Tingkat Mortalitas Ikan Mas Hidup Hasil Penyimpanan Sistem Kering Di Kabupaten Minahasa Utara Yang Didistribusikan Ke Luar Kabupaten, Kota Dan Pulau Di Sulawesi Utara
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 5(2), 247-250 (2019)
Tingkat Mortalitas Ikan Mas Hidup Hasil Penyimpanan Sistem Kering Di Kabupaten Minahasa Utara Yang Didistribusikan Ke Luar Kabupaten, Kota Dan Pulau Di Sulawesi Utara
Jenki Pongoh a, I Gede Prabawa Suwetja b*
a Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Kleak Manado 95115 b Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Kleak Manado 95115
* Penulis koresponden. Tel.: +62-431-868027
Alamat e-mail: baliagung357@yahoo.com
Diterima (received) 17 Juni 2019; disetujui (accepted) 18 Oktober 2019; tersedia secara online (available online) 1 November 2019
Abstract
Calculation of mortality rates of lives carp fish after stored in dry sitem at North Minahasa prefecture that distributed to another prefecture, town and island was done. Mortality rates was calculated after fainting, holding in rice husk media, and recovery. Fainting technic was applicated in 8oC.Packing in rice husk media with temperature of 10-15oC. Then, recovery was done in water temperature of 25-27oC, and aerated with 3 volt aerator. And then, calculation of mortality rates was done in the distribution location. Distribution location were to another prefecture and town, that were Minahasa Selatan Prefecture with Amurang town, Minahasa prefecture with Tondano town, and Bunaken island. The average of mortality rates of lives carp fish in Bunaken island was 33.5%, lower than that in Tondano town with average of mortality rates was 45.8%, and in Amurang town with average of mortality rates was 41%.
Keywords: Handling; dry system; aerator; rice husk; mortality
Abstrak
Perhitungan tingkat mortalitas ikan mas hidup yang disimpan pada media dengan sistem kering di Kabupaten Minahasa Utara setelah didistribusikan ke luar kabupaten, kota dan pulau di Sulawesi Utara telah dilakukan. Sebelum melakukan perhitungan tingkat mortalitas, terlebih dahulu dilakukan proses pemingsanan, penyimpanan, dan penyadaran kembali ikan mas. teknik pemingsanan yang diaplikasikan ialah dengan suhu 8°C. Dilanjutkan dengan penyimpanan dilakukan pada media sekam padi dingin dengan suhu 10-15°C. Pekerjaan selanjutnya yaitu penyadaran ikan. Ikan disadarkan kembali pada air habitat dilengkapi dengan aerator kapasitas 3 volt dan kemudian dilanjutkan dengan menghitung tingkat mortalitas ikan. Hasil proses pemingsanan dan penyimpanan di lokasi mitra, kemudian didistribusikan ke lokasi-lokasi pemasaran. Distribusi ikan mas ke lokasi-lokasi pemasaran antara lain, ke luar kabupaten dan kota serta ke luar pulau. Ke luar kabupaten dan kota yaitu Kabupaten Minahasa Selatan dengan Ibukota Kota Amurang; Kabupaten Minahasa dengan Ibukota Kota Tondano; serta ke luar pulau, yaitu Pulau Bunaken. Tingkat mortalitas yang dihasilkan yaitu: distribusi ke pulau Bunaken, rata-rata 33,5%, lebih rendah dibandingkan dengan yang didistribusikan ke Tondano dengan rata-rata 45,8%, dan ke Amurang rata-rata 41,0%.
Kata Kunci: Handling; system kering; aerator; sekam padi; mortalitas.
Pengangkutan ikan hidup di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara mengemas ikan dalam suatu wadah tertentu seperti kantong plastik yang
diisi air, kemudian ada yang ditambahkan oksigen dan ada juga tidak, tergantung pada kebutuhan dan jarak pengangkutannya. Cara pengemasan dan pengangkutan ikan hidup seperti itu memiliki banyak kekurangan, antara lain : kurang efisien
dari segi berat, volume dan biaya pengangkutan; kadar oksigen di dalam air berkurang, suhu air meningkat, kotoran ikan dapat meracuni ikan dan waktu pengangkutan yang relatif lama (Suwetja, at al; 2017)
Pada studi ini diuraikan bagaimana memilih metode pemingsanan, media penyimpanan, lamanya waktu penyadaran ikan, dan pencapaian tingkat mortalitas yang rendah. Pada studi ini juga diintroduksikan hasil pembuatan desain teknik handling dan wadah pengangkut ikan mas hidup dalam kotak Styrofoam tanpa air. Desain ini sangat berguna bagi petani dan pedagang ikan.
Telah dikembangkan suatu usaha pengangkutan ikan hidup tanpa media air yaitu dengan metode pemingsanan dengan menggunakan suhu rendah. Metode ini dilakukan dengan mendinginkan air sampai suhu pingsan ikan. Kemudian, untuk mempertahankan suhu tetap rendah digunakan wadah kotak Styrofoam yang diisi es secukupnya. Media dingin untuk penyimpanan ikan digunakan sekam padi atau serbuk gergaji.
Sebelum pengangkutan, ikan hidup harus dipingsankan. Kondisi ikan yang pingsan ini akan mengurangi stress pada ikan, mengurangi kecepatan metabolisme, dan mengurangi penggunaan oksigen. Kondisi seperti ini akan merendahkan tingkat kematian ikan sehingga memungkinkan peningkatan kepadatan ikan dalam kemasan.
Beberapa keuntungan lainnya yaitu: Tidak diperlukan tong atau wadah pengangkutan yang besar karena ikan yang pingsan tidak berenang; Tingkat kematian akibat kelelahan yang disebabkan oleh getaran, bising dan cahaya sangat rendah; Tidak terjadi kehilangan berat badan; Ikan tidak membuang kotoran karena selama pingsan tidak melakukan aktivitas makan; Suwetja, dkk (2016) menyatakan bahwa ikan mas hidup yang dipingsankan dengan suhu rendah dan disimpan dalam media dingin tanpa air mampu bertahan hidup selama 6-7 jam penyimpanan, dengan suhu penyimpanan 10-15oC.
Dosis yang tepat untuk pemingsanan ikan menggunakan minyak cengkih berkisar 1-5ml/10 liter air. Penggunaan minyak cengkih secara berlebihan (diatas 10ml/10 liter air) dapat menyebabkan kematian ikan. Pemingsanan menggunakan minyak cengkih dilakukan dengan cara memasukkan ikan hidup ke dalam air atau
cukup di permukaan air yang sudah dicampur dengan minyak cengkih (Anonim, 1994).
Dalam Suwetja, dkk (2016) dinyatakan bahwa konsentrasi minyak cengkih yang terbaik ialah 0,02%. Dengan konsentrasi tersebut ikan mas masih bertahan hidup sampai 86%.
Agar mulut dan insang tidak kemasukan media maka sebelum disimpan, ikan terlebih dahulu dikemas dengan kertas (Suwetja,dkk,1993), atau dengan kantong plastic (Pade dkk., 2016; dan Suwetja dkk., 2017).
Ikan yang telah dibungkus kemudian ditidurkan dan disusun dalam cool box Styrofoam berisi sekam padi dingin yang bersuhu sekitar 10-15ºC (Manurung dkk., 2018). Selanjutnya penyusunan ikan dilakukan secara berlapis-lapis, yaitu media, ikan, media dan seterusnya hingga lapisan teratasnya adalah media.
Ketebalan lapisan media ini berkisar sekitar 2-3 cm (Suwetja dan Pongoh, 2000). Setelah ikan disusun, cool box ditutup rapat agar udara dingin tidak keluar. Untuk mempertahaankan suhu agar tetap stabil, diisikan es kerocok ke dalam sudut-sudut cool box (Suwetja,dkk,2016, 2017, 2018).
Lokasi studi di desa mitra desa Talawaan tujuan distribusi yaitu kota Tondano, kota Amurang pulau Bunaken. Cara pemingsanan ikan menggunakan pemingsanan mendadak pada suhu rendah 8°C. Media penyimpanan yang digunakan adalah sekam padi. Jumlah es batu yang digunakan dalam satu wadah penyimpan yaitu 1,8 kg. Penyimpanan ikan dilakukan selama 4 jam dan diamati setelah tiba di lokasi distribusi. Proses penyadaran dilakukan pada air suhu 25-27 yaitu pada habitat ikan mas hidup di alam dan di bantu dengan aerator berkapasitas 6 volt untuk meningkatkan oksigen dalam air. Distribusi ke setiap lokasi dilakukan masing-masing sebanyak 2 kali. Parameter yang diamati ialah: tingkat mortalitas ikan (Jailani, 2000, dan Pade, dkk., 2016).
Hasil optimasi pada tahap handling, digunakan untuk transportasi ikan. Ikan dipack di dalam cool box Styrofoam lalu ditempatkan pada mobil pick up 2-3 susun, atau pada kapal ferri, kemudian ditansportasikan ke lokasi-lokasi konsumen di luar kabupaten, kota, dan pulau.
Bahan yang digunakan yaitu: Ikan Mas Hidup, Es dalam kemasan, Minyak Cengkih, Sekam Padi, dan Serbuk gergaji. Sedangkan alat yang digunakan yaitu: Cool box, Styrofoam, Aerator, baskom, thermometer, stop watch, timbangan, mobil pickup, kapal ferry, terpal, lakban dan kabel roll.
Tingkat mortalitas ikan mas yang didistribusikan ke beberapa lokasi yaitu ke luar kabupaten, kota dan pulau, dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Ikan mas dipingsankan pada suhu 8°C, disimpan selama 4 jam dan disadarkan di lokasi desa mitra dan di lokasi-lokasi distribusi dan
pemasaran.
Gambar 1. Histogram tingkat mortalitas ikan mas hidup pada lokasi mitra sebagai kontrol dan pada beberapa lokasi distribusi dan pemasaran (Keterangan Gambar: Desa mitra ialah handling ikan mas yang dilakukan di desa mitra, yaitu desa Talawaan, Kabupaten Minahasa Utara, untuk menghitung tingkat mortalitas. Handling di desa mitra adalah sebagai control perlakuan. Tondano ialah kota di Kabupaten Minahasa sebagai salah satu lokasi distribusi dan pemasaran ikan mas. Amurang ialah kota di kabupaten Minahasa Selatan yang juga sebagai lokasi disribusi dan pemasaran ikan mas. Bunaken ialah sebuah pulau di Sulawesi Utara yang sangat potensial sebagai lokasi distribusi dan pemasaran ikan mas.)
Gambar 1 menunjukkan tingkat mortalitas ikan mas pada lokasi mitra, lokasi transportasi ke Tondano, Amurang, dan ke Pulau Bunaken. Tingkat mertalitas ikan mas pada lokasi mitra, kota Tondano, Kota Amurang dan Pulau Bunaken pada perlakuan penyimpanan 11°C, masing-masing sebesar rata-rata: 25,5; 62,2; 38,5; dan 10,4 % dari 2 kali ulangan. Sedangkan pada perlakuan penyimpanan 15°C masing-masing sebesar rata-rata: 21,3; 54,3; 37,4 dan 10,2 % dari 2
kali ulangan. Proses penyadaran dilakukan –pada air bersuhu 25–27 °C, yaitu pada habitat ikan mas hidup di alam, dan dibantu dengan aerator berkapasitas 6,0 volt, untuk meningkatkan kadar oksigen di dalam air.
Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara
tingkat mortalitas ikan mas hidup yang
dipingsankan dan disadarkan kembali di lokasi desa mitra sebagai kontrol dengan yang disadarkan kembali di lokasi distribusi dan pemasaran Tondano, Amurang dan Bunaken. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa tingkat mortalitas tertinggi terdapat pada distribusi dan pemasaran ke Tondano dengan nilai 54,3-62,2%, dan terendah pada distribusi dan pemasaran ke pulau Bunaken de ngan nilai 10,2-10,4%. Hasil uji lanjut BNT juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat mortalitas ikan mas antara perlakuan penyimpanan pada suhu 11°C dan 15°C.
Perbedaan tingkat mortalitas pada beberapa lokasi tujuan transportasi dan pemasaran tersebut diduga disebabkan oleh :
-
1. lokasi desa mitra: Tanpa transportasi dan pemasaran, tingkat mortalitasnya dipengaruhi oleh : panas udara luar yang berpenetrasi ke dalam kotak Styrofoam, hal ini ditandai oleh adanya suhu penyimpanan dari 11°C menjadi 12°C dan dari 15°Cmenjadi 16°C.
-
2. Lokasi tujuan transportasi dan pemasaran ke Tondano (antar kabupaten dan antar kota). Peningkatan mortalitas ke Tondano
dipengaruhi : panas udara luar yang masuk ke dalam kotak, hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan suhu penyimpanan dari 11°C menjadi 12°C dan dari 15°C menjadi 16°C. Peningkatan mortalitas lebih dipengaruhi oleh panas mesin mobil dan goncangan mobil pada jalan yang tidak rata sehingga menyebabkan ikan di tumpukkan paling bawah tertindih.
-
3. Lokasi tujuan transportasi dan pemasaran ke kota Amurang (antar kabupaten dan antar kota). Peningkatan mortalitas ke Amurang dipengaruhi : panas udara luar, panas mobil dan goncangan mobil. Goncangan mobil ke Amurang tidak seperti ke Tondano, sehingga ikan tidak terlalu banyak yang tertindih.
-
4. Lokasi tujuan transportasi dan pemasaran ke pulau Bunaken (antar pulau).
Tingkat mortalitas ikan mas ke Pulau Bunaken terendah bahkan lebih rendah daripada tingkat mortalitas di desa mitra. Hal ini disebabkan antara lain: Panas udara di luar tidak berpengaruh dan tidak berpenetrasi ke dalam kotak Styrofoam, oleh karena kotak tersebut diletakkan di atas geladak kapal yang tidak terpapar sinar matahari. Angin bertiup kencang diatas kapal. Panas mesin kapal ferri juga tidak berpengaruh, oleh karena letak mesin yang relatif jauh dari geladak kapal. Goncangan ombak juga tidak berpengaruh terhadap mortalitas ikan, hal ini disebabkan oleh berlayarnya kapal mengikuti ombak yang tidak menyebabkan kotak ikan tergoncang, sehingga ikan di dalam kotak tidak mengalami goncangan.
Tingkat mortalitas ikan mas yang didistribusikan ke Pulau Bunaken, rata-rata 12,5 %, lebih rendah dibandingkan dengan yang didistribusikan ke Tondano, dengan rata-rata 59,0%, dan yang didistribusikan ke Amurang, dengan rata-rata, 30,0 %. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh udara luar, panas mesin mobil dan goncangan mobil selama perjalanan, serta goncangan kapal ferri selama penyeberangan ke pulau.
Daftar Pustaka
Anonim, 1994. Trubus. Edisi Oktober 1994. No. 236. Th. XXV. Halaman 27.
Manurung, M., Suwetja, I. K., Onibala, H., Mentang, F., & Montolalu, R. I. (2018). Penyimpanan Ikan Mas Hidup Menggunakan Media Sekam Padi yang Didinginkan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 21(1), 148-155.
Suwetja, I. K., Agustin, A., & Mengga, M. (1993). Uji Coba Pengepakan Ikan Mas Hidup Tanpa Media Air. Paper. Manado, Indonesia: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi.
Suwetja, I. K., & Pongoh, J. (2000). Studi Pemanfaatan Sekam Padi Untuk Transportasi Ikan Mas Hidup dalam Wadah Kotak Kayu Berinsulasi Tanpa Air. Laporan Studi. Manado, Indonesia: Universitas Sam Ratulangi.
Suwetja, I. K., Rogi, S., & Pongoh, J. (2012). Studi
Pemanfaatan Serbuk Gergaji Untuk Transportasi Ikan nila Hidup Dalam Wadah Tanpa Air. Laporan Studi. Manado, Indonesia: Universitas Sam Ratulangi.
Pade, S. W., Suwetja, I. K., & Mentang, F. (2016). Studi Teknik Penanganan Ikan Mas (Cyprinus Carpio-l) Hidup Dalam Wadah Tanpa Air. Jurnal LPPM Bidang Sains dan Teknologi, 3(1), 66-74.
Suwetja, I. K., Salindeho, N., & Suwetja, I. G. P. (2017). Handling Technique Development of Live Carp, Cyprinus carpio, In Cold Dry Styrofoam Box. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Southeast Maluku, Indonesia, 22-25 Agustus 2017 (pp. 525-529).
© 2019 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 5: 247-250 (2019)
Discussion and feedback