Jurnal

ISSN 2302-528X

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178

Magister Hukum Udayana Mei 2015

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

FUNGSI JAKSA DALAM MENUNTUT TERDAKWA KORUPSI UNTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Oleh:

Ni Wayan Sinaryati 1

ABSTRACT

This thesis of prosecutor function in the implementation of the court decision related to return of financial loss caused by corruption. In addition, this study also aims to determine and assets the constraints in the implementation of court decisions related to the return of financial loss. It is invecitable that at current time, corruption is one of the remarkable (extra ordinary crime) that endanger the stability and security as well as economic development in Indonesia.

Corruption in Indonesia has been so severed and widespread in the community and very alarming, its development continues to increase from year to year, both in number of cases and the amonut of state financial losses and in terms of quality. These cirminal offenses commit more systematic and scope into all aspects of life. Starting from lower level of the dominant and state officials or law enforcement. Judge in imposing sanctions not only imprisonment and also fined an additional punishment, including the return of financial loss to the state by state corruption.

The method used in this research is the method of normative juridical legal research of the research using primary and secondary data sources by document. This approact to use the statute approach, the analifical and conseptual approach, case approach and comparative approach legal, basic of corruption in the judicial process is ussed act No. 8 of 1981 (KUHAP), Act No. 31 of 1999, Act No. 20 of 2001 and Act No. 16 of 2004

The constraints in the implementation of the court decision related to the return of states losses, is convicted assets and property that has been transfered, multiple population administration and duration of the judicial proceses of implementation is not effective.

Keywords : Prosecutor Function, To Return Financial Loss, Corruption

  • I.    `PENDAHULUAN

Sebagai konsekuensi logis bahwa Indonesia berlandaskan atas hukum (rechtstaat) maka hukum mesti tetap ditegakkan. Salah satu bidang hukum yang menjadi skala prioritas pemerintah rezim reformasi dalam penegakan hukumnya adalah konsen mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Bagi Indonesia fenomena dan fakta korupsi telah meningkat dan meluas terus merambah hampir semua sektor kehidupan. Modus operandi tindak pidana korupsi semakin hari kian sulit dan rumit untuk diungkap. Berbagai kualifikasi tindak pidana korupsi telah diberikan seperti tindak pidana korupsi telah digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), kejahatan lintas batas territorial (transnational crimes], kejahatan terselubung (hidden crimes), kejahatan kerah putih (white collar crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity).

Kualifikasi tindak pidana korupsi seperti di atas dalam penanganannya mesti pula dihadapi dengan cara ekstra atau diluar dari cara- cara yang biasa. Korupsi merambah berbagai sektor kehidupan, dan bahkan pelaku-pelakunya dominan dilakukan kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta melibatkan jajaran Kementerian tingkat tinggi hingga struktur pemerintahan terbawah seperti aparatur Kelurahan.

Tugas dan wewenang Kejaksaan cukup luas, karena mewakili negara dalam memulihkan hak publik bila terjadi pelanggaran hukum. Khusus dalam penelitian tesis ini hanya mengkaji pesan Jaksa selaku

Penuntut Umum dalam perannya untuk menuntut terdakwa pelaku tindak pidana korupsi sehubungan kerugian negara yang ditimbulkan agar kerugian keuangan/asset negara dapat dikembalikan oleh koruptor.

Dalam ketentuan KUHAP, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, juga dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada ketentuan mengatur adanya tindakan bagi Jaksa selaku Penuntut Umum yang dapat dilakukan, ketika mengeksekusi aset atau barang milik terpidana korupsi telah habis atau telah berpindah tangan pada orang atau pihak lain.

Paparan latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan seperti berikut : 1. Apakah ada dasar hukum pengaturan dalam perundang – undangan pidana bagi penuntut umum dalam fungsinya sebagai eksekutor ketika mengeksekusi aset terpidana koruptor tidak dapat dijalankan, karena asetnya telah habis?

  • 2.    Apakah bentuk – bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam memerankan fungsinya untuk pengembalian kerugian keuangan negara dari terdakwa atau terpidana tindak pidana korupsi ?

  • II.    METODELOGI

    • 2.1.    Jenis Penelitian

Tulisan ini termasuk jenis penelitian normative. Dilakukan dengan cara penelitian kepustaaan, meneliti bahan hukum primer dengan ditunjang bahan hukum skunder.

Magister Hukum Udayana Mei 2015

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Penelitian hukum normatif ini menyangkut penelitian taraf sinkronisasi horisontal atas disharmonisasi norma yang ada antara KUHAP dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan UU No. 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Khususnya terkait keuangan Negara yang harus dikembalikan oleh terpidana korupsi.

  • 2.2.    Metode Pendekatan

Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian normatif, maka dalam penelitian ini akan memakai beberapa metode pendekatan diantaranya :

  • -    The Statue Approach pendekatan

perundang-undangan

  • -    The Analitical and  Conseptual

Approach (pendekatan analisis konsep hukum)

  • -    The Case Approach atau Pendekatan

Kasus

  • -    The Comparative Approach atau

Pendekatan Perbandingan

  • 2.3.    Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum bersifat normatif, maka jenis bahan hukum yang lazim dipergunakan adalah :

  • a. Bahan – bahan hukum primer b. Bahan – bahan hukum sekunder c. Bahan – bahan hukum tersier2

Sehubungan dengan penelitian hukum normatif tesis in maka memakai sumber bahan hukum dari :

  • 1.   Bahan hukum primer, seperti:

  • -    Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang KUHAP

  • -    Undang-Undang No. 16 Tahun 2002 tentang Kejaksaan

  • -    Beberapa Yurisprudensi Mahkamah

Agung RI tentang kasus korupsi

  • -    Putusan – putusan pengadilan seperti

Pengadilan Negeri (Peradilan Tingkat I) dan Putusan Mahkamah Agung (MA) atau putusan tingkat kasasi menyangkut korupsi

  • -    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan    Tindak    Pidana

Korupsi

  • 2.    Bahan hukum  sekunder, yakni

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

  • 3.    Bahan hukum tersier, dalam hubungan penelitian ini menyangakut seperti kamus atua ensiklopedi.

  • 2.4.    Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini untuk pengumplan bahan hukum memakai metode sistematis, yakni berupa pengumpulan bahan peraturan perundang-undangan

  • 2.5.    Teknik Analisis Bahan Hukum

Menggunakan teknis analitis seperti :

  • -     Teknik diskripsi

  • -     Teknik interpretasi

  • -    Teknik evaluasi

  • -    Teknik argumentasi

  • -    Teknik sistematisasi                 III. HASIL PENELITIAN

  • -    Metode konstruksi hukum                  Sampel kasus temuan Mabes Polri

ditampilkan dalam tulisan ini terkait kerugian negara terdakwa / terpidananya melarikan diri seperti berikut :

No

Nama Tersangka

Kasus

Kerugian Negara (Rp)

Penyidik

1

Iwan Oktiawan

Korupsi PT Pertamina UMPS IH Tanjung Priuk Jakarta

12.200.000.000,-

Dittidkor Bareskrim Polri

2

Hendrawan

Korupsi Dana Usaha Mandiri Tahun 2009

205.000.000,-

Pokes Klungkung Bali

3

Salmadi

Korupsi Dana Pinjaman Pupuk Subsidi dari APBN Tahun 2008

20.000.000,-

Polres Barito Kuala Kalsel

4

Suparman

Korupsi Dana Kelompok Tani Tunas Karya Tahun 2009

20.000.000,-

Polres Tanah Laut Kalsel

5

Pauline Maria Lumowa

Tahun 2002-2003 Kerjasama dengan BN1 dan 8 Perusahaan Eksport menggunakan dokumen palsu sehingga mendapat dana dari BNI

1.200.000.000,-

Mabes Polri

6

Amri Irawan

Korupsi di Bank Mandiri

1.500.000.000,-

Mabes Polri

7

Ir. Ede Utoyo

Korupsi di PTJIEP

500.000.000,-

Mabes Polri

8

Harry Matalata

Korupsi di PT Devi Pooja Kumari

1.500.000.000,-

Mabes Polri

Sumber Data: Bahan hukum sekunder, diolah penulis.

Serta temuan Polri atas penyelamatan kerugian keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi, seperti berikut :

No

Tahun

Jumlah Laporan

Proses SIDIK

Kerugian Keuangan Negara (Rp)

Yang Dikembalikan (Rp)

1

2004

582

311

5.006.689.304.896,-

16.178.126.148,-

2

2005

409

215

3.214.976.725.132,-

780.725.931.065,-

3

2006

332

225

1.408.810.517.642,-

2.955.094.842,-

4

2007

343

110

424.532.845.766,-

12.414.383.608,-

5

2008

359

180

512.388.696.382,-

81.785.339.093,-

6

2009

455

265

455.753.777.260,-

195.671.252.605,-

7

2010

283

176

560.348.259.862,-

339.720.546.059,-

8

2011

766

432

2.007.342.317.820,-

260.953.824.790,-

Sumber Data : Bahan hukum sekunder, diolah penulis.

Magister Hukum Udayana Mei 2015

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Temuan penelitian penulis atas kasus – kasus tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar selama 2 (dua) tahun menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara terinventarisir seperti berikut :

PERKARA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

TAHUN 2012

No

No. Perkara

Terdakwa

Tuntutan Pidana Tambahan

Pidana Tambahan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

1.

l/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps

Desak Putu Ari Padmini

290.998.750

290.998.750 (inkracht)

2.

2/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

I Made Widarma

-

Tidak ada

3.

3/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

I Wayan Gunawan

-

Tidak ada

4.

4/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

H.Asmuni Turyadi

-

Tidak ada

5.

5/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps

I Wayan Armawa

-

Tidak ada

6.

6/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

Bambang Subagyo

-

Tidak ada

7.

7/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

Dra. Tety Gemeniawati

-

Tidak ada

8.

8/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

I Made Budiarta

-

Tidak ada

9.

9/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

Ni Nyoman Rusmini

-

Tidak ada

10.

1 0/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

I Gede Putu Sunarta

-

Tidak ada

11.

1 l/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

Priat Eko Purwo

-

Tidak ada

12.

12/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps

Rudi Hartono

-

Bebas

13.

1 3/Pid.SusATPK/20 1 2/PN.Dps

I Nengah Arnawa, dk

1.395.000.000

1. 395.000.000 (PK)

14.

14/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps

I Nyoman Oka Dhiputra

-

Tidak ada

15.

1 5/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

I Nengah Sugita

-

Bebas

16.

16/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps

Nyoman Pastika

29.921.753

29.92 1.753 (Banding)

17.

1 7/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

I Wayan Kari Bagas Pramanta

625.670.000

625.670.000 (Banding)

18.

1 8/Pid.SusATPK/201 2/PN.Dps

Ida Ayu Sri Astuti

-

Tidak ada

19.

1 9/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

Putu Bagiada

574.709326

574.709.326 (Kasasi)

20.

20/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps

I Wayan Gobang Edy Sucipto

-

Tidak Ada

Sumber: Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2012 PN.Dps

Magister Hukum Udayana Mei 2015                                 Vol. 4, No. 1 : 162 - 178

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

PERKARA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

TAHUN 2013

No.

No. Perkara

Terdakwa

Tuntutan Pidana Tambahan

Pidana Pengembalian Kerugian Negara

1.

l/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps

I Wayan Sukaja

455.000.000

431. 000.000 (Kasasi)

2.

2/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Made Wardana

-

Tidak Ada

3.

3/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Ketut Rana

-

Tidak Ada

4.

4/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps

Nengah Londen

-

Tidak Ada

5.

5/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Made Yasa

-

Bebas

6.

6/Pld.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

Nengah Artabawa

-

Tidak Ada

7.

7/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps

I Dewa Gede Ramayana

63.820.000

62.745.000 (inkracht)

8.

8/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps

Putu Santika

85.567.500

Bebas

9.

9/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

Gede Budiasa

1.863.126.650

1.863. 126.650 (inkracht)

10.

10/Pid.SusATPK/2013/PN.Dps

I Made Kangen

-

Tidak ada

11.

ll/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps

I Wayan Budiarsa

91.510.000

102.890.000 (inkracht)

12.

1 2/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Wayan Ranuh

135.000.000

135.000.000 (Kasasi)

13.

13/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Ketut Rustiani

25.200.000

25.200.000 (Inkracht)

14.

1 4/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Dewa Putu Djati

-

Bebas

15.

1 5/Pid.SusATPK/201 3/PN.Dps

I Dewa Nyoman Putra, dk

-

Bebas

16.

16/Pid.SusATPK/20 1 3/PN.Dps

I Nyoman Mudjarta

-

Bebas

17.

1 7/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Ketut Suardi

100.000.000

Tidak Ada

18.

1 8/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps

I Ketut Tamtam

2.693.489,92

Tidak Ada

19.

1 9/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

I Nengah Wijaya

200.000.000

200.000.000 (inkracht)

20.

20/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

Ida Bagus Dedi Mahendra

65.200.500

65.200.500 (inkracht)

21.

2 1 /Pid. SusATPK/20 1 3/PN.Dps

Ida Bagus Putu Sutika

10.000.000

Tidak ada

22.

22/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps

I Wayan Budra

-

Tidak ada

23.

23/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps

[nderapura Barnoza

-

Tidak ada

24.

24/Pid.SusATPK/201 3/PN.Dps

Mikhael Maksi

-

Tidak ada

25.

25/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps

Rudi Jhonson Sitorus

-

Tidak ada

Sumber: Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2013 PN.Dps

Magister Hukum Udayana Mei 2015

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

  • IV. PEMBAHASAN

  • 4.1.    Landasan Yuridis Pengaturan

Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Beberapa Perundang-Undangan Pidana Indonesia

  • 4.1.1.    Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana (KUHP)

Sebagai suatu tindak pidana yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, tindak pidana korupsi telah diatur dalam KUHP. Dalam KUHP terdapat 13 pasal yang mengatur tentang tindak pidana umum yang termasuk tindak pidana korupsi yaitu : a. Kelompok tindak pidana penyuapan

yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP.

  • b.    Kelompok tindak pidana penggelapan yang terdiri dari Pasal 415,416, dan Pasal 417 KUHP.

  • c.    Kelompok tindak pidana kerakusan yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.

  • d.   Kelompok tindakpidana yang berkaitan

dengan pemborongan, leveransir dan rekanan yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP.3

Adapun ancaman pidana yang tercantum dalam ketentuan beberapa pasal dalam KUHP yang tergolong dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

  • -    Pasal 209

  • -    Pasal 210

  • -    Pasal 387

  • -    Pasal 388

  • -    Pasal 415

  • -    Pasal 416

  • -    Pasal 417

  • -    Pasal 418

  • -    Pasal 419

  • -    Pasal 420

  • -    Pasal 423

  • -    Pasal 425

  • -    Pasal 435

Seperti adanya pengaturan menyangkut tindak pidana korupsi dalam KUHP sebenarnya tidak diperlukan lagi peraturan perundang-undangan mengenai korupsi, namun seiring dengan perkembangan masyarakat, ketentuan tindak pidana korupsi dalam KUHP dirasa tidak mampu mewadahi perilaku masyarakat yang kian koruptif sehingga perlu dibentuk hukum pidana yang progresif dan dinamis mewadahi secara khusus tindak pidana korupsi.

  • 4.1.2.    Peraturan Penguasa Militer

Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957

Maksud dan tujuan dibentuknya Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 adalah kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintah. Peraturan Penguasa Militer ini merupakan awal mula

peraturan perundang-undangan pidana khusus menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Rumusan mengenai korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/ PM-06/1957dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

  • 1)    Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara.

  • 2)    Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorangpejabatyangmenerimagajiatau upah dari suatu badan yang menerima bantuan keuangan dari negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pejabat langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.

Peraturan penguasa militer ini ternyata dirasa kurang efektif yang kemudian dibentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957 yang mengatur lebih lanjut tentang penilikan harta benda yang dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang

kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.4

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya maka ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat.

  • 4. 1.3 Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/Peperpu/013/1958, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958).

Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/ Peperpu/013/1958 tidak menjelaskan mengenai pengertian istilah korupsi serta tindak pidana korupsi, namum membedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan perbuatan korupsi lainnya.

  • 1)    Perbuatan korupsi pidana, yang dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana adalah :

  • a.    Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah

Magister Hukum Udayana Mei 2015

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggorann dari masyarakat.

  • b.    Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

  • c.    Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 samapai 50 Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • 2)    Perbuatan korupsi lainnya, yang disebut perbuatan korupsi lainnya adalah :

  • a.    Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggoran dari masyarakat.

  • b.    Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/ Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat, sedangkan daerah-daerah yang dikuasai oleh angkatan laut dibentuk Peraturan Penguasa Perang Militer Angkatan Laut Nomor : Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958 yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang sebelumnya.5

  • 4. 1.4 Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN Nomor : 72 Tahun 1960)

Istilah tindak pidana korupsi untuk pertama kalinya dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia adalah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam konsideran peraturan ini pada butir a disebutkan :

“Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Adapun hal-hal yang baru diatur dalam undang-undang ini adalah menyangkut beberapa hal yang sebelumnya belum diatur dalam undang-undang korupsi sebelumnya, diantaranya adalah :

  • 1)    Delik percobaan dan delik permufakatan.

  • 2)    Delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri.

  • 3)    Kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji.

  • 4)    Pengertian pegawai negeri lebih diperluas.

Peraturan Pemerintah tersebut diatas terdapat beberapa perubahan pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran” serta perubahan kata “perbuatan” menjadi “tindakan”.

  • 4. 1.5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Konsideran undang-undang ini memaparkan bahwa latar belakang pembentukanundang-undanginiadalahuntuk menanggulangi masalah korupsi. Perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang sebelumnya kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi. Maka dari itu perlu adanya pembaharuan hukum pidana terkait pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun beberapa yang dianggap sebagai kelemahan Undang-Undang diatas adalah sebagai berikut:

  • 1.    Tidak adanya ketegasan mengenai rumusan delik tindak pidana sebagai delik formal.

  • 2.   Tidak adanya ketentuan yang mengatur

mengenai ancaman pidana yang dapat diterapkan terhadap suatu korporasi sebagai subjek tindak pidana.

  • 3.    Terkait sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua puluh tahun) dan minimum umum (satu hari) sehingga menimbulkan ketidakleluasaan bagi jaksa dalam penuntutan.6

Magister Hukum Udayana Mei 2015

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

  • 4.1.6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sebagai dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku hingga saat ini telah banyak mengalami penyempurnaan dari undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia. Tujuan pemerintah dari pembuat undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislatif tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum.7

Adapun beberapa hal penting yang merupakan pembaharuan dalam Undang-Undang Korupsi sekarang (ius constitutum) antara lain :

  • 1.    Dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian setiap

pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa.

  • 2.    Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam fungsinya secara positif.

  • 3.    Adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum disamping perseorangan.

  • 4.    Adanya penambahan dalam pidana tambahan terkait uang pengganti.

  • 5.    Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi criminal yang dapat diberlakukan keluar batas teretorial Indonesia.

  • 6.    Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau “balanced burden of proof “ dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

  • 7.    Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus disamping ancaman maksimum.

  • 8.    Diintroduksinya ancaman pidana mati sebaai unsur pemberatan.

  • 9.   Adanya pengaturan tentang penyidikan

gabungan (joint investigation teams) dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi jaksa agung.

  • 10.    Adanya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas yang diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan.

  • 11.    Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol

sosial yang dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif.

  • 12.    Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada  pembuat

undang-undang untuk membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat indipenden.

  • 13.    Adanya pengakuan yang secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai “extra ordinary crime” yakni kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

  • 14.    Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

  • 15.    Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewijslast) secara terbatas.

  • 16.    Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik.

  • 4.1.7 Beberapa Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Fungsinya Selaku Eksekutor Untuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

Adapun bentuk tindakan hukum sebagai upaya antisipasi jaksa selaku penyidik dan eksekutor dalam usaha pengembalian kerugian keuangan negara dari terdakwa

/ terpidana tindak pidana korupsi adalah berupa hal-hal seperti berikut :

  • a.    Mendakwa terdakwa korupsi dalam formulasi surat dakwaannya secara cermat, jelas dan lengkap dengan bentuk dakwaan berlapis atau bentuk dakwaan kombinasi atau subsidair

  • b.    Menuntut terdakwa melalui surat tuntutan (requisitoir) di depan persidangan dengan pemidanaan pokok lebih dari satu atau pemidanaan ganda, disertai pula dengan tuntutan jenis pidana tambahan seperti ketentuan Pasal 20 huruf b angka 2 KUHP jo Pasal 18 ayat (1) huruf a (perampasan / penyitaan barang) dan huruf b (pembayaran uang pengganti) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  • c.   Jaksa menempuh upaya hukum dengan

mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung bila tidak puas atas putusan pengadilan negeri dan / atau putusan Pengadilan Tinggi.

  • d.    Jaksa Agung c/q kejaksaan selaku penegak hukum, lembaga pemerintah, badan hukum publik yang mewakili kepentingan umum dapat mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung (MA) seperti diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP.

  • e.    Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi sedini mungkin melakukan

Magister Hukum Udayana Mei 2015

(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

tindakan upaya paksa berupa penyitaan atau perampasan terhadap aset – aset terdakwa korupsi supaya terhindar dari hilangnya barang bukti selaku alat bukti yang dicuci atau dihabiskan oleh terdakwa sebelum perkara selesai disidangkan.

  • f.    Jaksa segera melakukan penahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik, dan tidak memberikan permohonan penangguhan penahanan terhadap tersangkanya atau terdakwanya.

  • g.    Memfungsikan, mengoptimalkan dan merintis kerjasama dengan penegak hukum lain serta institusi independen terkait di dalam menghitung serta melacak kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh koruptor. Seperti berkoordinasi dengan KPK, BPK, PPATK yang hasil kinerjanya (audit) masing-masing dituangkan dalam tuntutannya di persidangkan, sebagai realisasi dari keputusan Presiden RI No. 82 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan PPATK

  • h.   Jaksa dapat mengoptimalkan fungsinya

sebagai pengacara negara untuk menggugat perdata dari aset – aset yang dikuasai terpidana koruptor atau keluarganya dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara

Namun bagi penuntut umum masih tetap harus membuktikan melalui dakwaan berlanjut berimbas pada tuntutan (requisitoir) bahwa terdakwa telah

melakukan perbuatan seperti awal dakwaan yang diformulasikannya.

  • 4.2.    Tindakan Hukum Penuntut Umum

Dengan Melakukan Perampasan Barang – Barang Tertentu / Tindakan Penyitaan

  • 4.2.1.    Makna Perampasan Barang / Penyitaan

Penuntut Umum dipandang perlu dan penting memperhatikan salah satu jenis pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP angka 2 berupa “perampasan barang – barang tertentu” Dalam surat tuntutannya sangat urgen untuk disertakan apabila akan menuntut berupa pengembalian aset terdakwa koruptor. Kata “perampasan” jangan diartikan sempit, yang selama ini sering diartikan diambil alih dan dikuasai guna diperuntukkan oleh negara.

Perampasan dalam hubungan jenis pidana tambahan yang sampai kini masih eksis dan tetap diakui serta dipraktekkan dalam dunia peradilan. Perampasan lebih diartikan akan tindakan dalam arti tindakan bagi jaksa selaku penyidik tindak pidana khusus salah satunya dalam tindak pidana korupsi memiliki wewenang absah untuk melakukan tindakan hukum berupa penyitaan terhadap barang – barang milik terdakwa atau barang – barang yang diduga baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan tindak pidana korupsi

Jaksa selaku penyidik dan penuntut dalam tindak pidana korupsi berdasar

KUHAP dan Undang – Undang No. 16 Tahun 2004 memiliki kewenangan atributif diberikan Undang – Undang dalam melakukan tindakan upaya paksa salah satunya penyitaan.

Dalam konteks teori secara umum perampasan terhadap barang – barang tertentu adalah sebagai berikut : Pertama, perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap barang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana atau instumentum sceleris. Kedua, perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap obyek yang berhubungan dengan perbuatan pidana atau objectum sceleris. Sedangkan yang ketiga, adalah perampasan dalam pengertian penyitaan terahdap hasil perbuatan pidana atau fructum terhadap sceleris.8 Bagi Indonesia terhadap ketiga jenis perampasan ini perlu diartikan sebagai tindakan penyitaan terhadap barang – barang milik terdakwa guna kepentingan negara atau masyarakat luas.

Sehingga bagi jaksa selaku penuntut umum dan selaku penyidik dalam perkara tindak pidana dalam tuntutannya disamping berorientasi kepada jenis pidana tambahan seperti diatur dalam Pasal 10 KUHP huruf b angka2jugaberkorelasidengankemungkinan bagi penuntut umum melaksanakan amanat pengatura ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a tertera di depan yang pada intinya untuk dapat melakukan perampasan terhadap barang berwujud atau tak berwujud, barang bergerak atau tak bergerak yang digunakan

atau sebagai hasil dari tindak pidana korupsi, dalam arti secara interprestasi gramatical kata perampasan disamakan artinya dengan penyitaan (dalam arti luas).

Maka wewenang atributif penuntut umum dan selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi bagi institusi kejaksaan atau jaksa dalam melakukan tindakan upaya paksa berupa penyitaan terhadap hasil kejahatan dari para koruptor adalah tepat, wajar dan legal demi kemanfaatan kesejahteraan masyarakat luas sesuai esensi dan makna teori fungsi, agar tindakan hukum oleh penegak hukum berguna bagi masyarakat luas, khususnya kerugian keuangan negara yang dikuasai terdakwa atau terpidana korupsi dapat kembali kepangkuan negara atau warga masyarakat untuk kepentingan pembangunan sosial ekonomi bangsa.

  • 4.2.2.    Maksud dan Tujuan Perampasan

    Barang / Penyitaan Aset

Tindakan hukum berupa perampasan barang – barang tertentu atau tindakan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa selaku penuntut umum dalam tindak pidana korupsi bermaksud untuk mengambil alih barang – barang milik terdakwa dalam penguasaan penyidik dalam kurun sementara waktu. Waktu sementara dalam arti selama keperluan pembuktian di persidangan. Setelah selesai proses pembuktian atau persidangan bila barang – barang tidak terpakai lagi atau tidak ada hubungan dengan kasus yang terjadi barang – barang tersebut, dikembalikan pada pemiliknya atau pada pihak yang

Magister Hukum Udayana Mei 2015

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

paling berhak. Bahkan barang – barang yang membahayakan dimusnahkan oleh negara.

Menurut Pasal 38 ayat (1) KUHAP tindakanpenyitaanolehpenyidikdiisyaratkan dengan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi seperti diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa ijin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Ketentuan pengaturan penyimpangan dan sifatnya khusus tersebut dengan maksud agar proses penanganan perkara korupsi berlangsung cepat, efisien serta tidak birokratisasinya panjang, sehingga tidak menghambat proses perkara selanjutnya.

Adapun sebagai tujuan yang penting dari tindakan perampasan barang – barang milik atau yang berada dibawah penguasaan terdakwa / pihak lain dalam kasus korupsi atau tindakan yang dilakukan penyidik secara bahasa praktek kongkritnya disebut tindakan penyitaan, dengan tujuan seperti : 1.   Guna  kepentingan proses hukum

barang – barang tersebut dipakai alat bukti dalam proses pembuktian di

persidangan

  • 2.   Guna melengkapi atau menunjang

jenis barang / alat bukti lainnya untuk menghindari esensi makna asas unus testis mullus testis

  • 3.    Agar barang – barang bukti tidak berpindah tangan pada pihak lain atau orang lain

  • 4.    Agar barang – barang (terutama aset dari korupsi) tidak dicuci, sehingga

penyidik sulit melakukan penemuan atau pelacakannya

  • 5.    Agar barang – barang bukti yang dapat dijadikan alat bukti dalam proses hukum tidak dimusnahkan / dihilangkan9

  • 6.    Agar nantinya setelah perkaranya diputus, penuntut umum mudah melakukan eksekusi, dapat atau berhasil mengeksekusi barang – barang milik terpidana sehingga aset negara diselamatkan10

  • 7.   Dengan berhasilnya jaksa

mengeksekusi barang – barang milik terpidana, negara tidak akan rugi, putusan hakim dapat dijalankan sesuai dengan amar putusannya oleh jaksa, sehingga pengembalian kerugian keuangan negara dapat dapat diselamatkan

  • V.  PENUTUP

  • 1.   Simpulan

  • 1.   Dalam         perundang-undangan

pidana terkait fungsi jaksa dalam mengeksekusi aset terpidana korupsi yang tidak dapat dilaksanakan karena asetnya telah habis atau dicuci / dipindahtangangkan oleh terdakwa dalam tidak ada pengaturannya atau terjadi kekosongan norma hukum, Undang-Undang Kejaksaan RI dan UU

No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada ketentuan mengatur tentang hal dimaksud

  • 2.    Bentuk – bentuk tindakan yang dapat dilakukan Jaksa Penuntut Umum selaku penegak hukum dan badan eksekutor guna pengembalian keuangan negara dari terdakwa korupsi adalah : membuat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap, membuat tuntutan yang tegas dan optimal, melakukan upaya hukum banding dan / atau kasasi terhadap putusan hakim yang tidak memuaskan, Jaksa Agung dapat mengajukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum, mengingat secara perdata oleh Jaksa selaku pengacara negara, merampas atau menyita aset – aset terdakwa / terpidana koruptor, tidak memberikan penangguhan penahanan dan penahanan tetap dilakukan, bekerjasama dengan intitusi terkait dalam penghitungan aset terdakwa / terpidana seperti KPK, BPKP, PPATK dan LSM.

  • 2.    Saran

  • 1.   Agar pihak legislatif memformulasikan

tentang cara atau tindakan bagi Jaksa ketika mengeksekusi aset terpidana koruptor yang telah habis atau berpindah tangan, untuk menghindari kerugian negara tersebut.

  • 2.    Agar para Jaksa selaku eksekutor, penyidik tindak pidana khusus, dan penegak hukum selaku memfungsikan

kewenangan atributif yang diberikan Undang – Undang untuk bisa secara optimal mengembalikan kerugian keuangan negara dari koruptor melalui requisitoirnya (tuntutan) di persidangan untuk tetap tegaknya proses hukum yang adil (due process of law) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Chaeruddin, dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung

Eddy OS Hiariej, 2014, Prinsip – Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Jakarta

Elwi Danil, 2012, Korupsi Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Rajawali Pers, Jakarta

Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta

Firman Wijaya, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta

Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta

______, 2009, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung

Muji Santosa, 2013, Memahami Spesifikasi HDS dan Kerugian Negara, CV. Prima Print, Jakarta

Rony Hamijoyo Soemantri, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta

Magister Hukum Udayana Mei 2015

Vol. 4, No. 1 : 162 - 178


(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL)

Surachmin Suhadi Cahya, 2011, Strategi dan Teknik Korupsi – Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta

Yusuf Muhammad, 2013, Merampas Aset Koruptor-Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta.

UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

UU RI No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

UU RI No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana K

178