Journal of Marine and Aquatic Sciences 5(2), 260-272 (2019)

Perbandingan Kemampuan Satelit SAR, Optik dan Kombinasi SAR & Optik Untuk Mendeteksi Area Mangrove di Teluk Benoa

I Wayan Matsya Deva Nagendra a*, I Wayan Gede Astawa Karang a, Ni Luh Putu Ria Puspitha a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Jl. Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-811-399-7070

Alamat e-mail: matsya.nagendra@gmail.com

Diterima (received) 13 November 2018; disetujui (accepted) 5 Desember 2019; tersedia secara online (available online) 10 Desember 2019

Abstract

Mangrove in Benoa Bay plays important roles in the southern Bali island. Mangrove habitat in Benoa Bay has undergone in area changes due to various anthropogenic activities and natural factors, it is important to monitor the distribution of the mangrove forests. Mangrove area changes can be detected using remote sensing technology. This research is to aims the capabilities of radar and optical satellites in mangroves detection using supervised classification Maximum likelihood & Minimum distance. The results showed that radar images failed to detect mangroves as a separate class and produced three classes of land cover (urban, vegetation and waters), optical images and a combination of radar & optic images capable of detecting mangroves as a separate class and produce five land cover class (vegetation other, urban, mangroves, waters and agriculture). The evaluation of the Maximum likelihood classification shows that the combination of radar & optical images scenario has the highest overall accuracy and kappa accuracy with value of 91.35% and 87.01% respectively. Minimum distance classification shows that the optical image scenario has the highest accuracy and highest kappa accuracy with value of 80.83% and 72.51%. The results of the accuracy evaluation shown that the maximum likelihood has higher accuracy than the minimum distance classification method.

Keywords: mangrove; radar; optical; detection; classification; tahura

Abstrak

Hutan mangrove merupakan ekosistem di bagian selatan pulau Bali yang memiliki berbagai peranan penting. Habitat mangrove Teluk Benoa mengalami perubahan luasan akibat aktivitas antropogenik dan faktor alam sehingga perlu dilakukan pemantauan tentang persebaran dan luasan hutan mangrove dikawasan tersebut. Pemantauan luasan hutan mangrove dapat dilakukan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Deteksi hutan mangrove dilakukan menggunakan dua metode klasifikasi terbimbing maximum likelihoodminimum distance. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan satelit radar dan optik dalam mendeteksi mangrove dan mengetahui kemampuan klasifikasi terbimbing dalam mendeteksi mangrove dikawasan Teluk Benoa. Hasil penelitian menunjukkan citra radar kurang mampu dalam mendeteksi mangrove sebagai kelas tersendiri dan menghasilkan tiga kelas penutupan lahan (Lahan Terbangun, Vegetasi dan Perairan), citra optik dan kombinasi citra radar & optik mampu dalam mendeteksi mangrove sebagai kelas tersendiri dan menghasilkan lima penutupan kelas (vegetasi lain, lahan terbangun, mangrove, perairan dan lahan terbuka). Evaluasi akurasi pada maximum likelihood menunjukkan skenario kombinasi citra radar & optik memiliki akurasi total dan akurasi kappa tertinggi dengan nilai masing-masing sebesar 91.35% dan 87.01%. Metode klasifikasi Minimum distance menunjukkan skenario citra optik memiliki akurasi total dan akurasi kappa tertinggi dengan nilai sebesar 80.83% dan 72.51%. Hasil evaluasi akurasi menunjukkan metode maximum likelihood memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan metode minimum distance.

Kata Kunci: mangrove; radar; optik; deteksi; klasifikasi; tahura

  • 1.    Pendahuluan

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang memiliki berbagai peranan penting yang tidak dapat digantikan oleh ekosistem lainnya (Trisasongko,  2009). Secara umum, hutan

mangrove memiliki tiga fungsi antara lain fungsi fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomi (Setiawan, 2013). Indonesia merupakan negara persebaran hutan mangrove terluas dengan luasan sebesar 3.112.989 hektar atau sekitar 22.6 % dari total mangrove dunia (Giri et al., 2011). Provinsi Bali merupakan daerah persebaran mangrove di Indonesia dengan salah satu kawasan hutan mangrove di Provinsi Bali adalah Teluk Benoa (Wiyanto dan Faiqoh, 2015).

Hutan mangrove dikawasan Teluk Benoa ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai yang didasari keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 544/KptsII/1993 tanggal 25 September 1993 (Rumada dkk., 2015). Lokasi Tahura Ngurah Rai berada di kawasan strategis perkotaan menyebabkan kawasan Tahura mengalami tekanan akibat kegiatan alih fungsi lahan kawasan dengan luas kurang lebih sebesar 178,2245 ha mencakup menara pemantau angin, pembangkit listrik PLN, penggunaan lagoon, penggunaan estuari, kepentingan pembuatan jalan, areal   pengembangan   keramik,    Tempat

Pembuangan Akhir (TPA), lintasan jalan pipa avtur serta Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) yang berpotensi menjadi penyebab kerusakan lahan hutan mangrove dikawasan tersebut (Lugina dkk., 2017).

Mengingat pentingnya fungsi hutan mangrove, maka perlu dilakukan kajian mengenai pengelolaan hutan mangrove sebagai langkah pencegahan deforestasi hutan mangrove di kawasan Teluk Benoa (Ambinari dkk., 2016). Pemantauan mengenai deteksi habitat, sebaran dan luasan dapat menjadi langkah awal untuk pencegahan kerusakan dan rencana pengelolaan hutan mangrove (Kawamuna dkk., 2017). Observasi langsung merupakan metode terbaik untuk memantau hutan mangrove tetapi tidak efektif dan efektif apabila dilakukan kawasan mangrove yang luas dari segi waktu dan biaya. Sebagai alternatifnya, teknik penginderaan jauh dapat dipakai sebagai solusi untuk pemetaan, deteksi dan pemantauan mangrove (Giri et al., 2011).

Deteksi hutan mangrove menggunakan penginderaan jauh pasif telah banyak digunakan untuk identifikasi, deteksi dan persebaran lahan mangrove di Indonesia. Beberapa penelitian yang memanfaatkan teknologi penginderaan jauh yaitu, Wulandari (2013), mengidentifikasi sebaran dan tingkat kesuburan mangrove di pentai pesisir timur Surabaya, Alimudi dkk. (2017), mendeteksi perubahan luasan hutan mangrove di Seram Barat; dan Hamuna dan Tanjung (2018), mendeteksi perubahan luasan lahan mangrove di Teluk Youtefa di Kota Jayapura. Pemanfaatan citra aktif seperti radar yang dilakukan Santos et al. (2014); Thomas et al. (2018); dan Pereira et al. (2012), menggunakan ALOS-PALSAR L-Band diperoleh hasil bahwa citra penginderaan jauh radar mampu mendeteksi dan mengukuran biomassa karena kelebihan bentuk polarisasinya.

Penelitian di Teluk Benoa memanfaatkan teknologi penginderaan jauh telah dilakukan sebelumnya oleh Sugianthi dkk. (2007), menggunakan citra penginderaan jauh seperti Landsat TM dan ETM+ yang dilakukan yang bertujuan untuk mendeteksi tingkat kerapatan hutan mangrove menghasilkan estimasi kerapatan mangrove dengan koefisien determinasi pada rentang 47.08% hingga 63.12% dan Rumada dkk. (2015), untuk diidentifikan kerusakan hutan mangrove menghasilkan akurasi kerapatan tajuk sebesar 75%. Hasil tersebut diperoleh karena satelit pasif seperti Landsat resolusi spasial yang rendah dan memiliki keterbatasan untuk penetrasi awan. Di sisi lain, sensor aktif Radio Detection and Ranging (RADAR) seperti ALOS-PALSAR dan JERS-1 memiliki keunggulan dapat menembus tutupan awan dan dapat beroperasi pada siang atau malam dan segala kondisi cuaca namun masih jarang dimanfaatkan karena kurangnya ketersedian data yang dapat diakses secara bebas (Fonteh et al., 2016).

Satelit Sentinel merupakan misi satelit yang dirancang oleh European Space Agency (ESA) untuk observasi bumi yang keseluruhan data dapat diakses secara bebas. Satelit sentinel telah meluncurkan dua dari enam misi yaitu misi Sentinel-1 menggunakan sistem penginderaan jauh aktif C-Band Synthetic Aparature Radar (SAR) dengan panjang gelombang 8 – 4 GHz dan misi Sentinel-2 Multi Spectral Instrument (MSI). Kedua misi satelit tersebut dapat digunakan sebagai solusi untuk mendeteksi sebaran hutan mangrove.

Deteksi mangrove dilakukan menggunakan tiga skenario citra yaitu komposisi citra Sentinel-1A, komposisi citra Sentinel-2 A dan kombinasi citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A. Metode supervised classification maximum likelihood dan minimum distance dipilih untuk mendeteksi sebaran mangrove. Kedua metode tersebut dipilih berdasarkan kemampuan yang berbeda dari algoritma tersebut. maximum likelihood merupakan metode klasifikasi berdasarkan probabilitas atau peluang dan metode minimum distance merupakan klasifikasi berdasarkan pendekatan jarak. Pemanfaatan citra Sentinel-1A dan Sentinel-2A diharapkan mampu mendeteksi dan menghasilkan estimasi luasan mangrove dengan akurasi yang baik di kawasan Teluk Benoa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan citra Sentinel 1-A dan citra Sentinel 2-A guna mendeteksi sebaran mangrove, untuk mengetahui kemampuan metode maximum likelihoodminimum distance untuk mendeteksi dan mengetahui luasan lahan mangrove di kawasan Teluk Benoa.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini berada dikawasan Teluk Benoa. Secara administratif lokasi penelitian berada di kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Kuta & kecamatan Kuta Selatan, Provinsi Bali dengan letak koordinat geografis 115°9.5’-115°15’ BT dan 8°40’- 8°47’ LS (Gambar 1). Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2018. Analisis data citra satelit dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2018 di laboratorium Remote Sensing dan GIS, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

  • 2.2    Metodologi Penelitian

    • 2.2.1.    Pra Pengolahan Citra Sentinel-1 A

Tahapan pra pengolahan citra sentinel-1 A meliputi koreksi geometrik menggunakan metode Range Doppler Terrain Correction yang bertujuan untuk koreksi geografis bentuk UTM zona 50 S. Citra kemudian dikalibrasi secara radiometrik agar citra merepresentasikan nilai hamburan balik sebenarnya dari suatu objek dalam bentuk satuan decibel (dB). Secara matematis, koreksi radiometrik dinyatakan pada persamaan (1):

[ DNi ]2

Value (i) =  ^2

(1)


dimana DNi adalah nilai digital piksel; dan Ai adalah nilai dari sigma Nought (i)

Tahapan terakhir adalah Speckle filtering yang bertujuan untuk mengurangi noise atau gangguan pada citra radar. Speckle filtering dilakukan dengan lee filter dengan ukuran jendela 5 x 5 (Gambar 2). Ukuran jendela ini menunjukkan ukuran arah pergerakan piksel yang berada pada piksel yang diamati.

piksel tujuan (Xq Yq)

Gambar 2. Ukuran jendela 5x5 pada proses filtering

Pemfilteran Lee mengasumsikan rata-rata dan variasi piksel di wilayah pengamatan sama dengan rata-rata dan variasi lokal keseluruhan piksel yang ada di wilayah pemfilteran. Perhitungan pemfilteran Lee dapa dilihat pada persamaan (2).

DNoutput = [Mean] + K [DNinput-Mean]        (2)

dimana K adalah normalization constant

  • 2.2.2.    Pra Pengolahan Citra Sentinel-2 A

Citra Sentinel-2 A yang digunakan merupaka data level 1 C 2018 yang telah terkoreksi secara geometrik dan radiometrik. Tahapan pra

pengolahan citra Sentinel-2 A dilakukan pada software QGIS versi 2.18 menggunakan plugin Semi-Automatic Classification meliputi proses koreksi atmosferik, resampling dan cropping citra. Koreksi atmosferik dilakukan menggunakan metode Dark Objeck Substraction (DOS) untuk mengurangi gangguan atmosferik sehingga mempermudah dalam mengenali suatu objek atau kenampakan lainnya. Perhitungan DOS dapat dilihat pada persamaan (3).

Atmospherically corrected reflectance = Li - Lsi

(3)


dimana Li adalah pixel dari reflectance band i; dan Lsi adalah nilai rata-rata cahaya dalam band i.

Resampling dapat diartikan sebagai Teknik untuk membuat citra versi baru beresolusi berbeda. Resampling dilakukan dengan metode nearest neighbor, metode ini merupakan metode resampling sederhana yang memiliki keunggulan mempertahankan nilai-nilai pada resolusi awal (Li et al., 2017). yang bertujuan untuk menyesuaian resolusi spasial citra dengan ukuran piksel 10 x 10 meter.

  • 2.2.3.    Pra Pengolahan Citra Sentinel-1 A &

Sentinel-2 A

Scenario terakhir adalah kombinasi antara citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A. Citra yang terkoreksi pada tahapan pengolahan sebelumnya kemudian di-resampling yang bertujuan untuk menyamakan ukuran piksel citra. Keseluruhan polarisasi pada citra sentinel-1 A dan band 11 shortwave infrared (SWIR) di-resampling menjadi resolusi 10 x 10 meter, kemudian diintegrasikan kedalam bentuk koordinat UTM zona 50 S.

  • 2.2.4.    Pengolahan Citra

Pengolahan citra dilakukan dengan dua metode klasifikasi terbimbing yaitu Maximum likelihood dan Minimum distance. Tahapan awal dalam proses klasifikasi adalah penyusunan komposit citra untuk mempermudah pengenalan objek. Komposisi citra umumnya terdiri dari tiga gambar citra yang disebut RGB Composite. Komposisi RGB merupakan model warna yang tergantung dari pemilihan panjang gelombang atau bentuk polarisasi yang digunakan.

Komposisi citra RGB yang digunakan pada citra Sentinel-1 A adalah polarisasi VV, VH dan VV-VH, Penelitian yang dilakukan Abdikan et al.

  • (2016)    menyatakan komposisi VV/VH/VV-VH merupakan kombinasi terbaik untuk analisis penutupan lahan. Citra Sentinel-2 A menggunakan komposisi RGB Vegetation Analysis yang terdiri dari kanal Shortwave Infrared (SWIR), Near Infrared (NIR) dan Red, skenario terakhir kombinasi yang digunakan adalah polarisasi VV dan VH yang berasal dari citra Sentinel-1 A dan kanal SWIR, NIR dan Red dari citra Sentinel-2 A. Radiasi yang dihasilkan oleh kanal merah umumnya akan diserap oleh klorofil pada vegetasi dan jaringan mesofil daun akan memantulan radiasi pada kanal inframerah dekat sehingga daratan tanpa vegetasi tidak menghasilkan nilai penyerapan dan pemantulan yang tinggi di kedua kanal ini (Andana, 2015). Kanal shortwave infrared mampu membedakan vegetasi lahan kering dan vegetasi lahan basah. Dilihat dari habitat mangrove yang tergenang air, kanal shortwave infrared akan berpengaruh dalam pemisahan antara vegetasi mangrove dan vegetasi lainnya. (Jacques et al., 2014).

Tahap selanjutnya adalah pembangunan training area yang bertujuan untuk mengetahui ciri suatu kelas berdasarkan nilai backscatter atau spektral (BIG, 2014) dan analisis separabilitas untuk menguji tingkat keterpisahan antar kelas yang akan diklasifikasikan, semakin tinggi nilai keterpisahan suatu pasangan kelas maka pasangan kelas itu dapat dikategorikan menjadi kelas berbeda. Sebaliknya bila pasangan kelas memiliki nilai yang rendah maka kelas tersebut harus digabung menjadi kelas baru. Kriteria keterpisahan kelas dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1

Kriteria Nilai Keterpisahan Kelas

Nilai Transformasi Keterpisahan

Keterangan

2

Sempurna (Excellent)

1.900 - 1.999

Sangat Baik (Good)

1.700 - 1.899

Baik (Fair)

1.600 - 1.699

Cukup Baik (Poor)

< 1.600

Tidak Terpisahkan (Inseparable)

Pembangunan training area dan analisis separabilitas dilakukan menggunakan software QGIS dengan bantuan plugin Semi-Automatic Classification. Tahap akhir adalah proses klasifikasi untuk mengelompokkan piksel menjadi suatu kelas homogen. Sebesar 30% data lapangan

digunakan untuk pembangunan training area dan 70% untuk uji akurasi.

Proses klasifikasi dilakukan menggunakan dua metode yaitu maximum likelihood dan minimum distance. Maximum likelihood classification merupakan metode klasifikasi terbimbing yang paling umum digunakan (Jia et al., 2014). Maximum likelihood didasarkan pada pertimbangan peluang suatu piksel untuk dikelaskan menjadi suatu kategori tertentu. Peluang ini dikenal juga sebagai prior probability. Peluang ini berdasarkan pada jumlah kelas yang akan diklasifikasikan, apabila peluang suatu piksel tidak diketahui maka besarnya peluang piksel tersebut masuk kedalam suatu kelas dinyatakan sama. Aturan ini juga disebut sebagai Aturan Keputusan Bayes. Minimum distance decision (disebut juga pendekatan jarak spektral) merupakan metode klasifikasi yang memiliki aturan keputusan jarak minimal yang menghitung jarak spektral suatu piksel dengan vektor rata-rata pada setiap kelasnya. Metode klasifikasi ini memperoleh jarak antara piksel bebas dan piksel kelas. Pengambilan keputusan pada klasifikasi ini adalah mengambil piksel identitas (Kelas) yang diketahui dan kemudian menyertakan piksel yang terdekat dengannya (Murtaza and Romshoo, 2014). Hasil dari klasifikasi citra kemudia dideliniasi untuk melihat penutupan lahan yang berada pada area mangrove.

  • 2.2.5    Pengambilan Data Lapangan (Ground Check)

Pengambilan titik koordinat bertujuan untuk mencocokkan tutupan lahan hasil klasifikasi dengan keadaan lapangan. Pengambilan titik koordinat penutupan lahan diutamakan pada daerah dengan aksesibilitas tinggi, memiliki kenampakan yang berbeda dari kenampakan umumnya dan penutupan lahan mangrove yang merupakan objek utama penelitian. Pengambilan data lapangan dilakukan dengan metode simple random sampling dimana pengambilan sampel populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi sehingga merupakan metode paling sederhana. Sebanyak 632 titik lapangan yang diperoleh, 100 titik digunakan sebagai training area dan 532 untuk uji validasi.

  • 2.3    Analisis Data

Uji akurasi berjutuan untuk mengevaluasi tingkat kesalahan pada hasil klasifikasi sehingga dapat ditentukan besarnya persentase keakuratan hasil

klasifikasi. Uji akurasi dilakukan pada citra hasil klasifikasi tanpa dilakukan deliniasi. Akurasi dihitung dengan matrik kesalahan (confusion matrix) (Sampurno et al, 2016). Persentase hasil setiap komposisi citra dilihat dari akurasi pembuat (producer’s accuracy); akurasi pengguna (user’s accuracy); akurasi keseluruhan (overall accuracy) dan; akurasi kappa (kappa accuracy). keempat akurasi dapat dinyatakan pada persamaan berikut:

Xii

User s Accuracy =----x100%

X + i

Xii

Pr oducer s Accuracy =---xl 00% Xi +

Overall Accuracy =


r Xii

1---x100%

N

(4)


(5)


(6)


Nr Xii-∑',Xi+ + XJ

Kappa Accuracy = —-------x100% m

N2-Yr ,Xi+ + XJ             (7)

‰^ i=1   +     +

dimana N adalah total piksel yang digunakan untuk pengamatan; r adalah jumlah baris atau lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas); Xii adalah nilai diagonal dari matrik baris ke-i dan kolom ke-i; X+i adalah jumlah piksel dalam kolom ke-i; dan Xi+ adalah jumlah piksel dalam baris ke-i

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Ekstraksi Digital dan Analisis Keterpisahan

Ekstraksi citra Sentinel-1 A pada polarisasi VV memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan polarisasi VH. Kelas lahan terbangun merupakan kelas dengan nilai rata-rata tertinggi dan terendah adalah kelas badan air sehingga kedua kelas tersebut dapat diklasifikasikan secara terpisah sementara kelas-kelas vegetasi (vegetasi nonmangrove, mangrove dan lahan terbuka) memiliki nilai rata-rata yang mirip sehingga ketiga kelas tersebut sulit dibedakan. Nilai minimal dan maksimalnya kelas lahan terbangun dan kelas-kelas vegetasi mengalami dua bentuk hamburan balik yaitu direct backscatter from canopy (bentuk pantulan balik yang terjadi saat terkena permukaan objek), volume backscatter (bentuk pantulan balik dipengaruhi tipe dan bentuk dari suatu objek), sementara kelas perairan mengalami direct backscatter from water/ soil (bentuk pantulan balik yang dipengaruhi secara langsung oleh air atau tanah) (Kuenzer et al., 2011).

Pada citra optik, nilai pantulan rata-rata kanal merah kelas vegetasi (vegetasi non-mangrove, mangrove dan lahan terbuka) memiliki nilai rata-rata rendah yang menunjukkan terjadinya penyerapan gelombang merah, sebaliknya gelombang merah dipantulkan pada kelas lahan terbangun sehingga nilai yang dihasilkan lebih tinggi. Kanal inframerah dekat (NIR) menunjukkan respon terbalik dengan gelombang merah, kelas mangrove dan vegetasi nonmangrove memantulkan gelombang NIR sehingga nilainya lebih tinggi dibandingkan kelas non-vegetasi seperti perairan dan lahan terbangun. Kanal SWIR menunjukkan tingkat penyerapan kandungan air pada jaringan daun dan tanah (Seelig et al., 2008; Ji et al., 2011; Sadeghi et al., 2015). Keseluruhan hasil ekstraksi dapat dilihat pada tabel (2) dan tabel (3).

Ekstraksi nilai digital memberikan gambaran kelas-kelas yang dapat dideteksi pada setiap citra satelit tetapi belum menunjukkan kelas-kelas tersebut dapat dikategorikan menjadi suatu kelas atau harus reclass dan digabung menjadi kelas baru sehingga perlu dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas bertujuan untuk menguji tingkat keterpisahan suatu pasangan kelas, semakin tinggi nilai keterpisahkan suatu pasangan kelas berarti semakin jelas perbedaan antar kelas dan semakin akurat klasifikasi yang dilakukan. Analisis separabilitas dilakukan pada semua scenario citra, sesuai dengan kategori analisis keterpisahan apabila ditemukan nilai dibawah 1.6 pada suatu pasangan kelas maka akan dilakukan reclass untuk menentukan jumlah kelas yang dapat diklasifikasikan.

Tabel 2

Ekstraksi Digital Setiap Kelas Pada Citra Radar

Kelas

Polarisasi

Min.

Maks.

Rata-Rata

Standar Deviasi

Vegetasi Lain

VV

-19.5097

4.4212

-9.9236

2.3692

VH

-25.4784

-3.0773

-16.2491

2.2238

Lahan Terbangun

VV

-20.9812

19.9985

-7.0550

3.4338

VH

-27.9661

9.4274

-15.6990

2.8482

Mangrove

VV

-19.0447

1.7573

-9.2021

1.2502

VH

-24.8151

-7.5438

-15.0438

1.2052

Badan Air

VV

-26.6988

7.3865

-21.4844

2.5785

VH

-32.1986

-7.3741

-27.8684

1.9826

Lahan Terbuka

VV

-20.5096

8.2346

-12.2729

3.4828

VH

-25.7045

-9.6169

-19.7376

2.6875


Tabel 3

Ekstraksi Digital Setiap Kelas Pada Citra Optik

Kelas

Band

Min.

Maks.

Rata-rata

Standar Deviation

Band 11/ SWIR-1

0.1138

0.3301

0.1961

0.037

Vegetasi Lain

Band 8/ NIR

0.16

0.4792

0.2426

0.0539

Band 4/ Red

0.0252

0.1579

0.0566

0.0194

Band 11/ SWIR-1

0.0386

0.5155

0.2146

0.0422

Lahan Terbangun

Band 8/ NIR

0.0242

0.4497

0.1524

0.0397

Band 4/ Red

0.0326

0.4251

0.0921

0.0336

Band 11/ SWIR-1

0.0248

0.2245

0.0853

0.0172

Mangrove

Band 8/ NIR

0.0459

0.4952

0.2855

0.0476

Band 4/ Red

0.0173

0.1189

0.0304

0.0075

Band 11/ SWIR-1

0.0102

0.1506

0.0148

0.0083

Badan Air

Band 8/ NIR

0.0096

0.2214

0.0175

0.0106

Band 4/ Red

0.0105

0.3392

0.0234

0.0148

Band 11/ SWIR-1

0.0275

0.145

0.0651

0.0232

Lahan Terbuka

Band 8/ NIR

0.0451

0.178

0.0983

0.0214

Band 4/ Red

0.0285

0.1281

0.0592

0.0104


Analisis separabilitas yang dilakukan pada citra sentinel-1 A menunjukkan kelas vegetasi nonmangrove, mangrove dan lahan terbuka memiliki nilai dibawah 1.6 dan tidak dapat dipisahkan sehingga harus di-reclass menjadi suatu kelas baru. hasil reclass skenario citra radar menghasilkan tiga penutupan kelas baru (tabel 4). Sementara dua scenario lainnya menunjukkan kedua scenario tersebut dapat diklasifikasikan menjadi lima kelas. Analisis keterpisahan menunjukkan setiap kelas memiliki nilai keterpisahan yang sangat baik dengan kelas perairan sementara kelas vegetasi dan lingkungan terbangun tidak memperlihatkan peningkatan saat dilakukan pembagian lima kelas. Analisis separabilitas skenario Sentinel-2 A dan kombinasi Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A dapat dilihat pada tabel (5) dan tabel (6).

Hasil reclass skenario citra radar pasangan kelas vegetasi dan lahan terbuka memiliki nilai keterpisahan sebesar 1.753 dan dikategorikan baik tetapi masih kurang bila dibandingkan dengan pasangan kelas perairan dan kelas lahan terbangun dan vegetasi yang memiliki nilai keterpisahan diatas 1.9 dengan kategori keterpisahan sangat baik. Skenario citra sentinel-2 A menunjukkan keterpisahan kelas yang sangat baik, hampir setiap pasangan kelas memiliki nilai keterpisahan diatas 1.9, kecuali antara kelas mangrove dengan lahan terbuka dengan nilai 1.836 karena kedua kelas tersebut dikategorikan sebagai vegetasi lahan basah. Hasil analisis separabilitas skenario kombinasi citra sentinel-1 A dan sentinel-2 A menunjukkan keterpisahan pasangan kelas yang sangat baik.

Tabel 4

Analisis Separabilitas Citra Radar

Radar

Vegetasi

Lahan Terbangun

Badan Air

Vegetasi

-

1.753

1.997

Lahan Terbangun

1.753

-

1.982

Badan Air

1.997

1.982

-


Tabel 5

Analisis Separabilitas Citra Optik

Optical

Vegetasi non Mangrove

Lahan Terbangun

Mangrove

Badan Air

Lahan Terbuka

Vegetasi non Mangrove

-

1.999

1.999

2

1.951

Lahan Terbangun

1.999

-

1.999

2

1.999

Mangrove

1.999

1.999

-

2

1.836

Badan Air

2

2

2

-

2

Lahan Terbuka

1.951

1.999

1.836

2

-


Tabel 6

Analisis Separabilitas Kombinasi Citra Radar dan Citra Optik

Union

Vegetasi non Mangrove

Lahan Terbangun

Mangrove

Badan Air

Lahan Terbuka

Vegetasi non Mangrove

-

1.999

1.999

2

1.951

Lahan Terbangun

1.999

-

1.999

2

1.999

Mangrove

1.999

1.999

-

2

1.836

Badan Air

2

2

2

-

2

Lahan Terbuka

1.951

1.999

1.836

2

-


  • 3.2    Klasifikasi Tutupan Lahan di Kawasan Mangrove

Penentuan kelas di kawasan Teluk Benoa disesuaikan dengan Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan (DJPK) tahun 2015 tentang pedoman pemantauan penutupan lahan. Berdasarkan informasi resmi yang dikeluarkan oleh UPT Tahura Ngurah Rai, kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai pada tahun 2012 memiliki luasan sebesar 1341.63 Ha yang terbagi dalam beberapa penutupan lahan meliputi Hutan mangrove seluas 1,132 Ha, lahan terbangun seluas 16.27, lahan terbuka seluas 49.35 Ha dan Tubuh air seluas 144.01 Ha. Klasifikasi Maximum likelihood dan Minimum distance menunjukkan skenario citra Sentinel-1 A hanya mampu mendeteksi tiga tutupan lahan yaitu lahan terbangun, badan air dan vegetasi sementara scenario Sentinel-2 A dan skenario kombinasi Sentinel-1 A & Sentinel-2 A mampu mendeteksi lima kelas penutupan lahan yaitu vegetasi non-mangrove, lahan terbangun, mangrove, lahan terbuka dan badan). Klasifikasi Maximum likelihood dan Minimum distance tersaji pada gambar (2) dan gambar (3)

Pada skenario citra Sentinel-2 memperlihatkan hutan mangrove memiliki luas penutupan lahan sebesar 983.19 Ha dengan persentase sebesar 86.85 % dan kombinasi Sentinel-1 A & Sentinel-2 A menunjukkan luasan hutan mangrove sebesar 1005.59 Ha dengan persentase 88.83 % dari luas total hutan mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Hasil klasifikasi menunjukkan terjadi penurunan lahan mangrove sebesar 148.81 Ha dan 126.41 Ha pada kedua skenario. Pada skenario citra Sentinel-1 A kelas lahan terbangun dan kelas badan air memiliki persentase kurang dari 2 % sementara pada citra Sentinel-2 A dan kombinasi citra Sentinel-1 A dan sentinel-2 kelas badan air memiliki persentase terbesar yaitu sebesar 6.22 % dan 5.60 %. Kelas lahan terbangun merupakan kelas dengan persentase terendah yang dimiliki oleh kedua skenario citra. Penurunan lahan hutan mangrove yang ditunjukkan hasil klasifikasi Maximum likelihood menunjukkan penurunan lahan yang sangat tinggi dalam kurun waktu 6 tahun, hasil klasifikasi menunjukkan sebagian besar lahan mangrove telah tergantikan oleh kelas lain seperti lahan terbangun dan lahan terbuka.

Gambar 2. Klasifikasi Maximum Likelihood di kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai. (a) Citra Sentinel-1 A, (b) Citra Sentinel-2 A dan (c) Kombinasi Citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A.


Gambar 3. Klasifikasi Minimum Distance di kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai. (a) Citra Sentinel-1 A, (b) Citra Sentinel-2 A dan (c) Kombinasi Citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A.


Hasil klasifikasi minimum distance pada gambar 3 masih menunjukkan sebaran penutupan lahan di kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai yang serupa dengan klasifikasi maximum likelihood. Hasil deteksi penutupan area hutan mangrove klasifikasi minimum distance menunjukkan hutan mangrove memiliki persentase penutupan lahan terbesar sebesar 911.57 ha atau 80.53 % pada skenario citra Sentinel-2 A dan sebesar 925.03 ha atau 81.72 % pada skenario kombinasi citra sentinel-1A & Sentinel-2 A. hasil klasifikasi minimum distance menunjukkan luasan lahan mangrove yang lebih rendah dibandingkan maximum likelihood, dari hasil klasifikasi menunjukkan hampir 20% dari lahan mangrove di Teluk Benoa mengalami alih fungsi lahan.

Deteksi kelas penutupan lahan mangrove metode minimum distance kembali menunjukkan penurunan luasan pada scenario citra Sentinel-2 A dan skenario kombinasi citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A masing-masing sebesar 87.58 Ha dan 121.97 Ha dalam kurun waktu 6 tahun tetapi mangrove pada skenario kombinasi citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A. Hasil ini didukung oleh

penelusuran lapangan yang menunjukkan beberapa kawasan hutan mangrove mengalami kerusakan yaitu pada kawasan tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung, underpass Ngurah Rai dan lingkungan Patasari. Persentase penutupan lahan yang dihasilkan oleh klasifikasi minimum distance memiliki perbedaan dengan klasifikasi maximum likelihood, kelas penutupan lahan badan air memiliki persentasi luasan sebesar 6.89 % menunjukkan perubahan yang sangat signifikan pada klasifikasi tersebut, sementara pada skenario citra Sentinel-2 A dan kombinasi citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A menunjukkan kelas badan air memiliki persentase penutupan lahan lebih dari 10 % yaitu sebesar 12.33 % dan 12.21 % sementara kelas lainnya memiliki persentase kurang dari 5 %. Kelas lahan terbangun hasil klasifikasi minimum distance kembali menunjukkan persentase penutupan lahan terendah seperti yang ditunjukkan oleh klasifikasi maximum likelihood dengan persentase penutupan lahan masing-masing sebesar 1.32 % dan 0.20 %. Luasan penutupan lahan Taman Hutan Raya Ngurah Rai keseluruhan dapat dilihat pada tabel 7 dan tabel 8.

Tabel 7

Luasan Penutupan Lahan di Kawasan Mangrove Menggunakan Maximum Likelihood

Maximum Likelihood

Radar

Optik

Union

Luasan

Area (Ha)

Persentase (%)

Luasan

Area (Ha)

Persentase (%)

Luasan

Area (Ha)

Persentase (%)

Vegetasi non-Mangrove

1106.7

97.77

35.47

3.13

40.68

3.59

Lahan Terbangun

5.73

0.51

17.61

1.56

8.24

0.73

Mangrove

-

-

983.19

86.85

1005.59

88.83

Lahan Terbuka

-

-

25.33

2.24

14.13

1.25

Badan Air

19.57

1.73

70.4

6.22

63.36

5.60

Total

1132

100.00

1132

100.00

1132

100.00


Tabel 8

Luasan Penutupan Lahan di Kawasan Mangrove Menggunakan Minimum Distance

Minimum Distance

Radar

Optik

Union

Luasan

Area (Ha)

Persentase (%)

Luasan

Area (Ha)

Persentase (%)

Luasan

Area (Ha)

Persentase (%)

Vegetasi non-Mangrove

1049.15

92.68

28.86

2.55

36.93

3.26

Lahan Terbangun

4.84

0.43

14.97

1.32

2.28

0.20

Mangrove

-

-

911.57

80.53

925.03

81.72

Lahan Terbuka

-

-

37

3.27

29.5

2.61

Badan Air

78.01

6.89

139.6

12.33

138.26

12.21

Total

1132

100.00

1132

100.00

1132

100.00


  • 3.3    Evaluasi Akurasi Klasifikasi Citra

Evaluasi akurasi klasifikasi maximum likelihood penutupan kelas mangrove skenario citra Sentinel-2 A menunjukkan akurasi pembuat sebesar 97.17% dan akurasi pengguna 89.89%, akurasi ini meningkat masing-masing sebesar 0.49 % dan sebesar 3.75 % jika dibandingkan dengan skenario kombinasi citra Sentinel-1 A & Sentinel-2 A sementara scenario citra radar gagal mengklasifikasikan mangrove sebagai kelas tersendiri. Akurasi pembuat dan akurasi pengguna terendah ditunjukkan oleh skenario citra radar pada kelas perairan dan lingkungan terbangun dengan masing-masing nilai akurasi 47.83 % dan 56.64 % hal ini diakibatkan nilai backscatter yang mirip dengan kelas lainnya. Evaluasi akurasi metode maximum likelihood menunjukkan skenario kombinasi citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A merupakan skenario terbaik dengan akurasi total sebesar 91.35 % dan akurasi kappa sebesar 87.01 %.

Evaluasi akurasi klasifikasi minimum distance memiliki akurasi yang lebih rendah pada ketiga skenario dibandingkan klasifikasi maximum likelihood. Penelitian yang dilakukan Murtaza and Romshoo (2014), menunjukkan hasil serupa yang menunjukkan metode maximum likelihood memiliki akurasi tertinggi dibandingkan metode klasifikasi lainnya (mahalobian distance dan minimum distance). Skenario citra Sentinel-1 A, Sentinel-2 A dan kombinasi Sentinel-1 A & Sentinel-2 A menghasilkan akurasi total masing-masing sebesar 71.99 %, 80.83 % dan 75.38 % dan akurasi kappa masing-masing sebesar 32.55 %, 72.51 % dan 65.13 %, Hasil akurasi minimum distance pada ketiga scenario menunjukkan hasil berbeda dibanginkan klasifikasi maximum likelihood, Skenario citra Sentinel-2 A memiliki akurasi total dan akurasi kappa tertinggi sementara skenario kombinasi citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A mengalami penurunan akurasi yang signifikan. Keseluruhan evaluasi akurasi kedua metode dapat dilihat pada tabel 9 dan tabel 10.

Tabel 9

Evaluasi Akurasi Metode Maximum Likelihood

Maximum Likelihood

SAR

Optik

Union

Producer's Accuracy (%)

User's ccuracy (%)

Producer's Accuracy (%)

User's ccuracy (%)

Producer's

Accuracy    A

(%)

User's ccuracy (%)

Vegetasi non-Mangrove

87.50

83.48

65.71

88.46

73.53

96.15

Lahan Terbangun

60.56

56.64

88.44

90.91

90.78

89.51

Mangrove

-

-

97.17

89.89

97.66

93.63

Perairan

47.83

78.95

79.49

81.58

97.06

86.84

Lahan Terbuka

-

-

73.44

81.03

74.63

86.21

Overall Accuracy (%)

78.76

88.53

91.35

Kappa Accuracy (%)

48.59

82.92

87.01

Kappa Coef.

0.48

0.82

0.87


Tabel 10

Evaluasi Akurasi Metode Minimum Distance

Minimum Distance

SAR

Optik

Union

Producer's Accuracy (%)

User's ccuracy (%)

Producer's Accuracy (%)

User's

Accuracy (%)

Producer's

Accuracy    A

(%)

User's ccuracy (%)

Vegetasi non-Mangrove

82.44

81.00

40.91

69.23

38.60

84.62

Lahan Terbangun

48.15

27.66

89.06

79.72

90.53

60.14

Mangrove

-

-

98.18

80.90

95.98

80.52

Perairan

38.82

86.84

96.97

84.21

84.62

86.84

Lahan Terbuka

-

-

46.73

86.21

38.46

77.59

Overall Accuracy (%)

71.99

80.83

75.38

Kappa Accuracy (%)

32.55

72.51

65.13

Kappa Coef.

0.32

0.72

0.65


Akurasi metode minimum distance menunjukkan pemilihan komposisi citra dan metode klasifikasi sangat menentukan klasifikasi penutupan lahan. Hal ini didukung oleh hasil uji akurasi pada skenario citra Sentinel-2 A yang memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan skenario kombinasi citra Sentinel-1 A dan Sentinel-2 A pada metode klasifikasi yang sama. Kombinasi citra Sentinel-1 A & Sentinel-2 A menggunakan metode klasifikasi Maximum likelihood memiliki nilai akurasi total tertinggi, hal ini menunjukkan kombinasi antara citra radar dan optikal mampu menghasilkan penutupan lahan yang lebih akurat sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Kuenzer et al. (2011), menyatakan citra radar akan memiliki akurasi yang lebih baik apabila dikombinasikan dengan citra optik. Akurasi total dan akurasi kappa terendah ditunjukkan oleh skenario citra Sentinel-1 A. Rendahnya akurasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti noise berupa hamburan acak berbintik yang menyebabkan kesalahan pengambilan keputusan pengkelasan nilai digital saat melakukan klasifikasi, resolusi spektral yang terbatas pada satu panjang gelombang yang dimiliki oleh citra radar dan polarisasi yang tidak menunjukkan pantulan balik sebenarnya dari objek yang menerima pantulan (Fonteh et al., 2016).

  • 4.    Simpulan

Deteksi area mangrove menunjukkan citra Sentinel-1 A kurang mampu mendeteksi hutan mangrove. Sementara, citra Sentinel-2A dan kombinasi citra Sentinel-1A & Sentinel-2A mampu mendeteksi hutan mangrove sebagai suatu kelas penutupan lahan. Hasil evaluasi akurasi menunjukkan skenario kombinasi citra radar & optik pada metode Maximum likelihood memiliki akurasi tertinggi dengan akurasi total sebesar 91.35 % dan akurasi kappa sebesar 87.01 % dibandingkan dengan metode Minimum distance pada skenario citra optik dengan nilai akurasi total dan akurasi kappa sebesar 80.83 % dan 72.51 %

Daftar Pustaka

Alimudi, S., Susilo, S. B., & Panjaitan, J. P. (2018). Deteksi perubahan luasan mangrove menggunakan citra landsat berdasarkan metode obia di Teluk Valentine Pulau Buano Seram bagian barat. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 8(2), 139-146.

Abdikan, S., Sanli, F. B., Ustuner, M., & Calò, F. (2016). Land cover mapping using sentinel-1 sar data. In Proceeding of the International Archives of Photogrammetry, Remote  Sensing  and Spatial

Information Sciences 2016. Prague, Czech Republic, 12-19 July 2016 (pp. 757-761).

Ambinari, M., Darusman, D., Alikodra, H. S., & Santoso, N. (2016). Penataan peran para pihak dalam pengelolaan hutan mangrove di perkotaan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 13(1), 29-40.

Andana, E. K. (2015). Pengembangan Data Citra Satelit Landsat-8 Untuk Pemetaan Area Tanaman Hortikultura Dengan Berbagai Metode Algoritma Indeks Vegetasi (Studi Kasus: Kabupaten Malang Dan Sekitarnya). Dalam Prosiding Seminar Nasional Program Pascasarjana Jurusan Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2015. Surabaya, Indonesia, 24 Januari 2015 (pp. 1-10).

BIG. (2014). Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 3 Tentang Pedoman Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove. Bogor, Jawa Barat: Badan Informasi Geospasial

DJPK. (2015). Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor:  P. 1/VIIIPSDH/2015 tentang

Pedoman Pemantauan Penutupan Lahan. Jakarta, Indonesia: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Fonteh, M. L., Theophile, F., Cornelius, M. L., Main, R., Ramoelo, A., & Cho, M. A. (2016). Assessing the utility of sentinel-1 c band synthetic aperture radar imagery for land use land cover classification in a tropical coastal systems when compared with landsat

  • 8.    Journal of Geographic Information System, 8(4), 495505.

Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L. L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T.,  &  Duke,  N. (2011). Status and

distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography, 20(1), 154-159.

Hamuna, B., & Tanjung, R. H. (2018). Deteksi perubahan luasan mangrove Teluk Youtefa Kota Jayapura menggunakan citra landsat multitemporal. Majalah Geografi Indonesia, 32(2), 115-122.

Jacques, D. C., Kergoat, L., Hiernaux, P., Mougin, E., & Defourny, P. (2014). Monitoring dry vegetation masses in semi-arid areas with MODIS-SWIR bands. Remote sensing of environment, 153(2014), 40-49.

Jia, K., Wei, X., Gu, X., Yao, Y., Xie, X., & Li, B. (2014). Land cover classification using Landsat 8 operational land imager data in Beijing, China. Geocarto International, 29(8), 941-951.

Ji, L., Zhang, L., Wylie, B. K., & Rover, J. (2011). On the terminology of the spectral vegetation index (NIR-SWIR)/(NIR+ SWIR). International journal of remote sensing, 32(21), 6901-6909.

Li, Z., Zhang, H. K., Roy, D. P., Yan, L., Huang, H., & Li, J. (2017). Landsat 15-m panchromatic-assisted downscaling (LPAD) of the 30-m reflective wavelength bands to Sentinel-2 20-m resolution. Remote Sensing, 9(7), 755.

Kawamuna, A., Suprayogi, A., & Wijaya, A. P. (2017). Analisis kesehatan hutan mangrove berdasarkan metode klasifikasi ndvi pada citra sentinel-2 (studi kasus: Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Geodesi Undip, 6(1), 277-284.

Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T. V., & Dech, S. (2011). Remote sensing of mangrove

ecosystems: A review. Remote Sensing, 3(5), 878-928.

Lugina, M., Alviya, I., Indartik, I., & Pribadi, M. A. (2017). Strategi Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 61-77.

Murtaza, K. O., & Romshoo, S. A. (2014). Determining the suitability and accuracy of various statistical algorithms for satellite data classification. International journal of geomatics and geosciences, 4(4), 585-599

Pereira, F. R. D. S., Kampel, M., & Cunha-Lignon, M. (2012). Mapping of mangrove forests on the southern coast of São Paulo, Brazil, using synthetic aperture radar data from ALOS/PALSAR. Remote sensing letters, 3(7), 567-576.

Rumada, I. W., Kesumadewi, A. I., & Suyarto, R. (2015). Interpretasi citra satelit landsat 8 untuk identifikasi kerusakan hutan mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali (the interpretation of landsat 8 imagery for identification on mangrove forest

destruction at Ngurah Rai Grand Forest Park, Bali). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, 4(3), 234-243.

Sadeghi, M., Jones, S. B., & Philpot, W. D. (2015). A linear physically-based model for remote sensing of soil moisture using short wave infrared bands. Remote Sensing of Environment, 164(2015), 66-76.

Sampurno, R. M., & Thoriq, A. (2016). Klasifikasi

tutupan lahan menggunakan citra landsat 8 operational land imager (OLI) di Kabupaten Sumedang (land cover classification using landsat 8 operational land imager (OLI) data in Sumedang Regency). Jurnal Teknotan, 10(2), 61-70.

Santos, J. R., Gama, F. F., & da Conceição BiSpo, P. (2014). Estimating forest biomass by remote sensing radar data in Brazil. Drewno Prace Naukowe Doniesienia Komunikaty, 57(192).

Seelig, H. D., Hoehn, A., Stodieck, L. S., Klaus, D. M., Adams Iii, W. W., & Emery, W. J. (2008). The

assessment of leaf water content using leaf reflectance ratios in the visible, near-, and short-wave-infrared. International Journal of Remote Sensing, 29(13), 37013713.

Setiawan, H. (2013). Status ekologi hutan mangrove pada berbagai tingkat ketebalan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 2(2), 104-120.

Sugianthi, N. L. M. A., Arthana, I. W., & Adnyana, I. W. S. (2007). Monitoring mangrove area in benoa bay using landsat TM and ETM+ data. Ecotrophic: Jurnal Ilmu Lingkungan Journal of Environmental Science, 2(1), 1-10

Trisasongko, B. H. (2009). Tropical mangrove mapping using  fully-polarimetric  radar  data. Journal of

Mathematical and Fundamental Sciences, 41(2), 98-109.

Thomas,  N., Bunting, P.,  Lucas, R.,  Hardy, A.,

Rosenqvist, A., & Fatoyinbo, T. (2018). Mapping

mangrove extent and change: a globally applicable approach. Remote Sensing, 10(9), 1466.

Wulandari, D. (2013). Identifikasi sebaran dan tingkat kesuburan mangrove melalui pemantauan indeks vegetasi dari satelit landsat 7.0 ETM+ menggunakan fuzzy logic (studi kasus Pantai Pesisir Timur Surabaya/ Pamurbaya). Jurnal Neutrino, 6(1), 60-67.

Wiyanto, D. B., & Faiqoh, E. (2015). Analisis vegetasi dan struktur komunitas mangrove di Teluk Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 1(1), 1-7.

© 2019 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 5: 260-272 (2019)