Pengaturan Pelekatan Sidik Jari Dalam Minuta Akta Bagi Penyandang Tuna Daksa
on
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106721-1.jpg)
Pengaturan Pelekatan Sidik Jari Dalam Minuta Akta Bagi Penyandang Tuna Daksa
Merry Rosari Kurniawati Weo1, Dewi Cahyandari2
-
1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, E-mail: [email protected]
-
2 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, E-mail: [email protected]
Info Artikel
Masuk: 3 Juni 2023
Diterima: 27 September 2023
Terbit: 29 September 2023
Keywords:
Arrangements, Placement of Fingerprints, Deed Minutes, Disabled Persons.
Kata kunci:
Pengaturan, Peletakan Sidik
Jari, Minuta Akta, Penyandang Tuna Daksa
Corresponding Author:
Merry Rosari Kurniawati Weo, E-mail:
DOI:
10.24843/JMHU.2023.v12.i0
3.p11
Abstract
khususnya bagi penghadap di notaris yang memiliki keterbatasan fisik yakni tuna daksa.
Penyandang Disabilitas di Indonesia diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas khususnya dalam pasal 1, penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Menurut The United States Department of Justice (2016), disabilitas adalah kecacatan substansial baik dalam bentuk fisik maupun mental yang membatasi aktivitas hidup suatu individu, memiliki riwayat kecacatan, atau dianggap memiliki kecacatan. 1 Selain itu terdapat pandangan lain menurut John C. Maxwell yang berpendapat bahwa penyandang disabilitas merupakan seseorang yang mempunyai kelainan dan/atau yang dapat mengganggu aktivitas.2
Terkait dengan hak individu khususnya penyandang disabilitas dalam pelayanan publik di masyarakat hal itu diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas Terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, Dan Perlindungan Dari Bencana Bagi Penyandang Disabilitas terdapat pasal yang mengatur tentang Pelayanan Publik Yang Mudah Diakses Bagi Penyandang Disabilitas yakni pasal 16 dan pasal 17 ayat (1). Dalam kedua pasal tersebut jelas dijelaskan bahwa dalam pelayanan publik wajib disediakan akses pelayanan yang mudah bagi disabilitas yang dilaksanakan atas dasar prinsip kesetaraan dalam keberagaman bagi Penyandang Disabilitas dan tanggap terhadap kebutuhan Penyandang Disabilitas yang meliputi pelayanan atas barang, jasa, dan atau pelayanan administrative. Maka dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa penyandang disabilitas di dalam kehidupannya sehari-hari khusunya terkait dalam mendapatkan pelayanan public sudah ada yang mengatur dengan harapannya tidak ada tindakan yang menyalahi aturan tersebut.
Penyandang disabilitas yang Menurut Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut KUH Perdata) orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah orang yang bersangkutan gila, dungu, mata gelap, lemah akal atau juga pemboros. Orang dengan definisi seperti itu tidak dapat menggunakan akal sehatnya sehingga dapat merugikan dirinya sendiri. Pengampuan terjadi berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Tuna daksa sebagai penghadap menghadap kepada Notaris untuk
melakukan perbuatan hukum yakni membuat akta autentik yang merupakan kewenangan dari Notaris untuk membuatnya. Pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UUJN-P) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Pada pengaturan di Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN-P , diatur ketentuan bahwa kewajiban “Notaris wajib melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap dalam minuta akta”, menurut pasal ini terdapat tiga hal yang harus dilekatkan pada minuta akta yakni surat, dokumen dan sidik jari dari penghadap itu sendiri. Hal yang diatur ini mengenai kewajiban notaris dalam melekatkan sidik jari penghadap/para penghadap/para pihak pada minuta akta tersebut sebelumnya tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UUJN Nomor 30 Tahun 2004). Pada pengaturan di pasal 44 ayat (1) dan (2) UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa: (1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya, (2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta.
Adanya sidik jari penghadap/para penghadap/para pihak dalam UUJN adalah sebagai pengganti tanda tangan atau keterangan bahwa penghadap/para penghadap/para pihak berhalangan dalam melakukan pembubuhan tanda tangannya, hal itu dalam pelaksanaannya dapat disamakan dengan tanda tangan penghadap/para penghadap/para pihak dan dapat diartikan dengan memberikan keterangan bahwa orang tersebut dianggap telah mengetahui, mengerti, memahami serta menyetujui apa yang ada dalam isi dari akta dan mengikatkan dirinya pada akta tersebut, hal ini disebut dengan Surrogate Akta.3 Ketika diundangkannya UUJN-P sidik jari penghadap/para penghadap/para pihak menjadi sebuah kewajiban bagi notaris untuk melekatkan sidik jari para penghadap/penghadap/para pihak di dalam minuta akta. Sehingga jika melanggar ketentuan tersebut, maka notaris akan dikenakan Pasal 16 ayat (11) UUJN: “Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis ; b. pemberhentian sementara ; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat”
Sesuai yang diatur dalam sistem hukum nasional dan dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, sudah seharusnya seluruh perundang-undangan yang ada di Indonesia dibuat dan dilaksanakan berdasarkan hal tersebut.4 Maka dari itu, hal yang sama harus juga ada dan dilaksanakan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dimana harus menjunjung tinggi kepastian hukum dalam menjalankannya bagi seluruh masyarakat. Melihat perubahan-perubahan yang ada dalam UUJN-P ini khususnya pada pasal 16 ayat 1 huruf ( c ) ini perlu dicermati kembali terkait ketidak kepastian hukum dan ketidak keadilan hukum bagi seluruh masyarakat
yang melaksanakan khususnya bagi penyandang disabilitas yang memiliki keterbatas fisik yakni alat gerak atau yang dikenal dengan istilah tuna daksa. Ketidak kepastian hukum dan ketidak keadilan hukum yang dimaksud ialah bagaimana pengaturan bagi penyandang tuna daksa dalam melekatkan sidik jari pada minuta akta yang dimana hal ini merupakan kewajiban bagi tiap notaris. Ketentuan kewajiban melekatkan sidik jari diatur dalam pasal 16 ayat 1 huruf ( c) UUJN ini dan dalam penjelasannya hanya dikatakan “cukup jelas”.
Timbul perdebatan dikalangan notaris yaitu arti kata melekatkan, dimana khususnya dalam melekatkan sidik jari apakah notaris langsung saja melekatkan sidik jari penghadap tersebut di dalam minuta akta atau di dalam selembar kertas. Kemudian perdebatan selanjutnya yakni bagaimana apabila penghadap mengalami keterbatasan fisik atau cacat tubuh yang kita kenal dengan tuna daksa seperti tidak mempunyai jari tangan sehingga tidak dapat melekatkan sidik jarinya pada minuta akta.5 Substansi dari bunyi Undang-Undang itu sendiri tidak jelas sehingga menimbulkan multitafsir di kalangan para notaris sendiri. Tetapi, penjelasan terkait pelekatan sidik jari dalam minuta akta ini dalam UUJN-P tidak ditemukan penjelasan terperinci terkait bagaimana jika penghadap yang akan melekatkan sidik jari tidak memiliki alat gerak yakni tangan atau yang disebut tuna daksa dan hanya dinyatakan bahwa pasal tersebut “cukup jelas” saja. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya serta ketidaklengkapan dalam landasan hukum untuk menjalankan aturan pada Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJN-P tersebut. Oleh Karena itu penting untuk dikaji lebih dalam penulisan ini terkait penghadap yang tidak memiliki alat gerak yakni tangan atau yang disebut tuna daksa, karena di Indonesia sendiri belum ada yang mengatur hal ini secara detail sehingga bagi penulis ini merupakan hal yang baru dan menarik untuk ditulis agar dalam pelaksanaannya akta yang dibuat oleh notaris mencapai kepastian hukum. Karena, setiap Individu di dunia ini memiliki kedudukan yang sama di muka hukum tanpa memandang apapun.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Wulan Wiryanthari Dewi, dkk dengan Judul “Kekuatan Hukum Pelekatan Sidik Jari Penghadap Oleh Notaris Pada Minuta Akta” yang telah publish pada Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan pada tahun 2020, Adapun penelitian tersebut mengkaji terkait upaya yang dapat dilakukan oleh Notaris terhadap penghadap yang tidak mampu membubuhkan sidik jarinya serta akibat hukum tidak adanya sidik jari penghadap terhadap kekuatan akta. 6 Sementara, penelitian yang dilakukan oleh penulis mengkaji secara mengkhusus terkait perlu adanya rekonstruksi hukum terkait Pengaturan Pelekatan Sidik Jari Dalam Minuta Akta Bagi Penyandang Tuna Daksa. Permasalahan dalam penelitian ini mengkaji terkait perubahan pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris serta urgensi Rekonstruksi Hukum Pelekatan Sidik Jari Dalam Minuta Akta Bagi Penyandang Tuna Daksa. Studi ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis terkait perubahan pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris serta urgensi
Rekonstruksi Hukum Pelekatan Sidik Jari Dalam Minuta Akta Bagi Penyandang Tuna Daksa.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum yang di Barat biasa juga disebut Dogmatika Hukum (rechtsdogmatiek). Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menekankan pada analisis bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, putusan hakim, buku-buku terkait, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan topik yang diangkat terkait dengan kekaburan norma yang terjadi berkaitan dengan hukum pasar modal khususnya dalam manipulasi pasar. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Appproach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical Conseptual Approach). Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami mengenai sumber dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.
-
3. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1 Perubahan Ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
-
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UUJN Nomor 30 Tahun 2004, maka ketentuan yang telah diatur di dalamnya sudah berlaku dan mengikat bagi para Notaris. Undang-Undang Jabatan Notaris yang sudah berumur kurang lebih 7 tahun merupakan penggantian dari Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.7 Dalam kurun waktu tersebut, pelaksanaan beberapa ketentuan dalam UUJN tidak dapat diimplementasikan dengan baik, seperti persoalan kewenangan pembuatan akta berkenaan dengan pertanahan, kewenangan dalam pembuatan risalah lelang, relevansi Notaris pengganti khusus, pengambilan minuta akta Notaris dalam proses penyidikan, kewenangan pengawasan oleh majelis pengawas terhadap Notaris, kelembagaan majelis pengawas, persoalan magang bagi calon Notaris, isu rangkap jabatan terselubung pada Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara, serta harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan seperti peraturan tentang penggunaan bahasa dalam dokumen resmi. 8 Perubahan UUJN tersebut dimaksudkan untuk lebih menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi, dan kewenangan Notaris sebagai pejabat yang menjalankan pelayanan publik sehingga lebih menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Selain itu, perubahan UUJN dimaksudkan agar ada sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan sehingga tugas, fungsi, dan kewenangan Notaris dapat dilaksanakan dengan baik. Adapun berikut Tabel Undang-Undang Jabatan Notaris Beserta Perubahannya dalam Satu Naskah.
Tabel 1.
Undang-Undang Jabatan Notaris Beserta Perubahannya dalam Satu Naskah
UU No. 30 Tahun 2004 |
UU No. 2 Tahun 2014 |
BAB I Ketentuan Umum |
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2,angka 5, angka 6, angka 7, angka 8, angka 9, angka 10, angka 12, angka 13, dan angka 14 diubah, serta angka 4 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 |
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: |
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Notaris adalah pejabat umum yang |
sementara.
|
berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
|
menurut ketentuan Undang-Undang ini tidak boleh membuat akta dimaksud. 5. Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum. 6. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.
kekuatan eksekutorial.
penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada suatu wilayah jabatan Notaris.
|
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.
dibutuhkan pada suatu Kabupaten/Kota.
peraturan perundang-undangan.
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
BAB II PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN NOTARIS Bagian Pertama Pengangkatan |
2. Ketentuan Pasal 3 huruf d dan huruf f diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: |
Pasal 3 Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: |
Pasal 3 Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: |
nyatanyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan dan g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. |
nyatanyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Pasal 7 Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib: |
Pasal 7 (1)Dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib: |
sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan
|
|
cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan, Organisasi Notaris, ketua pengadilan negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta bupati atau walikota di tempat Notaris diangkat. |
c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap atau stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat. (2)Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa
|
Pasal 9 (1)Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena: |
huruf, yakni huruf e sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 |
2)Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang. (3)Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat. (4)Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan. |
(1)Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
(4)Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan. |
Pasal 11 (1)Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti. (2)Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara. (3)Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjuk Notaris Pengganti. (4) Apabila Notaris tidak menunjuk Notaris Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Majelis Pengawas Daerah menunjuk Notaris lain untuk menerima Protokol Notaris yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara. (5)Notaris yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemegang sementara Protokol Notaris. (6) Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali kepadanya. BAB III KEWENANGAN, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN Bagian Pertama Kewenangan Pasal 15 (1)Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau |
Pasal 11 (1)Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti. (2)Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara. (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15 (1)Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan |
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2)Notaris berwenang pula:
-
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
-
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
-
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
-
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
-
g. membuat akta risalah lelang.
(3)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Pertama
Kewajiban
Pasal 16
(1)Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
-
a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
-
b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
-
c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
-
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
-
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
-
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
-
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
-
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
-
g. membuat Akta risalah lelang.
(3)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
-
7. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1)Dalam menjalankan jabatannya,
Notaris wajib:
-
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum;
-
b. membuat Akta dalam bentuk
Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
-
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
-
e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
-
f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
-
g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
-
h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
-
i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
-
j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
-
k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
-
l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
-
m. menerima magang calon Notaris.
-
c. melekatkan surat dan dokumen
serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;
-
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
-
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
-
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
-
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
-
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
-
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
-
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
-
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
-
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
-
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
-
(2) Menyimpan Minuta Akta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
-
(3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:
-
a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
-
b. penawaran pembayaran tunai;
-
c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. akta kuasa;
-
e. keterangan kepemilikan; atau
-
f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
-
(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua".
-
(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
-
(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
-
(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca
sendiri, mengetahui, dan memahami
isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
-
(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
-
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n. menerima magang calon Notaris.
-
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.
-
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
-
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
-
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
-
d. Akta kuasa;
-
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
-
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
-
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA".
-
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
-
(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
-
(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca
sendiri, mengetahui, dan memahami
isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
-
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.
pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.
-
(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
-
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan Akta wasiat.
-
(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
-
a. peringatan tertulis;
-
b. pemberhentian sementara;
-
c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. (12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.
8. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
(1)Calon Notaris yang sedang melakukan magang wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.
(2)Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta.
Bagian Ketiga Larangan
Pasal 17
Notaris dilarang:
-
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
-
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
-
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
-
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
-
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
-
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
-
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
-
h. menjadi Notaris Pengganti; atau i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
9. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
-
(1) Notaris dilarang:
-
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
-
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
-
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
-
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
-
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
-
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
-
g. merangkap jabatan sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
-
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
-
i. melakukan pekerjaan lain yang
bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
-
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa:
-
a. peringatan tertulis;
-
b. pemberhentian sementara;
-
c. pemberhentian dengan hormat; atau
-
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN, FORMASI, DAN WILAYAH JABATAN NOTARIS
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 19
(1) Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya.
10.Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
-
(1) Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya.
-
(2) Tempat kedudukan Notaris sebagai
(2) Notaris tidak berwenang secara
Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib
teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya.
mengikuti tempat kedudukan Notaris.
-
(3) Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya.
-
(4) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenai sanksi berupa:
-
a. peringatan tertulis;
-
b. pemberhentian sementara;
-
c. pemberhentian dengan hormat; atau
-
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
Bagian Kedua
Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris
Pasal 33
(1)Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris adalah warga negara Indonesia yang berijazah sarjana hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut.
(2) Ketentuan yang berlaku bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, kecuali Undang- Undang ini menentukan lain.
Pasal 34
(1)Apabila dalam satu wilayah jabatan hanya terdapat 1 (satu) Notaris, Majelis Pengawas Daerah dapat menunjuk
Notaris Pengganti Khusus yang
berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan pribadi Notaris tersebut atau keluarganya.
(2)Penunjukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disertai dengan serah terima Protokol Notaris.
-
14 .Judul Bagian Kedua BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris
-
15 .Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1)Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris adalah warga negara Indonesia yang berijazah sarjana hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut.
(2)Ketentuan yang berlaku bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, kecuali Undang-Undang ini menentukan lain.
-
16 .Pasal 34 dihapus
(3)Notaris Pengganti Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diambil sumpah/janji jabatan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 35
(1)Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda dua wajib memberitahukan kepada Majelis
Pengawas Daerah.
(2)Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(3)Apabila Notaris meninggal dunia pada saat menjalankan cuti, tugas jabatan Notaris dijalankan oleh Notaris
Pengganti sebagai Pejabat Sementara Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris
meninggal dunia.
(4)Pejabat Sementara Notaris
menyerahkan Protokol Notaris dari
Notaris yang meninggal dunia kepada Majelis Pengawas Daerah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia.
(5)Pejabat Sementara Notaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat membuat akta atas namanya sendiri dan mempunyai
Protokol Notaris.
Pasal 44
(1)Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2)Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta.
17.Ketentuan ayat (1) Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1)Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda sampai derajat kedua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.
(2)Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(3)Apabila Notaris meninggal dunia pada saat menjalankan cuti, tugas jabatan Notaris dijalankan oleh Notaris
Pengganti sebagai Pejabat Sementara Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris
meninggal dunia.
(4) Pejabat Sementara Notaris
menyerahkan Protokol Notaris dari Notaris yang meninggal dunia kepada Majelis Pengawas Daerah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia.
(5)Pejabat Sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat membuat Akta atas namanya sendiri dan mempunyai Protokol Notaris.
24.Ketentuan ayat (2) dan ayat (4)
Pasal 44 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga
Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
(1)Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2)Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.
(3)Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi, dan
penerjemah resmi.
(4)Pembacaan, penerjemahan atau
penjelasan, dan penandatanganan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.
(3)Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi, dan
penerjemah resmi.
(4)Pembacaan, penerjemahan atau
penjelasan, dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta dalam Pasal 43 ayat (3) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.
(5)Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
mengakibatkan suatu Akta hanya
mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
BAB VIII
PENGAMBILAN MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS
Pasal 66
(1)Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
-
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
-
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2)Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana
-
34 .Judul Bab VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VIII
PENGAMBILAN FOTOKOPI
MINUTA AKTA DAN
PEMANGGILAN NOTARIS
-
35 .Ketentuan ayat (1) Pasal 66 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66
(1)Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:
-
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
-
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2)Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
(3)Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.
(4)Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
36.Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 66A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66A
(1)Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris.
(2)Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur: a. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
-
b. Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
-
c. ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian,
struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX
PENGAWASAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 67
-
(1) Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.
-
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.
-
(3) Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:
37.Ketentuan ayat (3) dan ayat (6) Pasal 67 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67
(1)Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.
(2)Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.
-
a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
-
b. organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
-
c. ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
(4)Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.
(5)Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.
(6)Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat
Sementara Notaris.
(3)Majelis Pengawas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:
-
a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
-
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
-
c. ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
(4)Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.
(5)Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.
(6)Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti dan
Bagian Kedua
Majelis Pengawas Daerah
Pejabat Sementara Notaris.
38.Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 69 diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu)
Pasal 69
(1)Majelis Pengawas Daerah dibentuk di kabupaten atau kota.
(2)Keanggotaan Majelis Pengawas
Daerah terdiri atas unsur-unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(3)Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
(5)Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Daerah.
ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
(1)Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota.
(2)Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(2a) Dalam hal di suatu Kabupaten/Kota, jumlah Notaris tidak sebanding dengan jumlah anggota Majelis Pengawas
Daerah, dapat dibentuk Majelis
Pengawas Daerah gabungan untuk beberapa Kabupaten/Kota.
(3)Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
(5)Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh
Pasal 73
(1)Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Daerah.
-
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang
disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
-
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
-
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
-
d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
-
e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
-
f. mengusulkan pemberian sanksi
terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa:
Pasal 73
(1)Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
-
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah;
-
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
-
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
-
d. memeriksa dan memutus atas
keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
-
e. memberikan sanksi baik peringatan
-
1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
-
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
g. membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada huruf
e dan huruf f.
(2)Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final.
(3)Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara.
lisan maupun peringatan tertulis;
-
f. mengusulkan pemberian sanksi
terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa:
-
1) pemberhentian pemberhentian
sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
-
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
-
g. dihapus.
(2)Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final.
(3)Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan tata kerja, serta tata cara pemeriksaan Majelis Pengawas diatur dengan Peraturan Menteri.
acara.
40.Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan tata
kerja, anggaran serta tata cara
pemeriksaan Majelis Pengawas diatur dengan Peraturan Menteri.
-
3.2 Urgensi Rekonstruksi Hukum Pelekatan Sidik Jari Dalam Minuta Akta Bagi Penyandang Tuna Daksa
Perubahan dari UUJN lama menjadi UUJN baru menimbulkan multitafsir dikalangan notaris, khususnya pada Pasal 16 ayat (1) huruf c bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib “melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta”. Sidik jari dalam akta notaris pada dasarnya bukanlah hal baru dalam akta notaris. Sidik jari sebelum diundangkannya undang-undang ini digunakan sebagai pengganti tanda tangan dan/atau paraf bagi pihak (penghadap) dalam akta notaris jika tidak dapat membaca/menulis, sedangkan pasca diberlakukannya undang-undang yang baru sidik jari merupakan sebuah kewajiban.9 UUJN tidak menyebutkan secara jelas mengenai sidik jari, sidik jari yang mana (jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis, atau kelingking). Mengenai sidik jari tersebut banyak pendapat, ada yang berpendapat 10 (sepuluh) jari tangan, ada yang 5 (lima) jari tangan, jari tangan yang kanan ataukah kiri, ada yang berpendapat cap ibu jari saja.10 Terkait dengan penggunaan sidik jari perlu adanya kajian tersendiri terkait penghadap yang tidak memiliki alat gerak yakni tangan atau yang lebih dikenal dengan istilah Tuna Daksa. Dalam UUJN tidak menjelaskan secara rinci perihal pasal 16 ayat 1 huruf c ini, dalam bagian penjelasan hanya dijelaskan bahwa pasal tersebut “cukup jelas” saja. Berdasarkan risalah sidang resmi dalam rapat paripurna DPR RI Tahun 2013-2014 rapat ke-13 menegaskan bahwa dalam perumusannya, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mencakup pasal 16 ayat (1) huruf c telah disetujui bersama, namun tidak dijelaskan makna dan tujuan dari penambahan ketentuan ini.
Pemerintah dalam tanggapan atas Pasal 16 ayat (1) huruf c, dituangkan dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) mengemukakan alasan dimasukkannya pasal tersebut adalah “untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai kebenaran identitas penghadap karena sidik jari tidak dapat dipalsukan. Kebutuhan akan jaminan kepastian hukum, kebenaran identitas penghadap sangat diperlukan dalam menghadapi masalah-masalah kepalsuan identitas dalam praktik notaris yaitu: orang yang menghadap notaris, memberikan keterangan dihadapan notaris, kemudian notaris menuangkan keterangan tersebut dalam akta notaris dan selanjutnya pembacaan akta dilakukan oleh notaris kepada penghadap dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dan penandatangan akta oleh penghadap dilakukan di hadapan saksi dan notaris. 11 Jika melihat dari naskah akademik rancangan perubahan UUJN ini point terkait kewajiban melekatkan sidik jari tidak masuk dalam point-point yang mengalami perubahan dan UUJN. Adapun pointpoint yang ada perubahan dalam UUJN terbaru yakni: keberadaan Notaris Pengganti
Khusus; magang calon Notaris; usia pensiun Notaris dan kaitannya dengan perpanjangan usia pensiun; kewenangan Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; kewenangan Notaris dalam membuat akta risalah lelang; Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara; dan Pelaksanaan pengawasan jabatan Notaris. Sehingga jika melihat point-point perubahan yang ada hal tersebut tidak sinkron dengan tujuan adanya perubahan UUJN tersebut yakni memberikan kepastian hukum.
Mengacu pada landasan filosofis, yuridis dan sosiologis dari perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris yang tercantum dalam Naskah Akademilk maka dijelaskan beberapa hal yang menjadi dasar perubahan berdasarkan landasan-landasan tersebut. Terkait dengan landasan filosfis dari perubahan UUJN ini adalah Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu konsekuensi logis dari pernyataan tersebut adalah bahwa Negara menjamin kepastian dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan terwujud dalam masyarakat.
Jaminan kepastian dan perlindungan hukum mensyaratkan bukti yang bersifat otentik sebagai bentuk konkret perbuatan, peristiwa, maupun hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat. 12 Bukti otentik yang memiliki kekuatan pembuktian terkuat dan terpenuh. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan akta Notaris, termasuk tetapi tidak terbatas syarat pengangkatan Notaris, pembuatan akta, hal-hal yang dapat mengurangi kekuatan pembuktian akta Notaris maupun Majelis Pengawas Notaris selaku pihak yang berwenang mengawasi para Notaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris perlu disinkronisasi dan disempurnakan. 13 Maksud dari jaminan kepastian perlindungan hukum disini ialah ditujukan kepada siapapun tanpa memandang perbedaan baik dari segi kondisi fisik, perbedaan suku, agama, budaya, dan lain-lain. Notaris yang memiliki penghadap yang dalam kondisi keterbatasan fisik pun harus tetap diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Walaupun dalam kondisi fisik yang terbatas atau kekurangan, penghadap yang memiliki kekurangan tersebut harus tetap mendapat aksesibilitas dalam kehidupannya, termasuk dalam melakukan perbuatan hukum di hadapan notaris. 14
Pengertian aksesibilitas menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 1 angka 8 menyatakan bahwa “Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan” Lebih lanjut lagi di atur di dalam pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa “penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat”. Aksesbilitas yang lebih detail dimaksudkan disini adalah aksesibilitas non fisik. Aksesibilitas non fisik berupa pelayanan informasi
dan pelayanan umum.15 Pelayanan notaris disini termasuk ke dalam pelayanan umum. Pelayanan umum yang dimaksud adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan penghadap yang disabilitas di notaris.
Landasan lain yang dapat ditelaah lebih dalam terkait landasan perubahan UUJN ini ialah landasan yuridis. Landasan yuridis dari perubahan UUJN ini ialah pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan penggantian Staatsblad 18603 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Kurang lebih selama 7 (tujuh) tahun usia Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, jika melihat dalam pelaksanaannya menimbulkan beberapa persoalan di masyarakat baik secara yuridis maupun sosiologis, antara lain sebagai berikut: Pengaturan mengenai akta otentik pejabat yang membuatnya. Pengaturan tersebut tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tetapi juga diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya; Perbedaan penetapan usia dewasa yang mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat; Ketentuan mengenai usia pensiun Notaris yang dapat diperpanjang yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum; Ketentuan mengenai Notaris Pengganti apabila Notaris cuti karena diangkat sebagai pejabat Negara.
Berdasarkan uraian di atas, maka perubahan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjadi sebuah keharusan untuk diadakannya sinkronisasi agar dapat menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi, serta kewenangan dari Notaris demi menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan notaris itu sendiri, mengingat Notaris merupakan pejabat umum yang menjalankan sebagian fungsi Negara di bidang hukum perdata. Jika melihat dari landasar yuridis yang tercantum di naskah akademik ini maka landasan utama adanya perubahan demi menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakan dan notaris itu sendiri. Bagi masyarakat sendiri khususnya bagi masyrakat yang memiliki kekurangan dalam hal ini kekurangan atau keterbatasan anggota tubuh yaitu alat gerak atau dalam hal lain disebut sebagai tuna daksa, maka dalam hal perlindungan dan kepastian hukum bagi penyandang tuna daksa khususnya tuna daksa diatur dalam Undang-Undang Disabilitas.16
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan dan kepastian hukum bagi penyandang disabilitas yakni: Pasal 5 ayat 1 huruf d, “penyandang disabilitas memiliki hak keadilan dan perlindungan hukum”; Pasal 8, “Hak privasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. diakui sebagai manusia pribadi yang dapat menuntut dan memperoleh perlakuan serta Pelindungan yang sama sesuai dengan martabat manusia di depan umum;”; Pasal 9, “Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. atas perlakuan yang sama di hadapan hukum; b. diakui sebagai subjek hukum;”
Seperti yang sudah dipaparkan di paragraph sebelumnya, bahwa dalam perubahan UUJN selain landasan filosofis dan yuridis, juga terdapat landasan sosiologis dari adanya perubahan UUJN ini. Kurang lebih sela 7 (tujuh) tahun adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ternyata dalam pelaksanaannya di masyarakat
masih mengundang polemic atau hal yang tidak sesuai dengan implementasinya di masyarakat. Jika dilihat dari sejarahnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan penggantian Reglement op Het Notarisch Ambt Staatsblad 1860 No. 3 yang usianya lebih dari 140 (seratus empat puluh) pada saat dinyatakaan tidak berlaku lagi.
Permasalahan yang terjadi dalam implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris di masyarakat, sebagaimana terurai di atas perlu diberikan solusi dan penegasan sehingga dalam pelaksanaanya tidak ada lagi multi tafsir dalam pelaksanaannya di masyarakat. Oleh karena itu, revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjadi suatu hal yang penting yang diharapkan dapat menuntaskan polemic atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat ataupun dengan pihak maupun instansi yang terkait dengan jabatan Notaris ketika dalam pelaksanaannya tersebut.
Melihat apa yang diuraikan dalam landasan sosiologis tersebut diatas, perlu diperhatikan bahwa dalam 7(tujuh) hal tersebut tidak menguraikan atau menyinggung terkait dengan kewajiban notaris dalam melekatkan sidik jari penghadap dalam minuta akta sebagimana yang diatur dalam pasal 16 ayat 1 huruf ( c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ini. Jika melihat perbandingan pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 pada pasal 44 ayat (1) dimana jika penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka notaris menyebutkan alasannya pada akhir akta yang lebih lanjut dikenal dengan istilah surrogate akta. Pasal 44 ayat (1) ini dalam Undang-Undang perubahan yang baru yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tidak mengalami perubahan sama sekali. Sehingga dalam pelaksanaannya terjadi multitafsir yakni dimana pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ini hanya menjelaskan bahawa jika penghadap tidak memubuhkan tanda tangan maka notaris wajib meyertakan alasan yang jelas dalam akhir akta saja, sehingga dalam pelaksanaan Pasal 16 ayat (1) Huruf ( c ) ini dalam pelaksanaannya jika penghadap tidak dapat membubuhkan sidik jari khususnya penghadapa yang mengalami keterbatasan fisik yakni tuna daksa maka, belum ada solusi yang pasti terkait hal ini, Pasal 44 ayat (1) ini belum dapat menjadi solusi karena penjelasan dalam pasal 44 ayat (1) hanya menyebutkan jika tidak dapat membubuhkan tanda tangan saja. Terkait tanda tangan apakah dapat disamakan maknanya dengan sidik jari hal ini belum ada keterangan lebih lanjut. Sama seperti dalam penjelasan pasal 16 ayat 1 huruf ( c) dalam UUJN perubahan hanya diberi keterangan “cukup jelas” saja.
Pada setiap peraturan perundang-undangan diharapkan dalam pelaksanaannya menjamin hak dari penyandang disabilitas untuk dapat menjalankan pula isi dari peraturan tersebut yang diundangkan. Sehingga harapan yang sama pula, hal itu terjadi dalam UUJN perubahan ini agar penyandang disabilitas pun dapat melaksanakan aturan yang ada, khusunya dalam pelaksanaan Pasal 16 ayat 1 huruf ( c) ini. Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) ini membuat terjadinya unifikasi hukum dalam pengaturan Notaris di Indonesia.UUJN merupakan hukum tertulis sebagai alat ukur bagi keabsahan Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Dengan adanya Undang-Undang Jabatan Notaris diharapkan dapat membuat perubahan dan dampak yang baik dalam sistem kenotariatan di Indonesia. Adanya perubahan undang-undang jabatan notaris dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 diharapkan memiliki perubahan yang baik dengan merubah beberapa isi dari setiap pasal yang kurang relevan dengan kondisi di dalam masyarakat.
Berdasarkan pemaparan diatas dari hasil perubahan-perubahan pasal yang ada, isi dari pasal 16 ayat 1 huruf ( c ) perlu di rekonstruksi dikarenakan kurang menjamin kepastian hukum bagi masyarakat khususnya penyandang disabilitas yang dimana penyandang disibilitas khususnya tuna daksa memiliki porsi hak yang sama yakni sama kedudukan di hadapan hukum dan jika melihat dari landasan-landasan perubahan UUJN ini terdapat hal yang tidak relevan antara isi dari landasan dan 7 hal yang menjadi konsentrasi perubahan dengan apa yang diubah dalam pasal 16 tersebut khusunya pada ayat 1 huruf ( c) itu. Selain itu penyandang tuna daksa juga merupakan mahluk social yang juga berhak untuk bersosialisasi dengan baik dan mendapatkan akses kemudahan dalam segala aspek kehidupan seperti pelayanan umum. Tujuan dari perlunya rekonstruksi hukum ini adalah agar mencapai kepastian hukum dari pelaksanaan isi pasal 16 ayat 1 huruf ( c ). Dengan di rekonstruksi isi dari pasal ini maka dalam pelasanaannya dapat dijalankan dengan baik oleh notaris yang diwajibkan melekatkan sidik penghadap nya, khususnya bagi penghadap di notaris yang memiliki keterbatasan fisik yakni tuna daksa
4. Kesimpulan
Terdapat beberapa perubahan dalam UUJN, Adapun point-point yang ada perubahan dalam UUJN terbaru yakni: keberadaan Notaris Pengganti Khusus; magang calon Notaris; usia pensiun Notaris dan kaitannya dengan perpanjangan usia pensiun; kewenangan Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; kewenangan Notaris dalam membuat akta risalah lelang; Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara; dan Pelaksanaan pengawasan jabatan Notaris. Urgensi diperlukannya rekonstruksi hukum ini adalah agar mencapai kepastian hukum dari pelaksanaan isi pasal 16 ayat 1 huruf ( c ). Dengan di rekonstruksi isi dari pasal ini maka dalam pelasanaannya dapat dijalankan dengan baik oleh notaris yang diwajibkan melekatkan sidik penghadap nya, khususnya bagi penghadap di notaris yang memiliki keterbatasan fisik yakni tuna daksa.
Daftar Pustaka
Aini, Nur, and Yoan Nursari Simanjuntak. "Tanggung Jawab Notaris Atas Keterangan Palsu Yang Disampaikan Penghadap Dalam Akta Pendirian Perseroan." Jurnal Komunikasi Hukum 5, no. 2 (2019): 105-116.
Asmara, Diah Kumala. "Analisa Yuridis atas Hak Kepemilikan Tanah yang Dibeli Sebelum Dibuatnya Perjanjian Kawin (Postnuptial Agreement) pada Perkawinan." PhD diss., Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia), 2022.
CAHYANI, WULANDARI. "PERAN KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) DALAM MENYEDIAKAN AKSES HAK PILIH PENYANDANG DISABILITAS (Studi pada Pilkada Tahun 2020 Kota Bandar Lampung)." PhD diss., UIN Raden Intan Lampung, 2023.
Estiani, Estiani. "Tinjauan Yuridis Terhadap Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Akta Cacat Hukum." Notarius 12, no. 2 (2019): 811-823.
Jayanati, Ratih Tri. "Perlindungan Hukum Notaris Dalam Kaitannya Dengan Akta Yng Dibuatnya Manakala Ada Sengketa Di Pengadilan Negeri (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak No. 72/pdtg/pn. Pontioanak)." PhD diss., UNIVERSITAS DIPONEGORO, 2010.
Larashati, Gusti Ayu Mahadewi. "Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Keabsahan Akta Autentik Yang Menggunakan Surrogate." MORALITY: Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 1 (2023): 84-93.
Mayasari, Lutfiana. "Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemisahan Harta dalam Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015." PhD diss., IAIN Ponorogo, 2020.
Novelin, Tania, and I. Made Sarjana. "Peran Notaris Dalam Penentuan Pembubuhan Sidik Jari Penghadap Dalam Minuta Akta." Acta Comitas 6, no. 02 (2021).
Putri, Kerina Maulidya, Ichsan Anwary, and Diana Haiti. "Kewajiban Notaris melakukan Pembacaan dan Penandatanganan Akta di Depan Semua Pihak secara Bersama-Sama." Notary Law Journal 1, no. 2 (2022): 157-175.
Ramadhani, Rahmat. "Pendaftaran tanah sebagai langkah untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak atas tanah." SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 2, no. 1 (2021): 31-40.
Seta, Salahudin Tunjung. "Hak Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 2 (2020): 154-166.
Sugiono, Sugiono, Ilhamuddin Ihamuddin, and Arief Rahmawan. "Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance." Indonesian Journal of Disability Studies 1, no. 1 (2014): 20-26.
Utami, Ezza Oktavia, Santoso Tri Raharjo, and Nurliana Cipta Apsari. "Aksesibilitas Penyandang Tunadaksa." Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 5, no. 1 (2018): 83-101.
Wiryantari, Wulan. "Dewi dan Ibrahim R. 2020, “Kekuatan Hukum Pelekatan Sidik Jari Penghadap Oleh Notaris Pada Minuta Akta.”." Acta Comitas 5,
Yanuarita, Heylen Amildha. "Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Oleh Dinas Sosial Kota Kediri." JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) 5, no. 4 (2021).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas Terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, Dan Perlindungan Dari Bencana Bagi Penyandang Disabilitas
658
Discussion and feedback