Dinamika pariwisata desa jatiluwih: suatu kajian kualitatif tentang tantangan dan harapan
on
JURNAL KEPARIWISATAAN DAN HOSPITALITAS
Vol. 7, No. 2, November 2023.
Dinamika pariwisata desa jatiluwih: suatu kajian kualitatif tentang tantangan dan harapan
I Made Juniawan1), Novita Restiati Ina Wea2)
Prodi Sarjana Industri Perjalanan Wisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana1) Prodi Sarjana Terapan Pengelolaan Perhotelan, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana2)
Jl. Sri Ratu Mahendradatta, Jimbaran, Bali, fpar@unud.ac.id
Email: madejuniawan@unud.ac.id1), novitarestiati@unud.ac.id2)
Abstrak
Sebelas tahun sebagai Warisan Budaya Dunia telah mengubah Jatiluwih menjadi magnet utama bagi pariwisata nasional ataupun internasional. Namun dibalik popularitasnya, terungkap dinamika kompleks yang memengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Pariwisata, meskipun membawa dampak positif juga sering kali menyebabkan permasalahan lain baik dalam kehidupan sosial, budaya, maupun lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian kualitatif mendalam terhadap dinamika pariwisata di Desa Jatiluwih, dengan fokus pada tantangan dan harapan masyarakat setempat. Melalui pendekatan ini, diharapkan penelitian dapat memberikan kontribusi pada pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan di Desa Jatiluwih, serta memberikan dasar untuk pengembangan kebijakan yang lebih efektif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Penelitian berlokasi di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Objek penelitian ialah masyarakat dan pengelola Manajemen Operasional DTW Jatiluwih. Teknik pengumpulan data menggunakan tiga cara yaitu observasi, studi dokumen, dan wawancara tidak terstruktur. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa tantangan yang dihadapi. Ketidakjelasan peraturan menjadi permasalahan utama yang menghambat pengembangan pembangunan kepariwisataan. Harapan masyarakat mencakup keinginan akan regulasi yang lebih jelas dan terarah dari pihak berwenang. Melalui adanya regulasi yang jelas akan memudahkan dan memberikan arah yang lebih tegas mengenai batasan-batasan pembangunan sarana pariwisata agar tidak bertentangan dengan prinsip konservasi dan keberlanjutan.
Kata kunci: Dinamika, Pariwisata, Jatiluwih, Tantangan, Harapan, Masyarakat
Abstract
Over the past eleven years, Jatiluwih has transformed into a prominent attraction for both national and international tourism, earning the designation of World Cultural Heritage. However, beneath its popularity lies intricate dynamics impacting the lives of the local community. Despite the positive economic impact of tourism, it frequently engenders social, cultural, and environmental challenges. This study aims to conduct a comprehensive qualitative examination of the tourism dynamics in Jatiluwih Village, with a specific focus on the challenges and expectations of the local community. Through this approach, the research seeks to contribute to the sustainable management of tourism in Jatiluwih Village and serve as a foundation for more effective policy development to address the encountered issues. The research was conducted in Jatiluwih Village, Penebel District, Tabanan Regency, Bali. The subjects of the study include the community and the operational management of tourist attarction Jatiluwih. Data collection utilized three methods: observation, document analysis, and unstructured interviews. The findings revealed several challenges, with regulatory uncertainty emerging as the primary obstacle hindering tourism development. Public expectations encompass a desire for clearer and more targeted regulations from authorities, aiming to provide a solid direction for tourism facility development that aligns with conservation and sustainability principles.
Keywords: Dynamics, Tourism, Jatiluwih, Challenges, Hopes, Community
Satu dekade silam, tepatnya Tahun 2012 UNESCO menetapkan sistem subak di Bali, termasuk di Desa Jatiluwih, sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Keputusan ini menyoroti keunikan dan pentingnya pelestarian tradisi pertanian subak, serta mengakui nilai budaya dan alamiah dari lanskap Jatiluwih. Kawasan WBD pada keputusan ini meliputi lima wilayah kabupaten, yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung, dengan luas mencapai lebih dari 19.500 hektar (Kemenko Polhukam RI, 2022). Salah satu kawasan yang termasuk dalam WBD adalah Jatiluwih, Subak Jatiluwih merupakan bagian dari Lanskap Subak Catur Angga Batukaru yang berlokasi di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Subak Jatiluwih memiliki panorama alam yang indah dengan keunikan sawah berundak-undak (Widari, 2021).
Sebelas tahun berlalu, pariwisata Jatiluwih telah menjadi daya tarik utama bagi wisatawan yang mencari pengalaman keindahan alam dan keunikan budaya di Bali. Sebagai desa wisata yang terkenal dengan sawah teraseringnya yang menakjubkan, daya tarik wisata Jatiluwih menarik perhatian wisatawan lokal maupun internasional. Namun, di balik keindahan tersebut, terdapat dinamika kompleks yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Seiring dengan popularitasnya sebagai destinasi pariwisata, Desa Jatiluwih juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Peningkatan jumlah wisatawan, perubahan pola konsumsi, dan dampak lingkungan yang mungkin muncul menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana keberlanjutan pariwisata di Desa Jatiluwih dapat dijaga, sambil tetap memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan, pariwisata meskipun membawa dampak positif seperti peningkatan ekonomi dan pemajuan infrastruktur, juga sering kali menyebabkan permasalahan lain baik dalam kehidupan sosial, budaya, maupun lingkungan.
Beberapa permasalahan yang mungkin dihadapi masyarakat Desa Jatiluwih melibatkan ketidaksetaraan dalam distribusi manfaat ekonomi maupun partisipasi dari masyarakat, konflik antara kebutuhan konservasi lingkungan dengan pembangunan kepariwisataan yang berakibat pada perubahan pada lingkungan hidup, serta tantangan dalam mempertahankan status Warisan Budaya Dunia dalam menghadapi arus globalisasi (Pangestika et al., 2019; Widari, 2021; Krismawintari & Utama, 2019). Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini akan menggali sudut pandang, pengalaman, dan narasi masyarakat setempat untuk memahami secara mendalam tantangan dan harapan yang mereka inginkan terhadap kepariwisataan di Desa Jatiluwih.
Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk melakukan kajian kualitatif yang mendalam mengenai dinamika pariwisata di Desa Jatiluwih, dengan fokus khusus pada tantangan yang dihadapi oleh masyarakat setempat dan harapan yang mereka miliki terkait perkembangan pariwisata di daerah mereka. Dengan memahami dinamika ini, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada upaya pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan dan berdaya guna di Desa Jatiluwih.
Dengan merinci dinamika pariwisata Jatiluwih melalui kajian kualitatif, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih komprehensif tentang kompleksitas interaksi antara pariwisata dan masyarakat lokal. Hal ini juga dapat memberikan ruang bagi masyarakat dalam menyampaikan tantangan dan aspirasi terkait dengan perkembangan pariwisata di daerahnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tantangan dan harapan yang diinginkan, sehingga dapat menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan yang lebih berkelanjutan dan berdaya guna dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Jatiluwih dalam konteks pariwisata.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, atau yang sering disebut sebagai metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting)(Sugiyono, 2014). Penelitian kualitatif dapat memberikan gambaran secara faktual dan akurat mengenai tantangan yang saat ini dihadapi dan harapan dari masyarakat ataupun pengelola daya tarik wisata Desa Jatiluwih. Lokasi penelitian terletak di kawasan Desa Jatiluwih, tepatnya di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Sedangkan pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2014). Pertimbangan tertentu ini maksudnya, orang yang di anggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa. Teknik pengumpulan data menggunakan tiga cara yaitu observasi, studi dokumen, dan wawancara tidak terstruktur. Teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif, dengan tahapan reduksi data untuk merangkum dan memilah hal-hal pokok; penyajian data; serta penarikan kesimpulan.
Pada tahun 2012, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) yang terletak di Bali. The Cultural Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy menjadi nama dari Situs WBD yang terdiri dari empat kawasan yang menjadi satu kesatuan yaitu Pura Ulundanu Batur (Kabupaten Bangli), Pura Taman Ayun (Kabupaten Badung), Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan (Kabupaten Gianyar), dan Kawsan Catur Angga Batukaru (Kabupaten Tabanan). Seluruh kawasan ini menjadi monument hidup dari peninggalan peradaban Bali yang masih berjalan dan didukung oleh komunitas desa adat (Dharmiasih et al., 2015).
Kawasan WBD Jatiluwih sendiri merupakan bagian dari Catur Angga Batukaru yang meliputi 20 subak dengan total luas wilayah kurang lebih 17.376 ha dengan luasan wilayah penyangga 974 ha (Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009, 2009). Kawasan WBD Jatiluwih dalam Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali disebutkan meliputi kawasan Danau Tamblingan, Danau Buyan dan hutan disekitarnya, beserta kawasan Jatiluwih, Wangaya Gede dengan subak-subak yang ada disekitarnya, sampai dengan wilayah Desa Mangesta beserta seluruh Pura yang terkait dengan sistem subak-subak di dalamnya. Desa Jatiluwih berada dalam cakupan Kawasan Catur Angga Batukaru, bersama dengan enam wilayah desa lain di Kecamatan Penebel yaitu: Desa Jatiluwih, Desa Mengesta, Desa Wongaya Gede, Desa Tengkudak, Desa Babahan, dan Desa Senganan (Masikian Taru Bali, 2020).
Desa Jatiluwih terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, berada di di lereng Gunung Batukaru sebagai salah satu gunung tertinggi di Bali. Secara geografis Desa Jatiluwih terletak pada 8ᴼ20’48.10” LS dan 115ᴼ06’43.60” BT. Luas wilayah Desa Jatiluwih 2.233 Ha yang berbentuk memanjang dari arah Timur ke Barat sepanjang 3.5 km (Nugraha et al., 2018). Desa ini merupakan daerah pegunungan yang berada dalam ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Terletak disebelah Utara, dengan jarak kurang lebih 1 jam dari kota Kabupaten Tabanan, dan sekitar 2 jam dari pusat Kota Denpasar. Desa Jatiluwih merupakan daerah pertanian dan perkebunan dan masyarakat sekitar mayoritas bekerja sebagai petani (Desa Jatiluwih, 2013). Lebih rinci, gambaran tentang Desa Jatiluwih dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Desa Jatiluwih
Sumber: Google Maps, 2023
Desa Jatiluwih meliputi dua desa adat yaitu Desa Adat Jatiluwih dan Desa Adat Gunungsari. Desa ini terdiri dari delapan dusun atau banjar yang meliputi Kesambi, Kesambahan Kaja, Kesambahan Kelod, Jatiluwih Kawan, Jatiluwih Kangin, Gunungsari Desa, Gunungsari Umakayu dan Gunungsari Kelod. Adapun batas-batas wilayah Desa Jatiluwih adalah sebelah Utara berbatasan
dengan hutan negara, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Babahan, sebelah timur berbatasan dengan Desa Senganan, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Wongaya Gede (Desa Jatiluwih, 2013). Terkait dengan subak yang dimiliki Desa Jatiluwih, terdapat tujuh subak didalamnya yaitu:
-
1. Subak Kedamean
-
2. Subak Besikalung
-
3. Subak Kesambi
-
4. Subak Uma Duwi
-
5. Subak Gunungsari
-
6. Subak Gunungsari Umakayu
-
7. Subak Telabah Gede
Dalam kepariwisataan, Desa Jatiluwih mengandalkan keindahan alamnya yang luar biasa dan tradisi pertaniannya yang khas. Trademark kepariwisataan dari desa ini adalah sawah terasering (sawah berundak) yang menawan, dan membentang di lembah juga mengelilingi bukit-bukit hijau sepanjang 303 Hektare. Ini menjadi satu-satunya terluas yang ada di Propinsi Bali. Gunung Batukaru sebagai latar belakang, diiringi dengan pemandangan alam yang memukau ini memberikan pengalaman pariwisata yang tak terlupakan bagi para wisatawan. I Putu Eka Saputra selaku Sekertaris Manajemen Operasional DTW Jatiluwih menyatakan meski belum pulih sepenuhnya, namun jumlah kunjungan wisatawan semenjak Tahun 2022 sudah berangsur naik. Hingga per hari ini (November 2023) jumlah kunjungan tercatat sebanyak 1.000 orang per hari. Dimana kebanyakan adalah wisatawan mancanegara yang berasal dari Eropa dan sebagian diantaranya adalah wisatawan nusantara.
Selain potensi alam, di desa ini juga terdapat banyak Pura khususnya yang berkaitan dengan pertanian. Seperti label WBD yang dimiliki yaitu “Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy”, menyatakan bahwa subak adalah perpanjagan dari filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana sendiri merupakan landasan hidup bagi umat Hindu dalam mewujudkan kesejahteraan dengan melakukan harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan manusia dengan manusia (pawongan) dan hubungan manusia dengan alam (palemahan). Hal ini yang menyebabkan banyak terdapat Pura di Desa Jatiluwih seperti Pura Taksu, Pura Rsi, Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa, Pura Luhur Petali, Pura Sri Rambut Sedana, Pura Batur, Pura Dukuh, Pura Ulun Siwi dan Pura Panti/Dadia. Keseluruhan Pura ini dapat digunakan sebagai daya tarik wisata budaya baik untuk cerita, arsitektur, upacara keagamaan, ataupun hanya untuk latar belakang foto bagi wisatawan.
Masyarakat Desa Jatiluwih juga dalam upaya pelestarian alam dan pengembangan ekowisata. Kegiatan ekowisata yang populer adalah belajar bertani. Masyarakat menawarkan pembelajaran terkait pertanian, subak, dan aktivitas lainnya sebagai paket wisata. Mendapatkan pengalaman wisata dari area persawahan tidak hanya beswafoto, tetapi juga dapat dilakukan dengan trekking atau kegiatan bersepeda melintasi hamparan sawah dan hutan, merasakan pesona alam yang masih alami. Jatiluwih tidak hanya menawarkan keindahan alam yang memukau, tetapi juga menyediakan beragam kegiatan petualangan, dengan pengalaman autentik desa dapat ditemui melalui interaksi langsung dengan masyarakat setempat.
Desa Jatiluwih menawarkan pengalaman kuliner autentik Bali. Warung-warung lokal, baik yang mengusung gaya tradisional maupun modern, menyajikan hidangan khas Jatiluwih di sepanjang jalan desa. Kuliner khas termasuk olahan beras merah, seperti nasi, bubur, dan minuman, yang disajikan dengan tambahan bahan-bahan segar dari lingkungan sekitar. Hal ini menjadikan Jatiluwih sebagai destinasi dengan kuliner khas yang sulit ditemukan di tempat lain.
Dengan menggabungkan keindahan alam, kekayaan budaya, dan upaya pelestarian lingkungan, Desa Jatiluwih di Bali menawarkan pengalaman pariwisata yang holistik dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat setempat serta lingkungannya. Sehingga tidak mengherankan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebut bahwa Desa Wisata
Jatiluwih merupakan representasi dari pengembangan wisata berkelanjutan di Indonesia. Julukan ini bukan tanpa alasan, mengingat desa wisata satu ini memiliki sistem pengelolaan pariwisata dan ekonomi kreatif yang sangat matang (Kemenparekraf/Baparekraf RI, 2022). Program-program yang dirancang di desa ini, memastikan bahwa pertumbuhan pariwisata dilakukan secara berkelanjutan dan tetap menjaga keaslian lingkungan.
Dalam pengelolaan pariwisata Desa Jatiluwih, saat ini telah terbentuk Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata Jatiluwih. Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata Jatiluwih merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi pembangunan kepariwisataan di Jatiluwih, hingga hal-hal teknis terkait dengan tarif retribusi, persentase pembagian hasil retribusi, visi, misi organisasi, dan implementasi personil. Lembaga ini beranggotakan masyarakat dari dua desa adat yang berada di Desa Jatiluwih yaitu Desa Adat Jatiluwih dan Desa Adat Gunungsari. Oleh karena itu, kedepannya diharapkan tidak terjadi konflik internal terkait dengan retribusi hasil dan partisipasi dalam masyarakat.
Masyarakat Desa Jatiluwih menghadapi sejumlah permasalahan yang menjadi tantangan dalam pengembangan sektor pariwisata di wilayah mereka. Kendati demikian, penyelesaian permasalahan ini menjadi kompleks karena harus memperhatikan prinsip-prinsip Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia. Masyarakat merasa khawatir bahwa solusi yang diusulkan mungkin bertentangan dengan prinsip pelestarian dan keberlanjutan yang melekat pada status Warisan Budaya Dunia tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Desa Jatiluwih memilih untuk menghadapi permasalahan dengan penuh kehati-hatian, terutama dalam konteks pembangunan sektor pariwisata.
Tantangan utama yang tengah dihadapi saat ini di Desa Jatiluwih adalah bagaimana menjaga label situs Warisan Budaya Dunia (WBD) di tengah gelombang kunjungan pariwisata yang terus meningkat. Di satu sisi, perkembangan kepariwisataan membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan para wisatawan. Namun, di sisi lain, risiko pembangunan sarana dan prasarana yang berlebihan dapat bertentangan dengan konsep konservasi dan keberlanjutan yang menjadi dasar prinsip di Jatiluwih.
Tantangan besar yang dihadapi adalah mencari solusi yang sejalan dengan upaya mempertahankan integritas budaya dan alam desa, sambil tetap menjaga keberlanjutan pengembangan sektor pariwisata tanpa merusak warisan berharga yang dimiliki oleh Desa Jatiluwih. Proses penyelesaian perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk pengaturan kunjungan, pengelolaan infrastruktur, dan partisipasi masyarakat lokal. Pencarian keseimbangan ini menjadi krusial untuk menjaga daya tarik pariwisata Desa Jatiluwih sekaligus melestarikan keunikan dan keaslian budaya serta alam yang menjadi kekayaan desa tersebut.
Wayan Harje seorang tokoh masyarakat mengungkapkan kesulitan dalam pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung sektor pariwisata di Desa Jatiluwih. Menurutnya, kekurangan aturan yang jelas menjadi hambatan, dan ini menyebabkan konflik antara masyarakat dan pengelola restoran. Perselisihan tersebut terkait infrastruktur trotoar yang dibangun, kemudian dibongkar kembali karena ketidakjelasan aturan yang belum diterima oleh masyarakat.
Ketut Purna, Manager Operasional DTW Jatiluwih, menyampaikan kebanggaannya atas ditetapkannya Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia. Namun, ia juga mengakui bahwa masyarakat belum sepenuhnya siap untuk pariwisata, terutama dalam hal pengadaan sarana area parkir. Meskipun Jatiluwih sudah memiliki sarana dan prasarana yang memadai, seperti akomodasi, restoran, jogging track, jalan yang baik, dan aktivitas pariwisata, sulitnya mencari tempat parkir menjadi permasalahan utama. Tingginya jumlah kunjungan wisatawan yang mencapai 1.000 orang per hari tidak sebanding dengan kapasitas area parkir yang disediakan.
Ketidakmampuan memarkirkan kendaraan besar, terutama bus, di area utama Jatiluwih menjadi salah satu indikator nyata ketidaksiapan masyarakat menghadapi pertumbuhan pariwisata di wilayah tersebut. Hal ini mencerminkan kurangnya infrastruktur parkir yang memadai untuk
menampung jumlah kunjungan wisatawan yang tinggi. Tantangan ini menggambarkan ketidaksesuaian antara kebutuhan parkir yang meningkat dan ketersediaan fasilitas, menandakan perlunya peningkatan infrastruktur sesuai dengan perkembangan pariwisata di Jatiluwih.
Pendapat masyarakat menunjukkan bahwa permasalahan pada sarana dan prasarana muncul karena tidak adanya aturan yang jelas, baik dari UNESCO sebagai pemberi label Warisan Budaya Dunia maupun dari pemerintah daerah terkait pembangunan pariwisata di Jatiluwih. Ketidakjelasan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dibangun menjadi kendala utama. Dalam keadaan seperti ini masyarakat tentunya membutuhkan arahan dan kejelasan dari para pemangku kepentingan pariwisata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Jatiluwih memiliki harapan yang kuat terkait dengan kejelasan regulasi dalam pengembangan pembangunan kepariwisataan di wilayah mereka. Dalam wawancara dan pemetaan pandangan masyarakat, beberapa temuan kunci muncul terkait dengan harapan mereka yaitu ketidakjelasan aturan sebagai kendala utama sehingga diperlukan panduan dan regulasi yang jelas. Masyarakat Desa Jatiluwih menganggap ketidakjelasan aturan sebagai kendala utama dalam pengembangan pariwisata. Mereka menyatakan bahwa kebingungan terkait aturan pembangunan fasilitas pariwisata seperti restoran, trotoar, dan area parkir menciptakan ketidakpastian yang menghambat perkembangan pariwisata secara berkelanjutan. Masyarakat merasa bahwa arahan yang lebih tegas mengenai jenis pembangunan yang diizinkan dan batasan-batasan yang harus diikuti akan membantu meredakan ketidakpastian dan konflik di antara masyarakat lokal dan pengelola pariwisata.
Kedua adalah keinginan untuk meningkatkan variasi aktivitas wisata. Masyarakat mengemukakan harapan untuk memiliki variasi aktivitas yang berbeda, terutama dalam sektor pertanian dan peternakan. Pengembangan sektor ini dirasa dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan Jatiluwih di masa depan. Terutama, mereka menyoroti potensi agrowisata sebagai tambahan daya tarik wisata yang dapat memberikan manfaat ekonomi lebih besar kepada masyarakat. Dengan demikian, peningkatan variasi aktivitas wisata dapat memberikan dampak positif tidak hanya bagi pariwisata tetapi juga untuk pengembangan ekonomi dan keberlanjutan desa secara keseluruhan.
Pembahasan inti terkait permasalahan dan harapan masyarakat Desa Jatiluwih mencerminkan kompleksitas dinamika antara tantangan yang dihadapi dan aspirasi yang diinginkan dalam pengembangan pariwisata. Berdasarkan uraian dari hasil, beberapa poin utama dapat disoroti terakait dengan permasalahan yang ditemui, pertama ketidakjelasan aturan. Ketidakjelasan peraturan dalam pembangunan kepariwisataan menjadi permasalahan utama. Ini menciptakan hambatan dalam pengembangan infrastruktur dan menciptakan perselisihan antara masyarakat dan pengelola bisnis.
Kedua, kurangnya variasi aktivitas wisata. Kurangnya variasi aktivitas wisata selain wisata sawah terasering menjadi tantangan. Masyarakat menginginkan keberagaman yang lebih besar dalam daya tarik wisata untuk menciptakan pengalaman yang lebih lengkap bagi pengunjung. Ketiga, infrastruktur yang kurang memadai terutama area parkir. Area parkir yang terbatas menjadi hambatan serius dalam mengelola jumlah kunjungan yang tinggi. Ini menciptakan ketidaknyamanan bagi wisatawan dan memberikan dampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan desa.
Berdasarkan permasalahan yang ditemukan, adapun harapan dari tokoh masyarakat yang ditemui adalah 1) Kejelasan regulasi yang lebih tinggi. Harapan masyarakat mencakup keinginan akan regulasi yang lebih jelas dan terarah dari pihak berwenang. Ini termasuk keterlibatan masyarakat dalam pembuatan regulasi, sehingga aturan yang dihasilkan dapat mencerminkan kepentingan dan aspirasi bersama. 2) Diversifikasi aktivitas wisata. Masyarakat menginginkan peningkatan variasi aktivitas wisata, termasuk pengembangan agrowisata. Diversifikasi ini
diharapkan dapat menciptakan peluang ekonomi tambahan dan mengurangi tekanan terhadap destinasi wisata utama.
Pembahasan inti ini menunjukkan bahwa penyelesaian permasalahan dan pencapaian harapan masyarakat Desa Jatiluwih memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, pengelola pariwisata, dan masyarakat lokal. Keselarasan antara kejelasan regulasi, keberlanjutan pariwisata, dan kepentingan lokal dapat menciptakan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua pihak. Dengan menggali harapan-harapan ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa kejelasan regulasi dianggap sebagai landasan krusial untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan di Desa Jatiluwih. Dengan memahami harapan masyarakat ini, dapat dihasilkan regulasi yang lebih komprehensif dan mendukung untuk mendukung perkembangan pariwisata yang sejalan dengan kebutuhan dan nilai-nilai lokal.
Kesimpulan
Desa Jatiluwih menghadapi tantangan utama dalam menjaga label Warisan Budaya Dunia (WBD) di tengah lonjakan kunjungan pariwisata. Sementara pengembangan kepariwisataan memerlukan infrastruktur yang memadai untuk kenyamanan wisatawan, namun risiko pembangunan berlebihan dapat bertentangan dengan prinsip konservasi dan keberlanjutan di desa ini. Tantangan besar untuk mencari solusi yang sejalan dengan integritas budaya dan alam desa, sambil tetap menjaga keberlanjutan pengembangan pariwisata dan melindungi warisan berharga Desa Jatiluwih.
Ketidakjelasan peraturan menjadi permasalahan utama dalam pengembangan infrastruktur hingga menciptakan perselisihan antara masyarakat dan pengelola bisnis. Terutama area parkir yang terbatas menjadi hambatan serius dalam mengelola jumlah kunjungan yang tinggi. Harapan masyarakat mencakup keinginan akan regulasi yang lebih jelas dan terarah dari pihak berwenang. Ini termasuk keterlibatan masyarakat dalam pembuatan regulasi. Adanya kejelasan regulasi akan memudahkan dan memberikan arah yang lebih tegas mengenai batasan-batasan pembangunan sarana pariwisata agar tidak bertentangan dengan prinsip konservasi dan keberlanjutan. Masyarakat juga menginginkan adanya diversifikasi pada aktivitas wisata. Disamping sawah terasering Desa Jatiluwih memiliki potensi yang besar di bidang pertanian dan peternakan. Diversifikasi ini diharapkan dapat menciptakan peluang ekonomi tambahan dan mengurangi tekanan terhadap destinasi wisata utama.
Saran
Saran praktis ditujukan kepada pihak Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata Jatiluwih berdasarkan kesimpulan yaitu pihak pengelola dapat bekerja sama dengan pemangku kepentingan baik dari pemerintah daerah, instansi terkait, ataupun akademisi untuk menyusun sebuah master plan pembangunan pariwisata di Desa Jatiluwih. Melalui ini akan ada regulasi yang jelas, dan menyatukan persepsi dari masyarakat, pengelola, dan pelaku bisnis mengenai arah pengembangan kepariwisataan di Desa Jatiluwih. Regulasi ini sebaiknya melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat setempat dan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi serta keberlanjutan. Saran akademis ditujukan kepada peneliti selanjutnya yaitu agar meneliti dampak pariwisata terhadap subak di Jatiluwih. Mengingat saat ini sudah ada sebuah restoran yang berada di dalam area persawahan.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana yang telah memberikan wadah publikasi jurnal sehingga penelitian ini bisa dipublikasikan dan bermanfaat bagi masyarakat dari kalangan luas. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada informan yang bersedia untuk diwawancarai dan membantu memberikan data yang penulis butuhkan, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu hingga terselesaikannya penelitian yang berjudul “Dinamika Pariwisata Desa Jatiluwih: Suatu Kajian Kualitatif tentang Tantangan dan Harapan”, dengan baik.
Desa Jatiluwih (2013). Gambaran Umum Desa. Available at:
https://jatiluwih.desa.id/artikel/2013/7/29/badan-permusyawaratan-desa
Dharmiasih, D. A. W., Sushanti, S., & Resen, P. T. K. (2015). Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 (2009) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 - 2029
Kemenko Polhukam RI. (2022). ‘Subak, Kearifan Lokal Menjaga Alam dan Budaya’. Narasi
Tunggal. Available at: https://polkam.go.id/subak-kearifan-lokal-menjaga-alam-dan-budaya/
Kemenparekraf/Baparekraf RI. (2022). Desa Wisata Jatiluwih, Representasi Wisata Berkelanjutan di Indonesia
Krismawintari, N. P. D., & Utama, I. G. B. R. (2019). ‘Kajian tentang Penerapan Community Based Tourism di Daya Tarik Wisata Jatiluwih, Tabanan, Bali’. Jurnal Kajian Bali, 09(02), 429–448. Available at: http://ojs.unud.ac.id/index.php/
Masikian Taru Bali. (2020). ‘Kawasan Warisan Budaya Jatiluwih’. Masikian Taru Bali. Available at: https://tarubali.baliprov.go.id/kawasan-warisan-budaya-jatiluwih/
Nugraha, I. P. N. A., Pradnyawathi, N. L. M., & Yusiana, L. S. (2018). ‘Rencana jalur interpretasi wisata alam di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan’. Jurnal Arsitektur Lansekap, 4(2). Available at: http://ojs.unud.ac.id/index.php/lanskap
Pangestika, R. S., Wicaksono, A. D., & Sari, N. (2019). ‘Daya Dukung Lingkungan Wisata Subak Jatiluwih di Desa Jatiluwih Kabupaten Tabanan’. Planning for Urban Region and Environment, 8(1), 39–48.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D) (18th ed.). Alfabeta.
Widari, D. A. D. S. (2021). ‘Dampak Pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya terhadap Lingkungan’. Jurnal Kajian Dan Terapan Pariwisata, 2(1), 38–50. Available at:
https://doi.org/10.53356/diparojs.v2i1.48
358
Discussion and feedback