16 Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis dan Kewirausahaan Vol. 10, No. 1, Februari 2016

PERAN EXPERIENTIAL VALUE DALAM MEMEDIASI PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP REPURCHASE INTENTION

Wayan Febri Astari(1)

Komang Agus Satria Pramudana(2)

(1),(2) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana, Bali - Indonesia e-mail: astarifebri@ymail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran experiential value dalam memediasi pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention dengan melakukan kajian komprehensif dari penelitian sebelumnya dan melalui survei di Gusto Gelato and Cafe. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dalam bentuk asosiatif. Sampel yang digunakan sebanyak 185 responden yang diambil menggunakan purposive sampling. Data dikumpulkan melalui kuesioner serta wawancara. Teknik analisis yang diaplikasikan adalah Structural Equation Modeling (SEM) dengan program AMOS 16.00. Hasil analisis menunjukkan bahwa experiential marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap experiential value dan repurchase intention. Selain itu, experiential value mampu memediasi pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention secara signifikan.

Kata kunci: experiential marketing, experiential value, repurchase intention

ABSTRACT

The objective of this research is to analyze experiential value role in mediating the effect of experiential marketing on repurchase intention, through comprehensive review of previous studies and survey at the Gusto Gelato and Cafe. This study uses a quantitative approach in form of associative. The sample used were 185 respondents which was collected by purposive sampling method. Data were collected through questionnaire and interview. The analysis technique used to test the hypothesis is Structural Equation Modeling (SEM) with AMOS 16.00 software. The results of this study indicates that the experiential marketing has a positive and significant effects on experiential value and repurchase intention. In addition, the study also found that experiential marketing has a significant influence towards repurchase intention with experiential value as mediating variable.

Keyword: experiential marketing, experiential value, repurchase intention

PENDAHULUAN

Industri kuliner saat ini berkembang sangat pesat, bahkan senantiasa mengalami peningkatan hingga hampir mendominasi lapangan usaha di berbagai kota di Indonesia (Noegroho dkk., 2013). Meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan masyarakat middle class income, membaiknya proyeksi perekonomian yang disertai peningkatan daya beli masyarakat, serta pesatnya gerai ritel modern menjadi driver permintaan industri makanan dan minuman (Bank Mandiri, 2015). Kondisi ini menjadi suatu ketertarikan tersendiri bagi para pengusaha lokal maupun asing untuk mencoba peruntungan di tengah persaingan yang semakin kompetitif di kancah perindustrian kuliner.

Seiring dengan berjalannya waktu dan budaya, restoran, café, dan lainnya kini telah mengalami perluasan fungsi, dari yang semula hanya menawarkan makanan dan minuman untuk mengatasi rasa lapar, saat ini juga berfungsi sebagai

penunjang gaya hidup seseorang (Dewanti et al., 2011). Selain faktor gaya hidup, menurut Farisya (2012), konsumen Indonesia memiliki karakteristik gemar untuk berkumpul, ketika makan pun mereka suka bersama dengan keluarga maupun peer group (kelompok bermain) dan apabila makan di restoran-restoran yang hanya memberikan makanan dan minuman, biasanya mereka kurang mendapatkan pengalaman konsumsi yang berbeda. Para konsumen telah mengubah tuntutan mereka-saat ini mereka lebih tertarik pada gratifikasi hedonistik yang berkaitan dengan kualifikasi emosional dan fokus untuk memenuhi kepuasan emosional. Hal yang demikian menjadikan pemasar tidak lagi memperlakukan orang semata-mata sebagai konsumen, namun melakukan pendekatan dengan memandang mereka sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan pikiran, hati, dan spirit (Kotler et al., 2010:4).

Tempat bersantai kini dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang mulai dicari konsumen yang

hedonis. Tempat bersantai juga dipandang sebagai sarana penghilang stres dan keletihan. Berbagai cara dilakukan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhan akan hal tersebut, salah satunya adalah dengan pergi ke cafe atau restoran yang dapat menyediakan hal-hal ataupun suasana yang baru dan berbeda. Gusto Gelato and Cafe merupakan salah satu tempat favorit di kawasan Seminyak yang berusaha memberikan suasana berbeda dengan konsep desain dan pelayanan yang diberikan. Kedai ini menjual es krim khas Italia atau yang lebih dikenal dengan gelato sebagai produk utamanya dengan berbagai varian rasa yang menarik.

Gusto Gelato and Cafe selalu ramai oleh pengunjung dan biasanya didominasi oleh remaja, baik pelajar SMA maupun mahasiswa. Tempat ini biasanya digunakan sebagai sarana berkumpul, bertukar pikiran, atau bahkan sekedar untuk mengisi waktu luang sebagai bentuk aktualisasi diri untuk menunjang gaya hidup guna memperlihatkan status sosial mereka melalui pengalaman konsumsi yang diperoleh di Gusto Gelato and Cafe. Hal ini menunjukkan adanya suatu ketertarikan akan gratifikasi hedonistik atau dalam ilmu manajemen pemasaran disebut dengan experietial marketing.

Rotti (2012) mengatakan bahwa konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk tidak hanya sebagai bentuk pemecahan masalah, tetapi juga untuk mendapatkan hiburan dan kesenangan. Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan perkembangan jaman dan teknologi, dimana para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor (Andreani, 2007).

Yang (2009) menyatakan penting untuk melakukan analisis pengalaman yang dirasakan oleh konsumen dalam kegiatan konsumsi, memahami dengan benar bagaimana perubahan konsumen setelah mengalami kegiatan konsumsi, dan melihat bagaimana perilaku konsumen, khususnya minat konsumen, setelah melakukan pembelian ulang tersebut. Experiential marketing dan experiential value merupakan konsep yang tidak dapat dipisahkan dan memiliki hubungan yang positif (Schmitt, 1999). Menurut Mathwick et al. (2001), pengalaman konsumsi dapat memperkaya suatu nilai. Wong dan Mei (2010) menemukan bahwa analisis dari experiential value memiliki dampak pada pembelian.

Nigam (2012) mendefinisi experiential marketing sebagai peristiwa yang memberikan target konsumen untuk menjelajah suatu produk dan pengalamannya untuk selanjutnya dapat

menciptakan pembelian. Kusuma (2013) juga menemukan bahwa experiental marketing berpengaruh signifikan dan positif terhadap repurchase intention melalui experiental value sebagai konstruk pemediasi pada konsumen Garuda Indonesia di Surabaya. Hal ini berarti experiental marketing dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap experiental value, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan repurchase intention konsumen.

Banyak peneliti telah berfokus untuk memahami hal tersebut agar dapat menciptakan minat untuk mengkonsumsi kembali dengan melibatkan sisi pengalaman emosional yang diperoleh konsumen (Farisya, 2012; Kusuma, 2013; Maghnati, 2012; Mathwick et al., 2006; Nigam, 2012; dan Obonyo, 2006). Berdasarkan aspek manajerial dan teoritis, penelitian ini berfokus pada pendekatan experiential marketing yang diterapkan oleh Gusto Gelato and Cafe, sehingga dapat menciptakan repurchase intention melalui experiential value sebagai pemediasi di kalangan konsumen yang hedonis.

Searah dengan fokus penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh experiential marketing terhadap experiential value, pengaruh experiential value terhadap repurchase intention, pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention, dan menjelaskan peran experiential value dalam memediasi pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention.

Smilansky (2009:5) mendefinisi experiential marketing sebagai suatu kegiatan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan serta aspirasi pelanggan dengan melibatkan konsumen dalam komunikasi dua arah yang mengubah kepribadian suatu merek menjadi nyata dan menambah nilai bagi target audiens. Berdasarkan pada Strategic Experience Modules (SEMs), Schmitt (1999) membagi jenis experiential marketing menjadi lima dimensi, yaitu pengalaman sensorik (sense); pengalaman afektif (feel); pengalaman kognitif kreatif (think); pengalaman fisik, perilaku dan gaya hidup (act); dan pengalaman sosial-identitas yang dihasilkan dari adanya hubungan dengan komunitas acuan atau budaya (relate).

Pandangan mengenai experiential value dilihat berdasarkan hubungan yang ada mencakup penggunaan secara langsung atau bentuk apresiasi konsumen terhadap barang ataupun jasa yang digunakan (Datta & Vasantha, 2013; Mathwick et al., 2001; dan Rosanti et al., 2014). Holbrook (1994) dalam Nigam (2012) mengungkapkan bahwa

experiential value menawarkan manfaat ekstrinsik dan intrinsik yang dapat memberikan dampak jangka panjang di benak konsumen. Menurut Nigam (2012), nilai ekstrinsik dan instrinsik dari experiential value meliputi empat dimensi, yaitu consumer return on investment, service excellence, aesthetic, dan playfulness. Repurchase intention merupakan suatu penilaian individu tentang pembelian ulang dari layanan suatu perusahaan yang sama, dengan membandingkan situasi sekarang dan nanti (Morgan, 2007). Heiller et al. (2003) menyatakan bahwa repurchase intention terjadi ketika konsumen melakukan kegiatan pembelian kembali untuk kedua kali atau lebih, dimana alasan pembelian kembali terutama dipicu oleh pengalaman konsumen terhadap produk atau jasa.

Pengaruh Experiential Marketing terhadap Experiential Value

Experiential marketing merupakan elemen dasar untuk mengantarkan dan menciptakan suatu nilai bagi konsumen melalui pendekatan pemasaran (Kusuma, 2013). Dalam era baru experience economy, tujuan pemasaran saat ini adalah dapat menciptakan pengalaman holistik yang bernilai, dan konsep experiential marketing yang digagas oleh Schmitt (1999) telah menjadi tren di seluruh dunia. Experiential marketing dan experiential value merupakan konsep yang tidak dapat dipisahkan dan memiliki hubungan yang positif (Schmitt, 1999). Gentile et al. (2007) dalam Maghnati (2012) menyatakan bahwa experiential value dapat diciptakan melalui sebuah pengalaman konsumsi.

Hasil studi empiris yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa experiential marketing mampu membangun experiential value melalui penciptaan pengalaman holistik dengan melibatkan konsumen dalam pemenuhan sisi emosional mereka. Temuan studi Obonyo (2006) menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara experiential marketing dengan experiential value.

Kusuma (2013) menemukan bahwa experiential marketing berpengaruh positif pada experiential value. Senada dengan itu, Gowinda dan Suprapti (2014) di dalam penelitiannya pada konsumen smartphone juga memperoleh temuan adanya pengaruh experiential marketing terhadap experiential value secara positif dan signifikan.

Maghnati et al. (2012) dalam penelitiannya juga menemukan hubungan yang positif antara experiential marketing dan experiential value pada industri smartphone. Selain itu, Utarie dkk.

(2013) menemukan adanya hubungan positif antara experiential marketing dan experiential value dalam studi kasus di Nanny’s Pavillion Terrace – Central Park Mall.

H1: Experiential marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap experiential value.

Pengaruh Experiential Value terhadap Repurchase Intention

Pengalaman aktual yang diperoleh konsumen hanya bersifat sesaat dan hanya dapat dirasakan pada saat konsumsi, sedangkan experiential value yang dimiliki konsumen akan melekat dalam memori mereka (Larasati & Suprapto, 2013). Menurut Mathwick et al. (2001) pengalaman konsumsi dapat memperkaya suatu nilai. Berdasarkan pemikiran rasional, hal itu berarti experiential value membantu pemasar untuk menanamkan nilai positif suatu produk ke dalam benak konsumen melalui penciptaan pengalaman yang melibatkan sisi emosional konsumen.

Pengalaman aktual bersifat sementara dan hanya dapat dirasakan pada saat konsumsi, namun experiential value yang diperoleh konsumen akan melekat dalam benak mereka (Larasati & Suprapto, 2013). Pada dasarnya, minat merupakan suatu sikap yang dapat membuat seseorang merasa senang terhadap obyek situasi ataupun ide-ide tertentu yang biasanya diikuti oleh perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari obyek yang disenangi tersebut karena adanya ikatan emosioanl (Hendarsono & Sugiharto, 2013).

Wong dan Mei (2010) memperoleh hasil analisis dari experiential value memiliki dampak setidaknya pada pembelian. Nigam (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa experiential value berpengaruh positif terhadap repurchase intention. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2013) terhadap konsumen Garuda Indonesia di Surabaya juga menemukan adanya hubungan positif antara experiential value dengan repurchase intention.

H2 : Experiential value berpengaruh positif dan signifikan terhadap repurchase intention.

Pengaruh Experiential Marketing terhadap Repurchase Intention

Menurut Andreani (2007), experiential marketing tidak hanya memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri, tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang

berdampak terhadap keputusan pembelian konsumen. Di berbagai jenis industri, perusahaan harus beralih dari pemasaran tradisional (fokus pada fungsi dan manfaat) menuju pada bagaimana menciptakan pengalaman bagi konsumen. Sebagian besar perusahaan global di seluruh dunia menyadari bahwa keputusan pembelian konsumen lebih dipengaruhi oleh sisi emosional yang dihasilkan, bukan dari pikiran rasional yang diturunkan (Shukla, 2007) (dalam Srivastava, 2008).

Pelanggan yang sudah merasakan experiential marketing akan merasakan sensasi yang sesuai bahkan di luar harapannya, yaitu rasa puas yang akan membuat pelanggan kembali, bahkan merekomendasikan tempat kepada orang lain (Noegroho et al., 2013). Nigam (2012) mendefinisi experiential marketing sebagai peristiwa yang memberikan target konsumen untuk menjelajah suatu produk dan pengalamannya untuk selanjutnya dapat menciptakan pembelian. Kusuma (2013) yang melakukan penelitian pada konsumen Garuda Indonesia menemukan bahwa experiential marketing mampu berpengaruh positif terhadap repurchase intention. Hendarsono dan Sugiharto (2013) dalam penelitiannya terhadap orang konsumen Café Buntos 99 Sidoarjo juga memperoleh hasil yang senada dengan itu. Selain itu, dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Farisya (2012) diperoleh temuan bahwa konstruk experiential marketing berpengaruh signifikan terhadap konstruk repurchase intention.

H3 : Experiential marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap repurchase intention.

Peran Mediasi Experiential Value dalam Hubungan antara Experiential Marketing dan Repurchase Intention

Sebagian besar konsumen tidak lagi menjadikan harga sebagai tolok ukur keputusan pembelian, melainkan cenderung lebih memilih produk yang telah memiliki ikatan emosional sebagai bentuk aktualisasi diri dan penunjang gaya hidup. Ketika konsumen telah merasakan nilai dari suatu produk atau perusahaan yang telah diperoleh dari pengalaman konsumsi sebelumnya, maka akan timbul perasaan senang dan puas. Hal tersebut akan membuat konsumen berminat untuk mencoba kembali karena adanya ikatan emosional dari pengalaman yang diperolehnya. Noegroho et al. (2013) mempertegas bahwa pelanggan yang sudah merasakan experiential marketing akan merasakan sensasi yang sesuai, bahkan di luar harapannya, yaitu rasa puas yang akan membuat pelanggan kembali,

bahkan merekomendasi kepada orang lain. Hal ini berarti experiental marketing dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap experiental value, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan repurchase intention konsumen.

Nigam (2012) menemukan adanya peran experiential value dalam memediasi konstruk experiential marketing terhadap purchase intention pada restoran cepat saji di India. Experiential value dapat menjadi mediator bagi hubungan experiential marketing terhadap repurchase intention pada konsumen Garuda Indonesia di Surabaya (Kusuma, 2013).

H4: Experiential value berperan dalam memediasi hubungan antara experiential marketing dan repurchase intention.

Berdasarkan kajian studi-studi empiris dan hubungan antar konstruk, maka model penelitian dapat disajikan seperti Gambar 1.

Experiential

Value (Y1)

H1 positif                          H2 positif

H4 positif

Experiential                     Repurchase

Marketing (X) H3 positif Intention (Y2)

Gambar 1. Model Penelitian

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian asosiatif karena membahas hubungan antar konstruk penelitian. Penelitian menyasar konsumen yang sering mengunjungi Gusti Gelato and Cafe di kawasan Seminyak Kabupaten Badung. Tiap konstruk terdiri atas dimensi dan sejumlah indikator seperti disajikan pada Tabel 1. Sampel ditentukan dengan metode pusposive sampling dengan ukuran sebanyak 185 orang konsumen yang diambil dari populasi konsumen yang berkunjung ke Gusto Gelato and Cafe di Seminyak. Ukuran ini ditentukan dengan formula 5 x jumlah indikator penelitian, yaitu sebanyak 37 indikator.

Penelitian ini terdiri atas data kuantitatif, yaitu usia, jenis kelamin, dan pekerjaan responden dan data kualitatif, yaitu pendapat responden terhadap pernyataan yang meliputi experiential marketing, experiential value, dan repurchase intention. Data diperoleh dari dua sumber, yaitu sumber primer adalah pemilik Gusti Gelato and Cafe serta

Tabel 1. Klasifikasi Konstruk, Dimensi, dan Indikator

Klasifikasi Konstruk

Konstruk

Dimensi

Indikator

Sumber

Dependent

Experiential

Marketing (X)

  • 1.    Sense

  • 2.    Feel

  • 3.    Think

  • 4.    Act

  • 5.    Relate

  • 1)    Design interior ruangan, unik

  • 2)    Kombinasi warna ruangan terlihat menarik

  • 3)    Tempat duduk yang nyaman

  • 4)    Makanan yang disajikan, rasanya enak

  • 5)    Seragam yang dikenakan karyawan, rapi dan bersih

  • 1)    Varian rasa makanan sangat beragam.

  • 2)    Pelayanan yang ramah.

  • 3)    Timbul perasaan senang.

  • 4)    Memberikan suasana yang mengesankan.

  • 5)    Kebersihan terjaga dengan baik.

  • 1)    Varian rasa yang beragam membangkitkan rasa ingin tahu

  • 2)    Menggunakan bahan-bahan pilihan dan berkualitas

  • 3)    Merasa dihargai

  • 4)    Dapat menjadi recommended place

  • 1)    Berkunjung karena bagian dari gaya hidup

  • 2)    Tertarik dengan konsep keunikan yang ditawarkan

  • 3)    Terletak di kawasan strategis

  • 4)    Ingin berbagi pengalaman dengan orang-orang terdekat

  • 1)    Dapat menjadi tempat berkumpul dengan teman

  • 2)    Dapat menjadi tempat berkumpul dengan keluarga

  • 3)    Dapat menunjukkan bagian dari keluarga perusahaan

  • 4)    Dapat menjadi saran berkumpul dengan orang-orang terdekat

Schmitt (1999);

Nigam (2012); dan Kusuma (2013)

Intervening

Experiential

Value (Y1)

  • 1.    Consumer Return on Investment (CROI)

  • 2.    Service Excellent

  • 3.    Aesthetic

  • 4.    Playfulness

  • 1)    Harga yang harus dibayar sesuai dengan kualitas, fasilitas, dan layanan yang ditawarkan

  • 2)    Merasa puas dengan mengkonsumsi produk tersebut

  • 3)    Dengan mengkonsumsi produk tersebut, membuat perasaan lebih baik

  • 1)    Karyawan tanggap dan komunikatif

  • 2)    Karyawan memberikan pelayanan yang cepat

  • 3)    Mampu memberikan ruang untuk berbagi dan berkumpul bersama

  • 1)    Penyajian makanan yang menarik

  • 2)    Tergugah dengan varian rasa

  • 1)    Menghabiskan waktu luang dengan nyaman

  • 2)    Dapat menjadi tempat bercengkrama bersama

  • 3)    Ingin tinggal lebih lama

Nigam (2012) dan Kusuma (2013)

Independent

Repurchase

Intention (Y2)

-

  • 1.    Berkeinginan kembali mengunjungi lagi dengan sengaja

  • 2.    Berkeinginan mengunjungi lebih sering lagi

  • 3.    Merekomendasikan pada

Johnson et. al (2006) dan Grewal et. al (2008)

responden yang langsung memberikan jawaban terhadap pernyataan yang diajukan dalam kuesioner, dan sumber sekunder adalah lembaga atau instansi yang memiliki berbagai data terkait, yaitu Dinas Pemerintah Provinsi Bali, Bank Mandiri, situs berita online, dan hasil penelitian terdahulu.

Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Tiap indikator penelitian disajikan dalam sebuah pernyataan yang menggunakan Skala Likert 5 poin, mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. Kuesioner disebarkan kepada reponden pengunjung secara langsung dan penyebaran juga dibantu oleh beberapa tenaga lapangan yang merupakan karyawan dari Gusto Gelato and Cafe. Selain itu, kuisioner juga disebar melalui media sosial dengan tujuan untuk efisiensi waktu.

Sebelum digunakan untuk menguji hipotesis, data yang diperoleh melalui instrumen penelitian diuji validitas dan reliabilitasnya. Teknik analisis yang digunakan terdiri atas statistik deskriptif serta statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif yang digunakan berupa distribusi frekuensi dan rata-rata hitung, sedangkan analisis statistik inferensial yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM) dibantu perangkat lunak statistik, yaitu program SPSS versi 13.00 dan program AMOS versi 16.00.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gusto Gelato and Café merupakan sebuah usaha kuliner es krim khas Italia (gelato) yang populer di kawasan pariwisata Badung, Bali yang

didirikan sejak tahun 2010. Tempat ini termasuk unik, karena menjual gelato sebagai menu utama, berbeda dengan café pada umumnya yang menjual gelato sebagai dessert. Tidak hanya enak, gelato yang ditawarkan oleh Gusto Gelato and Café hadir dalam berbagai varian rasa yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya, salah satunya rasa chocolate chilli, cokelat yang memiliki campuran cabai sehingga terasa pedas. Terdapat pula rasa kemangi, sereh, jahe, dan varian rasa unik lainnya. Berbagai rasa lainnya yang cukup populer diantaranya rasa pistachio, praline, matcha, chocolate hazelnut, matcha coconut, jasmine tea, chestnut cream, mascarpone, dragon fruit, rum raisin, dan masih banyak lagi. Kedai gelato ini memiliki hingga 32 varian rasa, baik dari jenis glaces maupun sorbets.

Karakteristik Responden

Karakteristik responden disajikan secara umum berdasarkan jenis kelamin, usia, dan pekerjaan. Responden dalam penelitian ini didominasi oleh mereka yang berusia 17 - 20 dengan persentase sebesar 57,84 persen. Hal ini logis karena gelato memang populer dan banyak dikonsumsi oleh kalangan usia muda. Kondisi ini sejalan dengan data yang menunjukkan bahwa konsumen yang dijadikan sampel pada penelitian ini sebagian besar adalah mahasiswa, yakni lebih dari 50 persen. Selanjutnya dari segi jenis kelamin didominasi oleh responden perempuan sebesar 58,92 persen.

Tabel 2. Karakteristik Responden

No

Konstruk

Klasifikasi

Jumlah

Persentase (%)

1

Usia (tahun)

17 – 20

107

57,84

21 – 25

57

30,81

26 – 30

5

2,70

31 – 35

5

2,70

> 35

11

5,95

Jumlah

185

100

2

Jenis kelamin

Laki-laki

76

41,08

Perempuan

109

58,92

Jumlah

185

100

3

Pekerjaan

Pelajar

52

28,11

Mahasiswa

97

52,43

Wirausaha

11

5,95

Pegawai

16

8,65

Lainnya

9

4,86

Jumlah

185

100

Sumber: Data Primer Diolah, 2015

Deskripsi Konstruk Penelitian

Konstruk experiential marketing, experiential value, dan repurchase intention dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan 37 pernyataan yang direspon menggunakan skala Likert lima poin.

Secara umum responden merepresentasikan konstruk experiential marketing, experiential value, dan repurchase intention dengan baik, yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata secara berturut-turut sebesar 3,63; 3,80; dan 3,74.

Uji Validitas dan Reliabilitas

Hasil dari uji validitas menunjukkan seluruh koefisien korelasi antara nilai suatu indikator dengan nilai total keseluruhan indikator lebih besar dari 0,3 (r 0,3). Hal ini berarti seluruh indikator yang digunakan untuk mengukur konstruk penelitian adalah valid. Sementara itu, hasil uji reliabilitas menunjukkan nilai setiap konstruk yang diuji adalah lebih besar dari 0,6 (Q0,6).

Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat konsistensi dan keandalan dari seluruh indikator yang digunakan dalam konstruk penelitian. Tabel 4 dan Tabel 5 secara berturut-turut menunjukkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian.

Pengujian asumsi-asumsi SEM

Pengujian asumsi teknik analisis SEM dilihat dari tiga aspek yaitu evaluasi normalitas data, evaluasi outliers, multicolenirity, dan singularity. Pengujian terhadap normalitas data menunjukkan bahwa seluruh nilai critical ratio berada dalam rentang ± 2,58, sehingga secara keseluruhan (multivariat) data berdistribusi normal, sehingga layak digunakan untuk analisis data selanjutnya. Evaluasi Outliers distance menggunakan χ2 pada df = 13 (jumlah indikator penelitian) pada tingkat p < 0,01, yaitu χ2 (13) = 27,688 adalah cut off outlier multivariate. Terdapat 10 data (dari 185 data) yang melebihi Mahalanobis distance. Dalam analisis penelitian menggunakan SEM, bila tidak ada alasan khusus untuk mengeluarkan data yang mengindikasikan terdapat outlier, maka data tersebut harus tetap diikutsertakan dalam analisis selanjutnya (Ferdinand, 2002:108).

Selain itu, asumsi evaluasi outlier masih dapat terpenuhi karena meskipun terdapat 10 data yang outlier, ukuran sampel dalam penelitian ini masih sesuai dengan ketentuan dari estimasi model maximum likehood yang berada dalam rentang 100 hingga 200, sehingga jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini masih dapat dikatakan merepresentasikan populasi konsumen Gusto Gelato and Cafe. Dalam penelitian ini, data yang digunakan memiliki nilai determinant of sample covariance matrix sebesar 0,0000001394 (p>0), yang artinya tidak ada indikasi multicollinearity dan singularity dalam data penelitian ini.

Pengujian Model Pengukuran

Uji Kecocokan (Goodness of Fit) model pengukuran dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat disimak bahwa nilai keseluruhan indeks goodness of fit dari konstruk experiential marketing menunjukkan hasil yang baik setelah dibandingkan dengan nilai kritis dari kriteria goodness of fit. Hal ini berarti data yang diobservasi telah sesuai (konsisten) dengan teori atau model yang dikembangkan. Dengan kata lain, model atau teori yang dikembangkan dan diuji mendapat dukungan empiris yang memadai.

Pada konstruk experiential value beberapa nilai dari indeks goodness of fit menunjukkan hasil yang kurang baik apabila dibandingkan dengan nilai kritisnya, diantaranya nilai probabilitas sebesar 0,007, nilai chi-square sebesar 9,962 dan nilai CMIN/DF sebesar 4,981. Di lain pihak, nilai dari AGFI sebesar 0,860 tergolong ke dalam marginal fit jika dibandingkan dengan nilai kritisnya, yang artinya nilai dari parameter ini masih dapat diterima meskipun tidak menunjukkan hasil dengan goodness of fit yang tinggi sekalipun.

Dalam analisis SEM tidak ada alat uji statistik tunggal untuk mengukur atau menguji hipotesis mengenai model (Hair et al., 2006). Umumnya terdapat berbagai jenis fit index yang digunakan untuk mengukur derajat kesesuaian antara model atau teori dengan data yang disajikan. Dengan demikian, pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan fit index lainnya untuk mengukur

Tabel 3. Deskripsi Jawaban Responden Masing-masing Konstruk

Rata-rata skor

Keterangan

Experiential Marketing

3,63

Baik

Experiential Value

3,80

Baik

Repurchase Intention

3,74

Baik

Tabel 4. Hasil Uji Validitas

No

Konstruk

Dimensi

Indikator

Korelasi

Item Total

Keterangan

X1.11

0,689

Valid

X1.12

0,723

Valid

Sense

X1.13

0,837

Valid

X1.14

0,827

Valid

X1.15

0,744

Valid

Experiential

X1.21

0,628

Valid

1

Marketing

X1.22

0,709

Valid

(X1)

Feel

X1.23

0,838

Valid

X1.24

0,715

Valid

X1.25

0,680

Valid

X1.31

0,682

Valid

Think

X1.32

0,578

Valid

X1.33

0,808

Valid

X1.34

0,752

Valid

X1.41

0,702

Valid

0,638

Valid

Act

X1.43

0,487

Valid

X1.44

0,854

Valid

X1.51

0,708

Valid

X1.52

0,804

Valid

Relate

X1.53

0,661

Valid

X1.54

0,781

Valid

Y1.11

0,760

Valid

CROI

Y1.12

0,843

Valid

Y1.13

0,747

Valid

Y1.21

0,855

Valid

Service

Y1.22

0,838

Valid

Experiential

Excellent

2

Value

Y1.23

0,865

Valid

(X2)

0,573

Valid

Aesthetic

Y1.32

0,687

Valid

Y1.41

0,777

Valid

Playfulness

Y1.42

0,880

Valid

Y1.43

0,769

Valid

Y2.1

0,844

Valid

Repurchase

Y2.2

0,883

Valid

3

Intention

-

Y2.3

0,915

Valid

(Y1)

Y2.4

0,905

Valid

Sumber: Data Primer Diolah, 2015

Tabel 5. Hasil Uji Reliabilitas

No

Konstruk

Cronbach’s Alpha

Keterangan

1

Experiential Marketing (X1)

0,954

Reliabel

2

Experiential Value (Y1)

0,936

Reliabel

3

Repurchase Intention (Y2)

0,906

Reliabel

Tabel 6. Indeks Goodness of Fit Univariat

Konstruk

Goodness of Fit

Nilai Kritis

Nilai Model

Keterangan

Experiential

Probability

≥ 0,05

0,910

Baik

Marketing

Chi-square

Diharapkan kecil/ <13,276*

0,995

Baik

CMIN/DF

≤ 2,00

0,249

Baik

GFI

≥ 0,90

0,998

Baik

TLI

≥ 0,90

1,020

Baik

CFI

≥ 0,95

1,000

Baik

RMSEA

≤ 0,80

0,000

Baik

AGFI

≥ 0,90

0,992

Baik

Experiential

Probability

≥ 0,05

0,007

Kurang Baik

Value

Chi-square

Diharapkan kecil/ <9,210**

9,962

Kurang Baik

CMIN/DF

≤ 2,00

4,981

Kurang Baik

GFI

≥ 0,90

0,972

Baik

TLI

≥ 0,90

0,919

Baik

CFI

≥ 0,95

0,973

Baik

RMSEA

≤ 0,80

0,147

Baik

AGFI

≥ 0,90

0,860

Marginal Fit

Repurchase

Probability

≥ 0,05

0,094

Baik

Intention

Chi-square

Diharapkan kecil/ <9,210***

4,731

Baik

CMIN/DF

≤ 2,00

2,365

Kurang Baik

GFI

≥ 0,90

0,987

Baik

TLI

≥ 0,90

0,979

Baik

CFI

≥ 0,95

0,993

Baik

RMSEA

≤ 0,80

0,086

Baik

AGFI

≥ 0,90

0,933

Baik

Sumber: Data Primer Diolah, 2015

Keterangan : *Nilai chi-square diperoleh dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel, p=0,01 dan df=4

**Nilai chi-square diperoleh dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel, p=0,01 dan df=2

***Nilai chi-square diperoleh dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel, p=0,01 dan df=2

kebenaran model atau teori yang diajukan (Ferdinand, 2002:54). Nilai RMSEA, GFI, TLI, dan CFI experiential value menunjukkan hasil yang sangat baik apabila dibandingkan dengan nilai kritisnya. RMSEA adalah sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengkompensasi chi-square statistic dalam sampel yang besar (Baumgartner & Homburg, 1996). Dalam penilaian suatu model atau teori, indeks TLI dan CFI sangat dianjurkan untuk digunakan sebagai acuan karena indeks ini relatif tidak sensitif terhadap besarnya sampel dan kurang dipengaruhi pula oleh kerumitan model (Ferdinand, 2002:61). Hal ini berarti model atau teori dari konstruk experiential value telah memenuhi kriteria goodness of fit, atau model atau teori yang digunakan telah sesuai dengan data empiris yang disajikan.

Begitu pula pada konstruk repurchase intention, dimana nilai CMIN/DF adalah sebesar 2,365. Angka ini lebih besar dari nilai kritis yang disyaratkan, yaitu 2,00. Nilai probilitas, chi-square, GFI, TLI, CFI, RMSEA, dan AGFI dari konstruk repurchase intention menunjukkan hasil yang baik. Apabila terdapat salah satu atau lebih parameter yang telah fit, maka model dinyatakan fit (Farisya, 2012). Hal ini berarti model atau teori dari konstruk repurchase intention telah memenuhi kriteria goodness of fit, dimana teori yang digunakan sesuai dengan data empiris yang disajikan.

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa semua indikator menghasilkan nilai estimasi dengan critical ratio lebih besar dari dua kali standard errornya dan seluruh indikatornya menunjukkan nilai p yang kurang dari 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa

seluruh indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi dari konstruk experiential marketing, experiential value, dan repurchase intention adalah valid.

Hasil uji reliabilitas dan variance extracted menunjukkan bahwa construct reliability dan variance extract pada penelitian ini telah memenuhi batas-batas nilai yang disyaratkan, masing-masing nilai dari construct reliability experiential marketing, experiential value, dan repurchase intention adalah 0,86; 0,84; 0,88 (lebih besar dari 0,80) dan variance extracted masing-masing sebesar 0,55; 0,57; dan 0,65 (lebih besar dari 0,50). Hal ini berarti indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai konsistensi tinggi dalam mengukur konstruk experiential marketing, experiential value, dan repurchase intention.

Pengujian Persamaan Struktural (Structural Model)

Berdasarkan hasil analisis persamaan struktural, maka diperoleh nilai kausalitas antar konstruk untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk mempermudah melihat kekuatan pengaruh antar konstruk, baik pengaruh langsung, tidak langsung, maupun pengaruh totalnya, maka dapat dilihat pada diagram alur dari hasil analisis persamaan struktural.

Berdasarkan Tabel 7 dan Gambar 2, hasil uji kesesuaian model secara keseluruhan (multivariate) telah menunjukkan bahwa semua kriteria goodness of fit terpenuhi setelah dibandingkan dengan nilai kritisnya. Hal ini menunjukkan bahwa model konstruk penelitian yang dibangun sesuai dengan teori yang dikembangkan, sehingga tidak perlu dilakukan respesifikasi model.

Tabel 7. Indeks Goodness of Fit Multivariat

No

Kriteria

Nilai Kritis

Nilai Model

Simpulan

1

Probablity

≥ 0,05

0,099

Baik

2

Chi-square

Diharapkan kecil/<*90,80

76,719

Baik

3

CMIN/DF

≤ 2,00

1,237

Baik

4

GFI

≥ 0,90

0,941

Baik

5

TLI

≥ 0,95

0,986

Baik

6

CFI

≥ 0,95

0,989

Baik

7

RMSEA

≤ 8,00

0,36

Baik

8

AGFI

≥ 0,90

0,914

Baik

Sumber: Data Primer Diolah, 2015

Keterangan: *Nilai chi-square diperoleh dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel, p=0,01 dan df=62

Gambar 2. Validasi Diagram Alur Akhir

Sumber: Data Primer Diolah, 2015


Pengujian Hipotesis

Berdasarkan pengujian model pengukuran dan model struktural yang telah dipaparkan, dapat disajikan hasil pengujian hipotesis seperti tertera pada Tabel 8.

Deskripsi Konstruk Penelitian

Hasil penilaian responden terhadap keseluruhan konstruk diperoleh dengan menjumlahkan rata-rata setiap indikator kemudian dibagi dengan jumlah indikator di masing-masing konstruk. Untuk konstruk experiential marketing, indikator dari dimensi feel, yaitu varian rasa yang beragam menunjukkan nilai rata-rata tertinggi (4,13). Hal ini dikarenakan konsumen merasa dimanjakan dengan berbagai rasa yang unik dan lezat hingga mencapai 32 varian rasa. Indikator dari konstruk experiential value yang menunjukkan nilai rata-rata tertinggi (4,00) terdapat pada dimensi Consumer Return on Investment (CROI), yaitu merasa puas dengan mengkonsumsi produk tersebut, hal ini karena penyajian yang menarik serta kualitas yang sepadan dengan harga membuat konsumen merasa puas mengkonsumsi gelato. Untuk konstruk repurchase intention, indikator yang memiliki nilai rata-rata tertinggi adalah berkeinginan mengajak keluarga, teman, atau kerabat untuk mengunjungi Gusto Gelato and Café (4,03). Hal ini logis mengingat tempat ini menyediakan ruang dan suasana yang sangat mendukung untuk berkumpul bersama dengan orang-orang terdekat sambil menikmati gelato.

Pengaruh Experiential Marketing terhadap Experiential Value

Berdasarkan pengujian hipotesis pertama, diperoleh hasil bahwa experiential marketing berpengaruh terhadap experiential value sebesar

0,865 dengan (p-=0,000). Dengan demikian, hipotesis pertama diterima karena p--value lebih rendah dari 0,05 (Ghozali, 2008:87). Hal ini menunjukkan bahwa experiential marketing secara positif berpengaruh signifikan terhadap experiential value. Dengan kata lain, semakin tinggi penerapan experiential marketing yang dilakukan, maka semakin positif pula experiential value yang dapat ditanamkan di benak konsumen Gusto Gelato and Café.

Tujuan utama dari experiential marketing adalah menciptakan holistic experience¸ yaitu sebuah pengalaman menyenangkan yang tidak hanya dapat memenuhi sisi rasional, tetapi juga sisi emosional konsumen. Penciptaan pengalaman ini melibatkan sense, feel, act, think, dan relate. Sense bertujuan untuk menyentuh sensory experience dengan melibatkan panca indera konsumen untuk menciptakan pengalaman yang berkesan. Feel bertujuan untuk menciptakan pengalaman afektif bagi kosumen, seperti pelayanan yang ramah atau bagaimana responsivitas perusahaan dalam menangani keluhan konsumen.

Think merupakan penciptaan pengalaman untuk memenuhi kebutuhan kognitif konsumen, dimana konsumen dilibatkan untuk ikut serta dalam pemikiran yang kreatif dan mengevaluasi kembali produk perusahaan, dengan cara mengajak konsumen untuk mencicipi berbagai varian rasa gelato secara cuma-cuma sebelum membeli.

Act digunakan untuk menciptakan pengalaman yang mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan segala bentuk interaksi terhadap konsumen. Misalnya, apakah gaya hidup seseorang akan mempengaruhi perilaku dan pola konsumsi suatu produk atau jasa tertentu. Di sisi lain, relate bertujuan untuk

Tabel 8. Nilai Standardized Direct, Indirect, dan Total Effect

Direct Effect

Estimate

Standardized

P

Exp. Marketing → Exp. Value

0,865

***

Exp. Value → Repurchase Int.

0,411

0,013

Exp. Marketing → Repurchase Int.

0,432

0,008

Indirect Effect

Exp. Marketing → Exp. Value → Repurchase Int.

0,355

-

Total Effect

Exp. Marketing → Repurchase Int.

0,787

-

menciptakan adanya hubungan konsumen dengan suatu produk atau merek tertentu, baik dari sisi emosional maupun rasional.

Dimensi experiential marketing yang dapat memengaruhi experiential value secara signifikan adalah feel. Dimensi ini meliputi tersedianya berbagai macam varian rasa dari gelato, pelayanan yang ramah, suasana yang mengesankan dan menyenangkan, serta kebersihan yang selalu terjaga. Kondisi ini menciptakan suatu nilai di benak konsumen atas pengalaman konsumsi yang diperolehnya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan dari Kusuma (2013) yang menemukan bahwa experiential marketing berpengaruh positif pada experiential value. Gowinda dan Suprapti (2014) pada penelitiannya juga memperoleh temuan adanya pengaruh experiential marketing terhadap experiential value secara positif dan signifikan pada pengguna Smartphone di Kota Denpasar. Maghnati et al. (2012) dalam penelitiannya pada industri smartphone juga menemukan hubungan yang positif antara experiential marketing dan experiential value. Selain itu, Utarie dkk. (2013) juga menemukan adanya hubungan positif antara experiential marketing dan experiential value studi kasus di Nanny’s Pavillion Terrace – Central Park Mall.

Pengaruh Experiential Value terhadap Repurchase Intention

Berdasarkan pengujian hipotesis ketiga, diperoleh hasil bahwa experiential value berpengaruh terhadap repurchase intention sebesar 0,411 dengan (p=0,013). Pengaruh tersebut signifikan dan hipotesis ketiga diterima karena p--value lebih rendah dari 0,05 (Ghozali, 2008:87). Hal ini menunjukkan bahwa experiential value secara positif berpengaruh signifikan terhadap repurchase intention. Berarti, semakin tinggi penerapan experiential value yang dilakukan, maka semakin positif pula repurchase intention yang akan tercipta dari konsumen Gusto Gelato and Café. Dimensi dari experiential value yang paling mempengaruhi repurchase intention adalah Consumer Return on Investment (CROI), yaitu harga yang sebanding dengan kualitas, fasilitas, dan layanan, adanya perasaan puas setelah mengkonsumsi gelato, serta adanya stimulus untuk membuat perasaan (mood) menjadi lebih baik, telah mampu meningkatkan minat konsumen untuk melakukan aktivitas pembelian ulang.

Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan dari Nigam (2012) yang menemukan adanya hubungan yang positif mengenai pengaruh experiential value

terhadap purchase intention. Selain itu, Kusuma (2013) dalam penelitiannya pada konsumen Garuda Indonesia di Surabaya juga menemukan adanya pengaruh positif experiential value terhadap repurchase intention. Wong dan Mei (2010) juga memperoleh hasil yang serupa bahwa dimensi-dimensi dari experiential value memiliki dampak positif terhadap pembelian.

Pengaruh Experiential Marketing terhadap Repurchase Intention

Berdasarkan pengujian hipotesis ketiga, diperoleh hasil bahwa experiential marketing berpengaruh terhadap repurchase intention sebesar 0,432 dengan (p=0,008). Pengaruh tersebut signifikan dan hipotesis ketiga diterima karena p--value lebih rendah dari 0,05 (Ghozali, 2008:87). Hal ini menunjukkan bahwa experiential marketing secara positif berpengaruh signifikan terhadap repurchase intention. Semakin tinggi penerapan experiential marketing yang dilakukan, maka semakin positif pula repurchase intention yang akan tercipta dari konsumen Gusto Gelato and Café.

Experiential marketing, khususnya dimensi act dan relate yang secara umum menggambarkan gaya hidup serta adanya rasa ingin berbagi pengalaman dan berkumpul dengan orang-orang terdekat saat mengkonsumsi gelato secara signifikan dapat mempengaruhi repurchase intention. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2013), yang menemukan bahwa experiential marketing berpengaruh positif terhadap repurchase intention pada konsumen Garuda Indonesia di Surabaya. Temuan serupa juga ditemukan oleh Hendarsono dan Sugiharto (2013) dalam penelitiannya pada 100 konsumen Café Buntos 99 Sidoarjo yang menyatakan bahwa experiential marketing berpengaruh positif terhadap repurchase intention. Selain itu, dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Farisya (2012) diperoleh temuan bahwa pengaplikasian experiential marketing secara tepat dapat menimbulkan minat pembelian ulang konsumen karena sebagian indikator kesuksesan suatu perusahaan ditentukan minat pembelian ulang konsumennya .

Peran Experiential Value dalam Memediasi Pengaruh Experiential Marketing terhadap Repurchase Intention

Berdasarkan pengujian hipotesis keempat, diperoleh hasil bahwa experiential marketing berpengaruh terhadap repurchase intention melalui

konstruk experiential value sebesar 0,355; sehingga konstruk experiential value dapat memediasi pengaruh tidak langsung antara konstruk experiential marketing terhadap repurchase intention. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis keempat, terdukung.

Tingginya experiential value yang dapat tercipta dapat mempengaruhi hubungan experiential marketing terhadap repurchase intention. Dalam penelitian ini, feel yang merupakan bagian dari experiential marketing telah mampu menciptakan Consumer Return on Investmen (CROI) yang merupakan bagian dari experiential value. Selanjutnya, hal ini dapat mempengaruhi minat beli ulang pada konsumen Gusto Gelato and Cafe, yang ditandai dengan adanya keinginan untuk mengajak kerabat dan orang-orang terdekat untuk berkunjung kembali.

Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan dari Nigam (2012) yang menemukan adanya peran experiential value dalam memediasi konstruk experiential marketing terhadap repurchase intention pada restoran cepat saji di India. Hasil dari penelitian ini juga mendukung penelitian yang telah dilakukan Kusuma (2013) yang memperoleh hasil bahwa experiential value dapat menjadi mediator bagi hubungan experiential marketing terhadap repurchase intention pada konsumen Garuda Indonesia di Surabaya.

Implikasi Hasil Penelitian

Gusto Gelato and Café adalah sebuah café yang memberikan suasana dan suguhan yang berbeda dari kebanyakan cafe pada umumnya. Di cafe ini, es krim yang biasanya disajikan sebagai dessert (makanan penutup) justru dijadikan sebagai menu utama. Gusto Gelato and Café telah mencoba menerapkan experiential marketing dalam memberikan pengalaman menikmati es krim yang berbeda yang disesuaikan dengan gaya hidup masyarakat modern. Hasil dari penelitian ini memberikan implikasi manajerial bagi pihak Gusto Gelato and Café mengenai experiential marketing yang telah diterapkan serta pengaruhnya terhadap repurchase intention berdasarkan experiential value yang diperoleh konsumen.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa experiential marketing memiliki pengaruh langsung yang sangat kuat terhadap experiential value sebesar 0,865. Penting bagi pihak Gusto Gelato and Café untuk memastikan bahwa penerapan experiential marketing telah dilakukan dengan baik

dan tepat melalui konsep yang kuat dengan memadukan sense, feel, think, act, dan relate, sehingga ke depannya dapat secara konsisten menciptakan experiential value bagi konsumen yang mengunjungi Gusto Gelato and Café.

Penelitian ini juga menyatakan bahwa experiential value secara langsung mempengaruhi repurchase intention konsumen untuk mengunjungi Gusto Gelato and Café. Peningkatan aktivitas untuk menciptakan experiential value menjadi salah satu tugas krusial bagi Gusto Gelato and Café karena experiential value setidaknya dapat menciptakan kepuasan konsumen dari pelayanan yang menyenangkan dan responsif. Hal ini kemudian berdampak pada repurchase intention konsumen, yang merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan dari Gusto Gelato and Café.

Strategi-strategi yang menekankan pada pengalaman holistik untuk memenuhi sisi emosional konsumen dapat menciptakan repurchase intention di kalangan konsumen karena dianggap mampu membuat konsumen tertarik untuk berkunjung kembali ke Gusto Gelato and Café.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa experiential marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap experiential value, experiential value berpengaruh positif dan signifikan terhadap repurchase intention, experiential marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap repurchase intention, dan experiential value berpengaruh positif dan signifikan dalam memediasi pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention.

Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan, maka beberapa saran dapat diberikan bagi pihak-pihak terkait. Bagi pihak Gusto Gelato and Café, disarankan untuk memberikan inovasi yang berkelanjutan dan stimulus lainnya untuk memberikan pengalaman konsumsi kepada konsumen mengenai konsep pelayanan yang kuat dan unik, sehingga dapat menunjang kebutuhan gaya hidup konsumen. Hal ini diharapkan dapat terus meningkatkan daya tarik Gusto Gelato and Café. Untuk meningkatkan pengalaman konsumen, dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan proses pembuatannya kepada konsumen sekaligus menginformasikan mengenai manfaat setiap varian rasa dari gelato yang ada.

Kegiatan ini sekaligus dapat menjadi media untuk mengedukasi konsumen mengenai manfaat bagi tubuh dari setiap varian rasa gelato yang tersedia, seperti varian rasa stroberi, aloe vera, seledri, kunyit, jahe dan lainnya. Dengan demikian, kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat nilai pengalaman konsumsi konsumen dengan melibatkan konsumen secara lebih intens dengan memperlihatkan proses pembuatan. Konsumen akan merasa lebih diuntungkan dengan tidak hanya memperoleh pengalaman mengkonsumsi, tetapi juga diedukasi mengenai manfaat produk yang mereka konsumsi. Pengaplikasian experiential marketing secara tepat dapat menciptakan experiential value, yang kemudian berdampak positif terhadap repurchase intention, karena salah satu indikator kesuksesan suatu perusahaan adalah ditentukan oleh minat beli ulang konsumennya secara berkesinambungan.

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas ruang lingkup penelitian dengan konsumen yang tersebar di berbagai wilayah, baik dalam skala regional maupun nasional dengan produk yang lebih dikenal masyarakat luas. Peneliti selanjutnya juga dapat mengubah objek penelitian, misalnya perusahaan yang bergerak di industri jasa yang lebih menitikberatkan pada pengalaman pelayanannya. Dalam penelitian di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan untuk menggunakan konstruk lain, sehingga dapat memperkaya informasi yang diperoleh guna mendorong minat beli ulang konsumen.

REFERENSI

Andreani, F. 2007. Experiential marketing (sebuah pendekatan pemasaran). Jurnal Manajemen Pemasaran, 2 (1): 1-8.

Baumgartner, H., and Homburg, C. 199. Applications of Structural Equation Modeling in Marketing and Consumer Research: A Review. International Journal of Research in Marketing, 13(4): 139-16.

Datta, V., and Vasantha. 2013. Experiential value, customer satisfaction and customer loyalty: An Empirical Study of KFC in Chennai. Indian Journal of Applied Research, 3 (9): 334-337.

Dewanti, R., Chu, T.F., Wibisono, S. 2011. The influence of experiential marketing, emotional branding, brand trust towards brand loyalty. Jurnal Manajemen Bina Nusantara, 80 (5):1109-1117.

Farisya. 2012. Pengaruh experiential marketing terhadap rephurcase intention melalui

customer satisfaction sebagai konstruk interventing. (Studi Kasus: Nanny’s Pavillon Bathroom – Pacific Place). Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Niaga Universitas Indonesia.

Ferdinand, A. 2002. Structural equation modelling dalam penelitian manajemen, aplikasi model-model rumit dalam penelitian untuk tesis magister dan disertasi doktor. Edisi ke-2. Semarang: BP Universitas Diponegoro.

Ghozali, I. 2008. Aplikasi analisis multivariat dengan program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Diponegoro.

Gowinda, H., dan Suprapti S. 2014. Pengaruh experintial marketing terhadap experiential value pada pengguna smartphone di Kota Denpasar. Jurnal Manajemen Pemasaran Universitas Udayana.

Grewal, D., Roggeveen, A.L., and Tsiros, M. 2008. The effect of compensation on repurchase intentions in service recovery. Journal of Retailing, 84 (4): 424–434.

Hair, J.F. 2006. Multivariate data analysis. New Jersey: Pretince Hall.

Hellier, Kotler, P., Geursen, G.M., Carr, R.A., and Rickard, J.A. 2003. Customer repurchase intention: a general structural equation model. European Journal of Marketing, 37 (11), pp: 1762-1800.

Hendarsono, G., dan Sugiharto S. 2013. Analisa pengaruh experiential marketing terhadap minat beli ulang konsumen cafe Buntos 99 Sidoarjo. Jurnal Manajemen Pemasaran, (2):1-8.

Johnson, M.D., Herrman, A., and Huber, F. 2006. The evolution of loyalty intentions. Journal of American Marketing Association, 70 (2): 122132.

Kotler, P., Kartajaya, H., dan Setiawan, I. 2010. Marketing 3.0: dari produk ke pelanggan ke human spirit, Jakarta: 2010.

Kusuma, A.A. 2013. Pengaruh experiental marketing terhadap repurchase intention melalui experiental value pada maskapai penerbangan garuda di Indonesia. Jurnal Manajemen Pemasaran, 1(1):1-6.

Lacey, R., and Morgan, R.M. 2007. Differential effects of preferential treatment levels on relational outcomes. Journal of Service Research, 9(3): 241-256.

Larasati, P.A., dan Suprapto, B. 2013. Pengaruh experiential marketing terhadap experiential value pada produk Blackberry. E-jurnal

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1(1): 19.

Maghnati, F., Kwek, C.L., and Nasermoadeli, A. 2012. Exploring the relationship between experiential marketing and experiential value in the Smartphone Industry. International Business Research, 11 (5): 169-177.

Mathwick, C., Malhotra, N., and Rigdon, E. 2001. experiential value: conceptualization, measurement and application in the catalog and internet shopping environment. Journal of Retailing, 1 (77): 39-56.

Nigam, A. 2012. Modeling relationship between experiential marketing, experiential value and purchase intension in organized quick service chain restaurants using structural equation modeling approach. International Journal of Computer Science and Management Studies, 6 (12): 114-123.

Noegroho, O.A., Suharyono, dan Kumadji, S. 2010. Pengaruh experiential marketing dan brand trust terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan (survei pada pelanggan KFC cabang kawi Malang). Jurnal Administrasi Bisnis, 2 (6): 1-7.

Obonyo, M. 2006. Experiential marketing, experiential value, purchase behaviour and customer loyalty in the telecoms industry. Dissertation for Master of Science in Marketing, Makerere University.

Rosanti, N., Kumadji, S., dan Yulianto, E. 2014. Pengaruh experiential marketing dan experiential value terhadap customer

satisfaction (Survei pada Mahasiswa FIA Bisnis 2013/2014 Pengguna Android Samsung). Jurnal Administrasi Bisnis, 1 (16): 1-7.

Rotti, G.K.E. 2012. Analisis pengaruh experiential marketing terhadap customer satisfaction dan dampaknya terhadap loyalitas pelanggan (studi Kasus: Blitz Megaplex Grand Indonesia). Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Schmitt, B. 1999. Experiental Marketing. Journal of Marketing Management, 1(15): 53-67.

Smilansky, S. 2009. Experiential marketing: a practical guide to interactive brand experience, London and Philadelphia: Kogan Page.

Srivastva, R.K. 2008. How experiential marketing can be used to build brands – a case study of two specialty stores. Journal of Innovative Marketing, 2 (4): 70-76.

Sugiyono. 2014. Metode penelitian bisnis. Bandung: Alfabeta.

Utarie, N., dan Prabowo, H. 2013. Pengaruh experiential marketing dan relationship marketing terhadap experiential value dan dampaknya terhadap customer behavioral intention (Studi Kasus: Nanny’s Pavillon Terrace – Central Park Mall). Jurnal Manajemen Pemasaran, 1(1): 1-10.

Wong, H.L., and Mei, C.T. 2010. The effects of service encounter and experiential value on consumer purchasing behavior. Journal of WSEAS Transactions on Business and Economics, 2 (7): 59-68.