Potensi Serbuk Daun Kelor (Moringa oleifera) Sebagai Anthelmintik Terhadap Infeksi Ascaris suum dan Feed Supplement pada Babi
on
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Agustus 2014
Vol 2 No 2: 89-96
Potensi Serbuk Daun Kelor (Moringa oleifera) Sebagai Anthelmintik Terhadap Infeksi Ascaris suum dan Feed Supplement pada Babi
The Pontency of Moringa oleifera Leave Powder as an Anthelmintic on Ascaris suum Infection and a Feed Supllement on Pig
Muhammad Ulqiya Syukron1*, I Made Damriyasa2, Nyoman Adi Suratma3
-
1 Program Studi Magister Kedokteran Hewan Jl. PB. Sudirman Denpasar
-
2 Laboratorium Patologi Klinik Veteriner, FKH Unud Jl. PB. Sudirman
-
3 Laboratorium Parasitologi Veteriner, FKH Unud Jl Sudirman, Denpasar, *Corresponding author, email: qiya_soft@yahoo.com
ABSTRAK
Ascariasis pada babi adalah penyakit parasitik intestinal pada babi yang disebabkan oleh Ascaris suum. Kerugian ekonomi pada ascariasis babi ditimbulkan oleh Feed Convertion Ratio (FCR) yang buruk dan pengafkiran beberapa organ setelah dipotong. Penggunaan obat cacing dan perbaikan manajemen pemeliharaan merupakan tindakan pencegahan yang umum dilakukan, namun, belakangan ini pemanfaatan herbal sebagai anthelmintik mulai dikembangkan, salah satunya adalah daun kelor (Moringa oleifera). Daun kelor juga berpotensi sebagai sumber pakan ternak, karena nilai nutrisi yang dikandungnya. Penelitian intervensi ini ditujukan untuk menkaji efek anthelmintik serbuk daun kelor dan potensinya sebagai feed suplement. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan pengamatan berulang (RAL Split Time) dengan enam perlakuan yaitu serbuk daun kelor 5% dan infeksi telur infektif A. suum (1), serbuk daun kelor 5% (2), kontrol positif (3), serbuk daun kelor 10% (4), serbuk daun kelor 10% dan infeksi telur infektif A .suum (5), dan tanpa perlakuan sebagai kontrol negatif (6). Setiap perlakuan menggunakan 4 ekor babi landrace betina berumur 8 minggu dengan bobot sekitar 11 Kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk daun kelor 5% dan 10 % dari pakan dapat menghambat produksi telur A. suum dan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan berat badan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa serbuk daun kelor memiliki efek anthelmintik terhadap infeksi A. suum dan berpotensi sebagai feed supplement pada ternak babi.
Kata kunci: serbuk daun kelor (Moringa oleifera), anthelmintik A.suum, feed supplement, babi.
ABSTRACT
Pig ascariasis is an intestinal parasitic disease caused by Ascaris suum. The economic losses in pig ascariasis are caused by a bad feed conversion ratio (FCR) and rejection of some organs after animal slaughtering. An anthelmintic utilization and farm management improvement are the common prevention action, however, recently the utilization of herbs as an athelmintic has been developed, one of them is Moringa oleifera leaves. Moringa oleifera leaves are also a potential for a sources of animal food because of their high nutrients. This intervention research aimed to examine the anthelmintic effect of Moringa oleifera leaves and its potency as feed supplement. Experimental design used was ccompletely randomized design split time (CRD Split Time) with six treatments namely Moringa oleifera 5% and an infection of infective larvae of A. suum (1), Moringa oleifera 5% (2), positive control (3), Moringa oleifera 10% (4), Moringa oleifera 10%
and infection of infective larvae of A. suum (5), and no treatment as negative control (6). Each treatment was imposed on four female landrace piglets aged 8 weeks and weighed around 11 kg. The results showed that Moringa oleifera 5% and 10% of the feed could inhibit the egg production of A.suum and had a significant effect (P<0.05) on weight gain of piglets. It can be concluded that Moringa oleifera leave have an anthelmintic effect to prevent the infection of A. suum and a potential for a feed supplement on pigs.
Key words: powder leaves (Moringa oleifera), anthelmintic A.suum, feed supplements, pig.
PENDAHULUAN
Peternakan babi di beberapa negara berkembang dengan iklim tropis dan sub tropis mengalami kendala penyakit cacing, karena perkembangan telur cacing menjadi larva infektif dapat berlangsung sepanjang tahun. Jenis cacing yang sering menginfeksi babi yaitu Oesophagustomum sp, Trichuris sp dan Ascaris suum (Soulsby, 1982; Roepstorff, 1998; Johnstone, 2001). Prevalensi infeksi cacing Ascaris suum pada babi di Bali sebesar 34,45% dengan rataan jumlah telur per gram tinja (EPG) 387,50 (Suweta, 1994).
Kerugian secara ekonomi yang ditimbulkan akibat penyakit ascariasis pada ternak babi berupa penurunan kinerja dengan Feed Convertion Ratio (FCR) sangat buruk yang ditandai dengan babi mengkonsumsi banyak pakan tetapi nampak kurus (Hale et al., 1985) serta pengafkiran beberapa organ setelah dipotong seperti rusaknya organ hati yang ditandai oleh milk spots dan fibrosis paru-paru sebagai akibat dari migrasi larva
cacing tersebut (Bindseil, 1972). Hospes utama Ascaris suum adalah babi dengan distribusi yang luas di seluruh dunia (Miyazaki, 1991). Ascariasis dilaporkan bersifat zoonosis di Denmark (Nejsum et al.,2005).
Upaya mengatasi kejadian penyakit parasit gastrointestinal pada ternak babi telah dilakukan seperti pengunaan obat cacing dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Masalah yang sering muncul bagi peternak adalah selain kesulitan mendapatkan obat cacing dan harganya relatif mahal, penggunaan obat cacing secara terus menerus dapat menimbulkan resistensi (Ahmad dan Nizami,1987) dan efek samping yang merugikan seperti diare dan keracunan embrio (efek teratogenik) (Katzung, 2004). Kini, berbagai penelitian terus dikembangkan untuk menemukan anthelmintik dengan efek samping yang minim seperti eksplorasi obat-obat tradisional atau obat herbal, salah satunya daun kelor (Moringa oleifera).Tanaman kelor sudah dikenal secara luas di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan,
tetapi pemanfaatannya belum maksimal dalam kehidupan (Simbolan et al., 2007). Secara in-vitro, daun kelor telah diketahui efektif sebagai anthelmintik (Rastogi et al., 2009). Selain itu daun kelor mempunyai kandungan nutrisi yang baik terlebih jika sediaannya dalam bentuk tepung daun (Jonni et al., 2008), Tanaman kelor kaya akan pro vitamin A dan C, khususnya β-karoten, yang akan diubah menjadi vitamin A dalam tubuh dan secara nyata berpengaruh terhadap hepatoprotective (Bharali, 2003). Tingginya nilai nutrisi yang terdapat pada daun kelor berpotensi sebagai feed supplement untuk meningkatkan kinerja produktifitas ternak.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi serbuk daun kelor (Moringa oleifera) sebagai anthelmintik terhadap infeksi Ascaris sum, dan potensinya sebagai feed supplement pada babi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 24 ekor babi landrace betina berumur 8 minggu dengan rata-rata berat badan 11 Kg dan bebas dari infeksi A.suum. Babi dipelihara dalam kandang secara intensif dengan pakan pabrikan yang tidak mengandung anthelmintik. Kandang berlokasi di Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Pengujian sampel dilakukan di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Peniltian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2014.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan Pengamatan Berulang dengan 6 perlakuan, yaitu pemberian serbuk daun kelor 5% dan infeksi telur infektif A.suum (1), pemberian serbuk daun kelor 5% (2), infeksi telur infektif A.suum tanpa serbuk daun kelor sebagai kontrol positif (3), pemberian serbuk daun kelor 10% (4), pemberian serbuk daun kelor 10% dan infeksi telur infektif A.suum (5) serta tanpa diberikan keduanya sebagai kontrol negatif (6). Setiap perlakuan terdiri atas 4 ekor babi.
Hewan coba diadaptasi selama satu minggu sebelum perlakuan infeksi telur infektif A.suum. Adaptasi bertujuan supaya babi terbiasa terhadap pakan yang dicampur dengan serbuk daun kelor. Perlakuan infeksi telur infektif A. suum secara oral dilakukan satu minggu setelah pemberian serbuk daun kelor . Kemudian pemberian serbuk daun kelor yang dicampurkan ke dalam pakan dilanjutkan sampai 60 hari setelah perlakuan infeksi telur infektif. Hal ini berkaitan dengan masa dewasa dari A. suum yang membutuhkan waktu antara 6 sampai 8 minggu dan telur cacing dewasa
dikeluarkan melalui feses ternak babi (Loreille dan Bouchet, 2003). Pengamatan dilakukan selama 2 bulan, yang terdiri dari pengukuran berat badan pada hari ke 14, 28, 42 dan 56 sedangkan pengambilan sampel feses dilakukan pada hari ke : 54, 57 dan 60 setelah diinfeksikan. Parameter yang diukur adalah rata-rata berat badan dan jumlah telur cacing A. suum. Telur cacing diidentifikasi berdasarkan bentuk dan morfologi telur menurut (Beugnet et al., 2008). Kemudian jumlah telur cacing per gram (EPG) dihitung menggunakan metode Mc Master (Thienpont, 1986). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam. Apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan yang nyata, maka data dianalisis lebih lanjut dengan uji
Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan. (Sampurna dan Nindhia, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Serbuk Daun Kelor sebagai Anthelmintik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah EPG pada perlakuan 3 (kontrol positif) berkisar antara 1150 sampai dengan 1575. Pada perlakuan 1, telur A. suum masih ditemukan pada hari ke- 54 meskipun dalam jumlah yang rendah. Pada empat perlakuan lainnya telur cacing sudah tidak ditemukan bahkan dimulai saat pengamatan pertama (hari ke 54) Ttabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata EPG sampel
Hari/Perlakuan 1 2 |
3 4 5 6 |
54 50 0 |
1150 0 0 0 |
57 0 0 |
1350 0 0 0 |
60 0 0 |
1575 0 0 0 |
Keterangan : 1 : 5 % serbuk daun kelor + infeksi, 2 : 5 % serbuk daun kelor, 3 : kontrol positif ( + ), 4 : 10 % serbuk daun kelor, 5 : 10 % serbuk daun kelor + infeksi, 6 : kontrol negatif ( - ).
Serbuk daun kelor memiliki |
yang tidak diberikan serbuk daun kelor |
kemampuan sebagai anthelmintik pada |
megandung telur cacing A. suum. . Hasil |
kasus ascariasis babi. Kemampuan serbuk daun kelor sebagai anthelmintik |
ini sejalan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian tentang potensi daun kelor |
ditunjukkan oleh feses babi yang diberikan |
sebagai anthelmintik terhadap cacing A. |
serbuk daun kelor tidak megandung telur |
suum yang telah dilakukan secara invitro |
cacing A. suum, sebaliknya, feses babi |
oleh Rastogi et al. (2009). |
Aktifitas anthelmintik dari serbuk daun kelor pada ascariasis babi diperankan oleh aktifitas dari alkaloid dan tannin yang merupakan zat polifenol larut air dan dapat mendenaturasi protein (Westerdarp, 2006). Penggumpalan protein pada permukaan tubuh cacing Ascaris sp. dapat mengganggu metabolisme dan homeostasis tubuh cacing sehingga cacing akan mati. Saponin bekerja dengan cara menurunkan tegangan permukaan (surface tension) pada dinding membran (Nio, 1989). Saponin juga berpotensi sebagai
antihelmintik karena memiliki kemampuan untuk menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga cacing akan mengalami paralisis otot dan berujung pada kematian (Kuntari, 2008).
Potensi Serbuk Daun Kelor Sebagai Feed Supplement pada Babi
Analisis ragam terhadap berat badan pada hari ke 56 menunjukkan bahwa serbuk daun kelor berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berat badan babi (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Sidik Ragam pengaruh serbuk kelor terhadap rata-rata berat badan babi. | |||||
Sumber |
Jumlah |
Derajat |
Kuadrat |
F |
Sig. |
Keragaman |
kuadrat |
bebas |
tengah |
Hitung |
(P) |
Perlakuan |
613,260 |
5 |
122,652 |
858,169** |
0,000 |
Galat I |
2,573 |
18 |
0,143 | ||
Hari |
7276,440 |
4 |
1819,110 |
29597,807** |
0,000 |
Perlakuan*hari |
314,816 |
20 |
15,741 |
256,111** |
0,000 |
Galat II |
4,425 |
72 |
0,061 |
Keterangan: Tanda (**) menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05).
Analisis lebih lanjut dengan uji Duncan menunjukkan bahwa babi yang mendapatkan perlakuan 4 (diberikan hanya serbuk daun kelor 10%) memiliki berat badan nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan lainnya. Data juga menunjukkan bahwa peningkatan pemberian serbuk daun kelor pada babi yang tidak diinfeksi oleh telur A.suum meningkatkan berat badan secara nyata (P<0,05). Namun, efek
ini tidak terjadi pada babi yang diinfeksi telur infektif A. suum. Hasil analisis statistik secara lengkap ditampilkan pada Tabel 3.
Serbuk daun kelor merupakan makanan yang berkualitas karena menyediakan protein yang tinggi meskipun kandungan karbohidrat, lemak dan kalorinya rendah (Levien, 1998). Disamping itu, daun kelor juga
mengandung 19 dari 20 asam amino yang paling umum sehingga sangat tepat jika dijadikan feed supplement (Hirsch, 2004). Analisis statistik menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah serbuk daun kelor yang ditambahkan ke dalam pakan semakin tinggi pengaruhnya terhadap pertambahan berat badan. Talha (2013)
yang menganalisis manfaat daun kelor secara ekonomi dalam dunia peternakan ayam pedaging, menyatakan bahwa pengguanaan serbuk daun kelor mampu menghemat biaya produksi pakan hingga 10%, karena dapat digunakan untuk menggantikan tepung ikan.
Tabel 5.3. Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap berat badan babi selama 56 hari.
Perlakuan |
Hari | ||||
0 |
14 |
28 |
42 |
56 | |
(1) 5 % + Infeksi |
11.272 a |
16.357 b |
22.325 b |
28.352 b |
34.180 b |
(2) 5 % |
11.105 a |
17.022 c |
23.005 c |
30.127 c |
35.065 c |
(3) Kontrol (+) |
11.220 a |
14.607 a |
16.492 a |
19.192 a |
24.142 a |
(4) 10 % |
11.192 a |
17.875 d |
23.700 c |
30.810 c |
36.705 d |
(5) 10 % +Infeksi |
11.192 a |
16.882 c |
22.572 b |
28.557 b |
34.580 b.c |
(6) Kontrol (-) |
11.020 a |
16.610 b,c |
22.320 b |
28.462 b |
34.407 b |
Keterangan: huruf yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). |
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa serbuk daun berpotensi sebagai athelmintik dan feed supplemen pada hewan. Namun penggunaan dalam waktu jangka panjang perlu dievaluasi terkait efek samping dan uji klinis
SIMPULAN
Pemberian serbuk daun kelor (Moringa oleifera) sebanyak 5 dan 10 % dari pakan dapat digunakan sebagai anthelmintik terhadap infeksi A. suum. Pemberian serbuk daun kelor (Moringa oleifera) sebanyak 5 dan 10 % dari pakan dapat digunakan sebagai feed supplement
yang berpengaruh terhadap pertambahan berat badan ternak babi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dirjen Dikti atas pendanaannya, melalui Dana Hibah Unggulan Perguruan Tinggi Tahun ke-2 (2013). Kepada drh. IB. Made Oka M.Kes yang telah membimbing dan mendampingi di Laboratorium Parasitologi FKH
Universitas Udayana dan kepada Drh. drh. Ketut Budiasa M.P yang telah membimbing dan mendampingi selama penelitian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M, and Nizami WA. 1987. In Vitro Effects of Mebendazole on the Carbohydrate Metabolism of
Avitellina lahorea (Cestoda). Journal of Helminthology. 61 : 247 – 252.
Beugnet F, Polack B, Dang H. 2008. Atlas of Coproscopy. KALIANXIS Paris-France. ISBN-10:2-915758-15-8.
Bernardo TM, Dohoo IR, Donald A. 1990. Effect of ascariasis and respiratory diseases on growth rates of swine. Can. J. Vet. Res. 54(2): 278–284.
Bharali R, Tabassum J, Azad MRH. 2003. Chemomodulatory effect of Moringa oleifera Lam. On hepatic carcinogen metabolizing enzymes, antioxidant parameters, and skin papillomagenesis in mice. Asian Pacific J Cancer Prevent 4 : 2.
Bindseil E. 1972. On the development of interstitial hepatitis (“milk spots“) in pigs following infection with Ascaris suum. Nord.Vet. Med. 23:191-195.
Hale OM, Stewart TB, and Marti OG. 1985. Influence of an experimental infection of Ascaris suum on performance of pigs. J. Anim. Sci. 60:224-225.
Hirsch A. 2004. Preliminary document on the nutritional value of leaves and pods of Moringa oleifera. UCLA, Department of Botany.
Johnstone C. 2001. Parasites and Parasitic Diseases of Domestic
Animals.(Parasites of Swine).
University of Pennsylvania.
Jonni MS, Sitorus M, dan Katharina N.2008. Cegah Malnutrisi dengan Kelor. Penerbit Kanisius.Yogyakarta.
Katzung BG. 2004. Farmakologi dasar dan Klinik. Salemba Empat . Jakarta. Hal : 259, 286-287.
Kuntari T. 2008. Daya Antihelmintik Air Rebusan Daun Ketepeng (Cassia alata L) Terhadap Cacing Tambang Anjing in vitro. Jurnal Logika ed 5.Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia.
Levien T. 1998. Nutritional formulas. Pharmacists Letter. Apr (Detail Document No. 140413):1-8.
Loreille O, and Bouchet F. 2003 Evolution of Ascaris in Humans and Pigs: A Multi-Disciplinary Approach. Mem Inst Oswaldo Cruz Vol 98(I): 39-46.
Miyazaki I. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses, Tokyo, International Medical Foundation of Japan : 296-305.
Nejsum P, Paker DE, Frydenberg, Roepstorff J, Boes A, Haque J, Astrup R, Prag, I, Skov Sorensen. 2005. Ascariasis Is a Zoonosis in Denmark. Journal of Clinical
Microbiology 43 (3) : 1142 – 1148.
Nio KO. 1989. Zat-zat Toksik Yang Secara Alamiah Ada Pada Bahan Makanan Nabati. Cermin Dunia Kedokteran No.58.
Rastogi T, Bhutda V, Moon K, Aswar PB, and Khadabadi SS. 2009. Comparative Studies on Anthelmintic Activity of Moringa oleifera and Vitex Negundo. Asian J. Research Chem. 2(2): April.-June, 2009:181-182.
Roepstorff A. 1998. Natural Ascaris suum Infections in Swine. Diagnosted by Coprological and Serological (ELISA) Methods. Parasitol Res 84 : 537-54.
Sampurna IP, dan Nindhia TS. 2007. Metodologi Ilmiah dan Rancangan Percobaan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar.
Simbolan JM, Simbolan M, Katharina N. 2007. Cegah Malnutrisi dengan Kelor. Yogyakarta: Kanisius.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthrophods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th. ed. Bailliere Tindall, London.
Suweta IGP. 1994. Prevalensi Infeksi Cacing Ascaris suum pada Babi di Bali. Dampaknya terhadap Babi Penderita dan Upaya
Penanggulangannya. Laporan
Penelitian. Universitas Udayana. Bali.
Talha E. 2013. The use of Moringa oleifera in poultry diets. Turkish Journal of Veterinary and Animal. 37: 492-496.
(http://journals.tubitak.gov.tr/veterinar y/).
Thienpont D, Rochette F, and Vanparijs OFJ. 1986. Diagnosing Helminthiasis Through Coprological Examination. Second edition. Jansen Research Foundation Beerse. Belgium.
Westendarp H. 2006. Effects of tannins in animal nutrition. Dtsch Tierarztl Wochenschr.113(7):264-268.
96
Discussion and feedback