Journal of Marine and Aquatic Sciences 5(2), 289-296 (2019)

Variasi Data Suhu Permukaan Laut, Tinggi Paras Laut, Klorofil-a, dan Upwelling di Perairan Selatan Jawa serta Korelasinya Dengan Data Lapangan

Herlambang Aulia Rachman a*, Jonson Lumban Gaol a, Fadli Syamsudin b

a Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat-Indonesia b Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah (PTPSW) , Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +6285-792-277-655

Alamat e-mail: herlambangauliarachman@mail.com

Diterima (received) 5 Desember 2019; disetujui (accepted) 29 Desember 2019; tersedia secara online (available online) 30 Desember 2019

Abstract

South Java Sea are regions that have quite complex dynamics because they are influenced by several factors, both regionally and globally. The influence certainly affects the variations in oceanographic features such as Sea Surface Temperature (SST), Sea Surface Height (SSH), and Chlorophyll-a concentration. Observation of oceanographic feature at this time has many methods, one of them by remote sensing. The purpose of this study is to calculate the variation of oceanographic conditions based on satellite data and its correlation with field data. The results show that the SPL and ATPL data with the field data have a fairly good relationship, where the value of R2 reaches 0.74 and 0.9. In general, the variation of oceanographic data has the same pattern that is changing seasonally. SST and SSH data are at their maximum in the January-March period, while the minimum is July-September. While the concentration of chlorophyll-a is at the maximum condition in July-September and minimum in January-March. This is thought to be an upwelling phenomenon that occurred in July-September due to the monsoon wind movement. Upwelling index calculation results based on wind data show that in the period June to September is the peak of the upwelling phenomenon.

Keywords: South Java Sea; sea surface temperature; sea surface height; chlorophyll-a; upwelling

Abstrak

Perairan Selatan Jawa merupakan wilayah yang memiliki dinamika yang cukup kompleks karena dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara regional atau global. Adanya pengaruh tersebut tentu berdampak terhadap variasi kondisi oseanografi di perairan seperti Suhu Permukaan Laut (SPL), Tinggi Paras Laut (TPL), dan Klorofil-a. Observasi data oseanografi pada saat ini telah banyak dilakukan, salah satunya dengan metode pengindraan jauh. Tujuan dalam penelitian ini adalah menghitung variasi bulanan dari kondisi oseanografi berdasarkan data satelit dan korelasinya dengan data lapangan. Hasil validasi menunjukkan data SPL dan ATPL dengan data lapangan memiliki hubungan cukup baik, dimana nilai R2 mencapai 0.74 dan 0.9. Variasi data oseanografi secara umum memiliki pola yang sama yakni berubah secara musiman. Data SPL dan ATPL berada pada kondisi maksimum pada periode bulan Januari-Maret, sedangkan minimum pada Juli-September. Sedangkan konsentrasi klorofil-a berada kondisi maksimum pada Juli-September dan minimum pada Januari-Maret. Hal tersebut diduga adanya fenomena upwelling yang terjadi pada Juli-September akibat adanya pergerakan angin muson. Hasil perhitungan indeks upwelling berdasarkan data angin menunjukkan bahwa pada periode Juni hingga September merupakan puncak terjadinya upwelling.

Kata Kunci: Perairan Selatan Jawa; suhu permukaan laut; tinggi paras laut; klorofil-a; upwelling

  • 1.    Pendahuluan

Perairan Indonesia merupakan salah satu wilayah yang cukup unik, dimana terletak diantara dua

benua dan lautan besar yakni Benua Asia dan Australia serta Samudera Pasifik dan Hindia. Oleh karena itu, dinamika perairan Indonesia tidak terlepas dari pengaruh keduanya baik secara

regional dan global seperti fenomena Muson (Moore et al., 2003; Susanto et al., 2006; Wyrtki, 1962), El Nino Southern Oscillation (ENSO) (As-syakur et al., 2014; Hendon, 2003; Susanto and Marra, 2005), dan Indian Ocean Dipole (IOD) (As-syakur et al., 2014; Fadlan et al., 2017; Saji et al., 1999). Salah satu wilayah yang dipengaruhi cukup kuat oleh beberapa faktor tersebut adalah Perairan Selatan Jawa. Beberapa fenomena tersebut tentu memiliki pengaruh terhadap kondisi oseanografi perairan. Kondisi oseanografi perairan merupakan salah satu indikator penting yang berkaitan dengan produktivitas perairan.

Perairan Selatan Jawa dikenal sebagai wilayah yang cukup subur dengan tingkat produktivitas yang cukup tinggi (Hendiarti et al., 2005). Salah satunya diakibatkan oleh adanya pergerakan angin muson timur yang pada periode Juni-November yang menyebabkan adanya fenomena upwelling (Kuswardani and Qiao, 2014; Siswanto and Suranto, 2008; Susanto et al., 2001; Wyrtki, 1962). Úpwelling merupakan fenomena naiknya massa air dari kedalaman menuju permukaan yang disebabkan oleh adanya pergerakan angin yang sejajar garis pantai dan akibat pengaruh gaya Coriolis yang menghasilkan arus Ekman (Kämpf and Chapman, 2016). Adanya proses upwelling ditandai dengan penurunan Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Tinggi Paras Laut (TPL) serta peningkatan konsentrasi klorofil-a (Kuswardani and Qiao, 2014; Siswanto and Suranto, 2008; Susanto et al., 2001). Fenomena upwelling yang menyebabkan naiknya massa air dari perairan dalam mengandung unsur nutrien cukup tinggi. Adanya peningkatan unsur nutrien menyebabkan naiknya konsentrasi klorofil yang memiliki korelasi positif dengan produktivitas perikanan (Ward et al., 2006).

Penggunaan data pengindraan jauh dalam observasi parameter oseanografi seperti SPL, TPL, dan Klorofil-a telah banyak dilakukan sebelumnya. Salah satu keunggulan observasi menggunakan metode pengindraan jauh adalah cakupan yang lebih luas dengan periode yang cukup panjang. Namun, data pengindraan jauh memiliki keterbatasan dalam akurasi pengukuran sehingga perlu diketahui akurasinya terhadap dengan data in situ. Dalam penelitian ini dilakukan analisis mengenai variasi bulanan dari parameter oseanografi tersebut berdasarkan data pengindraan jauh. Selain itu, data pengindraan jauh yang didapatkan juga dibandingkan dengan data in situ untuk mengetahui tingkat akurasinya.

  • 2.    Data dan Metode

Penelitian ini difokuskan pada perairan Selatan Jawa dengan cakupan wilayah 5°S-104°S and 104°E to 115°E. Analisis parameter oseanografi untuk data SPL, TPL, dan Klorofil-a dilakukan berdasarkan data citra satelit. Data SPL diperoleh dari National Atmospheric and Oceanic Administration (NOAA) dengan resolusi spasial 0.25 derajad secara harian dari tahun 1982-2018. Selanjutnya untuk data TPL diperoleh dari data asimilasi yang berasal dari Marine Copernicus dengan resolusi spasial 0.25 derajat secara bulanan dari tahun 1993-2018. Data tersebut merupakan hasil asimilasi dari data multisensor satelit altimetri dan model oseanografi dari CMEMS. Data konsentrasi klorofil-a didapatkan data bulanan citra satelit SeaWIFS dan Aqua Modis dengan resolusi spasial 9 km.

Untuk melihat adanya variasi dari setiap parameter, maka dilakukan nilai rata-rata secara bulanan pada setiap piksel di seluruh wilayah penelitian. Nilai rata-rata bulanan dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:

x =


n

i=1 xi


n

(1)


dimana x nilai merupakan nilai rata-rata bulanan secara total pada bulan ke-i, dan nilai n adalah total tahun yang dilakukan analisis.

Data SPL dan ATPL yang berasal dari citra satelit dilakukan validasi menggunakan data lapangan. Untuk data SPL akan dibandingkan dengan data yang berasal dari Triangle Trans Ocean Buoy Network (TRITON) yang terdapat di wilayah Perairan Barat Sumatera. Data ATPL divalidasi dengan data dari Sea Level Centre, University of Hawaii. Dalam melihat hubungan dari data satelit dengan data lapangan akan dilakukan analisis korelasi dengan persamaan sebagai berikut :

n4XY-(X )(Y)

{{nx2-(x)2}{ny 1 -(y)}  (2)

dimana nilai r merupakan nilai koefisien korelasi, sedangkan X dan Y merepresentasikan antara data citra satelit dengan data lapangan. Tingkat akurasi dari data satelit dihitung menggunakan nilai Root Mean Square Error (RMSE) dengan persamaan sebagai berikut:

RMSE =


v


∑:,(Xobs<


(3)


dimana nilai Xobs merupakan data hasil observasi dan Xsat merupakan data yang berasal dari citra satelit, dan n adalah jumlah data.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Suhu Permukaan Laut (SPL)

Pada Gambar 1 menunjukkan rata-rata bulanan data SPL yang terdapat di Perairan Selatan Jawa berdasarkan data NOAA OISST ¼ dari tahun 19822018. Variasi data SPL di Perairan Selatan Jawa secara umum memiliki pola perubahan secara musiman. Pada musim barat (Desember-Mei) kondisi SPL cenderung lebih hangat dibandingkan musim timur (Juni-November). Kisaran nilai SPL pada musim barat berada pada rentang 28-29°C dengan kondisi maksimum terjadi pada bulan Maret yakni sebesar 29.5°C. Nilai SPL mulai mengalami penurunan pada bulan Mei khususnya pada pesisir wilayah timur Perairan Selatan Jawa yakni mencapai 27°C. Penurunan SPL mulai menyebar ke bagian barat pada bulan Juni hingga September. Kondisi SPL pada musim timur memiliki rentang antara 24-26°C, dimana pada wilayah pesisir cenderung lebih rendah dibandingkan offshore. Nilai minimum SPL terjadi pada bulan September yakni sebesar 24.5°C yang terdapat pada bagian timur. Pada periode bulan Oktober hingga Desember, pola SPL cenderung mengalami peningkatan mulai dari bagian timur dan menyebar ke barat dengan rentang nilai 2729°C.

Validasi data SPL dilakukan dengan membandingkan antara data NOAA OISST ¼ dengan Buoy RAMA yang terdapat di perairan Barat Sumatera, tepatnya pada 5°LS dan 95°BT (Gambar 2). Hasilnya bahwa data SPL dari citra satelit dengan data lapangan memiliki hubungan yang cukup baik dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.74. Nilai RMSE antara data satelit dan lapangan juga relatif cukup rendah yakni hanya sebesar 0.38°C. Adanya perbedaan nilai dari hasil observasi satelit dengan data lapangan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain resolusi spasial citra satelit, kedalaman pengukuran in situ, dan pengaruh dinamika pesisir. Dari hasil nilai RMSE tersebut dikategorikan masih di bawah toleransi

yang diberikan yakni sebesar 0.4°C (Emery, Baldwin, Schlfissel, & Reynolds, 2001).

  • 3.2    Tinggi Paras Laut

Hasil perhitungan rata-rata bulanan data ATPL menunjukkan bahwa Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL) memiliki variasi secara musiman (Gambar 3). Pada periode musim barat (Desember-April), ATPL yang terdapat pada wilayah pesisir cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah laut lepas. Pada periode tersebut rentang data ATPL berkisar antara 0.1 hingga 0.2 m, sedangkan pada wilayah offshore sebesar -0.05 hingga 0 m. Nilai ATPL mulai mengalami penurunan pada bulan Juni-Juli khususnya pada wilayah timur Perairan Selatan Jawa yang mencapai -0.15 m. Pada periode Agustus-September, penurunan ATPL mulai menyebar hingga wilayah barat sehingga seluruh Pesisir Selatan Jawa memiliki nilai ATPL negatif. Pada periode ini, nilai ATPL berada pada kondisi minimum yakni mencapai -0.4 m.

Validasi data TPL dilakukan pada empat stasiun yang terdapat di Perairan Selatan Jawa yakni Prigi, Cilacap, Benoa, dan Pulau Christmas (Gambar 4). Dari keempat stasiun tersebut, nilai R2 terbesar terdapat pada stasiun Prigi yakni sebesar 0.956, kemudian Cilacap sebesar 0.948, dan Benoa sebesar 0.939. Nilai R2 yang tinggi menggambarkan bahwa data SSH memiliki pola yang sama dengan data elevasi pasang surut yang terdapat di setiap stasiun tersebut. nilai RMSE terendah terdapat pada stasiun Pulau Christmas yakni sebesar 0.41 m, kemudian Benoa sebesar 0.47 m. Nilai RMSE untuk stasiun Cilacap dan Prigi masing-masing adalah sebesar 0.84 m dan 0.9 m. Nilai RMSE dapat menggambarkan seberapa besar eror atau selisih antara data SSH yang digunakan dengan data elevasi pasang surut yang terdapat di setiap stasiun di Lapangan. Rendahnya nilai RMSE yang terdapat pada Stasiun Pulau Christmas dibanding lokasi lain diduga karena ada pengaruh dari dinamika pantai (Etcheverry, Saraceno, Piola, Valladeau, & Möller, 2015).

  • 3.3    Klorofil a

Variasi klorofil-a di Perairan Selatan Jawa secara umum memiliki pola yang berubah secara musiman. Konsentrasi klorofil-a mulai menunjukkan adanya peningkatan pada bulan Mei hingga Juni, khususnya pada bagian timur. Pada

Gambar 1. Variasi Bulanan SPL di Perairan Selatan Jawa dari tahun 1982-2017


Gambar 2. Validasi data NOAA OISST dengan data Buoy RAMA


periode Juni-Oktober sebaran konsentrasi klorofil-a tidak hanya terdapat pada wilayah timur melainkan juga pada bagian barat. Konsentrasi maksimum terjadi pada bulan Agustus-September yakni mencapai 1.2 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a mulai menurun pada musim barat dimulai pada bulan Desember hingga Februari yang hanya mencapai 0.05 mg/m3.

Penelitian mengenai validasi data konsentrasi klorofil-a berdasarkan data MODIS dan SeaWIFS untuk wilayah Indonesia masih jarang dilakukan. Hal tersebut dikarenakan data in situ dalam observasi klorofil secara spasial dan temporal masih jarang untuk dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Winarso & Hartuti, 2013) menunjukkan bahwa klorofil-a yang dihasilkan

Gambar 3. Variasi bulanan data ATPL di Perairan Selatan Jawa dari tahun 1993-2017


Gambar 4. Validasi data TPL dengan data Pasut di Perairan Selatan Jawa


dari satelit MODIS memiliki akurasi yang cukup baik yakni diatas 60%.

Berdasarkan hasil perhitungan untuk variasi bulanan menunjukkan bahwa nilai SPL, TPL, dan Klorofil-a memiliki pola yang sama yakni mengalami perubahan secara musiman. Kondisi tersebut secara umum disebabkan oleh adanya pola pergerakan angin yang bervariasi secara musiman. Pada saat musim timur (Juni hingga November), adanya pergerakan angin dari arah tenggara akan membangkitkan arus menyusur pantai (Ekman Transport) yang terdapat di Pesisir Selatan Jawa

(Siswanto and Suranto, 2008; Susanto et al., 2001; Varela et al., 2016). Adanya pergerakan arus tersebut menyebabkan naiknya massa air yang berasal dari perairan dalam menuju permukaan yang disebut dengan fenomena Upwelling. Fenomena upwelling salah satunya ditandai dengan adanya penurunan SPL dan TPL pada wilayah pesisir, serta adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a. Hal tersebut disebabkan bahwa massa air yang terdapat di perairan dalam cenderung memiliki SPL yang lebih rendah dengan konsentrasi nutrien yang lebih tinggi. Untuk

Gambar 5. Variasi bulanan konsentrasi klorofil-a di Perairan Selatan Jawa dari tahun 1997-2017


Gambar 6. Indeks Upwelling pesisir di Perairan Selatan Jawa berdasarkan data angin


melihat adanya pengaruh dari upwelling pesisir, maka dihitung nilai indeks upwelling yang dihitung berdasarkan data angin.

  • 3.4    Indeks Upwelling

Nilai upwelling indeks (UI) dihitung berdasarkan data kecepatan angin bulannan yang telah dihitung hingga kecepatan Ekman Transport nya. Nilai indeks positif menunjukkan adanya fenomena Upwelling, sedangkan negatif adalah sebaliknya yakni Downwelling. Hasil perhitungan indeks upwelling berdasarkan data angin mendapatkan hasil antara -1.6 hingga 4 m3/s. Pola intensitas

upwelling mulai terdeteksi pada wilayah timur dengan nilai indeks sekitar 0.8 m3/s baik wilayah barat hingga timur. Upwelling mulai meningkat pada periode Juni-Juli khususnya pada bagian barat dengan indeks mencapai 2.4 m3/s. Puncak intensitas upwelling terjadi pada periode Agustus-September yang mencapai 4 m3/s. Upwelling mulai mengalami penurunan pada periode Oktober hingga November dan menghilang pada bulan Desember. Pada periode Januari-Maret, nilai UI cenderung negatif dimana mengindikasikan adanya fenomena downwelling pada waktu tersebut.

Hasil perhitungan intensitas upwelling menunjukkan adanya pola yang sama dengan variasi secara bulanan dari parameter oseanografi dimana berubah secara musiman. Pada periode Juni hingga September merupakan puncak fenomena upwelling dimana juga ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi klorofil serta penurunan SPL dan ATPL di Perairan Selatan Jawa. Namun, variasi data oseanografi pada saat upwelling cenderung lebih tinggi pada wilayah timur, sedangkan UI berdasarkan angin cenderung lebih kuat pada wilayah barat. Berdasarkan penelitian sebelumnya, intensitas upwelling pada wilayah timur terdapat pengaruh dari Arus Lintas Indonesia (Arlindo), sedangkan bagian barat murni dikarenakan oleh adanya pergerakan angin (Kuswardani and Qiao, 2014). Hal tersebut diduga karena adanya upwelling yang diakibatkan oleh adanya arus dan dinamika laut tidak terdeteksi ketika dihitung menggunakan data angin (Benazzouz et al., 2014; Demarcq and Faure, 2000).

  • 4.    Simpulan dan Saran

Hasil validasi data SPL dan ATPL menunjukkan bahwa kedua data tersebut memiliki korelasi yang cukup kuat ketika dibandingkan dengan data lapangan. Hasil perhitungan RMSE menunjukkan masih terdapat dalam batas toleransi yang diberikan. Parameter Oseanografi yang terdapat di Perairan Selatan Jawa menunjukkan adanya variasi yang terjadi secara musiman. Data SPL dan ATPL menunjukkan kondisi minimum pada periode Agustus-September, sedangkan maksimum pada periode Januari-Maret. Konsentrasi klorofil-a pada periode Agustus-September relatif cukup tinggi, sebaliknya pada Januari-Maret semakin rendah. Hasil perhitungan Upwelling Indeks menunjukkan pada periode tersebut merupakan puncak terjadinya upwelling yang terdapat di Perairan Selatan Jawa.

Hasil perhitungan Upwelling Indeks menunjukkan adanya pola yang berbeda secara spasial dengan parameter oseanografi. Dimana UI cenderung memiliki intensitas cukup tinggi pada bagian barat, sedangkan indikasi upwelling berdasarkan data oseanografi berada pada bagian timur lebih kuat. Oleh karena itu diperlukan perhitungan indeks terbaru yang tidak hanya menggunakan data angin melainkan juga parameter oseanografi lainnya.

Daftar Pustaka

As-syakur, A. R., Adnyana, I. W. S., Mahendra, M. S., Arthana, I. W., Merit, I. N., Kasa, I. W., Ekayanti, N. W., Nuarsa, I. W., & Sunarta, I. N. (2014). Observation of spatial patterns on the rainfall response to ENSO and IOD over Indonesia using TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA). International Journal of Climatology, 34(15), 3825-3839.

Benazzouz, A., Mordane, S., Orbi, A., Chagdali, M., Hilmi, K., Atillah, A., Pelegrí, J. L., & Demarcq, D. (2014). An improved coastal upwelling index from sea surface temperature using satellite-based approach– The case of the Canary Current upwelling system. Continental Shelf Research, 81, 38-54.

Demarcq, H., & Faure, V. (2000). Coastal upwelling and associated retention indices derived from satellite SST. Application to Octopus vulgaris recruitment. Oceanologica Acta, 23(4), 391-408.

Emery, W. J., Baldwin D. J., Schlfissel, P., Reynold. (2001). Accuracy of in situ sea surface temperatures used to calibrate infrared satellite measurement. Journal Geophysical Research, 106(2000), 2387-2405.

Etcheverry, L. A. R., Saraceno, M., Piola, A. R., Valladeau, G., Moller, O. O. (2015). A comparison of the annual cycle of sea level in coastal areas from gridded satellite altimetry and tide gauges. Continental Shelf Research. 92, 87-97.

Fadlan, A., Sugianto, D. N., Kunarso, & Zainuri, M. (2017). Influence of ENSO and IOD to Variability of Sea Surface Height in the North and South of Java Island. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science Volume 55. Bali, Indonesia, 25–27 October 2016 (pp. 1-10).

Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian, E., Amri, K., Andiastuti, R., Sachoemar, S. I., & Wahyono, I. B. (2005). Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Aroun Java. Oceanography, 18(4), 112-123.

Hendon, H. H. (2003). Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local air–sea interaction. Journal of Climate, 16(11), 1775-1790.

Kämpf, J., & Chapman, P. (2016). Upwelling systems of the world. Cham, Switzerland: Springer International Publishing.

Kuswardani, R. T. D., & Qiao, F. (2014). Influence of the Indonesian Throughflow on the upwelling off the east coast of South Java. Chinese science bulletin, 59(33), 4516-4523.

Moore, T. S., Marra, J., & Alkatiri, A. (2003). Response of the Banda Sea to the southeast monsoon. Marine Ecology Progress Series, 261, 41-49.

Saji, N. H., Goswami, B. N., Vinayachandran, P. N., & Yamagata, T. (1999). A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363.

Siswanto, & Suratno. (2008). Seasonal pattern of wind induced upwelling over Java–Bali Sea waters and surrounding area. International Journal of Remote

Sensing and Earth Sciences (IJReSES), 5, 46-56.

Susanto, R. D., Gordon, A. L., & Zheng, Q. (2001). Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters, 28(8), 1599-1602.

Susanto, R. D., & Marra, J. (2005). Effect of the 1997/1998 El Nino on Along the Southern Coasts of Java and Sumatra. Oceanography, 18(4), 124–127.

Susanto, R. D., Moore, T. S., & Marra, J. (2006). Ocean color variability in the Indonesian Seas during the

SeaWiFS era. Geochemistry, Geophysics, Geosystems, 7(5), 1-16.

Ward, T. M., McLeay, L. J., Dimmlich, W. F., Rogers, P. J., McClatchie, S., Matthews, R., Kämpf, J., & Van Ruth, P. D. (2006). Pelagic ecology of a northern boundary current system: effects of upwelling on the production and distribution of sardine (Sardinops sagax), anchovy (Engraulis  australis) and southern bluefin tuna

(Thunnus maccoyii) in the Great Australian Bight. Fisheries Oceanography, 15(3), 191-207.

Wyrtki, K. (1962). The upwelling in the region between Java and Australia during the south-east monsoon. Marine and Freshwater Research, 13(3), 217-225.

© 2019 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 5: 289-296 (2019)