bagaimana wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers. Selain memahami etika profesi, wartawan juga dituntut memahami dan sadar ketentuan hukum yang terkait dengan kerja jurnalistik.

Mencermati kasus-kasus pers yang terjadi di masyarakat, juga berdasarkan laporan akhir dari Dewan Pers tentang data pengaduan terhadap media massa yang berhubungan dengan pelanggaran etika dan hukum, maka pelaksanaan uji kompetensi menjadi salah satu upaya yang tepat untuk meningkatkan kesadaran hukum wartawan,dalam hal ini yang dimaksud

Samsul Wahidin, op. cit., hlm.14.

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


peraturan hukum di bidang pers. Untuk itumenarik untuk dikaji, bagaimana pengaruh pelaksanaan uji kompetensi terhadap kesadaran hukum wartawan, dalam hal ini kesadaran terhadap hukum pers.

  • b.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai uji kompetensi wartawan dalam hukum pers?

  • 2.    Bagaimanakah implikasi uji kompetensi terhadap kesadaran hukum pers wartawan media cetak di kota Denpasar?

  • c.    Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji implikasi uji kompetensi terhadap kesadaran hukum pers wartawan media cetak di Kota Denpasar. Sedangkan yang menjadi tujuan khusus adalah :

  • 1.    Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan uji kompetensi wartawan dalam hukum pers.

  • 2.    Untuk menemukan, mengkaji, serta menganalisis implikasi uji kompetensi terhadap kesadaran hukum pers bagi wartawan media cetak di kota Denpasar.

sosial.7 Untuk mendapatkan data mengenai implikasi uji kompetensi terhadap kesadaran hukum pers wartawan media cetak di kota Denpasar, digunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep hukum sebagai apa yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Data yang diolah adalah data primer dari hasil penelitian di lapangan.Data diperoleh secara langsung dari sumber asli melalui kuisioner, wawancara, dan observasi. Hasil penelitian secara langsung tersebut dilengkapi dengan data sekunder yang bersumber dari data yang sudah didokumentasikan dalam bentuk dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian lain berwujud laporan, dan dokumen lainnya.

  • III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pengaturan Uji Kompetensi

Wartawan Dalam Hukum Pers

Pada dasarnya tiap orang yang berurusan denan warta atau berita bisa disebut wartawan.8 Pasal 1 ayat 4 UU Pers menyebutkan, wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Siapa saja berhak menjadi seorang wartawan, karena memilih profesi atau bidang pekerjaan merupakan hak asasi. Namun demikian, sebagaimana profesi lainnya, tentu saja ada persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi wartawan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan

Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.133.

Kurniawan Djunaedhi, 1991, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm.277

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


baik. Terlebih lagi pekerjaan wartawan terkaiterat dengan kepentingan publik untuk mendapatkan informasi.

Dengan pertimbangan tersebut muncul pemikiran, wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai untuk melaksanakan tugasnya.Standar kompetensi itulah yang akan dijadikan sebagai alat untuk mengukur profesionalitas seorang wartawan. Maka pada 2 Februari 2010, Dewan Pers sebagai lembaga independen yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia, menetapkan Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi WartawanDewan Pers. Penetapan standar kompetensi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan, sehingga perusahaan pers dapat menggunakan standar kompetensi wartawan sebagai menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan.Ketetapan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan memulai penyelenggaraan uji kompetensi untuk wartawan.Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi yang telah ditentukan.

Munculnya keinginan dari kalangan wartawan sendiri untuk diberlakukannya peraturan mengenai standar kompetensi wartawan sesuai dengan Teori Hukum Itu Kehendak Etis Umum yang dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau. Dasar pemikirannya, manusia adalah oknum yang memiliki otonomi etis.Sehingga menjadi satu pertanyaan kemudian, apa sesungguhnya yang mendorong seorang

sebagai individu mau terikat atau diistilahkan “rela terbelenggu” oleh satu aturan.9

Dalam analisa Rousseau, manusia yang pada awalnya hidup dalam keadaan alamiah, bebas dan merdeka, bersedia terikat dalam satu aturan karena memandang hukum sebagai milik publik, sehingga sifatnya objektif.Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa yang paling mendasar dari hukum adalah sebagai wujud kehendak umum (volonte generale), bukan kemauan atau kehendak golongan (volonte de corps).10 Bagaimana individu hidup dalam tertib hukum dirasakan jauh lebih baik karena dapat membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan.Dalam keadilan dan kesusilaan, kebebasan individu masih tetap ada, hanya dibatasi oleh kemauan umum (volonte generale).11

Dengan demikian kesepakatan kalangan wartawan untuk menyepakati standar kompetensi wartawan dan mengikuti uji kompetensi dapat dipahami sebagai upaya untuk mendukung aktivitas kewartawanan (sebagai kebebasan individu) namun tanpa melanggar atau mengabaikan kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. “Kerelaan” wartawan untuk terikat dan tunduk pada aturan mengenai uji kompetensi bukanlah untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan, namun justru untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan.

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


Standar kompetensi wartawan merupakan kemampuan yang harus dimiliki wartawan untuk memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan. Termasuk pula di dalamnya kewenangan untuk menentukan atau memutuskan sesuatumenyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan di bidang kewartawanan.Dengan kata lain, standar kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja wartawan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan atau keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.12

Pelaksanaan uji kompetensi dapat dilaksanakan oleh lembaga yang berwenang yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan Dewan Pers. Lembaga dimaksud adalah perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi atau jurnalistik, lembaga pendidikan kewartawanan, perusahaan pers, dan organisasi wartawan.Dalam pelaksanaannya terdapat penyebutan berbeda untuk uji kompetensi seperti uji kompetensi wartawan (UKW) danuji kompetensi jurnalis (UKJ). Penyebutan UKW digunakan oleh sejumlah lembaga penguji seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun demikian Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menyebut sebagai uji kompetensi jurnalistik (UKJ), dengan dasar pertimbangan karena nama organisasi dan penyebutanjurnalis, bukan wartawan,sebagaimana juga disebutkan dalam Anggaran Dasar dan AnggaranRumah Tangga (AD/ART) mereka.

Mereka yang dapat menjalani uji kompetensi adalah wartawan yang bernaung di bawah satu perusahaan pers, atau wartawan lepas yang memiliki kontribusi untuk satu perusahaan pers. Uji kompetensi dibedakan ke dalam tiga jenjang, yakni wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama. Wartawan yang sudah menyelesaikan uji kompetensi akan mendapat sertifikat kompetensi yang berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas jurnalistik.

Meskipun sudah mulai dilaksanakan sejak2010, hinggasaatinibelumadaperaturan hukum khususnya hukum pers yang secara eksplisit menyebutkan mengenai standar kompetensi wartawan atau uji kompetensi wartawan.Jikadicermatiketentuan-ketentuan dalam UU Pers juga tidak ada pengaturan tentang uji kompetensi wartawan. Meskipun tidak diatur atau disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila ditinjau dari fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Bab V Pasal 15 UU Pers tentang Dewan Pers, maka keluarnya SK Dewan Pers untuk penyelenggaraan uji kompetensi wartawan dapat disebut sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi Dewan Pers. Hal ini dapat ditinjau dari isi ayat 2 yang menjelaskan mengenai fungsi-fungsi Dewan Pers, terutama huruf a dan b. Dalam Pasal 15 ayat 2 huruf a UU Persdisebutkan “melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers” dan pada ayat 2 huruff disebutkan “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan”.

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


Dalam konsideran ditetapkannya SK Dewan Pers mengenai standar kompetensi wartawan, Dewan Pers juga secara tegas menyebutkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers sebagai salah satu pertimbangan. Pertimbangan tersebut kemudian diperkuat dengan hasil pertemuan pengesahan Standar Kompetensi Wartawan yang dihadiri oleh organisasi pers, perusahaan pers organisasi wartawan, dan masyarakat pers serta Dewan Pers di Jakarta, 26 Januari 2010, serta keputusan Sidang Pleno Dewan Pers pada hari Selasa tanggal 2 Februari 2010 di Jakarta.

Dengan demikian pelaksanaan uji kompetensi untuk menetapkan standar kompetensi wartawan dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dari Dewan Pers untukmeningkatkan kualitas profesi wartawan.Meskipun belum ada pengaturan secara khusus mengenai pelaksanaan uji kompetensi dalam hukum pers, namun sebagai lembaga yang mengesahkan hasil uji kompetensi wartawan, keberadaan Dewan Pers berikut fungsi-fungsinya diakui oleh hukum sebagaimana tercantum dalam UU Pers. Jadi Pasal 15 ayat 2 mengenai fungsi Dewan Pers dapat disebut sebagai dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi wartawan.

  • b. Implikasi Uji Kompetensi Terhadap Kesadaran Hukum Pers Bagi Wartawan Media Cetak Di Kota Denpasar

Menurut Paul Scholten, kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori

tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan.13 Sudikno Mertokusumo mengatakan, kesadaran hukum ada pada tiap manusia, karena manusia berkepentingan kalau hukum itu dilaksanakan dihayati, karena dengan demikian kepentingannya akan terlindungi.14 Dalam pandangan Ewick dan Sylbey, kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan. Kesadaran hukum merupakan persoalan hukum sebagai perilaku, bukan hukum sebagai aturan,norma atau asas.15

Robert Biersted mengemukakan, kesadaran hukum muncul didorong oleh sejauh mana kepatuhan kepada hukum, yang didasari oleh indoctrination, habituation, utility, dan group indentification.16 Syarat kesadaran hukum masyarakat adalah tahu hukum (law awareness), rasa hormat terhadap hukum (legal attitude), paham akan isinya (law acquitance), dan taat tanpa dipaksa (legal behavior).17 Penjelasan ini tidak jauh berbeda dari pandangan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang mengemukakan empat hal sebagai indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap terhadap hukum,

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


dan pola prilaku hukum.18 Keempat tahapan ini, menurut Otje Salman, menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.19

Kesadaran hukum menjadi satu hal yang ditekankan dalam uji kompetensi untuk wartawan. Dari tiga model dan kategori kompetensi, yakni kesadaran (awaraness), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (skill), pada kategori kesadaran penekanannya adalah bagaimana wartawan memiliki kesadaran etika dan hukum. Kompetensi dalam hal hukum menuntut bagaimana wartawan dalam melaksanakan tugasnya tetap menghargai hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.Sebagai cerminan dari kesadaran terhadap hukum, dapat dilihat bagaimana wartawan memahami dan menaati etika jurnalistik.

Bagaimana implikasi dari uji kompetensi terhadap kesadaran hukum wartawan terhadap hukum pers? Untuk menjawab masalah ini dapat dikemukakan hasil penelitian terhadap wartawan media cetak di kota Denpasar yang telah mengikuti uji kompetensi.Hingga akhir 2014 tercatat 213 wartawan di Bali yang sudah memiliki sertifikat kompetensi wartawan. Jumlah tersebut terdiri dari 133 wartawan dari 23

media cetak, dan 80 wartawan lainnya dari 2 agensi berita, 8 radio, 7 televisi, dan 4 media siber. Meskipun jumlah wartawan yang ada tersebar di seluruh Bali, namun sebagian besar berada atau bertugas, berpusat di kota Denpasar. Dari 133 wartawan media cetak yang telah mengikuti uji kompetensi, terdapat 3 nama yang sama, 1 orang sudah meninggal, dan 4 orang sudah tidak aktif atau berhenti menjadi wartawan. Dari 125 wartawan yang masih aktif, diambil sampel sebanyak 58 orang yang diambil secara proporsional dari media cetak yang ada di Bali.Uraianhasilpenelitianberkenaandengan kesadaran hukum wartawan media cetak di kota Denpasar dikelompokkan menjadi pengetahuan hukum pers, pemahaman hukum pers, sikap terhadap hukum pers, dan pola prilaku hukum.

  • 1.    Pengetahuan Hukum Pers

Pembahasan pembahasan mengenai kesadaran wartawan media cetak di kota Denpasar terhadap hukum pers diawali dengan pengetahuan responden sekitar peraturan hukum yang mengatur dan berkaitan dengan pers. Dari hasil penelitian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1, seluruh responden mengetahui tentang UU Pers.Hanya sebagian kecil saja yang mengetahui peraturan hukum di luar UU pers yang juga menyangkut bidang pers, seperti UU Penyiaran, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan pasal-pasal dalam KUHPidana maupun KUH Perdata yang dapat dikenakan dalam kasus pers.Hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar responden

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


belum memahami dengan baik apa yang disebut dengan peraturan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan data 48.52% responden juga memasukkan Kode Etik Jurnalistik sebagai bagian dari peraturan hukum, dan 6,89% responden juga menyebutkan Pasal pada Tabel 1, seluruh responden mengetahui tentang UU Pers.

Hanya sebagian kecil saja yang mengetahui peraturan hukum di luar UU pers yang juga menyangkut bidang pers, seperti UU Penyiaran, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan pasal-pasal dalam KUHPidana maupun KUH Perdata yang dapat dikenakan dalam kasus pers.Hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar responden

Tabel 1

Proporsi Responden Menurut Peraturan-peraturan di Bidang Pers yang Diketahui N=58

Peraturan

Proporsi (%)

A. UU Pers

100 %

B. UU Penyiaran

5.17 %

C. UU ITE

5.17 %

D. UU Keterbukaan Informasi Publik

3.45 %

E KUHP

12.06 %

F. UUD 1945 (Pasal 28)

6.89 %

G. Kode Etik Wartawan

48.52 %

belum memahami dengan baik apa yang disebut dengan peraturan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan data 48.52% responden juga memasukkan Kode Etik Jurnalistik sebagai bagian dari peraturan hukum, dan 6,89% responden juga menyebutkan Pasal 28 UUD 1945 sebagai peraturan hukum.

Dari peraturan hukum tentang pers yang diketahui responden, khususnya dalam hal ini Undang-undang Pers, seluruh responden menyatakan pernah membacanya. Dari keseluruhan responden yang pernah membaca peraturan Undang-undangPers, hanya 29,31%responden yang menyatakan pernah membaca seluruh isi peraturan secara lengkap atau sepenuhnya. Sebanyak 41,30% responden mengatakan pernah membaca sebagian besar isi dari UU Pers, 15,53% membaca hanya beberapa bagian, dan 12,06% pernah membaca sebagiankecil saja.

  • 2.    Pemahaman Hukum Pers

Untuk mengetahui pemahaman respondenterhadaphukumpers,dikemukakan sejumlah pertanyaan menyangkut cara kerja wartawan serta prinsip dan asas dalam pemberitaan, sebagaimana disebutkan pula dalam pasal-pasal UU Pers. Meskipun menghendaki dan menjunjung tinggi kemerdekaan pers dalam melaksanakan tugas kewartawanan, responden juga memahami bahwa masih ada rambu-rambu yang harusmereka perhatikan, baik menyangkut etika maupun hukum. Seperti halnya prinsip wartawan untuk menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dalam pemberitaannya. Hanya 8,63% responden yang memilih untuk tetap mengutamakan nilai berita dengan Selebihnya, 91.37% paham untuk selalu menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.

Bahwa wartawan wajib menghormati asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


menyangkut masalah atau kasus hukum, juga dipahami oleh hampir seluruh responden. Untuk pertanyaan apakah yang wajib dilakukan oleh pers dalam melakukan pemberitaan menyangkut masalah hukum, hampir seluruh responden (98,28%)memilih jawaban menghormati asas praduga tak bersalah. Hanya 1,72% responden memilih jawaban lain yakni menggunakan referensi bacaan tentang hukum.

Tingginya pemahaman responden juga tampak pada terhadap penggunaanhak jawab, hak koreksi, dan hak tolak dalam pemberitaan. Apabila ada seseorang atau satu pihak yang merasa keberatan dengan pemberitaan fakta di media massa, karena dianggap merugikan nama baiknya, 96,55% responden menjawab untuk memberikan hak jawab kepada pihak-pihak yang keberatan. Hanya 3,45% responden yang memilih tindakan langsung melakukan perbaikan atau koreksi dan meminta maaf.

Jika responden memahami tentang hak jawab dan bagaimana penggunaannya, namun agak berbeda dengan hak koreksi, atau hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat 12 UU Pers dan Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik). Meskipunsebagianbesarresponden(74,12%) memahami apa yang dimaksud hak koreksi, namun masih terdapat responden yang belum paham betul dengan hak tersebut. Sebanyak 8,62% responden menyatakan hak koreksi adalah hak wartawan untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi dalam pemberitaannya, dan 17,26% responden

memahami hak koreksi sebagai hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, hanya tentang dirinya sendiri.

Di samping hak jawab dan hak koreksi, dalam tugas kewartawanan juga terdapat apa yang disebut sebagai hak tolak. Sebanyak 91,37% responden menyebutkan hak ini dapat digunakan oleh wartawan apabila diminta mengungkapkan nama atau identitas seorang narasumber berita yang karena tuntutan profesi, memang dirahasiakan, termasuk apabila wartawan diminta mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Hanya 8,63% responden yang menjawab hak tolak sebagai hak wartawan untuk menolak apabila diminta mempertanggungjawabkan pemberitaan secara hukum.

Terhadap Kode Etik Jurnalistik, 91,38%responden memahaminya sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi yang wajib ditaati. Namun demikian terdapat pula 1,72% responden yang lebih mengedepankan kebijakan redaksional, dan 6,90% lebih mengedepakan tata tertib peliputan dibandingkan dengan Kode Etik Jurnalistik.

  • 1.    Sikap Terhadap Hukum Pers

Untuk mengetahui sikap terhadap hukum pers, responden diberikan sejumlah pernyataan yang disusun berdasarkan pasal-pasal dalam UU Pers, dengan memberikan jawaban apakah sangat setuju, setuju, cukup setuju, kurang setuju, atau tidak setuju. Terhadap ketentuan untuk tetap menghormati atau menghargai norma agama dan kesusilaan baik dalam pemberitaan maupun pemuatan

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


opini, 68,97% responden menjawab sangat setuju, dan 31,03% menjawab setuju. Mengenai pemberian hak jawab apabila ada keberatan dari narasumber yang diberitakan, 74,15% responden menjawab sangat setuju, dan 25,85% menjawab setuju. Untuk penggunaan hak koreksi oleh pembaca, hanya 1,72% responden yang menyatakan tidak setuju jika pembaca diberikan hak untuk mengoreksi pemberitaan mengenai fakta yang mengandung kekeliruan data atau informasi. Sedangkan responden yang setuju 34,48% dan yang menyatakan sangat setuju 63,08%.

Penggunaan hak tolak oleh wartawan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, 50% responden menyatakan setuju, 46,56% sangat setuju. Sisanya, 1,72% kurang setuju dan 1,72% tidak setuju. Seluruh responden juga menyatakan sikap mendukung atau setuju dengan ketentuan Pasal 8 UU Pers yang menyatakan wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Sebanyak 77,59% responden menyatakan sangat setuju, dan 22,41% menyatakan setuju.

  • 4.    Pola Prilaku Hukum

Dari hasil penelitian, ternyata tidak semua responden selalu memperhatikan kode etik dalam menjalankan tugasnya, karena terdapat responden yang menjawab sangat jarang (1,72%) dan kadang-kadang (8,63%). Berikutnya ada responden yang menjawab sering (13,79%) dan yang paling dominan selalu memperhatikan kode etik jurnalistik (75,86%). Meskipun terdapat responden

yang menjawab jarang atau kadang-kadang memperhatikan kode etik jurnalistik, tidak bisa pula diartikan bahwa mereka melanggar atau mengabaikan kode etik jurnalistik. Ada kemungkinan sesungguhnya mereka telah bertindak sesuai dengan kode etik jurnalistik, namun tidak tahu dan tidak memahami jika apa yang dilakukan tersebut diatur dalam etika dan hukum pers.

Apakah responden sudah selalu memperhatikan, memeriksa dan menjaga kebenaran informasi sebelum diberitakan untuk menghindari berita bohong? Jawaban terbanyak adalah selalu (86,20%), sering (8,63%), dan hanya sedikit yang menjawab kadang-kadang (5,17%). Proporsi jawaban serupa ada pada pertanyaan mengenai perilaku wartawan dalam apakah sudah menerapkan prinsip keseimbangan dalam pemberitaan atau cover both side. Responden yang menjawab selalu (86,20%), sering (8,63%), dan hanya sedikit yang menjawab kadang-kadang (5,17%).

Bagaimana dengan prinsip untuk selalu menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dalam pemberitaan dan opini? Secara umum responden sudah menerapkan prinsip tersebut, meskipun masih ada yang menjawab kadang-kadang (6,52%), dan sering (26,09%). Jumlah responden yang menjawab selalu masih terbanyak (67,39%).

Dari pemaparan menyangkut empat indikator kesadaran hukum tersebut di atas, dapat dikatakan kesadaran hukum wartawan media cetak di Denpasar cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan data bahwa sebagian besar responden (87,93%) telah mengetahui

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


peraturan hukum di bidang pers setelah menjalankan profesi sebagai wartawan. Ada pula responden (6,90%) yang telah mengetahui peraturan hukum di bidang pers sebelum melaksanakan tugas kewartawanan. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat latar belakang pendidikan responden sebagian besar Sarjana dari beragam disiplin ilmu, pengetahuan mengenai hukum pers bisa saja didapatkan pada saat menempuh pendidikan atau kuliah. Namun demikian ada pula responden yang mengaku baru mengetahui peraturan hukum di bidang pers justru setelah ikut uji kompetensi (5,17%). Hal ini bisa terjadi dengan asumsi perusahaan pers tempat responden bekerja belum pernah memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai etika jurnalistik dan hukum pers. Jawaban ini bisa menjadi gejala bagaimana uji kompetensi memang berimplikasi terhadap kesadaran hukum wartawan terhadap hukum pers, meskipun gejalanya masih perlu diuji lebih lanjut.

Pertanyaannya kemudian, apa yang mendorong responden bersedia atau mau mengikuti uji kompetensi? Sebagian besar responden, sebanyak 72,41% bersedia atau mau mengikuti uji kompetensi dengan kesadaran dalam diri masing-masing untuk meningkatkan profesionalisme sebagai wartawan. Sisanya, 27,59% menyatakan ikut uji kompetensi semata-mata karena tuntutan standar kerja pada perusahaan pers tempat bekerja masing-masing.

Secara umum seluruh responden telah memiliki kemampuan (skill) untuk melakukan tugas kewartawanan, sebagai model atau kategori kompetensi dasar.

Kemampuan tersebut meliputi bagaimana wartawan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Begitu pula menyangkut kemampuan wartawam dalam melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan sertifikat lulus uji kompetensi yang dimiliki oleh responden.

Untuk model atau kategori kompetensi selanjutnya, pengetahuan (knowledge)baik menyangkut teori dan prinsip jurnalistik, maupun pengetahuan umum dan pengetahuan khusus, tidak semua responden dapat menjawab dengan tepat dan benar seluruh pertanyaan yang diajukan. Namun secara umum dapat dikatakan penguasaan teori dan prinsip jurnalistik sudah cukup baik, karena meskipun tidak ada jawaban dari seluruh responden atau 100%tepat untuk teori atau prinsip jurnalistik, namun rata-ratanya masih cukup tinggi. Persentase jawaban untuk pengetahuan maupun pemahaman dan sikap terhadap prinsip-prinsip dasar seperti prinsip keseimbangan dalam pemberitaan, asas praduga tak bersalah, hak jawab, hak tolak, hak koreksi, paling rendah 74,12% dan paling tinggi mencapai 98.28%.Yang perlu menjadi perhatian adalah model atau kategori kompetensi teratas yakni kesadaran (awareness). Meskipun seluruh responden menyatakan mengetahui peraturan hukum dibidang pers, mengetahui Kode Etik Jurnalistik, namun masih banyak yang belum membaca secara keseluruhan atau secara penuh.

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


Dapat disimpulkan, secara umum uji kompetensi berimplikasi terhadap kesadaran hukum pers wartawan media cetak di kota Denpasar, namun signifikan atau tidak, harus dilihat pada aspek mana kesadaran hukum tersebut dimaksud. Jika pada aspek mendasar yang menyangkut kemampuan teknis dalam melaksanakan tugas kewartawanan berpengaruh secara signifikan, pada aspek pengetahuan juga terdapat peningkatan, namun apakah hasil ini berkembang menjadi satu kesadaran dan mempengaruhi pola prilaku wartawan, masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

  • IV Simpulan dan Saran

  • a. Simpulan

  • 1.    Ketentuan mengenai standar kompetensi wartawan atau uji kompetensi wartawanbelum diatur secara khusus dalam hukum pers. ada peraturan hukum yang secara eksplisit menyebutkan mengenai. Pelaksanaan uji kompetensi wartawan hanya diatur berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-Dp/ II/2010 Tentang Standar Kompetensi Wartawan, sebagai salah satu perwujudan fungsi Dewan Pers dalam melakukan pengkajian untuk

pengembangan   kehidupan pers

sertamenetapkan  dan mengawasi

pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

  • 2.    Secara umum   pelaksanaan uji

kompetensi berimplikasi terhadap kesadaran hukum wartawan media cetak di kota Denpasar. Kesadaran hukum wartawan media cetak di

kota Denpasar terhadap hukum pers secara umum dipengaruhi oleh adanya kesadaran dari wartawan untuk mengetahui dan mempelajari etika dan peraturan hukum di bidang pers dengan membaca buku-buku dan peraturan perundang-undangan, dan adanya kesempatan yang diberikan oleh perusahaan pers tempat bekerja untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan mengenai etika dan hukum, termasuk kesempatan wartawan mengikuti uji kompetensi. Faktor kompetensi turut mempengaruhi kesadaran hukum wartawan terhadap hukum pers. Kalau wartawan tidak ada atau tidak memiliki kompetensi, maka tidak akan ada kesadaran hukum.

  • a. Saran

  • 1.    Dengan mempertimbangkan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kesadaran hukum wartawan, dapat disarankan kepada Dewan Pers agar terus mensosialisasikan pentingnya pelaksanaan uji kompetensi wartawan kepada seluruh perusahaan pers yang ada di Indonesia. Sebagai implementasi dari salah satu fungsi Dewan Pers, perlu dipertimbangkan untuk memperkuat dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi dengan memasukkan pengaturannya ke dalam UU Pers.

  • 2.   Bagi lembaga pelaksana uji kompetensi

wartawan dan Dewan Pers agar terus membenahi dan menyempurnakan metode serta materi uji kompetensi wartawan untuk lebih meningkatkan

Magister Hukum Udayana • Juli 2015


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)


Vol. 4, No. 2 : 219 - 232


lagi hasil yang telah dicapai agar makin sesuai dengan apa yang diharapkan atau dicita-citakan. Penekanan terutama menyangkut aspek etika profesi dan kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas, agar dapat meningkatkan profesionalisme wartawan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial-prudence), Prenada Media Kencana, Jakarta

Amiruddin, dan Asikin, Zainal, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Djunaedhi, Kurniawan,1991, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jamieson, Kathleen Hall and Waldman, Paul, 2003, The Press Effect: Politicians, Journalists, and the Stories That Shape the Political World, Oxford University Press.

Mertokusumo, Sudikno, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum   Masyarakat,

Liberty, Yogyakarta

____________________,   2011, Kapita Selekta Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2010, Sosiologi Hukum, Esai-esai Terpilih, Genta Publishing, Jogjakarta.

Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Salman, Otje, 2007, Kesadaran Hukum

Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung.

Saptohadi, Satrio,2011, “Pasang Surut Kebebasan Pers di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 1 Januari 2011, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. h. 128.

Soekanto, Soerjono, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta.

Tanya, Bernard L., Simanjuntak, Yoan N., dan Hage, Markus Y., 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.

Tim PWI Pusat, 2012, Pedoman Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat, PWI Pusat, Jakarta.

Wahidin, Samsul, 2013, Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers, Pustak

232