Vol.7 No.3 2014

ISSN: 2302-528X


Magister Hukum Udayana


KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL (PERKOSAAN) DITINJAU DARI PERSPEKTIF KRIMINOLOGI

Oleh :

Ni Made Dwi Kristiani1

ABSTRACT

This study aims to describe and analyze in depth abaout sexual violence (rape) from persepektive of criminology. The methods that are in the form of normative research approach conceptually, with the study of documents as well as primary and secondary legal materials. Arrangements regarding crimes of sexual violence (rape) subject to the provisions of Article 285 of the Penal Code which has elements that must be met, one of which is the absence of violence. Any element of violence is an element that distinguishes the crime of rape with another morality set forth in Penal Code. In the perspective of criminology that really is not an element of violence that will be the main point, but the element of consent. Elements of consent is a decisive and qualify an act as rape or not. In addition,it also examined the factors causing crimes of sexual violence (rape) and mitigation efforts.

Keywords: Violent of Crime, Rape, Criminology

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Seiring makin majunya perkembangan jaman, makin sarat pula beban sosial dan beban kriminalitas dalam masyarakat. Perkembangan ini membawa dampak pada kehidupan sosial dari masyarakatnya, dilain pihak pada tingkat kemajuan yang sedang dialami, juga membawa dampak timbulnya berbagai bentuk kejahatan.

Bentuk kejahatan dalam hukum pidana sebagai tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan disertai dengan adanya 2 sanksi pidana untuk yang melanggarnya.2 Perbuatan pidana selalu menuju kepada sifat perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan pertanggungjawaban pidana menuju pada orang yang melanggar dan dapat dijatuhi pidana, sehingga yang dilarang oleh aturan hukum adalah perbuatannya.

Kejahatan dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana yangdiatur dalam Buku ke-II KUHP dan dalam aturan-aturan lain di luar KUHP. Perbuatan pidana itu juga 3 meliputi tindakan pelanggaran-pelanggaran.3

Dalam arti luas, kejahatan tidak hanya ditentukan oleh perundang-undangan dalam hukum pidana saja, melainkan pula perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan adanya nestapa dan kerugian.4

Kejahatan kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam masyarakat yang perkembangannya semakin beragam baik motif, sifat, bentuk, intensitas maupun modus operandinya. Sebagai suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas ini tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga menimbulkan keresahan karena kriminalitas dianggap sebagai suatu gangguan terhadap kesejahteraan masyarakat serta lingkungannya.

Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual yang merupakan salah satu bentuk kejahatan kekerasan, bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anak-anak). Kejahatan kekerasan seksual ini juga tidak hanya berlangsung dilingkungan perusahaan, perkantoran, atau ditempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga.

Diantara kasus-kasus yang melibatkan (mengorbankan) anak-anak perempuan di bawah umur, salah satu modus


operandinya yang digunakan adalah penipuan. Diantara mereka adakalanya yang tidak mengetahui kalau dirinya akan dijadikan obyek perkosaan, dicabuli, dan kemudian diperdagangkan. Kasus perdagangan seksual anak-anak wanita di bawah umur itu menunjukkan bahwa hak asasi perempuan sudah dilanggar sejak usia dini (di bawah umur). Tidak sedikit anak-anak di bawah umur dan perempuan dewasa yang menjadi korban kejahatan kekerasan seksual.

Istilah kekerasan seksual adalah perbuatan yang dapat dikategorikan hubungan dan tingkah laku seksual yang tidak wajar, sehingga menimbulkan kerugian dan akibat yang serius bagi para korban.5 Kekerasan seksual (perkosaan) membawa dampak pada fisik dan psikis yang permanen dan berjangka panjang. Kekerasan seksual yang akan lebih dibahas disini adalah khususnya kejahatan seksual pemerkosaan, maka sangat penting ditelusuri pula faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan tersebut, khususnya kejahatan kekerasan seksual pemerkosaan. Kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) yang tidak surut oleh perkembangan jaman, kemajuan teknologi, dan kemajuan pola pikir manusia, menjadi salah satu kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat di tengah-tengah perkembangan-perkembangan tersebut.

  • 1.2.    Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka didapat suatu permasalahan yaitu kajian mengenai kekerasan seksual (perkosaan) dalam tinjauan hukum pidana Indonesia dengan perspektif kriminologi.

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai kekerasan seksual (perkosaan) dari perspektif kriminologi mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus.

  • 1.    Tujuan Umum:  untuk mengetahui

pengaturan dan kebijakan dalam lapangan hukum pidana khususnya mengenai kekerasan seksual (perkosaan) terhadap persoalan-persoalan hukum yang meliputi legitimasi hukum, arah perubahan tujuan hukum (displacement of goal), efektivitas hukum, penegakan hukum (law enforcement) dan pengembangan teori, konsep, asas-asas, doktrin hukum pidana pada umumnya.

  • 2.    Tujuan Khusus: Tujuan khusus penelitian ini berkaitan dengan mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang kekerasan seksual (perkosaan) dari perspektif kriminologi, yang meliputi teori-teori, faktor penyebab dan upaya penanggulangannya karena terdapat berbagai macam dan ragamnya kejahatan kekerasan seksual yang semakin tidak


terkendali, mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

  • II.    METODE PENELITIAN

Metode yang dilakukan adalah merupakan penelitian normatif. Dalam upaya pemecahan masalah maka pendekatan dilakukan secara konseptual, dengan studi dokumen terhadap perundang-undangan yang sedang berlaku di Indonesia. Pendekatan masalah dalam penelitian ini bersifat konseptual yang bertujuan memberi gambaran struktur hukum secara vertikal.6

Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer adalah UUDNRI 1945 dan KUHP. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa pandangan-pandangan para sarjana dalam buku-buku literatur maupun artikel yang menunjang pemahaman bahan hukum primer, dibantu dengan informasi melalui internet.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 3. 1. Kekerasan Seksual (Perkosaan) dalam Tinjauan Hukum Pidana Indonesia dengan Perspektif Kriminologi

Perkosaan tidak bisa dipandang sebagai kejahatan yang hanya menjadi urusan privat (individu korban), namun harus dijadikan sebagai problem publik karena

kejahatan ini jelas-jelas merupakan bentuk perilaku yang tidak bermoral dan keji yang selain melanggar HAM, juga mengakibatkan derita fisik, sosial, maupun psikologis bagi kaum perempuan.Perkosaan dan penanganannya selama ini menjadi salah satu indikasi dan bukti lemahnya perlindungan (pengayoman) hak asasi manusia, khususnya perempuan dari tindakan kekerasan seksual yang tergolong pada kekerasan terberat. Perlindungan terhadap perempuan telah dinyatakan pula oleh Konvensi PBB yang telah menjangkau perlindungan perempuan sampai ke dalam urusan rumah tangga, tidak sebatas hak perempuan di luar rumah atau sektor publik. Hal itu dapat dijadikan tolok ukur mengenai peningkatan kepedulian terhadap HAM khususnya perempuan, meskipun KUHP kita belum mengatur mengenai perkosaan oleh suami kepada istri.Perkosaan ditempatkan sebagai contoh perbuatan kriminalitas yang melanggar HAM perempuan karena lebih memposisikan keunggulan diskriminasi gender.

Perkosaan menjadi salah satu tolok ukur pelanggaran HAM yang cukup parah terhadap perempuan. Apa yang diperbuat pelaku merupakan bukti kesewenang-wenangan dan kekejian yang bertentangan dengan watak diri manusia yang seharusnya menghormati dan melindungi hak-hak sesamanya, apalagi terhadap perempuan. Mengenai kejahatan kekerasan seksual


(perkosaan) ini, tidak hanya merenggut kehormatan seorang perempuan, namun juga merenggut hak-hak asasinya.

Dari perspektif yuridis, yang merujuk pada ketentuan KUHP tidak ditemukan defnisi secara jelas mengenai kejahatan kekerasan, akan tetapi hanyadisebutkan dalam Pasal 89 :membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dari rumusan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang berakibat pingsan dan tidak berdaya. Dengan berkembangnya jaman, pemahaman kekerasan dapat dilakukan dengan ancaman (psikologis) dan tindakan nyata (fisik).

Kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) jika dikaji berdasarkan pada perspektif kriminologi, menunjuk pada motif dan perilaku, dimana hal tersebut memiliki motif pemuasan nafsu seksual.

Pengaturan mengenai kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang telah dikodifikasi yaitu KUHP. Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan dalam KUHP, yaitu : 1. Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh

  • 2.    Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul.

Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan, baik itu sengaja atau alpa. Namun dengan

dicantumkannya unsur memaksa dalam rumusan pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Dapat dikatakannya tindakan perkosaan apabila telah terjadi persetubuhan antara pelaku dan korban. Apabila tidak sampai terjadi persetubuhan maka perbuatan dimaksud dapat dikualifikasikan dengan tindak pidana percobaan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285 Jo. Pasal 53 KUHP) dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul (Pasal 289 KUHP).

Dari ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana perkosaan tersebut, dirumuskan pula suatu sanksi pidana yang diberikan bagi pelaku kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP dinyatakan bahwa ancaman pidana maksimum yang diterima oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga memungkinkan pelaku dijerat dengan hukuman yang lebih ringan jauh dari efek yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban kejahatan kekerasan seksual (perkosaan).

Keterkaitan antara hukum pidana dan kriminologi dapat dikaitkan secara teoritik, namun secara praktik sangat terbatas keterkaitannya dan pengaruhnya. Hukum pidana memusatkan perhatian kepada faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Kriminologi telah ditunjukkan untuk mengungkapkan motif pelaku kejahatan

sedangkan hukum pidana kepada hubungan antara perbuatan dan akibat (hukum sebab akibat).7 Faktor motif dapat ditelusuri dengan bukti-bukti yang memperkuat adanya niat melakukan kejahatan. Dari uraian ini keterkaitan tersebut berperan dalam proses penyidikan atas terjadinya suatu kejahatan.

Dalam perspektif teori kriminologi, terdapat tiga perspektif dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan, yaitu : 1. macrotheories, adalah teori-teori yang menjelaskan kejahatan dipandang dari segi struktur sosial dan dampaknya.

  • 2.    microtheories, adalah teori-teori yang menjelaskan alasan melakukan kejahatan dipandang dari segi psikologi, sosiologis atau biologis.

  • 3.    bridging theories adalah teori-teori yang menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana seseorang atau 8

sekelompok orang menjadi penjahat.8

Menganalisis model kejahatan dengan kekerasan di Indonesia dapat menggunakan salah satu perspektif teori kriminologi, yaitu teori yang dikembangkan oleh Hoefnagels. Diungkapkan bahwa para ahli kriminologi pada umumnya sering bertumpu pada teori kuasa kejahatan dan pelakunya, namun kurang memperhatikan aspek stigma dan

9 seriousness.

Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP yang secara yuridis mengatur kejahatan perkosaan, terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu salah satunya adalah adanya kekerasan. Adanya unsur kekerasan tersebut merupakan unsur yang membedakan pemerkosaan dengan kejahatan kesusilaan yang lain yang diatur dalam KUHP. Berbeda halnya dengan perspektif yuridis, dari perspektif kriminologi yang dijadikan tolak ukur adalah persetujuan bukanlah kekerasan yang menjadi hal pokok.Unsur persetujuan tersebut    yang    menentukan    dan

mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perkosaan.10 Menurut Steven Box dan J.E. Sahetapy pengertian perkosaan secara kriminologis didasarkan atas tidak adanya consent dari pihak wanita.11

  • 3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan

    Kekerasan Seksual (Perkosaan)

Kemajuan ilmu dan teknologi, perkembangan kependudukan dan struktur masyarakat serta perubahan nilai-nilai sosial dan budaya ikut mempengaruhi dan memberikan dampak yang tersendiri kepada motif, sifat, bentuk, frekuensi, intensitas, maupun modus operandi kejahatan kekerasan. Banyak faktor secara langsung atau tidak langsung ikut memberi warna dan dampak


tersendiri terhadap timbulnya kejahatan kekerasan.

Menurut Abdulsyani, terdapat dua sumber penyebab terjadinyatindakan kriminal, yaitu sumber pertama adalah faktor intern seperti sakit jiwa, daya emosional, rendahnya mental, anomi, umur, sex, kedudukan individu dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah hiburan individu. Sedangkan faktor kedua adalah faktor ekstern, yaitu bersumber dari luar diri individu seperti faktor ekonomi, agama, bacaan dan film.12

  • J. E. Sahetapy, memberikan gambaran tentang latar belakang orang melakukan kejahatan menurut hasil pengamatannya dalam praktek terutama apabila ditinjau dari segi pemasyarakatan bahwa orang yang melakukan kejahatan adalah pengaruh dari luar dirinya. Seseorang itu selalu diwarnai oleh keadaan keluarganya, lingkungan, dan masyarakat pergaulannya.13

Seseorang melakukan kejahatan kekerasan dilihat dari faktor intern, yaitu disebabkan oleh mental kepribadian seseorang atau individu yang kurang baik (negatif), sehingga cenderung untuk melakukan kejahatan. Mental kepribadian ini terbentuk dari beberapa faktor antara lain :

  • •  Faktor agama, seseorang yang kurang

mendapat siraman rohani sehingga kurang terbina mentalnya dan moralnya.

  • •  Faktor pendidikan, seseorang yang

kurang mendapatkan pendidikan dalam melakukan sesuatu tidak mau berfikir panjang, sehingga ia cenderung melakukan perbuatan yang menyimpang atau tindakan kejahatan.

  • •  Faktor pergaulan yang salah dapat

membentuk mental kepribadian yang kurang baik.

  • •  Faktor lingkungan yang kurang baik,

sehingga mental kepribadiannya pun jelek.

  • •  Faktor ekonomi, seseorang yang kesulitan

ekonomi tidak mampu mencukupi keperluan hidup, terutama para pendatang (transmigran ataupun urbanisasi) yang tidak mempunyai keterampilan untuk bekerja, dapat pula membentuk mental kepribadian yang jelek sehingga melakukan perbuatan yang menyimpang atau kejahatan.

Sedangkan faktor-faktor penyebab seseorang melakukan kejahatan kekerasan dari faktor eksternal antara lain :

  •    Faktor korban, korban berperanan terhadap timbulnya kejahatan. Korban biasanya sebagian besar dinilai mempunyai nilai lebih dari orang-orang disekitarnya, seperti berpenampilan mewah dan mencolok, membawa barang-


barang mewah dan umumnya lengah, sehingga ada niat atau kesempatan bagi pelaku kejahatan tersebut untuk melakukan aksinya, terutama kejahatan pencurian dengan kekerasan.

  •    Faktor perekonomian makro yaitu terjadi krisis ekonomi dan harga barang-barang atau kebutuhan pokok meningkat, banyaknya pengangguran membuat seseorang yang dalam kondisi demikian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan jalan yang tidak benar atau melakukan kejahatan.

  •    Faktor penggunaan narkotika, seseorang yang telah kecanduan obat-obatan terlarang dia akan melakukan apa saja dengan jalan yang tidak benar bahkan sampai melakukan kejahatan kekerasan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.

Perkosaan merupakan kejahatan kekerasan yang berkaitan dengan kesusilaan. Berbagai macam faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut, salah satunya adalah didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan serta posisi korban berada, yang dapat memicu niat pelaku untuk melakukan kejahatan seksual (perkosaan) tersebut.Tidak jarang pula kejahatan tersebut dipengaruhi oleh faktor memanfaatkan hubungan antara pelaku dan korban, seperti hubungan darah, saudara, kerabat, dan lain-lain. Sehingga pelaku lebih mudah melakukan perkosaan

tersebut karena telah mengetahui lebih dalam pihak korban.

Kejahatan perkosaan juga tidak terlepas dari faktor keadaan kejiwaan pelaku.Kejiwaan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungannya, tetapi juga oleh pengalaman masa lalu.Seperti halnya pelaku pernah merasa sakit hati dan depresi karena pernah mengalami suatu kejadian secara langsung maupun tidak langsung kejahatan kekerasan seksual yang membuatnya berinisiatif untuk melampiaskannya kepada seseorang bahkan bisa hingga beberapa orang korban.

Selain itu dapat pula faktor pemicu timbulnya pemerkosaan yang dirangsang oleh pengaruh lingkungan di sekitar pelaku, seperti halnya pelaku setelah melihat atau menyaksikan hal-hal yang berkaitan dengan pornoaksi dan pornografi dan timbul hasrat seksual pelaku. Sehingga pelaku ingin melampiaskan hasratnya tersebut dengan berbagai cara, salah satunya adalah perkosaan.

Dari setiap tindak kejahatan pemerkosaan terdapat keterkaitan antara pihak pelaku, pihak korban, dan situasi serta kondisi lingkungan yang memegang peranan masing-masing sebagai pemicu adanya suatu kejahatan kekerasan seksual, yaitu perkosaan.14


Terhadap terjadinya pemerkosaan pelaku merupakan faktor individuyang menyalurkan hasrat seksualnya secara tidak wajar. Pihak korban (dalam kasus-kasus tertentu) merupakan faktor kriminogen, yang secara langsung maupun tidak langsung mendorong timbulnya kejahatan perkosaan. Lingkungan merupakan faktor pendukung bagi posisi pelaku dan korban dalam melakukan tindak pidana perkosaan.15

Mengenai faktor kriminogen tersebut, Made Darma Weda mempunyai pendapat, bahwa terdapat “victim precipitation”, yaitu peranan korban baik dari segi posisi dan perilaku korban yang dengan sengaja maupun tidak sengaja mendorong adanya tindak pidana perkosaan. Victim precipitation ini dapat berupa pakaian yang digunakan korban, tempat korban sedang berada dilingkungan dan posisi yang sepi, dan korban dalam keadaan seorang diri.16

  • 3.3 Upaya Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Seksual (Perkosaan)

Masalah kejahatan yang selalu mengganggu keamanan dan kenyamanan sosial adalah merupakan suatu masalah yang besar bagi umat manusia diseluruh dunia. Kejahatan dapat dikatakan sebagai suatu perilaku manusia yang menyimpang, bertentangan dengan hukum, serta merugikan

masyarakat, maka dari itu perlu adanya upaya penanggulangannya.

Penanggulangan kejahatan mencakup tindakan preventif dan represif terhadap kejahatan. Tindakan pencegahan atau preventif yaitu usaha yang menunjukkan pembinaan, pendidikan dan penyadaran terhadap masyarakat umum sebelum terjadi gejolak perbuatan  kejahatan. Sedangkan

tindakan represif   yaitu usaha yang

menunjukkan upaya pemberantasan terhadap 17 tindakan kejahatan yang sedang terjadi.17

Dalam lingkungan masyarakat, dapat diupayakan upaya penanggulangan melalui pendidikan hukum (law education) yang dapat diajarkan sejak dini. Manusia dididik untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi sesamanya, dengan cara mencegah diri dan perbuatannya yang cenderung dapat merugikan, merampas, dan memperkosa hak-hak manusia lainnya.

Pendidikan hukum itu mengandung aspek preventif dan represif, dimana bagi anggota masyarakat yang belum pernah berbuat   kejahatan   perkosaan adalah

dikendalikan dan   dididik   agar   tidak

terjerumus dalam perbuatan jahat tersebut yang merugikan  diri dan  orang  lain,

sedangkan secara represif adalah mendidik pelaku kejahatan  tersebut   agar  tidak

mengulangi kejahatan yang sudah pernah dilakukannya. Sehingga muncul perasaan


segan dan tidak berani mengulangi tindakan serupa.

Upaya lainnya dapat dilihat dari segi hukum pidana, yaitu sanksi hukum pidana yang idealnya merupakan sanksi yang bersifat ultimum remedium, yang artinya setelah sanksi lain tidak cukup ampuh diterapkan dapat dijadikan upaya penanggulangan secara represif. Sanksi hukum pidana merupakan reaksi (jawaban/solusi) terhadap terjadinya suatu delik (pelanggaran/kejahatan). Pembinaan bagi pelaku merupakan tujuan utama dalam upaya represif dalam menanggulangi kejahatan kekerasan seksual (pemerkosaan).

Upaya mencegah terjadinya pemerkosaan dengan cara mengetahui penyebab terjadinya pemerkosaan dan kemudian berikhtiar menghilangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab tidaklah mudah. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya pemerkosaan. Meskipun demikian, upaya penanggulangan sebaiknya terus dilakukan dengan mencontoh negara-negara lain. Misalnya dengan memberi penerangan (lampu) pada tempat-tempat yang sepi dan gelap. Selain itu pemberian penyuluhan secara khusus pada masyarakat juga merupakan upaya penanggulangan yang dapat dilakukan sejak dini.18

Dalam rangka menanggulangi kejahatan kekerasan seksual (perkosaan), pemerintah perlu melakukan penataan kembali dan memperbaharui kebijakan dan sistem hukum terlebih dahulu yang diperuntukkan agar dapat mencegah tindak pidana dan dapat bekerja secara berkesinambungan dalam memerangi kejahatan seksual tersebut.

Barda Nawawi Arief memberikan berpendapat yaitu dengan merumuskan garis kebijakan sistem hukum yang juga digunakan sebagai acuan dan tolak ukur dalam penerapan dan pelaksanaan pidana dan oleh aparat pelaksana pidana.19

Dengan adanya suatu kebijakan pengaturan tersebut diharapkan tujuan hukum berupa “kemanfaatan” dapat tercapai, yang oleh Jeremy Bentham lebih dikonkritkan dengan teori Utilitarian.Jeremy Bentham menyatakan, “Baik tidaknya hukum diukur melalui manfaat dari hukum tersebut kepada umat manusia, yakni apakah hukum yang bersangkutan membawa manfaat yang paling besar kepada sebanyak mungkin manusia, (the greatest happiness of the greatest people).”20


  • IV. PENUTUP

  • 4.1.    Simpulan

Secara yuridis pengaturan mengenai kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) diatur dalam ketentuan Pasal 285 KUHP yang memiliki unsur-unsur yang harus dipenuhi, salah satunya adalah adanya kekerasan. Adanya unsur kekerasan tersebut merupakan unsur yang membedakan pemerkosaan dengan kejahatan kesusilaan yang lain yang diatur dalam KUHP. Dari perspektif kriminologi unsur consent dijadikan acuan dan kunci penting dalam penentuan dan pengkualifikasian suatu perbuatan sebagai perkosaan atau tidak. Mengenai faktor-faktor penyebab seseorang melakukan kejahatan kekerasan seksual pemerkosaan terdiri dari 3 (tiga) faktor penting, yaitu personal pelaku, korban, dan situasi.Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan oleh masyarakat serta aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan tersebut antara lain : Dalam lingkungan masyarakat, dapat diupayakan upaya penanggulangan melalui pendidikan hukum (law education) yang dapat diajarkan sejak dini.Upaya lainnya berdasarkan hukum pidana, yaitu sanksi hukum pidana yang bersifat ultimum remedium, yang artinya setelah sanksi lain tidak cukup ampuh diterapkan dapat dijadikan upaya penanggulangan secara represif serta perlu diikuti dengan adanya penataan kembali dan

pembaharuan sistem hukum dan kebijakan dalam hukum pidana.

  • 4.2.    Saran

Terjadinya kasus perkosaan di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan, diharapkan agar pemerintah Indonesia memperbaharui produk perundang-undangan mengenai kejahatan seksual khususnya perkosaan itu dengan memperhatikan dan mengoptimalkan sanksi pidana yang bersifat lebih memberatkan agar timbul efek jera. Disamping itu masyarakat diharapkan lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap perkembangan jaman dan teknologi. Selain itu pendidikan moral dan agama tetap menjadi prioritas, dengan memegang teguh nilai Pancasila. Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan diharapkan partisipasi masyarakat dan konsistensi dari aparat penegak hukum.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulsyani, 1987, Sosiologi Kriminalitas, CV. Remadja Karya, Bandung

Arief, Barda Nawawi,  1996, Kebijakan

legislatif Dalam   Penanggulangan

Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan      Penerbit      Universitas

Diponegoro, Semarang

Atmasasmita,Romli 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung


Fuady, Munir, 2007, Dinamika Teori Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor

Gosita,Arif, 1983, Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan Edisi Pertama,    Akademika Pressindo,

Jakarta, hal.77

J.,Bruggink.J., 1998, Refleksi Tentang Hukum:Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Alih Bahasa ArifSidharta, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,

Poernomo,Bambang 1988, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta

Prasetyo, Eko dan Suparman Marzuki, 1995, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum Universitas      Islam      Indonesia,

Yogyakarta

Sahetapy, J.E., 1983, Kejahatan Kekerasan Suatu Pendekatan Interdisipliner, Sinar Wijaya, Surabaya

Saleh,Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana Cet-III, Aksara Baru, Jakarta, hal.17

Wahid,Abdul dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT. Refika Aditama, Bandung

Weda, Made Darma 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

382