Vol.7 No.3 2014

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN POGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

Oleh:

I Nyoman Budi Sentana1

ABSTRACT

The local government of Bali Province issued a policy that was formulated in The Local Regulation of Bali Province Number 9 of 2009. In appendix of The Local Regulation Number 9 of 2009 is described a 12-year compulsory education. This study discusses the effectiveness of The Local Regulation of Bali Province Number 9 of 2009 related to the implementation of 12-years compulsory education in Bali Province and the factors that influence the effectiveness of the implementation of The Local Regulation Number 9 of 2009 related to the implementation of 12-years compulsory education in Bali Province.

This research is empirical legal research. The nature of research is descriptive. The data in this study include primary data that was collected through interview techniques and secondary data that was collected through the study of literature. The research location is in Bali Province with sample in Denpasar and Bangli regency. The data collected was analyzed qualitatively and descriptively presented analytically.

Effectiveness of The Local Regulation of Bali Province Number 9 of 2009 related to the implementation of 12-years compulsory education in Bali Province is not optimal in some areas. The factors that influence the effectiveness of the implementation of The Local Regulation Number 9 of 2009 related to the implementation of 12-years compulsory education in Bali Province are legal factors, law enforcement factor, means and facilities in law enforcement factor, community factors and cultural factors.

Keywords: Local Regulation, policy and 12-years compulsory education.

  • I.    PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang

Hak atas pendidikan dalam berbagai instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia digolongkan ke dalam hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and culture right). Setiap hak akan diikuti dengan kewajiban. William Maekby menyebutkan “Every right corresponds to a duty ; no right can exist unless there is a duty exactly correlative to it..2 Setiap hak akan diikuti dengan kewajiban sehingga tidak ada hak yang akan dipenuhi tanpa adanya kewajiban yang terkait dengan pelaksanaan hak tersebut. Jaminan untuk memperoleh pendidikan menjadi tanggung jawab dari pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemenuhan hak atas pendidikan tersebut dilakukan melalui kebijakan wajib belajar 12 tahun yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali.

Wajib belajar 12 tahun meliputi jenjang pendidikan dasar dan menengah yakni pada jenjang SD, SMP hingga SMA. Kebijakan wajib belajar 12 tahun yang diformulasikan melalui Peraturan Daerah.

Peraturan daerah merupakan penjabaran dari ketentuan yang lebih tinggi tingkatannya, dengan demikian tidak boleh pula bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Peraturan daerah dibentuk dengan memperhatikan ciri khas di daerah bersangkutan. Peraturan tersebut juga harus sesuai dengan kepentingan umum. Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013. Dalam Lampiran Peraturan Daerah ini dirumuskan visi, misi, strategi dan kebijakan daerah yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2013, termasuk di dalamnya kebijakan/program wajib belajar 12 tahun.

Kebijakan/program wajib belajar 12 tahun merupakan kebijakan/program yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Bali untuk mewujudkan visi dan misi pembanguan daerah dalam kurun waktu 2009-2013. Visi yang dikehendaki dalam pembangunan daerah periode 2009-2013, adalah ”Terwujudnya Bali yang maju, Aman, Damai, dan Sejahtera.” Untuk mewujudkan visi tersebut dirumuskan tiga misi pembangunan, yaitu: pertama, ”Mewujudkan Bali yang Berbudaya, Metaksu, Dinamis, Maju dan Moderm”; kedua, ”Mewujudkan Bali yang Aman, Damai, Tertib, Harmonis, serta Bebas dari Berbagai Ancaman”; dan ketiga, ”Mewujudkan Bali yang Sejahtera dan Sukerta Lahir Bathin”.


Untuk mewujudkan misi yang pertama disebutkan tujuannya, antara lain meningkat pendidikan dengan sasaran ”Meningkatnya akses dan mutu pada layanan pendidikan serta terlaksananya wajib belajar 12 tahun”. Untuk mencapai tujuan itu kemudian dirumuskan strategi dan arah kebijakan pembangunan daerah. Dalam rangka melaksanakan misi dibidang pembangunan daerah pendidikan kemudian dirumuskan arah kebijakan pembangunan di bidang pendidikan yang disebutkan dalam Bab IV, angka 4.3.2.1. butir 1 yang menyatakan: ”Meningkatkan kualitas SDM lahir dan bathin dngan meningkatkan kualitas dan akses pendidikan wajib belajar 12 tahun...”.

Dalam lampiran Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 juga telah disusun program-program prioritas dalam bentuk matrik yang merinci secara berkesinambungan mulai dari urusan, kebijakan, program, uraian indikator serta target capaian tahunan. Matrik dalam Peraturan daerah Nomor 9 Tahun 2009 ini kemudian diubah dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013.

Lahirnya kebijakan penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun merupakan bentuk

tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjamin hak asasi atas pendidikan yang sesuai dengan tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan muatan bagian Pembukaan UUD NRI 1945. Untuk mendukung program ini maka dilakukan berbagai kebijakan yang mendukung pelaksanaan wajib belajar 12 tahun yakni pembangunan dan perbaikan sekolah, pemberian beasiswa bagi yang kurang mampu, sosialisasi pendidikan, pembukaan sekolah terbuka di daerah terpencil dan sebagainya.

Program wajib belajar 12 tahun di Bali dihadapkan dengan berbagai masalah pendidikan yakni masih adanya buta aksara, putus sekolah, sekolah dan fasilitas sekolah yang tidak memadai terutama di daerah yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi.

Pelaksanaan wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali menjadi cermin dari keberhasilan upaya pemerintah daerah dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi semua orang (education for all) sebagaimana yang diatur dalam RPJMD yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun. Ketidakefektivan program wajib belajar 12 tahun juga menjadi cerminan dari gagalnya pelaksanaan otonomi. Oleh sebab itu sangat menarik untuk membahas penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN PERATURAN

DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN POGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN.”

  • 2.    Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:

  • a.    Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali?

  • b.    Faktor-faktor       apakah       yang

mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali?

  • 3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian terdiri dari tujuan umum dan juga tujuan khusus. Tujuan umum berkaitan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses) sedangkan tujuan khusus bertujuan untuk mendalami permasalahan hukum secara khusus. Adapun tujuan umum dan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: a) Tujuan umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum yakni untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan pogram wajib belajar 12 tahun.

  • b) Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

  • 1)    Untuk     mengetahui      efektivitas

pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.

  • 2)    Untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.

II METODE PENELITIAN

  • 1.    Jenis Penelitian

Penelitian untuk penyusunan tulisan ini merupakan penelitian hukum empiris yang mengkaji pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan pogram wajib belajar 12 tahun. Penelitian ini bersifat deskriptif yang menggambarkan hak atas pendidikan serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam memperoleh hak atas pendidikan, efektivitas kebijakan penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan tersebut.

  • 2.    Teknik Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan Kasi Data dan Pengkajian Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga


Provinsi Bali dan Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat Biro Pusat Statistik Provinsi Bali. Pertanyaan dalam wawancara meliputi kebijakan wajib belajar 12 tahun, penerapan kebijakan hingga evaluasi atas kebijakan tersebut. Wawancara juga dilakukan terhadap responden yakni siswa putus sekolah. Data sekunder dikumpulkan melalui teknik studi kepustakaan. Data sekunder yang digunakan adalah bahan hukum dan juga dibantu dengan bahan non hukum.

Bahan hukum primer terdiri dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 ahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013, Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Proritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2009.

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah hasil penelitian, pendapat

pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum, artikel dan jurnal ilmiah.

Dalam penelitian ini juga digunakan data sekunder non bahan hukum yaitu literatur-literatur yang membahas mengenai masalah pendidikan dan kebudayaan. Pembahasan yang terkait dengan penelitian ini dicatat lengkap dengan sumbernya. Sumber ditempatkan dalam catatan kaki dan daftar pustaka.

  • 3.    Teknik Penentuan Sampel

Penelitian dilakukan di Provinsi Bali. Provinsi Bali memiliki pertimbangan tertentu untuk dijadikan lokasi penelitian, sebab daerah ini merupakan salah satu wilayah provinsi yang memiliki kebijakan wajib belajar 12 tahun, sedangkan wilayah lainnya hanya menetapkan standar minimal yakni wajib belajar 9 tahun sebagaimana standar minimal yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sampel penelitian adalah kabupaten Bangli dengan angka wajib belajar 12 tahun terendah dan Denpasar sebagai wilayah dengan angka wajib belajar tertinggi.Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel 2

Ijazah Tertinggi yang ditamatkan

No

Kabupaten/ Kota

Ijazah tertinggi yang ditamatkan

Tidak punya

SD/MI

SLTP/MTs

SMA/SMK

%

%

%

%

1

Jembrana

14,55

34,14

20,01

26,56

2

Tabanan

12,87

35,52

18,78

26,44

3

Badung

10,20

23,10

16,33

39,48

4

Gianyar

9,45

24,21

19,36

35,13

5

Klungkung

14,10

36,64

17,56

26,23

6

Bangli

17,52

42,52

16,61

18,69

7

Karangasem

19,80

36,64

18,72

20,47

8

Buleleng

21,12

33,84

18,75

22,78

9

Denpasar

6,24

17,12

20,01

39,63

Sumber: Data diolah dari RPJM Provinsi Bali Tahun 2008-2013

  • 4.    Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan, dirapikan kembali melalui proses editing, kemudian data tersebut dikelompokkan melalui proses coding berdasarkan kerangka pembahasan yang telah disusun sebelumnya. Dari analisis diketahui kualitas dari penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun. Analisis kualitatif ini didukung dengan data kuantatif sebagai penunjang. Setelah dianalisis, data disajikan secara deskriptif analitis yang menggambarkan secara menyeluruh mengenai permasalahan dan jawaban atas permasalahan efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun.

  • III    PEMBAHASAN

  • 1.    Efektivitas Pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.

Pendidikan menjadi bagian yang sangat penting dalam membangun sebuah negara. Pendidikan merupakan bagian penting dalam menjamin keberhasilan pembangunan nasional. Efektivitas program wajib belajar 12 tahun ini diukur dari 3 aspek yakni perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta akuntabilitas dan pencitraan publik. Hasil dari penelitian pengendalian mutu pendidikan menyatakan pendidikan memiliki peranan kunci untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kemajuan pendidikan di Indonesia secara kuantitas sudah cukup baik namun secara kualitas

3 belum dapat dikatakan merata.

Pembangunan pendidikan di Provinsi Bali direalisasikan dengan program wajib belajar 12 tahun. Aktor kebijakan publik. Abidin menyatakan kebijakan merupakan keputusan pemerintah yang sifatnya abstrak dan diberlakukan bagi semua masyarakat.4 Dalam pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun adalah Pemerintah Daerah Provinsi Bali melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga berserta dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. SKPD terkait diantaranya adalah Bappeda yang bertugas menganggarkan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Biro Kesejahteraan Sosial dan Dinas Sosial.

Kebijakan wajib belajar 12 tahun yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali mempercepat tercapainya tujuan dasar pendidikan. Konsep non diskriminasi adalah konsep hukum memiliki arti penting dalam penyelesaian permasalahan pendidikan. Ake Frandberg menuliskan bahwa “Concepts of and about law have no given meaning that is fixed for all time. They are concepts that have a function in legal argumentation, either by reason of their inclusion in the formulation of legal problems or their solutions, or because

they provide the very framework for legal argumentation.”5 Terkait dengan konsep non diskriminasi tersebut, ditemukan adanya ketidaksesuaian antara konsep dengan kenyataan di lapangan. Menurut Anak Agung Gede Dirga Kardita, Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS Provinsi Bali, BPS, dari hasil penghitungan data terpilah antara laki-laki dan perempuan menunjukkan trend yang sama.6 Kondisi ini terutama terjadi di daerah pedesaan.

Diukur dari pelaksanaan wajib belajar 12 tahun, dapat diketahui bahwa Bangli adalah kabupaten dengan angka partisipasi pencapaian wajib belajar 12 tahun yang paling rendah. Kondisi ini ditunjukkan dengan rendahnya persentase angka partisipasi pendidikan yakni 41.99%. Persentase penduduk dengan kepemilikan ijazah tertinggi di tingkat SMA adalah Denpasar yakni dengan persentase 43.91%. Kepemilikin ijazah di atas jenjang SMA yakni D IV, S1, S2 dan S3 juga adalah Denpasar yakni 13.49%.

Berdasarkan data RPJM Provinsi Bali Tahun 2008-2013 mengenai ijazah yang ditamatkan pada jenjang SMA diketahui bahwa Bangli adalah kabupaten dengan


persentase terendah yakni 18,69% sedangkan Denpasar adalah daerah yang tertinggi yakni 39,63%. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali memang tidak merata.

Di Bangli, terdapat anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi. Jumlah sekolah yang memadai dan dapat diakses oleh semua orang juga masih terbatas, terutama mengenai keberadaan sekolah luar biasa (SLB). SLB hanya ada di daerah Bangli Kota saja. Hal yang berbeda terjadi di Denpasar. Di Denpasar terdapat sekolah negeri dan sekolah swasta yang memadai, termasuk pula SLB bagi siswa penyandang disabilitas.

Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari prestasi siswa. Prestasi siswa didominasi oleh siswa yang berasal dari Denpasar. Pengembangan sekolah bertaraf internasional menjadi salah satu uraian indikator peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada program wajib belajar 12 tahun. Sekolah bertaraf internasional kini tidak diperbolehkan lagi dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional inkonstitusional. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 maka sekolah bertaraf internasional

ditiadakan karena tidak sesuai dengan UUD NRI 1945. Kehadiran Sekolah Bertaraf Internasional dinilai menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi yang diciptakan dari kehadiran sekolah bertaraf internasional dimana sekolah bertaraf internasional hanya dapat dinikmati oleh siswa dari keluarga yang mampu seara finansial saja. Biaya pendidikan di sekolah bertaraf internasional jauh lebih mahal daripada sekolah biasa. Untuk masuk ke sekolah tersebut banyak dikenakan pungutan liar.

Aspek akuntabilitas dan pencitraan publik meliputi pelayanan pendidikan dengan sistem informasi. Sistem penilaian dan media pembelajaran terpadu berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka penerapan e-learning. Beberapa sekolah sudah menyiapkan wifi dan komputer yang terkoneksi dengan jaringan internet, namun pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pembelajaran ini belum merata pada sekolah-sekolah di Provinsi Bali. Denpasar adalah tempat dimana sistem informasi sangat mudah diakses, namun hal tersebut tidak ditemui di kabupaten lain di Bali. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran sekolah untuk menyediakan perangkat teknologi informasi dan keterbatasan jaringan internet sampai ke pelosok desa.

  • 2.    Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali

Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun merupakan realisasi dari komitmen pemerintah daerah dalam memenuhi hak atas pendidikan. Kebijakan wajib belajar 12 tahun telah dibuat oleh Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 2008 dengan berlandaskan pada konsep otonomi daerah. Secara nasional kebijakan wajib belajar 12 tahun ini baru dicanangkan pada tahun 2013. Otonomi daerah di bidang pendidikan ini sejalan dengan otonomi pendidikan. Bila otonomi pendidikan dimengerti sebagai proses kemandirian sebuah sekolah (lembaga) dalam mengelola segenap sumber daya yang ada, maka dunia pendidikan harus berjalan sesuai dengan 6 tolok ukur keberhasilan desentralisasi       pendidikan,       yakni

terjaminannya kepentingan nasional dalam sistem pendidikan, kulitas pendidikan, pengelolaan secara efisien, pemerataan pendidikan, peranan masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.7 Hal ini berarti kebijakan pemerintah di bidang pendidikan berada pada dua aspek yakni aspek kualitas dan aspek kuantitas. Aspek kuantitas ini dapat dilihat dari semain

Vol.7 No.3 2014 meluasnya akses pendidikan bagi semua orang.

Meluasnya akses pendidikan dapat diukur dari partisipasi siswa dalam pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. Secara formal partisipasi berarti keikutsertaan seseorang dalam proses pembuatan keputusan mengenai suatu persoalan, baik secara mental maupun emosional. Keterlibatan tersebut dilakukan atas dasar tanggung jawabnya yang terkait dengan pengambilan keputusan tersebut.8 Tingkat efektivitas pelaksanaan wajib belajar 12 tahun dicerminkan dari Angka Partisipasi Sekolah (APS). Angka Partisipasi Sekolah (APS) adalah perbandingan antara jumlah murid sekolah usia tertentu dengan jumlah penduduk usia tertentu. Kebijakan merupakan tindakan pemerintah dalam satu bidang tertentu. Kebijakan di bidang pendidikan dituangkan dalam program wajib belajar 12 tahun sebagaimana yang dijelaskan dalam Lampiran Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah itu sendiri. Efektivitas pelaksanaan kebijakan dapat diukur melalui 5 faktor yakni dari faktor hukum, penegak hukum, sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, masyarakat dan kebudayaan.


Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali memenuhi syarat keberlakuan hukum baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Kebijakan wajib belajar 12 tahun sejalan dengan filosofi pendidikan. Plato mengatakan bahwa tujuan esesnsial pendidikan yaitu untuk penyadaran self knowing, self realization, inquiry serta reasoning and logic. Adapun tujuan dari pendidikan menurut Aristoteles adalah untuk penyadaran akan kekuatan efektif (virtue), kekuatan guna menghasilkan sesuatu (efficacy) serta potensi-potensi untuk mencapai kebahagiaan. Penyadaran ini disebut dengan self realization yang ditumbuhkan melalui kebiasaan dan kapabilitas untuk berpikir secara rasional. 9 Program wajib belajar 12 tahun memberikan kesempatan yang lebih panjang untuk menggali potensi anak untuk dapat bertindak lebih rasional.

Dari segi efektivitas kebijakan, Pemerintah Daerah, dalam mewujudkan program wajib belajar 12 tahun. Pemerintah Daerah telah menentukan indikator, uraian indikator dan target pencapaian dari program wajib belajar 12 tahun yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Prioritas Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013.

Menurut I Nyoman Suparta, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga telah melaksanakan kebijakan wajib belajar dengan merealisasikan indikator pencapaian sasaran. Data tersebut kemudian didokumentasikan dalam data informasi. Optimalisasi kebijakan wajib belajar 12 tahun juga dilakukan dengan berkoordinasi dengan SKPD lain yakni Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Bali dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yakni melalui kebijakan kota layak anak. Wajib belajar 12 tahun menjadi indikator dalam penetapan kota layak anak.10 Koordinasi antar SPKD ini merupakan faktor penegak hukum yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan mengenai kebijakan wajib belajar 12 tahun, maka Kepala SKPD terkait wajib memiliki sarana dan fasilitas untuk merealisasikan kebijakan dengan membuat perencanaan dan penganggaran. Konstitusi mengamanatkan agar Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta


dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Masyarakat di daerah perkotaan pada umumnya mendukung kebijakan wajib belajar 12 tahun. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan wajib belajar 12 tahun diukur dari tingginya angka partisipasi sekolah di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Masyarakat bahkan terlibat dalam pemajuan pendidikan dengan mengefektifkan komite sekolah yang tediri dari orang tua murid dan tokoh masyarakat. Masyarakat juga memandang bahwa pendidikan sangat penting. Orang tua bahkan menfasilitasi anak-anak mereka untuk mendapatkan pelajaran tambahan di luar jam sekolah. Masyarakat menjadi faktor penting dalam menentukan efektivitas kebijakan.

Persepsi mengenai pentingnya pendidikan bagi masyarakat di daerah pedesaan berbeda dengan masyarakat kota. Penduduk di daerah pedesaan masih memandang bahwa pendidikan kurang penting. Anak akan dikatakan mandiri jika mereka sudah bekerja. Mereka masih memandang bahwa banyak orang yang bersekolah tetapi tidak mendapatkan pekerjaan, sehingga untuk apa sekolah. Kelompok ini terlihat pada daerah-daerah seperti Bangli, Karangasem dan Buleleng.

Pemahaman mengenai pelaksanaan kebijakan memang tidak dapat dipisahkan

dari faktor manusia. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa untuk memahami hukum sebagai suatu proses dalam mebangun dirinya dan sebagai suatu proyek, maka perspektif berpikir kita harus dimulai dengan mengutamakan faktor manusia daripada hukum, membawa kita untuk memahami hukum. Menurut Karl Renner, “the development of the law gradually works out what is socially reasonable.” Perkembangan hukum secara bertahap sesuai dengan apa yang dianggap wajar secara sosial.11 Manusia membentuk suatu budaya.

Budaya berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kesadaran akan pendidikan untuk semua (education for all) semakin tinggi dengan meningkatnya pemahaman bahwa pendidikan akan menentukan masa depan seseorang. Banyaknya konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai hak atas pendidikan sedikit demi sedikit mengikis anggapan bahwa pendidikan tidak menentukan orang sukses atau tidak. Dahulu, memang masih ada anggapan bahwa kesuksesan ditentukan oleh nasib sehingga orang yang tidak bersekolah pun pasti bisa sukses jika nasib memang menentukannya.

Program ini secara khusus diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor


110 Tahun 2011. Kebijakan wajib belajar 12 tahun sesungguhnya didukung dengan kebijakan lain seperti pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pengunaan dana BOS untuk pendidikan akan meringankan biaya pendidikan yang dibebankan kepada orang tua murid. Kondisi tersebut akan memperluas akses pendidikan sehingga dapat dinikmati pula oleh anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Faktor hukum sangat mendukung program wajib belajar 12 tahun.

Faktor yang melaksanakan program wajib belajar 12 tahun adalah Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi, Kabupaten, Kota dan sekolah yang bersangkutan. Wayan Temu Karmawan, anak putus sekolah di Kabupaten Bangli menjelaskan keinginannya untuk sekolah, namun kondisi keluarga yang membuatnya harus berhenti sampai SMP. Sejak duduk di bangku SD ayahnya terserang stroke dan sudah tidak dapat bekerja lagi, sedangkan ibunya bekerja serabutan sebagai buruh cuci. Saat SMP, Temu Karmawan seringkali ditegur oleh guru di sekolah karena selalu terlambat membayar uang sekolah. Ia pun menceritakan kondisi keluarganya yang serba kekurangan. Guru sekolah mau mengerti, namun memang ia tidak pernah mendapatkan tawaran untuk memperoleh beasiswa.12

Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun memerlukan koordinasi dari beberapa SKPD terkait seperti Bappeda, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Dinas Sosial. Koordinasi ini yang sering tidak terlaksana dengan baik, kadang terjadi tumpang tindih kewenangan atau justru tidak ada yang berwenang sama sekali. Konsep siapa berbuat apa belum terlaksana dengan baik. Apalagi jika terjadi mutasi kepegawaian. Pegawai baru yang memerlukan waktu untuk belajar dan berkoordinasi.

Tidak terlaksananya program wajib belajar 12 tahun juga disebabkan karena faktor sarana dan fasilitas dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun. Akses terhadap sekolah masih sulit untuk dijangkau di daerah-daerah terpencil seperti di Bangli, Karangasem dan Singaraja. Bahkan masih banyak rumah-rumah penduduk yang belum mendapat listrik. Jarak sekolah dengan rumah mereka cukup jauh, sehingga mereka memutuskan untuk tidak bersekolah.

Di daerah Bangli terdapat anak-anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah. Hal tersebut disebabkan karena tidak tersedianya sekolah luar biasa (SLB) di daerah mereka. Sekolah luar biasa, sekolah kejar paket dan sekolah terbuka hanya terpusat di kota Bangli saja, sehingga penduduk desa tidak dapat bersekolah di


sana. Untuk mencari sekolah di kota, orang tua bukan hanya perlu mengeluarkan biaya untuk pembayaran sekolah saja namun juga biaya untuk transportasi. Sementara penghasilan mereka sangat terbatas.

Narapidana anak juga cenderung mengalami putus sekolah. Hal ini disebabkan karena minimnya lapas anak. Narapidana anak masih ditempatkan bersama dengan narapidana dewasa. Hak atas pendidikan bagi mereka pun sering terabaikan. Untuk daerah Bali hanya dua lapas yang kooperatif untuk memberikan kesempatan bagi anak untuk bersekolah meskipun anak tersebut masih dibina di dalam lapas yakni lapas Karangasem dan lapas Gianyar. Petugas lapas setiap hari mendampingi anak bersekolah di sekolah umum. Sepulang sekolah maka anak akan kembali dibina di lapas.

Tidak efektifnya pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun terlihat di beberapa kabupaten yang memang menjadi tempat kantong-kantong kemiskinan. Apalagi bagi keluarga dengan penghasilan yang terbatas tetapi memiliki banyak anak. Masyarakat di daerah kantong kemiskinan memiliki pandangan bahwa anak harus secepat mungkin dapat bekerja sehingga dapat membantu perekonomian keluarga. Mereka juga beranggapan bahwa pendidikan yang tinggi tidak akan menjamin anaknya mendapatkan pekerjaan nantinya. Anak lebih baik bekerja dulu, apabila nanti sudah

memiliki uang maka anak boleh dengan penghasilannya sendiri membiayai sekolahnya. Ada pula pandagan bahwa banyak anak banyak rezeki.

Penyandang disabilitas anak masih terdiskriminasikan oleh masyarakat. Penyandang disabilitas dianggap sebagai kutukan sehingga mereka tidak perlu mendapatkan hak seperti anak lainnya. Bahkan keberadaan mereka seringkali tidak diakui oleh keluarganya sendiri. Sekolah bagi penyandang disabilitas belum dipandang penting karena tidak dianggap berguna. Mereka tidak perlu sekolah karena sepanjang hidup mereka akan ditanggung oleh keluarganya yang lain yang normal.

Wayan Temu Karmawan, anak putus sekolah, menyatakan pilihannya untuk bekerja. Ia tidak mampu lagi untuk sekolah karena tidak ada biaya. Penghasilannya sebulan sebagai tukang cetak batako sebesar Rp 900.000,00. Penghasilan tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, pengobatan ayahnya yang sedang sakit dan untuk membayar kewajiban adat.

Efektivitas kebijakan tidak lepas dari faktor budaya. Hal ini tercermin dari data yang telah dikemukakan dalam latar belakang mengenai rendahnya tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan. Kondisi ini sudah terjadi sejak dulu. Oleh sebab itu, dalam perkembangan hukum dunia dikenal gerakan feminism. Pergerakan kaum perempuan untuk menuntut


kesetaraan gender dalam bidang hukum dikenal dengan istilah “feminis jurisprudensi” muncul dalam bentuk embrionya di Amerika Serikat pada akhir 1980-an. Cukup banyak dan beberapa dari pergerakan ini (tidak semuanya) berakar atau berkaitan dengan hukum kritis (critical legal studies movement).13 Rendahnya akses pendidikan bagi perempuan disebabkan karena budaya patriarki. Laki-laki dipandang sebagai pemimpin keluarga sehingga apabila laki-laki bependidikan maka derajat keluarga akan meningkat, namun apabila perempuan berpendidikan yang menikmati adalah keluarga suaminya nanti. Oleh sebab itu masih ada pandangan agar mengutamakan anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

Di samping ada beberapa wilayah di kabupaten dan kota di Provinsi Bali yang belum dapat melaksanakan program wajib belajar 12 tahun, namun ada juga daerah dimana program wajib belajar 1 tahun sangat efektif yakni Kabupaten Denpasar dan Kabupaten Badung. Efektifnya program wajib belajar 12 tahun disebabkan karena beberapa faktor. Dari segi hukumnya, kedua daerah ini menurunkan peraturan mengenai kebijakan pendidikan di tingkat pusat ke kebijakan di tingkat daerah dengan kebijakan Kota Layak Anak. Dalam Kota Layak Anak, salah satu indikatornya adalah terlaksananya wajib belajar 12 tahun.

Kepala Daerah memiliki komitmen dalam bidang pendidikan bagi anak. Koordinasi antara SKPD juga cukup baik dilakukan. Sarana dan fasilitas pendidikan di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar jauh lebih baik dari di wilayah Kabupaten lain. Jumlah sekolah dan akses menuju sekolah cukup mudah dilakukan. Di Kota Denpasar sendiri terdapat beberapa Zona Aman Sekolah yakni di Jalan Kamboja, di Jalan Surapati dan di Jalan Sudirman yang merupakan wilayah sekolah.

Masyarakat di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar merupakan masyarakat yang heterogen dengan pekerjaan yang baik. Penghasilan mereka cukup untuk membiayai pendidikan bagi anak-anak mereka. Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga sudah tinggi. Kebudayaan yang menempatkan laki-laki lebih penting dari perempuan dalam hal memperoleh pendidikan sudah semakin terkikis. Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan. Faktor tersebut merupakan faktor kebudayaan yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.

  • IV    PENUTUP

  • 1.    Simpulan

Simpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


  • a)    Efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali di masing-masing daerah berbeda. Pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun yang paling efektif adalah Kota Denpasar sedangkan yang paling tidak efektif adalah Kabupaten Bangli. Efektivitas ini diukur dari perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta akuntabilitas dan pencitraan publik. Sekolah yang memadai tidak ditemukan di setiap wilayah di Bangli. Jumlah SLB di Bangli sangat terbatas. Dari aspek peningkatan mutu, prestasi akademik yang dapat ditinjau dari nilai UN SMA/K dimana Bali menjadi peringkat pertama dalam perolehan nilai UN, prestasi non akademik ditunjukkan dengan perolehan medali dalam prosenijar didominasi oleh siswa dari Kota Denpasar. Dari indikator akuntabilitas dan pencitraan publik, sistem pelayanan sekolah dan sistem informasi manajemen sudah memadai di Denpasar.

  • b)    Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan

penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali yakni koordinasi antara SKPD yang belum terjalin dengan baik sebagai faktor penegak hukum, kurangnya pemberian beasiswa bagi siswa yang kurang mampu, minimnya sekolah biasa, SLB, sekolah kejar paket dan sekolah terbuka di daerah terpencil sebagai faktor sarana dan fasilitas dalam penegakan, kemiskinan dan anak yang berhadapan dengan hukum yang putus sekolah sebagai faktor masyarakat, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pengaruh budaya patriarki yang menyebabkan anak laki-laki lebih diutamakan daripada anak perempuan    dalam    menempuh

pendidikan sebagai faktor kebudayaan yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009     terkait dengan

penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.

  • 2.    Saran

Saran-saran dalam penelitian ini adalah:

  • a)    Kepala daerah hendaknya memiliki komitmen untuk melaksanakan program wajib belajar 12 tahun secara konsisten. Koordinasi antara SKPD terkait untuk melaksanakan program wajib belajar 12 tahun hendaknya lebih intensif

dilakukan. Ketersediaan akan akses pendidikan dan sarana penunjang pendidikan perlu ditingkatkan yakni dengan menyiapkan sekolah-sekolah yang memadai dengan biaya pendidikan yang terjangkau. Program beasiswa hendaknya diberikan tepat sasaran. Anak yang berhadapan dengan hukum dan penyandang disabilitas hendaknya diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan tidak terdiskriminasikan dalam memperoleh akses pendidikan. Pemerintah     daerah     hendaknya

memberikan penghargaan bagi sekolah dan siswa yang berprestasi.

  • b)    Masyarakat diharapkan semakin menyadari pentingnya pendidikan. Pendidikan hendaknya tidak membeda-bedakan anak laki-laki dan anak perempuan agar tidak terjadi kesenjangan tingkat pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Tokoh masyarakat hendaknya memberikan perhatian bagi anak-anak yang putus sekolah dengan membantu mencarikan bantuan dana pendidikan bagi anak-anak tersebut. Komersialisasi pendidikan hendaknya semakin dihindari dengan mengedapankan pandangan bahwa pendidikan untuk semua.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Bali, “Angka Partisipasi Sekolah (APS) Provinsi Bali Menurut Kelompok Usia dan Kabupaten/Kota Tahun 2012”, Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?e d=606003&od=6&id=6

BPS Provinsi Bali, “Angka Melek Huruf Provinsi       Bali       Menurut

Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?e d=606002&od=6&id=6

Hage, Jaap C. dan Dietmar Von Der Pfordten (ed.),  2009, Concepts in Law,

Springer, London-New York.

Maekby, William, 1905, Elements of Law, Clarendon, London.

Otje Salman dan Susanto, 2004,  Teori

Hukum, Rafika Aditama, Bandung.

Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta.

Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Syafaruddin, 2008, Efektivitas Kebijakan Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi    Kebijakan     Menuju

Organisasi Sekolah Efektif, Rineka Cipta, Jakarta.

Sukardjo, M. dan Ukim Komarudin, 2009, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sukmadinata, Nana Syaodih, et al., 2006, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip dan Instrumen), Refika Aditama, Bandung.

Talizuduhu, Ndaka,  1990, Pembangunan

Masyarakat       Mempersiapkan

Masyarakat Tinggal Landas, Rineka Karya, Jakarta.

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan,      Bigraf      Publishing,

Yogyakarta.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Proritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2009.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012.

464