Vol.7 No.3 2014

KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Oleh :

Putu Eva Ditayani Antari1

ABSTRACT

This research examines the dissolution of political party by Constitutional Court, that becomes its authorities based on Article 24C UUDNRI 1945, from human right perspective. Indonesia as the state that implemented law of state of law acknowledge human rights as stated in the Constitution. Neverttheless, freedom of association as one of the principle of human rights as regulated in the Constitution, which used as the base of formation of a political party, can be ruled out and has limited implementation in which norms conflict arises. Limitation of freedom association is reflected in the sanction imposed by the Constitutional Court regarding dissolution of political party. The dissolution of political party by the Constitutional Court refers to certain regulation as Act No. 39 of 1999 that regulating Human Rights, Act No. 24 of 2003 that regulating The Constitutional Court, Act No. 2 of 2008 regulating Political Party, and The Constitutional Court Regulation governing the dissolution of a political party procedures by the Constutional Court. This research is a normative legal research that investigates the dissolution of a political party by the Constitutional Court that contrasts with formation of a political party as a representation of freedom of association, one of the human rights principle, without assessment on implementations or practices regarding those norms. According to descriptive analysis based on legal material regarding this issue, the limitation of freedom to associate can be performed based on Article 4 ICCPR 1966 because it can be considered as a right that its fulfillment can be limited by law. That dissolution by the Constitutional Court is not considered as violation of freedom to associate since the sanction only be imposed to violation of regulations by political parties. The purpose of limitation is only to protect the integrity of Republic of Indonesia and the discipline of the community, nation, and state members.

Key words : Authority of Constitusional Court, Political Parties, Freedom of Association, Human Rights

  • I.    PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang

Sistem demokrasi pada masa sekarang lazim diterapkan di negara-negara di dunia dalam sistem pemerintahannya. Demokrasi ini berkaitan erat dengan asas kedaulatan rakyat yang menurut Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi pada suatu negara dimiliki dan dilaksanakan oleh rakyat.2 Begitu pula dalam demokrasi, dimana pemerintahan suatu negara diletakkan pada rakyat sepenuhnya yang diwakili oleh orang-orang tertentu (wakil-wakil rakyat) yang berada pada lembaga perwakilan rakyat.3 Jadi keberadaan demokrasi dalam sistem pemerintahan suatu negara dapat ditunjukkan dengan keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam negara tersebut, sebagaimana yang dipraktikkan di Indonesia yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945.

Praktik demokrasi dalam sistem pemerintahan suatu negara tidak hanya berkaitan dengan lembaga perwakilan rakyat, melainkan terkait pula dengan keberadaan partai politik. Bahkan keterkaitan antara partai politik dan demokrasi dikemukakan Schattscheider dengan menyatakan bahwa demokrasi ditentukan oleh partai politik.4

Oleh karena itu maka keberadaan partai politik dalam suatu negara perlu untuk diperkuat pelembagaannya demi mewujudkan pemerintahan dan kehidupan politik demokratis.

Partai politik sebelum reformasi di Indonesia keberadaannya amat dibatasi, yang ditunjukkan dengan hanya ada 2 (dua) partai politik peserta Pemilu saat itu yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara itu Golongan Karya sendiri pada saat itu menyatakan diri bukan sebagai partai meskipun pada era reformasi Golkar mentransformasi diri menjadi partai politik. Partai politik mulai bebas berkembang pada era reformasi dimana pada Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik5. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal era reformasi hingga saat ini tidak ada lagi pengekangan atas kebebasan untuk membentuk partai politik, selama pembentukannya dan keberadaannya tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.

Partai politik sendiri merupakan wujud kebebasan berserikat dan berkumpul warga negara Indonesia, yang dijamin secara konstitusional sebagai salah satu HAM dalam Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderaldan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 52.


Pasal 28E ayat (3) UUDNRI 1945. Jaminan atas kebebasan berserikat juga diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menyatakan bahwa hak bagi setiap warga negara Indonesia untuk berserikat, berkumpul, dan berpendapat dengan jalan membentuk kelompok-kelompok, salah satunya berupa partai politik.

Disamping memberikan kebebasan membentuk partai politik, negara juga membatasi pelaksanaannya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran atas larangan-larangan atau batasan-batasan kegiatan partai politik yang diatur dalam Undang-Undang Partai Politik. Sanksi terberat terhadap pelanggaran yang dilakukan partai politik adalah berupa pembubaran partai politik bersangkutan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan kewenangannya yang diatur dalam undang-undang dasar.

Kewenangan MK untuk membubarkan partai politik dikaitkan dengan perspektif perlindungan HAM menimbulkan kontradiksi dimana di satu pihak adanya jaminan bagi setiap orang untuk berserikat, berkumpul dan berpendapat, seperti melalui partai politik. Sebaliknya di pihak lainnya ada suatu lembaga negara yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dan diberikan kewenangan untuk membubarkan partai politik tersebut, melalui suatu putusan yang bersifat final dan mengikat. Hal tersebut

berarti bisa saja pembubaran partai politik merupakan ancaman terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat setiap orang di Indonesia.

Berdasarkan uraian latar belakang yang menunjukkan adanya kontradiksi antara satu norma dengan norma lainnya (konflik norma), maka penulis berkeingina nuntuk meneliti hal tersebut dalam suatu karya ilmiah yang berjudul “Kewenangan Pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)”.

  • 2.    Rumusan Masalah

Merujuk pada uraian latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

  • 1)    Apakah kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi dan dijamin pelaksanaannya dalam UUDNRI 1945 dapat dibatasi?

  • 2)    Apakah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan partai politik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C UUDNRI 1945 melanggar kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia (HAM)?

  • 3.    Tujuan Penelitian

  • a.    Tujuan Umum

Adapun penelitian ini bertujuan guna mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pembubaran partai politik


serta pelaksanaan atas kebebasan berserikat setiap orang di Indonesia sebagai HAM yang dilindungi dan dijamin pelaksanaanya dalam UUDNRI 1945.

  • b.    Tujuan Khusus

Sementara yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini sebagai berikut:

  • 1)    Mengidentifikasi pembatasan terhadap HAM yang dilindungi dan dijamin pelaksanaannya dalam UUDNRI 1945, khususnya berkaitan dengan pembatasan atas kebebasan berserikat.

  • 2)    Untuk menganalisis kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pembubaran partai politik berkaitan dengan jaminan atas pelaksanaan kebebasan berserikat setiap orang sebagaimana yang diatur dalam UUDNRI 1945.

  • II.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini sendiri merupakan penelitian hukum normatif (normative legal study) karena penelitian ini mengkaji mengenai adanya konflik norma antara pembubaran partai    politik    sebagai

kewenangan Mahkamah Konstitusi yang kontradiksi   dengan   adanya   jaminan

perlindungan dan perlaksanaan atas kebebasan berserikat sebagai HAM yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk partai politik. Dalam pandangan Abdulkadir Muhammad penelitian hukum normatif mengkaji norma hukum dari berbagai aspek, namun tidak mencakup terhadap penerapan

atau implementasi dari norma hukum yang dikaji.6   Sementara Soerjono Soekanto

mengemukakan penelitian hukum normatif mencakup penelitian atas sistematika, taraf sinkronisasi, sejarah dan perbandingan 7 hukum.

Adapun bahan hukum yang dipergunakan untuk menunjang pembahasan permasalahan dalam      penelitian ini

merupakan bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Bahan hukum primer yang dipergunakanyaitu U UDNRI 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia,   Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi, dan Undang-Undang Partai Politik. Sementara itu bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, jurnal, makalah, atau karya ilmiah hukum lainnya yang terkait dengan permasalahan yang dibahas, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Bahan hukum tertier sendiri dipergunakan untuk memperoleh penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder seperti penjelasan yang terdapat dalam rancangan undang-undang, kamus, dan ensiklopedia.

Bahan-bahan     hukum     terkait

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini selanjutnya akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan dengan mengidentifikasi

pustakan sumber bahan hukum, lalu dilanjutkan dengan mengidentifikasi bahan hukum yang sekiranya diperlukan, dan terakhir mengiventarisasi bahan hukum yang diperlukan tersebut. Lebih lanjut lagi bahan hukum tersebut akan dicatat dalam suatu lembaran kecil dan dimasukkan dalam daftar kartu yang disusun sistematis sesuai fokus masalah yang dikaji.

Bahan hukum yang telah dikumpulkan melalui sistem daftar kartu tersebut merupakan data kualitatif, yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan permasalahan yang diteliti. Dengan demikan maka tulisan ini bersifat deskriptif analisis.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 1.    Kebebasan Berserikat sebagai Hak

    Asasi Manusia (HAM) yang Terbatas

Konsep negara hukum merupakan hal yang diterapkan oleh banyak negara-negara modern di masa sekarang, termasuk di Indonesia. Negara hukum dalam pandangan Mochtar Kusumaatmadja mengandung makna bahwa kekuasaan negara dan setiap orang kedudukannya sama di mata hukum dan tunduk pada hukum.8 Konsep negara hukum secara garis besar dapat dibedakan menjadi pandangan Immanuel Kahn dengan

Rechtstaat, dan A.V. Diceymelalui Rule of Law.

Dalam suatu negara hukum, baik dalam bentuk Rechtstaat maupun Rule of Law, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Begitu pula Indonesia yang menyatakan sebagai negara hukum melalui salah satu ketentuan pasal dalam UUDNRI 1945, juga harus melaksanakan pengakuan dan perlindungan HAM tersebut dalam peraturan perundang-undangan, dalam setiap tingkatan hierarkinya. Perlindungan terhadap HAM di Indonesia dalam konstitusi diatur secara khusus dalam Bab XA UUDNRI 1945 serta tersebar pula dalam beberapa ketentuan Batang Tubuh UUDNRI 1945 lainnya. Salah satu bentuk HAM yang diatur dalam Bab XA UUDNRI 1945 adalah hak atas kebebasan berserikat yang berkaitan pula dengan penerapan demokrasi. Hal ini karena dalam pandangan Liyphard salah satu unsur demokrasi tersebut adalah adanya kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan,9 termasuk untuk berserikat.

Kebebasan berserikat telah diatur dalam UUD 1945 sejak sebelum amandemen dan tetap dipertahankan pasca amandemen, meski demikian terdapat perbedaan makna atau esensi pemberian hak tersebut. Ketentuan Pasal 28 UUDNRI 1945 yang menjamin


pelaksanaan hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat mengandung makna bahwa kebebasan berserikat adalah pemberian negara melalui undang-undang. Sedangkan pasca amandemen terhadap UUDNRI 1945 ketentuan Pasal 28 tersebut dipertegas dan sekaligus memperluas makna kebebasan berserikat. Makna kebebasan berserikat ditegaskan bukan sebagai pemberian negara, tetapi merupakan HAM yang melekat pada warga dan dihargai negara.10 Selain ketentuan tersebut, kebebasan untuk berserikat juga dinyatakan pada Pasal 28E ayat (3) UUDNRI 1945.

Pengakuan terhadap hak atas kebebasan berserikat dalam hukum internasional juga tercantum dalam the Universal Declaration of Human Rights 1948 dan ICCPR 1966. Meski demikian sebagai HAM pada umumnya, hak untuk berserikat adalah hak yang dalam pelaksanaannya dimungkinkan untuk dibatasi. Pasal 22 ayat (2) ICCPR secara garis besar menyatakan bahwa pembatasan yang dilakukan mestilah ditentukan melalui hukum (prescribed by law) yang amat dibutuhkan negara demokratis demi pertahanan dan keamanan nasional, terutama sekali untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain. Lebih jauh, ketika suatu negara tengah dalam keadaan darurat, kebebasan ini bahkan dapat

saja dikurangi penikmatannya, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai hak yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ICCPR 1966.11

Dengan demikian maka hak atas kebebasan berserikat dalam pelaksanaannya harus berdasarkan pada pembatasan yang diatur dalam hukum positif, sebagai tanda mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain. Atas dasar kepentingan tertentu, hak atas kebebasan berserikat sebagai HAM dapat pula dibatasi penggunaannya terutama berkaitan dengan keamanan dan ketertiban umum yang menjadi salah satu alasan substansial diambilnya tindakan pembatasan tersebut.

  • 2.    Pembubaran Partai Politik oleh

Mahkamah Konstitusi sebagai Pembatasan Kebebasan Berserikat

Adanya jaminan kebebasan berserikat sebagai HAM yang diatur dalam konstitusi memberi kesempatan bagi setiap orang dapat bebas berkumpul berdasarkan atas kesaman pandangan, cita-cita, tujuan dan membentuk kelompok-kelompok seperti partai politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan lain sebagainya. Partai

politik sendiri merupakan wujud kebebasan berserikat yang memiliki peran penting berkaitan dengan upaya berdemokrasi dalam suatu negara berlandaskan pada kedaulatan rakyat. Partai politik adalah infrastruktur politik yaitu lembaga/organisasi yang ada di masyarakat dan dapat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan,12 yang menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyatnya.

Keberadaan partai politik di Indonesia pada saat ini merupakan wujud dari adanya jaminan perlindungan dan pelaksanaan atas kebebasan berserikat dalam UUDNRI 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya secara nyata. Pada masa Orde Baru, kebebasan berserikat tersebut terasa semu dengan adanya pembatasan terhadap keberadaan partai politik ataupun bentuk-bentuk infrastruktur politik lainnya. Keberadaan partai politik yang terbatas dengan hanya ada 2 (dua) partai politik saja menunjukkan adanya keterbatasan untuk berserikat bagi setiap orang dan mengingkari pengakuan kebebasan berserikat sebagai HAM yang diatur dalam UUD 1945 itu sendiri. Berbeda halnya dengan era reformasi sekarang, dimana kemerdekaan berserikat dijunjung tinggi guna menciptakan negara yang demokratis, keberadaan partai politik

berkembang pesat. Meskipun demikian, keberadaan partai politik tersebut diatur berdasarkan hukum positif di Indonesia dengan tetap memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945.

Partaipolitiksecaraetimologisterdiridari kata partai dan politik. Partai berarti perkumpulan sekelompok orang dengan kesamaan pandangan dalam ketatanegaraan, sedangkan politik berarti ilmu ketatanegaraan mengenai segala urusan dan tindakan kebijaksanaan mengenai pemerintahan negara.13 Sementara para ahli hukum memberikan definsinya tersendiri mengenai partai politik sebagaimana yang dikemukakan Miriam Budiardjobahwa partai politik merupakan kolompok yang terorganisir yang para anggotanya memiliki kesamaan pandangan, nilai-nilai, dan tujuan yaitu untuk memperoleh kekuasaan dan merebut kedudukan politik melalui cara-cara yang sah agar dapat melaksanakan program kebijakannya dalam pemerintahan.14 Selaras dengan pandangan itu, B. Hestu Cipto Handoyo mendefinisikan partai politik sebagai sekelompok orang yang berkumpul atas dasar kesamaan asas, haluan, dan tujuan yang aktifitasnya berkaitan dengan urusan


dan tindakan kebijaksanaan termasuk siasat mengenai pemerintahan suatu negara.15

Definisi partai politik secara yuridis dapat dilihat dalam Undang-Undang Partai Politik (UU Parpol). Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Parpol membatasi partai politik sebagai partai politik nasional. Sebaliknya apabila dilihat dalam PMK No. 12/2008, partai politik yang dimaksud bukan hanya yang bersifat nasional melainkan mencakup pula partai politik yang bersifat lokal sesuai peraturan perundang-undangan, seperti partai politik lokal yang berada di wilayah Provinsi D.I. Aceh. Jadi dalam PMK No. 12/2008 dapat dibedakan 2 (2) jenis partai politik yaitu:

  • 1.    Parpol nasional yaituparpol yang keberadaannya mencakup seluruh wilayah NKRI; dan

  • 2.    Parpol lokal yaitu parpol yang keberadaannya hanya ada dalam satu wilayah (provinsi) NKRI.

Dalam UU Parpol tersebut terdapat pembetasan terhadap keberadaan partai politik yang ditunjukkan dengan adanya larangan-larangan yang diuraikan dalam Pasal 40 UU Parpol. Larangan-larangan tersebut disertai pula dengan sanksi-sanksi administratif dan sanksi pembubaran partai politik oleh MKsebagaimana dimuat Pasal 48 ayat (3) dan (7) UU Parpol. Pembubaran

partai politik oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan apabila partai politik melanggar larangan partai politik sebgaaimana disebutkan dalam undang-undang yaitu:

  • 1.    Partai politik melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan perundang-undangan;

  • 2.    Kegiatan partai politik dapat mengancam keutuhandan keselamatan NKRI; dan

  • 3.    Partai politik berlandaskan pada ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.

Pelanggaran partai politik terhadap larangan angka 1 dan 2 tidak langsung berakibat pada sanksi pembubaran partai politik bersangkutan oleh Mahkamah Konstitusi, melainkan apabila terbuti terlebih dahulu akan dikenakan sanksi adminsitratif pembekuan partai politik maksimal selama 1 tahun. Apabila selama partai politik tersebut dibekukan partai politik bersangkutan melakukan lagi pelanggaran yang sama, maka partai politik tersebut akan dibubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Berbeda halnya apabila partai politik melakukan pelanggaran terhadap larangan angka 3, maka partai politik tersebut akan langsung dikenai sanksi pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi.

Alasan pembubaran partai politik juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pasal 68 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi menentukan alasan pembubaran partai politik oleh Mahkamah


Konstitusi yaitu apabila partai politik memiliki ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan yang bertentangan dengan UUDNRI 1945. Ketentuan mengenai pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi juga diatur serupa dalam PMK No. 12/2008.

Berdasarkan ketiga peraturan perundang-undangan yang mengemukakan alasan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan alasan pembubaran partai politik antara UU Mahkamah Konstitusi dan PMK No. 12/2008 dengan UU Parpol. Alasan pembubaran partai politik dalam UU Parpol bahwa partai politik berlandaskan pada ajaran komunisme/ Marxisme-Leninisme tidak disebutkan dalam UU Mahkamah Konstitusi dan PMK No. 12/2008. Meskipun demikian, pada dasarnya ajaran komunis merupakan ideologi yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila yang kita anut di Indonesia sebagai dasar negara yang nilainya dijunjung tinggi dalam UUDNRI 1945. Jadi apabila partai politik berlandaskan pada ajaran komunis, maka partai politik bersangkutan telah menganut ideologi yang bertentangan dengan UUDNRI 1945.

Alasan-alasan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk pembatasan undang-undang terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat,

sehingga partai politik yang melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan dijatuhi sanksi pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatasan terhadap pelaksanaan kebebasan berserikat sebagai HAM juga telah diatur dalam UUDNRI 1945 yaitu dalam Pasal 28J yang mengatur mengenai kewajiban dasar dalam pelaksanaan HAM. Pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan kewajiban dasar yang tertuang dalam Pasal 28J UUDNRI 1945 sebagai bentuk mengakui dan menghormati HAM individu lainnya, jangan sampai pelaksanaan HAM menyinggung atau menciderai HAM orang lainnya. Adapun kewajiban dasar dalam pelaksanaan HAM tersebut adalah kewajiban untuk menghormati HAM individu lainnya dan kewajiban untuk menaati larangan-larangan dalam perundang-undangan yang berlaku.

Pembatasan terhadap kebebasan berserikat melalui partai politik berupa larangan-larangan yang diatur dalam undang-undang dengan sanksi berupa pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi dari perspektif HAM merupakan hal yang diperbolehkan. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam Pasal 4 ICCPR 1966 hak atas kebebasan berserikat merupakan hak yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights), sehingga dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan-pembatasan. Pembatasan atas kebebasan berserikat haruslah diatur


dalam hukum sebagaimana diamanatkan oleh ICCPR 1966. Dengan demikian maka pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan partai politik bersangkutan terhadap pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan dalam undang-undang terhadap kebebasan berserikat sebagai derogable right. Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan berserikat melalui partai politikyang diatur dalam undang-undang perlu dilakukan untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain, menjaga,     ketertiban     bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara, serta terutama untuk menjaga keutuhan NKRI berdasarkan ideologi Pancasila dan UUDNRI 1945. Jangan sampai pelaksanaan kebebasan berserikat melalui partai politik dengan mengatasnamakan    demokrasi     dapat

membahayakan persatuan dan kesatuan, serta keutuhan NKRI.

  • IV. PENUTUP

  • 1.    Simpulan

Berdasarkan pemaparan mengenai permasalahanyang diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut: 1) Kebebasan     berserikat     mendapat

pengakuan dan penghormatan sebagai HAM dalam Pasal 28 UUDNRI 1945, namun dalam pelaksanaannya kebebasan berserikat dapat dibatasi berdasarkan pembatasan-pembatasan yang telah

ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini karena dalam ICCPR 1966 kebebasan berserikat merupakan hak yang tergolong derogable rights, yaitu hak yang dapat ditunda pemenuhannya.

  • 2)    Pembubaran partai politik oleh Mahkamah     Konstitusi     tidaklah

bertentangan dengan hak atas kebebasan berserikat, selama pembubaran tersebut dilakukan berdasarkan pada hukum yaitu sebagai sanksi atas pelanggaran terhadap pembatasan-pembatasan      (larangan-

larangan) partai politik yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Selain itu dalam perspektif HAM, kebebasan berserikat sebagai HAM yang mendasari terbentuknya partai politik juga merupakan HAM yang dapat dibatasi pemenuhannyadalam rangka menjaga ketertiban bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, terutama menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUDNRI 1945. Meski demikian, berkaitan denganalasan pembubaran partai politik masih terdapat perbedaan rumusan norma yang termuat dalam UU Parpol, UU Mahkamah Konstitusi, dan PMK No. 12/2008, sehingga kurang memberi kepastian hukum dan apabila dipolitisasi dapat menjadi alat pemerintah untuk membatasi keberadaan partai politik yang berpotensi melanggar HAM.

  • 2.    Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu agar DPR dan Presiden selaku lembaga yang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang melakukan penyeragaman berkaitan dengan alasan pembubaran partai politik yang terdapat dalam undang-undang. Selanjutnya alasan yang sama juga dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yang mengatur hukum acara pembubaran partai politik. Dengan adanya keseragaman norma mengenai alasan pembubaran partai politik sebagaimana diatur dalam UU Parpol, UU Mahkamah Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi maka dapat menghindari terjadinya konflik norma, sehingga dapat memberikan kepastian hukum mengenai alasan pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, Dessy, 2001, Kamus Lengkap Bahasa

Indonesia, Karya Abditama, Surabaya.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

____, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Handoyo, B. Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atamajaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Latif, Abdul, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Kreasi Total Media, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soehino, 2005, Ilmu Negara, Cetakan ke-V, Liberty, Yogyakarta.

Soekanto,Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta.

Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Wawasan, Denpasar.

Thalib,Abdul Rasyid, 2006, Wewenang Mahkamah     Konstitusi     dan

Implikasinya      dalam      Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Internet

Jakob Tobing, 2011, Kebebasan Berserikat sebagai         Hak         Asasi,

http://www.leimena.org/en/page/v/531/ kebebasan-berserikat-sebagai-hak-asasi

Manunggal K. Wardaya, 2012, Pembubaran Ormas Anarkis : Sebuah Tinjauan Hukum Hak Asasi   Manusia,

http://kuliahmanunggal.wordpress.com/ 2012/06/02/pembubaran-ormas-anarkis-sebuah-tinjauan-hukum-hak-asasi-manusia/


Seasite, 2004, Nomor Urut Partai Politik Peserta        Pemilu        1999,

http://www.seasite.niu.edu/indonesian/i ndonesian_elections/indo-pemilu99/partai-peserta-pemilu1999.htm

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (LNRI Tahun 1999 No. 165, Tambahan LNRINo. 3886).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No. 98, Tambahan LNRI No. 4316).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (LNRI Tahun 2008 No. 2, Tambahan LNRI No. 4801).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik LNRI Tahun 2011 No.8, Tambahan LNRI No.5189).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2011 No. 70, Tambahan LNRI No. 5226).

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.

394