RELEVANSI MATERI DAN METODE DALAM PROSES PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN PADA TINGKAT PENDIDIKAN TINGGI
on
26 Matrik : Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis dan Kewirausahaan Vol. 11, No. 1, Februari 2017
RELEVANSI MATERI DAN METODE DALAM PROSES PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN PADA TINGKAT PENDIDIKAN TINGGI
Sulastri(1)
Zakaria Wahab(2)
Vieronica Varbi Sununianti(3)
(1),(2)Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (3)Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Sriwijaya email: [email protected]
ABSTRAK
Program kewirausahaan telah menjadi kebijakan nasional sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah pengangguran. Implikasinya, kewirausahaan telah menjadi kurikulum nasional di hampir disetiap program studi dan telah memasukkan mata kewirausahaan untuk mencapai tujuan learning ooutcome dari profil lulusan. Disamping itu materi kewirausaahan yang akan ditransformasi dalam proses pembelajaran sangat kompleks dan melibatkan beberapa disiplin ilmu, sehingga penting untuk diteliti bagaimana Relevansi Materi dan Metode Pembelajaran Kewirausahaan Pada Tingkat Pendidikan Tinggi. Penelitian dilakukan terhadap beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta dengan 304 sampel mahasiswa dari beberapa program studi baik untuk bidang eksakta maupun sosial yang menyelenggarakan mata kuliah kewirausahaan. Dari hasil penelitian disimpulkan terdapat perbedaan beberapa materi ajar dan metode belajar dalam fakultas yang sama maupun antar fakultas pada beberapa universitas. Demikian juga dalam pembelajaran tentang keinovasian, kreatif, proaktif dan risk taking) menunjukkan belum diantarkan dengan metode belajar yang relevan, sebagaimana model-model pembelajaran berbasis murid.
Kata kunci: materi ajar, metode belajar, konstruk kewirausahaan
ABSTRACT
Entrepreneurship program has been a national policy as one of the solutions to eliminate unemployment. This gives an implication to entrepreneurship as a national curriculum in every study program and includes it to achieve the learning outcome from the department profile. However, the study materials of entrepreneurship that are being used in teaching and learning process is very complex and involving other disciplines. Therefore, it is important to examine materials relevance and learning method of entrepreneurship in higher education level (universities).The study is conducted in public and private universities with 304 students, from various disciplines, as study sample. The disciplines selected are those that have entrepreneurship in their curriculum. The results show that there are differences in teaching and learning materials in the same faculties or different faculties in some universities. Similarly, on the topics of innovation, creativity, proactive and risk taking, it shows that these topics have not delivered through relevant learning method as proposed by student-based learning models.
Keywords: teaching materials, methods of learning, entrepreneurship
PENDAHULUAN
Topik kewirausahaan merupakan isu yang menarik untuk dikaji saat ini, khususnya di dunia pendidikan tinggi. Orientasi pendidikan yang bermula dari berbasis pengajaran menuju berbasis riset dan saat ini beberapa perguruan tinggi telah mengembangkan orientasi pendidikan berbasis entrepreneurial. Beberapa perguruan tinggi membanguan usaha baru dengan cara memfasilitasi hasil-hasil penelitian untuk dikomersialisasikan melalui program inkubasi maupun unit pengelola usaha. Pemerintah memberi dukungan terhadap program ekstra kurikuler mahasiswa melaui program
kewirausahaan mahasiswa, program mahasiswa wirausaha, program bina desa kewirausahaan dan lainnya. Namun kinerja kewirausahaan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Pada tahun 2016, Indeks kewirausahaan global di Indonesia menempati ranking terendah setelah negara Philipina (GEDI Index, Acs, Zoltan 2016). Sementara Biro Pusat Statistik mencatat bahwa angka pertumbuhan wirausaha tidak sebanding dengan angka pengurangan pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka awal tahun 2016 mencapai 7,02 juta, yang berasal dari tingkat pengangguran tertinggi berasal dari lulusan
Sekolah Menengah dan Kejuruan sekitar 9,84 persen, tingkat pengangguran yang berasal dari pendidikan tinggi (Diploma dan Sarjana) sekitar 6,22 persen dari jumlah penduduka usia kerja. Sementara jumlah wirausaha berdasarkan hasil sensus ekonomi 2006 sebanyak 22,7 juta wirausahawan non pertanian, dan pada tahun 2016 tercatat sebanyak 26,7 juta wairausahaan, berarti rata-rata tumbuh pertahun sekitar 1,4 persen dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016. Data Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat untuk periode 2014 jumlah wirausaha Indonesia sebanyak 1,65 persen dari total jumlah penduduk. Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan kewirausahaan merupakan hal yang penting untuk percepatan solusi tingat pengangguran pada level pendidikan tinggi. Pertanyaannya adalah apakah proses pembelajaran telah mampu memberi kontribusi terhadap penciptaan start-up business.
Pembelajaran kewirausahaan hampir ditawarkan di seluruh program studi di tingkat pendidikan tinggi.Berdasarkan keterbatasan sumberdaya tenaga pengajar, keterbatasan sarana belajar, serta ketidak tepatan metode ajar, berdampak pada tidak efektifnya capaian pembelajaran untuk membangun start-up business. Sejalan dengan Albornoz, C. A. (2011),menyatakan pendidikan kewirausahaan dalam pendidikan tinggi sudah dikembangkan 20 Tahun terakhir, namun untuk mengembangkan keterampilan entrepreneurial diantara murid, keskolaran memerlukan pendekatan yang berbeda, dan belum jelas hubungan antara pendidikan kewirausahaan, learning outcome dan penciptaan bisnis. Selain learning outcome yang masih belum jelas, juga terdapat inkonsistensi dalam proses pembelajaran kewirausahaan, misalnya Siok, S. T., & Ng, C. K. F. (2006), menyatakan masih terdapat masalah untuk menstimulasi situasi entrepreneurial dalam lingkungan kelas, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan apresiasi dan kapasitas kewirausahaan murid. Ketidak tersediaan dan ketidak siapan pengajar dalam pembelajaran kewirausahaan memiliki potensi tidak tercapainya learning outcome.Sejalan dengan apa yang dikatakan Witkin. H.A., et al. (1977), menunjukkan kebanyakan sekolah tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk menyesuaikan konsistensi kurikulum dengan learning outcome yang ingin dicapai. Ketidakseragaman impelementasi kurikulum, masalah utama adalah ketidak siapan pengajar untuk mengimpelementasikan pendidikan entrepreneurship (Seikkula-Leino, J. 2008), beberapa peneliti juga menjelaskan bahwa kesulitan dalam pembelajaran kewirausahaan adalah bagaimana
menghubungkan antara sikap dan pengembangan ketrampilan dalam kurikulum entrepreneurship pada level pendidikan tinggi, terutama jika akan mengimplementasikan ketrampilan kewirausahaan pada ilmu sosial (Oluniyi, O., and Obembe, O. B. 2012). Untuk ini penting dikembangkan strategi dan metode belajar dan inovasi kurikulum kewirausahaan sebagaimana juga dinyatakan (Dugassa, T. G.,2012), dan hal ini akan berdampak pada perlunya pengembangan metode pengajaran dan evaluasi belajar terhadap konteks pendidikan entrepreneurship, sehingga model-model pembelajaran dan penilaian pembelajaran juga semakin penting untuk dikembangkan.
Isu-isu terhadap konten materi juga mendapat perhatian pada pembelajaran kewirausahaan, satu hal yang merupakan isu fundamental dalam kewirausahaan adalah tidak hanya melihat bagaimana memunculkan produk/jasa yang belum ada, akan tetapi bagaimana menguji hubungan antara model pembelajaran individual, gaya kognitif, human capital dan kemampuan untuk menghasilkan dan mengembangkan peluang bisnis baru dalam lingkungan teknologi tinggi (Corbett, A. C., 2002). Demikian pula dalam pembelajaran kewirausahaan yang memiliki learning outcome dengan cara konstruksi kognitif, sebagaimana dikemukakan Laukkanen (2003) dalam tulisannya bahwa metaphora kewirausahaan lebih pada penekanan mental modeldibandingkan business model.
Proses akademik metode dan strategi belajar menjadi sangat penting, tatkala mengantarkan muatan pembelajaran secara kognitif dengan capaian belajar perubahan psikomorik dan afektif. Ranah kognitif sebagaimana dalam Taksonomi Bloom yang disusun oleh Benyamin S.Bloom pada tahun 1965 (Krathwohl 2002) yang berisi tentang proses intelektual, dan keterampilan berpikir. Leach, E. (2007) menunjukkan bahwa taksonomi Bloom dapat digunakan untuk mengembangkan pedoman dalam pengajaran, pembelajaran dan penilaian keterampilan entrepreneurial. Konstruk kewirausahaan yang dijelaskan dalam konstruksi kognitif dengan metode Bloom belum dinyatakan secara holistik, bagaimana konsep inovasi, kreatif, proaktif dan risk takingdapat memunculkan peluang idea, sehingga pendekatannya masih bersifat perspektif dibandingkan aplikatif (Leach, E. 2007). Metode-metode belajarpun cukup beragam, Huebscher, J., and Lendner, C. (2010) menyatakan dalam pendidikan kewirausahaan tidak hanya berisi konten pengetahuan, tetapi juga pengujian terhadap metode pembelajaran spesifik yang dapat dicapai melalui permainan simulasi sebagai metode belajar konstruktif.
Kesimpulan bahwa masih terjadi permasalahan terhadap efektifitas pembelajaran kewirausaahan, dalam transformasi pengetahuan dengan keragaman konstruk multi disiplin sebagai proses mental model dan business model untuk menuju learning outcome. Terdapat ketidakkonsistenan antara materi pembelajaran dengan model-model pembelajaran yang relevan. Penelitian ini penting untuk mengkaji kembali secara empirik bagaimana relevansi materi dan metode dalam proses pembelajaran kewirausahaan pada tingkat pendidikan tinggi dalam lingkungan yang berbeda.
Metaphora adalah cara berpikir sebuah gambaran yang dipotret oleh pikiran dapat sebagai pedoman dan tindakan untuk menyempurnakannya. Metaphora dapat dipahami sebagai cara untuk mengekspresikan atau mengkonsepsualisasikan sesuatu yang abstrak, yang tidak terlihat, namun dapat dibuat sebagai sebuah ide yang lebih transparan dan mudah dipahami. Sebuah metaphora dalam eskpresi belajar biasanya dilakukan dalam bentuk gambar, atau analogi. Chen David D (2003) mengkalsifikasikan sistem metaphora untuk pengajaran yang dalam tulisannya “A Classification System For MetaphorsAbout Teaching. Antara lain Art-Orietnted Metaphors, Business-Oriented Methapors, Science-Oriented Methapors, Power Oriented Methapors dan Personal Dynamicsyang dapat diaplikasikan dalam proses belajar.
Lumpkin & Dess (1996) menyatakan bahwa entrepreneurship metaphors terdiri dari: autonomy, inovativness, creative, agresivness, and risk taking sebagai entrepreneurial orientation dan sebagai variabel moderating terhadap kinerja entrepreneur. (Timmons, J. A., and Spinelli.S., Jr. 2004), mendukung Schumpeter yang melibatkan elemen inovasi dan kreativitas sebagai konstruk kewirausahaan. Namun istilah “entrepreneurial” dengan elemen inovasi, kreativitas, proaktif dan risk/uncertainty masih merupakan suatu konstruk konsepsi “individual freedom” yang memerlukan suatu methaporsis sehingga memberi kontribusi dalam “body of empirical research” (Wiklund and Shepherd, 2005). Analisis metaphor memberikan suatu metode untuk menguji bagaimana individu dan kelompok mempersepsikan relialitas dalam pemahaman mereka. Analisis metaphor semakin banyak digunakan sebagai cara untuk menghasilkan mengekstraksi atau menganalisis arti dari berbagai aspek dalam organisasi (Pitt, M and Sims, D., 1998) Metaphor dapat menghasilkan penajaman kedalam “bagaimana melakukan sesuatu” (McCourt 1997),
dan metaphora menciptakan realitas, dan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan yang akan datang dan sebagai “reinforce experiential coheren”, (Koning, 2008), menyatakan metaphora sebagai bahasa kognitif. Metode pembelajaran entreprenurship bukan lebih terletak pada entrepreneurial contex akan tetapi bagaimana konteks pembelajaran dapat mendukung untuk menggambarkan informasi baru, yang melibatkan prosedur terhadap akses pengetahuan, bagaimana proses mengetahuinya, mengambilnya, mengembangkan informasi, dan menghubungkan dengan lingkungan. Sebagaimana (Higgins and C. Cocklin, 2012) mengkritik beberapa pembelajaran sekolah bisnis yang lebih pada orientasi transfer pengetahuan, dibandingkan dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dikonstruksi. Pada intinya pembelajaran entrepreneurship adalah proses konstruksi sosial, bagaimana mengakumulasi pengetahuan/informasi, memproses pengetahuan sehinggan menjadi intuitif dan menterjemahkannya kedalam visi untuk menghasilkan kreatifitas dan inovasi.Misalnya Weinrauch melakukan kajian eksplatori pengggunaan metaphor musik dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran yang diaplikasikan pada metaphor business dan marketing.
Kerangka konseptual yang dimulai dengan capaian pembelajaran, yang pada umumnya memuat tiga aspek yaitu (1) pengetahuan yang direfleksikan tentang apa yang penting untuk diketahui, sehingga capaian pembelajaran dapat dinyatakan dengan cara mampu: mengurutkan, memahami, mencontohkan, mendesripsikan, menganalisis, melakukan sintesis, dan memodelkan (2) keterampilan yang direfleksikan dengan apa yang dapat: dilakukan, dikerjakan, dicontohkan, dipraktekkan, memanipulasi, mengeliminir, dengan tingkat ketepatan, keakuratan, pengayaan yang tinggi, sehingga capaian pembelajaran dapat dinyatakan dengan mampu: mengaplikasikan, mencontohkan, membuat spesifikasi, memperagakan, dan mensimulasikan (3) Sikap yang direfleksikan dengan perilaku, kebiasaan, pola peran, pola pikir, yang merupakan proses kristalisasi yang direfleksikan dalam diri sebagai dampak interaksi pengetahuan, keterampilan dan faktor personal, sehingga sasaran belajar mampu menunjukkan perilaku, prestasi yang tinggi, disiplin, kerjasama, mandiri, tidak khawatir terhadap kegagalan, berani, kerja keras, berani memilih, otonomi yang tinggi.
Capaian pembelajaran sebagaimana disebutkan di atas dapat dimodifikasi menjadi knowing, acting dan being. Knowing dimaksudkan pengetahuan apa
yang penting diketahui dalam hubungannya dengan capaian pembelajaran untuk proses kewirausahaan. Dalam konteks penelitian ini disebut dengan Entrepreneurship Literacy, sebagai contoh pengetahuan yang penting dipahami antara lain (a) definisi dan terminologi kewirausahaan, sejarah kewirausahaan, indikator kinerja kewirausahan, pertumbuhan dan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, persepektif pentingnya kewirausahaan, fenomena kewirausahaan, teori dan model kewirausahaan.
Acting sebagai enterprenurial orientation, atau sebagai entrepreneur action, yang direfleksikan dengan keterampilan apa yang penting untuk dimiliki dalam melakukan proses bisnis, menghasilkan startup skill dan eksploitasi peluang. Misalnya dibutuhkan keterampilan communication skill, strategic thingking skill, leadership skill, managerial skill, networking skill.
Being yang merupakan proses kewirusahaan untuk menjadikan sebagai start-up business atau
wirausaha pemula. Proses ini merupakan interaksi antara pengetahuan, keterampilan dan unsur-unsur kepribadian. Proses ini merupakan stimulasi bagaimana karakteristik individual yang dimiliki dapat menentukan keputusan untuk memulai bisnis baru, atau sebagai variabel moderasi yang dibangun dari adanya end mind, need for achievement, goal orientation, evocator (penyemangat) dan lainnya.
Orientasi pembelajaran kewirausahaan dapat diajukan sebagai acuan untuk mendeskripsikan bagaimana interaksi materi pembelajaran yang relevan dengan capaian pembelajarannya dalam lingkungan akademik sebagai proses pembelajaran. Interaksi ketiga capaian pembelajaran pada aspek kognitif, psikomotorik dan afektif akan berdampak pada terbentuknya orientasi kewirausahaan sebagai metaphora yang direfleksikan dengan inovasi, kreatif, proaktif, risk taker dan eksploitasi peluang.
Gambar 1 sebagai model kerangka konseptual yang untuk pembelajaran mata kuliah kewirausahaan.
Gambar 1. Orientasi Metaphora Kewirausahaan dalam Proses Pembelajaran sebagai
Learning Outcome
Proses pembelajaran yang meiliputi aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam proses kewirausahaan, yang pada gilirannya akan memberi kontribusi pada pembangunan ekonomi melalui penciptaan peningkatan GEDI Index yang terdiri dari sub dimensi Aspiration, Activity dan Attitude Index sebagai kinerja kewirausahaan negara. Kerangka konseptual ini sebagai kerangka pemikiran yang juga dapat memberi kontribusi secara akademik, untuk melakukan penelitian secara komprehensif dalam bidang kewirausahaan yang berhubungan dengan proses pembelajaran.
Pada umumnya pada tingkat universitas memiliki fakultas yang secara mayor dapat diklasifikasikan atas fakultas eksakta dan non eksakta, dan fakultas non eksakta lebih banyak terlibat pada domain ilmu sosial ekonomi dan psikologi, sebaliknya dengan fakultas eksakta lebih pada muatan produk inovasi dan kreatifitas.Mata kuliah kewirausahaan proses integrasi ini sangat penting untuk efektifitas capaian pembelajaran. Penting untuk meneliti secara empirik bagaimana impelementasi proses pembelajaran kewirausahaan
di dunia akademik. Walaupun penelitian ini hanya pada tingkat universitas, namun telah memberi gambaran bagaimana terjadinya proses pembelajaran kewirausahaan pada level pendidikan tinggi.
Penting dilakukan penelitian empirik dilingkungan akademik untuk menguji apakah setiap program studi pada beberapa universitas melakukan hal yang sama atau berbeda dari sisi konten dan metode pembelajaran. Penting untuk memberi rekomendasi bahwa kurikulum kewirausahaan merupakan kurikulum mayor yang dapat dilaksanakan pada tingkat univerisitas sebagai mata kuliah yang termasuk dalam Mata Kuliah Dasar Utama yang diberikan untuk setiap prodi dengan kurikulum dan sasaran belajar yang relatif sama. Penelitian akan menempatkan bagaimana penerapan kurikulum kewirausahaan dalam proses pembelajaran pada program studi yang pada tingkat universitas. Secara spesifik penelitian ini akan menjelaskan apakah materi ajar kewirausahaan telah mampu merefleksikan capaian pembelajarannya. Selanjutnya kerangka penelitian empirik ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Penelitian Empirik
METODE PENELITIAN
Penelitian inidilakukan terhadap beberapa program studi yang menyelenggarakan mata kuliah kewirausahaan.Sampel mahasiswa yang mengambil mata kuliah kewirausahaan sebanyak 304 responden pada masing-masing fakultas di beberapa universitas disajikan pada Tabel 1. Cara pengumpulan data menggunakan instrumen kuesioner tertutup dengan
variabel utama konten materi kewirausahaan dan metode belajar. Teknik analisis data dengan menggunakan analisis deskriptif dan anova untuk menguji apakah terdapat perbedaan materi dan metode pembelajaran kewirausahaan. Uji Model Analyisis of Variance dilakukan dengan Uji Beetween Subject dan Within Subject dengan Test of Homogeneity of Variances.
Tabel 1. Jumlah Sampel Responden
Fakultas |
Jumlah |
Persentase |
Ekonomi |
87 |
28.6 |
Ilmu Sosial dan Politik |
24 |
7.9 |
Teknik |
50 | |
Pertanian |
54 |
34.2 |
Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam |
40 |
13.2 |
Kesehatan Masyarakat |
49 |
16.1 |
Total |
304 |
100 |
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Capaian pembelajaran (Learning Outcome)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kewirausahaan adalah sebuah metaphora, dengan berbagai konstruk laten yang dapat dipersepsikan dalam berbagai makna, sebagaimana juga ditunjukkan oleh Rocha and Birkenshaw (2007) dalam phenomenology of entrepreneurship bahwa untuk menjadi wirausaha dapat dibangun dari dunia pendidikan. Lingkungan akademik suatu pengetahuan akan ditranmisikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Tujuan pembelajaran direfleksikan dengan capaian pembelajaran. Capaian pembelajaran pada mata kuliah kewirausahaan telah dituliskan dalam Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS), oleh sebahagian besar program studi.Beberapa prodi tidak menjelaskan secara rinci
materi ajar, metode belajar dalam capaian pembelajaran. Capaian pembelajaran sebagai dampak dari pembelajaran, merupakan interaksi antara pengetahuan, keterampilan dan sikap. Misalnya setelah mengikuti pembelajaran kewirausahaan akan muncul daya inovatif, kreatif, proaktif dan berani mengambil risiko dan mampu mengeksploitasi peluang. Variabel yang disebutkan di atas sebagai faktor fundamental yang dibutuhkan sebagai wirausaha baru (Alvarezt & Barney, 2007;). Setelah dilakukan investigasi terhadap sejumlah RPKPS Prodi, secara mutually exclusive dapat dismpulkan tentang capaian pembelajaran, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga sasaran konstruksi yaitu (a) untuk mengetahui (knowing) (b) untuk melakukan (acting) (c) untuk menjadi (being), Secara rinci ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Capaian Pembelajaran Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi
Knowing
-
• Pentingnya ilmu
pengetahuan untuk
memulai dan
mengembangkan bisnis;
-
• Menyadari berubah dari budaya mencari kerja menjadi budaya
menciptakan lapangan kerja
-
• Berwawasan luas
-
• Mengetahui teknik untuk berwirausaha
Acting
-
• Mampu Berpikir kritis
-
• Mampu Berpikir Kreatif
-
• Mampu membaca
peluang usaha
-
• Mampu merancang
rencana bisnis
-
• Mampu menjalankan
usaha secara professional
Being
-
• Memiliki etos kerja
-
• Memiliki cita-cita yang tinggi
-
• Memiliki minat menjadi wirausaha
-
• Memiliki semangat berwirausaha
-
• Memiliki Jiwa bisnis
-
• Termotivasi untuk mendirikan usaha
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian
Hasil pengelompokkan capaian pembelajaran disandingkan dengan literasi kewirausahaan yang diusulkan peneliti (dari beberapa kajian literatur) sebagai model pendekatan konseptual. Penyandingan dilakukan dengan memberikan skor 1, jika terdapat kesesuaian antara pernyataan deskripsi yang dicantumkan pada capaian pembelajaran di RKPPS, dan nilai skor nilai 0 diberikan jika tidak terdapat
makna atau pernyataan yang sesuai dengan capaian pembelajaran di RKPPS. Hasilnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.
Hasil sandingan menyimpulkan bahwa pernyataan capaian pembelajaran lebih didominasi pada tujuan untuk pembentukan konstruk sikap, selanjutnya diikuti dengan pengetahuan dan keterampilan. Walaupun secara umum dalam
Tabel 3. Sandingan Konseptual dan Empirik pada Capaian pembelajaran
CAPAIAN PEMBELAJARAN
Conceptual Literacy Knowledge (Knowing) |
Score |
Empirical Research Knowledge |
Score |
Entrepreneurship Perspective |
1 |
Berwawasan luas |
1 |
Entrepreneurship Growth |
1 |
0 | |
Entrepreneurship Historical |
1 |
0 | |
Entrepreneurship Theory |
1 |
Pengetahuan Kewirausahaan |
1 |
Entrepreneurship Model |
1 |
0 | |
Bussiness Model |
1 |
0 | |
Opportunity Perception |
1 |
Pengenalan Peluang |
1 |
Sub Jumlah |
7 |
3 | |
Skill (Acting) |
Skill (Acting) | ||
Communication Skill |
1 |
0 | |
Leadership Skill |
1 |
0 | |
Networking Skill |
1 |
0 | |
Managerial Skill |
1 |
0 | |
Strategic Thinking Skill |
1 |
Berpikir kritis. Kreatif, Inovatif |
1 |
Start-up Skill |
1 |
Mendirikan usaha |
1 |
Sub Jumlah |
6 |
2 | |
Attitude (Being) |
Attitude (Being) | ||
End Mind |
1 |
Sebagai Job Creator |
1 |
Goal Setting |
1 |
Memiliki Orientasi Tujuan |
1 |
Passion |
1 |
Berjiwa Bisnis |
1 |
Personal Power |
1 |
Etos Kerja |
1 |
Need for achievement |
1 |
Membangun Cita-cita tinggi |
1 |
Evocator |
1 |
Membangun Semangat |
1 |
Non Fear Of Failure |
1 |
0 | |
Motivation |
1 |
Memotivasi |
1 |
Sub Jumlah |
8 |
7 |
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian
RPKPS telah menyatakan ketiga unsur tersebut namun sebahagian besar belum secara spesifik menyatakan konstruksi kognitif, keterampilan dan
afektif yang akan dibangun dan dikembangkan pada peserta didik.
Gambar 3. Radar Chart Analisis Kesenjangan Capaian Pembelajaran Expected dengan Realisasi Empirik
Sejalan dengan (Cardow, 2006) yang mengklasifikasikan bahwa konstruk entrepreneurship dapat dikategorikan atas entrepreneur (noun), entrepreneurship (verb) dan entreprenurial (adjective). (1) Konstruk entrepreneur, direfleksikan dengan orang yang berperan sebagai wirausaha, atau pebisnis. Untuk menjadi wirausaha merupakan proses pilihan personal yang dapat dikonstruksi melalui konstruksi sikap. Oleh karena itu untuk menjadi wirausaha (being) sebagai capaian pembelajaran dinyatakan dengan “menjadikan ….”, “memiliki”, “menghasilkan”.Untuk ini dibutuhkan dengan konten materi ajar dan metode belajar lebih diarahkan pada dominasi konstruksi sikap.
-
(2) Konstruk entrepreneurship dapat dibangun dari makna “melakukan aktivitas” “menjalankan”, “mengerjakan”, “melaksanakan” (acting) sebagai peran wirausaha yang direfleksikan dalam aktivitas bisnis, dalam konteks capaian pembelajaran dapat dinyatakan sebagai “mampu melakukan ……..”, “memiliki keterampilan…….”, “menghasilkan …”, “mencontohkan …”, “membuat …”, misalnya menyusun rencana bisnis, start-up skill, eksploitasi peluang, networking skill, communication skill, leadership skill, dan managerial skill. Untuk ini dibutuhkan metode belajar yang lebih spesifik dan tersedianya sarana belajar yang memadai sesuai dengan konten materi ajar.
-
(3) Konstruk enterprenurial dapat dibangun dari makna pemahaman terhadap pentingnya pengetahuan dan wawasan kewirausahaan untuk menjalankan bisnis. Sebagai contoh untuk menetapkan strategi berorientasi pada pemahaman dan kecerdasan berpikir dalam analisis SWOT. Dalam kontek ini dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman agar mampu menjelaskan, menganalisis, mensintesis, menetapkan tujuan, membuat model, menetapkan strategi bisnis. Dalam konteks capaian pembelajaran dapat dikonstruksi melalui pernyataan “mampu menjelaskan….”,menyusun ….”, “menganalis …..”, “menetapkan …”, “mengambil keputusan ….”,” memilih …”. Istilah entreperenurial disebut juga dengan orientasi entrepreneurial.
Interaksi ketiganya menghasilkan suatu konstruk yang disebut dengan metahpora kewirausahaan yang diwujudkan dalam bentuk inovatif, kreatif, proaktif, risk taker dan eksploitasi peluang. Sebagaimana dinayatakan oleh (McMullen and Shpeherd, 2006)merefleksikan metaphora entrepreneurship meliputi autonomy, inovativness, creative, agresivness, and risk taking sebagai
entrepreneurial orientation. . Pada Index Gedi secara makro, direfleksikan dengan aspiration index, activity index dan attitude index, yang merupakan interaksi faktor individual dan institusional.
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan pada mahasiswa, terhadap konten materi kewirausahaan, secara mutually excluvive dikelompokkan menjadi 4 kategori antara (1) “aspek pengetahuan” (2) “aspek keterampilan” dan (3) “aspek sikap”. (4) Metaphora kewirausahaan sebagai variabel interaksi antara pengetahuan yang dimiliki, ketrampilan dan sikap yang mampu menghasilkan karakteristik baru individual sebagai innovator, kreatif, proaktif, risk taker dan mampu mengeksploitasi peluang. Secara empirik materi ajar yang didapatkan mahasiswa, dapat dimasukkan kedalam tiga 4 klasifikasi tersebut sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa konten materi yang didapatkan mahasiswa dalam proses pembelajaran kewirausahaan cukup bervariasi. Pada aspek pengetahuan sebahagian besar mahasiswa menyatakan telah mendapatkan materi ajar tentang definisi kewirausahaan (95 persen), dan tentang perencanaan bisnis sebesar 92 persen. Sementara yang paling kecil mendapatkan pengetahuan dari proses field trip dan magang hanya 38 persen dan pengetahuan materi tentang sejarah kewirausahaan hanya 49 persen.
Aspek keterampilan, walapun sebahagian besar mahasiswa menjawab telah mendapatkan materi pembelajaran tentang beberapa materi yang dibutuhkan sebagai keterampilan, namun pembelajaran lebih didominasi dengan metode tutorial.Kegiatan keterampilan hanya direfleksikan dari kegiatan praktek bisnis sekitar 51 persen responden telah mendapatkan materi. Selanjutnya dari aspek sikap, proses kognitif melalui pembelajaran terhadap orientasi tujuan, kemandirian dan motivasi.Data menunjukkan bahwa mahasiswa yang permah mendapatkan materi konstruk sikap rata-rata hanya 56 persen.
Secara deskriptif dapat digambarkan metode pembelajaran untuk setiap konten materi, yang menunjukkan pada aspek pengetahuan di dominasi dengan metode tutorial dan unjuk pendapat, kecuali untuk field trip dan magang dengan metode unjuk kerja. Pada aspek Keterampilan walaupun tujuan pembelajaran untuk konstruk “melakukan tindakan” (acting), akan tetapi metode pembelajaran lebih didominasi dengan metode pembelajaran tutorial, kecuali untuk materi praktek bisnis masih terdapat metode pembelajaran dengan cara presentasi. Pada
Materi Ajar Pembelajaran Kewirausahaan
Tabel 4. Materi Ajar yang Didapatkan Mahasiswa dalam Proses Pembelajaran Kewirausahaan
Aspek Pengetahuan |
Mendapatkan |
Persentase |
Tidak mendapatkan |
Persentase |
Jumlah |
Perspektif Kewirausahaan Perkembangan |
200 |
66 |
104 |
34 |
304 |
Kewirausahaan |
190 |
62 |
114 |
38 |
304 |
Sejarah Kewirausahaan |
150 |
49 |
154 |
51 |
304 |
Definisi Kewirausahaan |
290 |
95 |
14 |
5 |
304 |
Manajemen usaha |
192 |
63 |
112 |
37 |
304 |
Perencanaan Bisnis |
280 |
92 |
24 |
8 |
304 |
Filed Trip/Magang |
115 |
38 |
189 |
62 |
304 |
Rata-rata (persentase) |
67 |
33 |
100 | ||
Aspek Keterampilan | |||||
Komunikasi |
213 |
70 |
91 |
30 |
304 |
Kepemimpinan |
207 |
68 |
97 |
32 |
304 |
Berpikir stratejik |
175 |
58 |
129 |
42 |
304 |
Praktek Bisnis |
155 |
51 |
149 |
49 |
304 |
Rata-rata (persentase) |
62 |
38 |
100 | ||
Aspek Sikap | |||||
Orientasi Tujuan |
160 |
53 |
144 |
47 |
304 |
Kemandirian |
180 |
59 |
105 |
51 |
304 |
Perilaku Kerja Keras |
150 |
49 |
154 |
51 |
304 |
Motivasi |
189 |
62 |
115 |
38 |
304 |
Rata-rata (persentase) |
56 |
44 |
100 | ||
Aspek kewirausahaan |
Persepsi |
Persepsi | |||
Keinovasian |
50 |
16 |
116 |
38 |
304 |
Kreativitas |
150 |
49 |
154 |
51 |
304 |
Proaktif |
40 |
13 |
264 |
87 |
304 |
Eksploitasi peluang (start up business) |
26 |
9 |
278 |
91 |
304 |
Risk taking |
30 |
10 |
274 |
90 |
304 |
Rata-rata (persentase) |
20 |
80 |
100 |
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian aspek sikap yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana konstruksi sikap sebagai wirausaha atau yang memiliki jiwa kewirausahaan. Hasil penelitian menunjukkan sebahagian besar metode pembelajaran dilakukan dengan metode tutorial dan unjuk pendapat.
Keterangan : 1 = tutorial/ceramah; 2=Unjuk pendapat; 3= Simulasi; 4= Permainan; 5= Kerja Kelompok 6 = Unjuk kerja; 7 = Presentasi; 8 = Latihan/Tugas Individu; 9 = pemecahan masalah; 10= Guru Tamu ; 11 = Studi kasus
Inovatif, kreatif, proaktif, dan risk taking
Inovatif merupakan konstruk laten yang merupakan salah satu dimensi metaphora
kewirausahaan. Secara konseptual inovatif merupakan suatu perubahan atau pembaharuan melalui proses intelektual. Schumpeter pertama kali menempatkan peranan inovasi dalam proses entrepreneurial, dalam tulisannya “economic processs of creative destruction” to new combination ”. Proses kognitif pada aspek keinovasian menunjukkan hanya 16 persen yang mendapatkan materi tentang inovasi dengan metode pembelajaran sebagian besar unjuk pendapat atau brainstorming dan tutorial, yaitu sebesar 41,75 persen serta unjuk kerja. Sedangkan yang bersifat afektif dapat dikonstruksi melalui kerja kelompok, simulasi, business games, pemecahan masalahh dan studi
Tabel 5. Metode Belajar untuk Setiap Konten Materi
Konten Materi |
Metode Belajar (%) | |||||||||||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 | ||
Aspek Pengetahuan |
Jlh Responden | |||||||||||
Perspektif Kewirausahaan |
44.2 |
23.7 |
4.2 |
5.8 |
2.1 |
8.1 |
6.3 |
1.6 |
1.0 |
0 |
2.1 |
200 |
Manajemen usaha |
22.4 |
20.5 |
1.0 |
3.1 |
3.1 |
13.5 |
7.9 |
5.2 |
3.6 |
1.0 |
18. 4 |
192 |
Perencanaan |
15. | |||||||||||
Bisnis |
22 |
11.6 |
2.9 |
5.2 |
5.2 |
12.4 |
7.4 |
5.7 |
9.0 |
3.3 |
0 |
280 |
Filed |
15. | |||||||||||
Trip/Magang |
6.9 |
13.4 |
0.9 |
4.3 |
4.3 |
40.9 |
1.6 |
3.5 |
3.5 |
5.1 |
6 |
115 |
Aspek Keterampilan | ||||||||||||
Komunikasi |
34.7 |
21.8 |
1.4 |
4.2 |
1.9 |
10.8 |
12.1 |
3.3 |
4.7 |
1.4 |
3.6 |
213 |
Kepemimpinan Berpikir stratejik |
33.8 30.9 |
11.6 11.6 |
3.9 16 |
0.9 5.7 |
3.3 5.1 |
21.77 3.4 |
10 7.9 |
5.3 8 |
6.3 7.2 |
7.8 0.6 |
2.9 3.5 |
207 175 |
Praktek Bisnis |
31.6 |
8.9 |
2.6 |
3.9 |
3.2 |
2.6 |
17.9 |
5.2 |
5.2 |
9.7 |
9.2 |
155 |
Aspek Sikap Orientasi Tujuan |
33.5 |
23.7 |
3.1 |
7.5 |
4.4 |
4.38 |
8.4 |
6.8 |
3.1 |
1.2 |
3.7 |
160 |
Kemandirian |
29.6 |
15.8 |
3.0 |
3.0 |
3.0 |
15.58 |
8.8 |
10.0 |
5.0 |
2.0 |
4.0 |
180 |
Perilaku Kerja Keras |
20.9 |
22.6 |
1.6 |
5.2 |
3.6 |
11.52 |
16.6 |
9.4 |
5.2 |
2.0 |
1.0 |
150 |
Motivasi |
24.9 |
25.8 |
4.2 |
17.6 |
2.6 |
5.3 |
4.7 |
4.7 |
2.0 |
3.7 |
4.2 |
189 |
Aspek kewirausahaan Keinovasian |
16.5 |
25.2 |
4.2 |
6.3 |
14.89 |
11.7 |
8.9 |
4.5 |
3.2 |
1.0 |
3.2 |
50 |
Kreativitas |
19.5 |
10.5 |
2.5 |
4.1 |
7.7 |
24.5 |
18.4 |
8.1 |
1.5 |
0.5 |
2.5 |
150 |
Proaktif |
34.1 |
11.6 |
2.1 |
4.3 |
7.1 |
9.8 |
7.4 |
6.0 |
13.68 |
0.5 |
2.2 |
40 |
Risk taking |
28.1 |
17.6 |
4.0 |
5.3 |
17.1 |
5.3 |
6.2 |
4.7 |
6.0 |
0.6 |
4.7 |
30 |
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian |
kasus, sebesar 31,3 persen selebihnya dengan metode unjuk kerja hanya sekitar 11,7 persen.
Aspek kreatifitas
Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Kemampuan dalam mengembangkan gagasan-gagasan baru ini diperlukan untuk (1) melakukan proses/teknik baru, (2) menghasilkan produk atau jasa baru , (3) menghasilkan nilai tambah baru, (4) merintis usaha baru, dan (5) mengembangkan organisasi baru. Aspek kreatifitas sangat diperlukan dalam pengembangan suatu wirausaha, karena sangat membantu dalam pengembangan ide-ide baru dalam menentukan cara-cara baru. Adapun tahap-tahap yang dilalui dalam suatu kreatifitas, yaitu persiapan (preparation), penyelidikan (investigation), penetasan (incubation), penerangan (illumination), pengujian (verification), dan implemetasi
(implementation). Secara empirik materi tentang kreatifitas yabg didapatkan mahasiswa sekitar 49 persen. Metode pembelajaran dilakukan dengan cara tutorial 19,49 persen dan unjuk pendapat sekitar 10,53 persen. Sedangkan untuk hal-hal yang dapat membangun kreatiftas sekitar 41,41 persen.
Aspek Risk Taking
Risk taking adalah tingkat penerimaan terhadap resiko sumberdaya secara beralasan dan menggantikannya dengan biaya kegagalan (Miller and Friesen 1978: 923) Risk taking atau keberanian mengambil resiko merupakan konstruksi kognitif agar mahasiswa memiliki karakter dalam hal keberanian mengambil resiko yang dapat dikalsifikasikan atas (1)strategic riskpada saat memasuki usaha yang belum diketahui yang telah menghabiskan relatif sejumlah aset yang besar, (2) personal risk sebagai tanggung jawab yang dibebankan secara personal terhadap potensi resiko
yang akan terjadi (3) social risk resiko yang diterima secara bersama terhadap orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan atau terhadap orang lain sebagai dampak dari keputusan (4) psychology risk resiko yang diterima dalam bentuk perasaan, rasa ketakutan (Gasse 1982) (4) financial risk sebagai ukuran reward terhadap risiko atau menghasilkan kesuksesan yang diukur dengan tradeoff risk-return.
Model pembelajaran cermah dan tutorial hanya dapat memberikan konstruk risk taking untuk aspek financial risk yang bersifat pengetahuan. Dari hasil penelitian lebih dari 45,82 persen metode pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah dan tutorial.
Uji Beda Metode Pembelajaran Pada Materi Kewirausahaan
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan metode pembelajaran pada beberapa fakultas yang ada di Universitas Sriwijaya dilakukan dengan teknik analisis ANOVA. Asumsi Anova yang paling mendasar adalah Uji Homogenitas ( Homegeneity of Variance). Uji ini untuk melihat apakah data dalam setiap kelompok variabel memiliki nilai yang
relatif sama. Nilai-nilai dalam kelompok variabel menggunakan angka relatif frekuensi untuk metode belajar antara lain (1) Tutorial (2) Brainstorming (3) Simulasi (4) Ceramah (5) Kerja Kelompok (6) Unjuk Kerja (7) Presentasi (8) Tugas Individu/Latihan (9) Pemecahan Masalah (10) Guru Tamu (11) Studi Kasus. Uji ini juga menunjukkan karakter “within subject” dengan hipotesis Ho tidak terdapat perbedaan pada kelompok analisis dan H1 terdapat perbedaan pada kelompok analisis. Uji ini menolak H1, siginifikansi α < 0,05, yang merupakan kebalikan dari Test Beetween Subject dengan Uji menerima H1 dengan α < 0,05,. Sehingga kesimpulan dari Test of Homogeneity of Variances dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 3 menunjukkan hanya materi cara berpikir stratejik, proaktif dan praktek bisnis memiliki kesimpulan yang berbeda atau tolak Ho, artinya metode pembelajaran dilakukan dengan cara yang berbeda pada fakultas yang sama. Ini menunjukkan masih perlu dilakukan koordinasi pengajaran diantara dosen.
Selanjutnya untuk menguji apakah terdapat perbedaan metode belajar antar fakultas menunjukkan sebagian besar dilakukan dengan cara yang berbeda. Secara rinci ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 6. Uji perbedaan dalam kelompok yang sama
Diimensi |
Levene Statistic |
Sig. |
Kesimpulan |
Aspek Pengetahuan | |||
Perspektif Kewirausahaan |
3.347 |
0.011 |
Terima Ho Sama |
Manajemen Usaha |
4.114 |
0.003 |
Sama |
Perencanaan Bisnis |
3.18 |
0.015 |
Sama |
Fieldtrip |
9.01 |
0,00 |
Sama |
Aspek Keterampilan | |||
Komunikasi |
1.975 |
0.1 |
Berbeda |
Kepemimpinan |
13.557 |
0,00 |
Sama |
Cara Berpikir Strategik |
0.82 |
0.514 |
Berbeda |
Praktisi Bisnis |
0.748 |
0.561 |
Berbeda |
Aspek Sikap | |||
Orientasi Tujuan |
3.482 |
0.009 |
Sama |
Kemandirian |
8.179 |
0 |
Sama |
Perilaku Kerja Keras |
17.822 |
0 |
Sama |
Motivasi |
2.934 |
0.022 |
Sama |
Aspek Kewirausahaan | |||
Keinovasian |
3.514 |
0.009 |
Sama |
Kreativitas |
6.529 |
0 |
Sama |
Proaktif |
2.064 |
0.087 |
Berbeda |
Risk Taking |
4.185 |
0.003 |
Sama |
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian
Tabel 7. Uji Anova Materi Belajar Beberapa Fakultas di Beberapa Perguruan Tinggi
Dimensi |
ANOVA |
Sum of Squares |
Mean Square |
F |
Sig. | |
Aspek Pengetahuan | ||||||
Perspektif Kewirausahaan |
Between Groups |
25.324 |
6.331 |
0.86 |
0.489 |
Sama |
Within Groups |
1362.39 |
7.364 | ||||
Total |
1387.71 | |||||
Manajemen Usaha |
Between Groups |
180.619 |
45.155 |
5.236 |
0.001 |
Berbeda |
Within Groups |
1612.63 |
8.624 | ||||
Total |
1793.25 | |||||
Perencanaan Bisnis |
Between Groups |
197.498 |
49.374 |
5.195 |
0.001 |
Berbeda |
Within Groups |
1938.95 |
9.505 | ||||
Total |
2136.45 | |||||
Fieldtrip |
Between Groups |
101.196 |
25.299 |
3.536 |
0.009 |
Berbeda |
Within Groups |
786.926 |
7.154 | ||||
Total |
888.122 | |||||
Aspek Keterampilan | ||||||
Komunikasi |
Between Groups |
109.777 |
27.444 |
3.62 |
0.007 |
Berbeda |
Within Groups |
1577.05 |
7.582 | ||||
Total |
1686.83 | |||||
Kepemimpinan |
Between Groups |
89.365 |
22.341 |
3.616 |
0.007 |
Berbeda |
Within Groups |
1247.89 |
6.178 | ||||
Total |
1337.26 | |||||
Cara Berpikir Strategik |
Between Groups |
132.116 |
33.029 |
3.744 |
0.006 |
Berbeda |
Within Groups |
1499.6 |
8.821 | ||||
Total |
1631.71 | |||||
Praktisi Bisnis |
Between Groups |
100.783 |
25.196 |
2.283 |
0.063 |
Sama |
Within Groups |
1655.37 |
11.036 | ||||
Total |
1756.16 | |||||
Aspek Sikap Perubahan Perilaku Orientasi Tujuan |
Between Groups |
1.805 |
0.451 |
0.07 |
0.991 |
Sama |
Within Groups |
998.57 |
6.442 | ||||
Total |
1000.38 | |||||
Kemandirian |
Between Groups |
125.57 |
31.393 |
5.272 |
0 |
Berbeda |
Within Groups |
1155.12 |
5.954 | ||||
Total |
1280.69 | |||||
Perilaku Kerja Keras |
Between Groups |
51.612 |
12.903 |
2.517 |
0.043 |
Berbeda |
Within Groups |
953.665 |
5.127 | ||||
Total |
1005.28 | |||||
Motivasi |
Between Groups |
34.537 |
8.634 |
1.048 |
0.384 |
Sama |
Within Groups |
1516.05 |
8.239 | ||||
Total |
1550.58 | |||||
Aspek Kewirausahaan Keinovasian |
Between Groups |
6.154 |
1.539 |
0.27 |
0.897 |
Sama |
Within Groups |
1042.84 |
5.699 | ||||
Total |
1049 | |||||
Kreativitas |
Between Groups |
33.831 |
8.458 |
1.713 |
0.149 |
Sama |
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian |
Tabel 7 menunjukkan terdapat 9 item materi yang diajarkan dengan cara berbeda dari 16 konten materi (56,2 persen) diantara fakultas yang berbeda dalam beberapa Universitas. Hal ini memberi implikasi bahwa penting untuk melakukan koordinasi pengajaran secara integrasi pada tingkat universitas. Perbedaan yang paling signifikan terjadi pada konten materi dan metode pembelajaran aspek keterampilan, dan aspek pengetahuan. Sebagaimana telah dijelaskan pada kajian literatur bahwa permasalahan pembelajaran kewirausahaan adalah pada ketidak siapan tenaga pengajar.Hal ini dapat dipahami karena hampir sebahagian besar pengajar mata kuliah kewirausahaan berasal dari masing-masing program studi yang belum memiliki pengetahuan secara holistik.tentang kewirausahaan. Sebagai mana juga dinyatakan oleh beberapa penulis bahwa domain ilmu kewirausahaan merupakan domain ilmu manajemen, psikologi, ekonomi dan sosial. Disamping itu sarana dan prasarana untuk mendukung pembelajaran kewirausahaan juga tidak tersedia, terutama untuk membangun aspek keterampilan. Perbedaan ini juga dapat berimplikasi pada tidak efektifnya capaian pembelajaran untuk menghasilkan profil lulusan sebagai wirausaha baru atau menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kewirausahaan (inovatif, kreatif, proaktif, dan risk taking).
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menyimpulkan (1) bahwa materi dan metode pembelajaran mata kuliah kewirausahaan di beberapa program studi pada universitas yang sama, belum konsisten dengan capaian pembelajaran yang diharapkan. (2) Terdapat perbedaan materi ajar dan metode pembelajaran pada beberapa konten materi, terutama yang berhubungan dengan materi proaktif, dan tugas lapangan, pada satu fakultas (3) Terdapat perbedaan materi dan metode pembelajaran antar fakultas terutama pada aspek keterampilan. Hasil temuan ini secara teoritis memberi implikasi terhadap pentingnya pemaknaan konsep kewirausahaan secara holistik dalam proses pembelajan. Secara praktis, dalam lingkungan akademik perlu untuk menyusun kurikulum kewirausahaan secara terintegrasi dinatara berbagai fakultas, serta menjadikan mata kuliah kewirausahaan berada pada level universitas sebagai mata kuliah wajib MKDU. Terjadinya kesenjangan proses pembelajaran diantara program studi untuk menghasilkan capaian pembelajaran pada mata kuliah tertentu dengan tujuan yang sama secara agregat, dapat berdampak pada proses pembangunan ekonomi.
REFERENSI
Ács, Zoltán J., László, Szerb., Autio, Erkko. 2016. Global entrepreneurship INDEX.
Albornoz, C. A. 2011 . Exploring the goals, content, and methods of entrepreneurship professors: A multiple case study.(Order No. 3502098, Florida International University). Retrieved from http://search.proquest.com
Alvarez and Barney. 2007. Discovery and Creation: Alternative Theories of Entrepreneurial Action. Strategic Enterpreneurship Journal, 1(1-2): 11-26.
Cardow A. 2006. The Metaphorical Rise of Entrepreneurship. Departement of Management and International Business Research Working Paper Series 2006, no 8. Auckland, NZ: Massey University, Departement of Management and International Business
Chen David D. 2003. A Classification System for Metaphors About Teaching, Journal of Physical Education Recreation & Dane; Feb 2003, 7,2; Proquest Research Library pg 24
Corbett, A. C. 2002. Opportunity recognition: A learning and cognitive approach. (Order No. 3074731, University of Colorado at Boulder). ProQuest Dissertations and Theses, 185-185 p. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/ 304798207? accountid= 31434. (304798207).
Dugassa, T. G. 2012. The context of entrepreneurship education in ethiopian universities. Management Research Review, 35(3), 225-244. doi:http:// dx.doi.org/10.1108/01409171211210136
Higgins, V., J. Dibden, and C.Cocklin. 2012. Market instruments and the neoliberalisation of land management in rural Australia. Geoforum 43: 377-386.
Huebscher, J., and Lendner, C. 2010. Effects of entrepreneurship simulation game seminars on entrepreneurs’ and students’ learning. Journal of Small Business and Entrepreneurship, 23(4), 543-554,649
Koning, Alice de., Dodd, Sarah D. 2008. Metaphors of Entrepreneurship Across Cultures, Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability, Page 88 Refered Edition, Vol IV, Issue 2, October 1988: Conference Issues” Persepectives On Entrepreneurship”
Krathwohl . David R. 2002. A Revision of Bloom’s Taxonomy: An Overview (2002) Theory Into Practice, Volume 41, Number 4, Autumn 2002 Copyright C) 2002 College of Education, The Ohio State University
Laukkanen Mauri. 2003. Exploring academic entrepreneurship: drivers and tensions of university-based business, Journal Of Small Business and Enterprise Development; 10,4; ABI/INFORM Research
Leach, E. 2007. Instruction-based action guidelines built on bloom’s revised framework: Setting objectives for entrepreneurship teaching. Journal of Small Business and Entrepreneurship, 20(4), 351-358,360-368,439.
Lumpkin and Dess. 1996. Clarifying the entrepreneurial orientation construct and linking it to performance , Academy of Management Review, 2(1): 135-172
Mccourt, W. 1 997. “Discussion Note:Using Metaphors to Understand and to Change Organizations: A Critique of Gareth Morgan’s Approach”, Organization Studies 18(3), 511-522.
McMullen, J.S., and Shepherd, D.A. 2006. Entrepreneurial action and role of uncertainty in the theory of the entrepreneur. Academy of Management Review, 31(1): 132-
Miller, D., and Friesen, P. N. Archetypes of strategy formation. Management Science, 1978,24,921933S
Oluniyi, O., and Obembe, O. B. 2012. Promoting entrepreneurship skill through constructivist based model of curriculum development in social studies. Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability, 8(1), 143-159.
Pitt,M., and Sims, D. 1998. Preparing For novel situations: Evoking managerial role identities. Journal of management education, 22(6),682706. Retrieved From http:/search.prowuest. com/docview/195751880?accountid=31434.
Rocha, H. and J. Brikinshaw. 2007.” Enterpreneuship safari a phenomenon-driven search for meaning”, Foundations and trends in enterpreneuship 3, 205-255
Seikkula-Leino, J. 2008. Implementing entrepreneurship education through curriculum reform. Paper presented at the 1-24.
Siok, S. T., and Ng, C. K. F. 2006. A problembased learning approach to entrepreneurship education. Education & Training, 48(6), 416-428. doi:http://dx.doi.org/10.1108/ 00400910610692606
Timmons,J. A., and Spinelli. S., Jr. 2004. New Vensure creation: Entrepreneurship for the 21si century, Boston:McGraw.Hill/Irwin.
Wiklund, J., and Shepherd, D. 2005. Entrepreneurial orientalition and small business
Witkin.H.A., Moore, C.A., Oltman, P.K., Gooddenough, D.R, Friedman, F., Owen, D.R. et al. 1977. Role of the field dependent and field independent cognitive styles in academic evolution: A longitudinal study, Journal of Educational Psychology, 69(3), 197-211, ‘doi:10.1037/0022.0663.69.3.197.
Discussion and feedback