Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Agustus 2014

Vol 2 No 2: 71-79

Seroprevalensi Neospora caninum pada sapi bali yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar

Seroprevalence of Neospora caninum in Bali Cacttle slaughtered at Denpasar’s slaughterhouse

Adryani Ris1*, Nyoman Sadra Dharmawan,1 I Made Damriyasa2

  • 1    Lab Patologi Klinik, FKH Unud, JL.PB. Sudirman Denpasar, Bali

  • 2    Lab. Parasitologi Veeriner FKH Unud Jl. PB Denpasar, Bali *Corresponding author, email:adryani30@gmail.com

ABSTRAK

Beberapa tahun terakhir infeksi parasit Neospora caninum (neosporosis) telah muncul sebagai penyakit reproduksi penting pada ternak sapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seroprevalensi Neospora caninum pada sapi bali yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Denpasar. Sebanyak 184 sampel serum sapi bali diambil dan diuji dengan menggunakan uji enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil uji mengidentifikasi 2 serum (1,08%) yang mengandung antibodi Neospora caninum. Sementara, sisanya, 182 sampel   (98,92%), menunjukkan hasil negatif. Meskipun

seroprevalensi neosporosis di Bali sangat rendah, surveylance berkelanjutan mesti dilakukan untuk mencegah perluasan penyebarannya.

Kata kunci: sapi bali, seroprevalensi, Neospora caninum, RPH Denpasar

ABSTRACT

Recent years the infection of Neospora caninum parasite has been a significant reproductive disease on cattle. The purpose of this study was to determine the seroprevalence of Neospora caninum in Bali cattle that are slaughtered in Denpasar’s slaughter house.A total of 184 serums was collected and tested using enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). The results showed that there were 2 serum samples (1.08%) contain Neospora caninum antibodies. While the remaining samples, 182 samples (98.92%), were negative. Though the neosporosis seroprevalence rate in Bali is very low, a sustainable surveylance must be carried out to mitigate the broadness of the disease distribution.

Keyword: Bali cattle, seroprevalence, Neospora caninum, Denpasar’s slaughterhouse

PENDAHULUAN

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,49% per tahun dengan jumlah penduduk lebih dari 237.641.326 jiwa pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2010) menuntut ketersediaan pangan memadai, termasuk

produk peternakan terutama daging susu dan telur. Peningkatan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia juga memberi konsekuensi penyediaan produk peternakan yang berkualitas karena makin tingginya kesadaran masyarakat akan asupan nutrisi yang baik. Sapi bali

merupakan salah satu ternak asli Indonesia yang memiliki kualitas daging yang baik. Namun, jika kesehatan dan penanganannya tidak diperhatikan akan mengakibatkan gangguan reproduksi, penurunan kualitas daging, dan bahkan dapat menjadi sumber penyakit bagi yang mengkomsumsi. Salah satu gangguan reproduksi yang ditemukan pada sapi bali gejalanya dapat berupa abortus.

Abortus pada sapi diantaranya dapat disebabkan oleh penyakit brucellosis, leptospirosis, vibriosis, tuberculosis, IBR dan BVD (Toelihere, 1985). Menurut Wouda et al. (1999) abortus pada sapi dapat pula disebabkan oleh parasit Neospora caninum. Lebih lanjut disebutkan bahwa sapi penderita neosporosis dapat mengalami abortus berulang-ulang dengan pola abortus yang bersifat sporadik, endemik maupun epidemik. Rochmadiyanto et al. (2013) melaporkan bahwa abortus adalah gejala klinis utama dari neosporosis pada sapi potong maupun sapi perah. Suhardono et al. (2002) menyatakan bahwa abortus merupakan tanda klinis yang sering ditemukan pada sapi penderita neosporosis, namun bila pedet berhasil lahir dalam keadaan normal, ia tetap mengidap penyakit ini.

Neospora caninum adalah salah satu sporozoa kelompok apikompleksa yang relatif baru diketahui keberadaannya di

bidang veteriner (Bjerkas et al., 1984; Dubey et al., 2006). Menurut Suhardono et al. (2002) parasit ini sangat mirip dengan Toxoplasma, sehingga sering dikelirukan dengan parasit tersebut. Pertama kali penyakit ini dideskripsikan pada anjing pada tahun 1984, kemudian pada pedet, tetapi agennya baru berhasil diisolasi pada tahun 1988 (Dubey et al., 2006). Dubey et al. (2007) kemudian melaporkan sejak berhasil diidentifikasi pada tahun 1988 sebagai spesies Neospora caninun, kasus tersebut muncul sebagai penyakit parasit yang serius menyerang sapi dan anjing di seluruh dunia.

Kasus neosporosis telah terjadi di berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Irlandia, Mexico, dan Selandia Baru (Dubey dan Lindsay, 1996). Di Indonesia kejadian penyakit ini sudah dipelajari oleh beberapa peneliti (Suhardono et al., 2002; Tahanji, 2003; Rochmadiyanto et al. 2013). Dari hasil penelitian Tim Kelompok Kerja Universitas Airlangga pada tahun 2000, diketahui bahwa dari uji serologik yang dilakukan, satu dari sepuluh sapi perah asal Kabupaten Malang positif mengandung antibodi Neospora caninum (Suhardono et al., 2002). Suhardono et al. (2002) juga melaporkan dari hasil penelitian yang dilakukannya, prevalensi kejadian neosporosis pada ternak sapi perah di Kabupaten Malang sebesar 4,7%.

Penelitian ini adalah penelitian obsevasional     untuk     mengetahui

seroprevalensi neosporosis pada sapi bali. Penelitan ini dilakukan untuk menentukan adanya antibodi terhadap Neospora caninun yang dideteksi pada serum sapi bali betina yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Denpasar. Metode serologi yang dipakai adalah uji ELISA menggunakan Kit pabrikan (ID.vet ®) yang dilakukan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar.

METODE PENELITIAN Sampel serum

Sejumlah 184 sampel serum diperiksa pada penelitian ini. Serum diambil dari sapi bali betina yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Denpasar. Penentuan jumlah sampel minimal menggunakan formula dari Thrusfield (2007) sebagai berikut

1,922 Pexp (1-Pexp)

n=      d2      ,

n, jumlah sampel minimal=108;

P, prevalensi yang diperkirakan=8%;

d, selang kepercayaan=0,05.

Metode Penelitian

Pemeriksaan antibodi Neospora caninum serum dengan ELISA

Deteksi antibodi terhadap Neospora caninum menggunakan Kit pabrikan (ID.vet®). Sebelum digunakan, semua

reagen disimpan pada suhu 4°C. Pengujian serologi dimulai dengan menambahkan 90 µl larutan penyangga 2 untuk setiap microplate, kemudian ditambahkan 10 µl kontrol negatif pada sumur A1 dan B1 serta penambahan 10 µl kontrol positif pada sumur C1 dan D1. Larutan dalam microplate dihomogenkan dengan menggunakan mixer, kemudian diinkubasi selama 45 menit pada suhu 37°C.

Sementara menunggu inkubasi, Washing Concentrate (20X) diencerkan dengan aquades (1:20) sehingga menjadi Washing Solution (1X). Hal yang sama, Concentrate Conjugate (10X) diencerkan dengan dilution buffer 3 (1:10) untuk mendapatkan Conjugate Dilution (1X). Microplate dikeluarkan dari inkubator dan dikosongkan. Masukkan ke dalam alat pencuci (pastikan microplate tidak dalam keadaan kering) untuk dilakukan pencucian dengan menggunakan washing solution. Kemudian conjugate 100 μl yang telah dipersiapkan ditambahkan ke dalam tiap sumuran. Larutan dihomogenkan dengan mixer selama 3 detik, selanjutnya, diinkubasi pada suhu ruangan (26°C) selama 30 menit. Masukkan microplate ke dalam alat pencuci untuk dilakukan pencucian kembali. Kemudian, substrat solution sebanyak 100 μl diberikan untuk setiap sumuran, lalu diinkubasi selama 15 menit dalam suhu ruangan dan dalam keadaan gelap. Langkah selanjutnya

adalah menghentikan reaksi dengan pemberian stop solution sebanyak 100 μl di setiap sumuran. Baca optical density (OD) dengan panjang gelombang 450 nm. Hasil pembacaan OD kemudian dicatat dan diamati.

Data pemeriksaan serologi berupa nilai OD serum dianalisis menggunakan pedoman interpretasi seperti dijelaskan dalam Katalog ID.vet (2012). Untuk masing-masing sampel, nilai persentase serum (S%) adalah nilai OD sampel (ODsampel) dibagi dengan rata-rata nilai kontrol positif (ODPC) dikalikan dengan 100. Serum dinyatakan positif bila S% >50%; meragukan bila 40% < S% <50%; dan dinyatakan negatif bila S% <40%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil uji ELISA yang dilakukan terhadap semua serum, hanya 2 serum (1,08%) yang terdeteksi antibodi Neospora caninum (Tabel 1). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa prevalensi kejadian neosporosis akibat Neospora caninum pada sapi bali yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan Denpasar sebesar 1,08%. Berdasarkan pada umur, kedua serum yang positif nesporosis berasal dari sapi yang berumur 3 tahun atau lebih (3 dan 6 tahun) seperti ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 1. Hasil Uji ELISA Serum Sapi Bali di RPH Pesanggaran Terhadap Antibodi Neospora caninum

Hasil pemeriksaan ELISA

Jumlah Sampel

Persentase (%)

Negatif

182

98.92

Meragukan

0

0.00

Positif

2

1.08

Total

184

100

Tabel 2. Kejadian Neosporosis pada Sapi Bali Berdasarkan Umur

Umur Sapi

Positif

Negatif

Total

< 3 tahun

0

32

32

> 3 tahun

2

150

152

Jumlah

2

182

184

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian serologi terhadap 184 sampel serum sapi bali yang diperoleh dari sapi-sapi yang disembelih di

Rumah Pemotongan Hewan Denpasar, diketahui hanya dua sampel (1.08%) yang menunjukkan respon positif terhadap antibodi Neospora caninum. Sementara

182 sampel sisanya (98.92%) menunjukkan hasil negatif. Hasil ini memberi gambaran bahwa nilai seroprevalensi neosporosis pada sapi bali yang di sembelih di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Denpasar sangat rendah. Seroprevalensi ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang pernah dilaporkan oleh Damriyasa et al. (2009) yakni sebesar 5.50 %. Perbedaan tersebut dapat disebabkan, di samping karena adanya perbedaan metode yang digunakan, kemungkinan juga karena sampel yang diambil dalam penelitian ini hanya berasal dari RPH. Damriyasa et al. (2009) dalam penelitiannya tentang seroprevalensi antibodi Neospora caninum pada sapi bali di Indonesia, melaporkan bahwa sampel serum yang diperoleh tidak hanya dari RPH, tetapi juga dari beberapa daerah. Selain itu, antigen yang digunakan berasal dari takisoit N. caninum (p38 surface antigen), sedangkan yang digunakan dalam penelitian ini adalah antigen dari Kit pabrikan (ID.vet®).

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini memperkuat pernyataan Suhardono et al. (2002) yang mengungkapkan bahwa jika dibandingkan dengan seroprevalensi Neospora caninum pada sapi di negara-negara lain, maka seroprevalensi di Indonesia masih terbilang rendah. Menurut Suhardono et al. (2002), rata-rata seroprevalensi Neospora caninum di

Indonesia adalah 4,70%. Sedangkan berdasarkan penelitian Omar et al. (2013), seroprevalensi Neospora caninum mencapai 16% di Algeria. Peneliti lain melaporkan bahwa seroprevalensi Neospora caninum di Iran adalah sebesar 12,60 % (Fard et al., 2008), Vietnam 34,50 % (Duong et al., 2008), India 12,61% (Sengupta, 2013), Brazil 14,30 % (Gondim et al., 1999), Republik Ceko 26,25% (Hurkova et al., 2005), Meksiko 26,00% Jerman 49%, Belanda 76%, Swedia 13% (Susilo, 2013), dan di Spanyol sebesar 11,80 % (Almeria et al., 2007).

Jika ditelaah lebih lanjut, seroprevalensi Neospora caninum pada sapi potong ini lebih rendah jika dibandingkan dengan sapi perah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara seroprevalensi neosporosis pada sapi potong dan sapi perah (Rochmadiyanto et al., 2013). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Quintanilla-Gozalo et al. (1999) yang menyebutkan bahwa prevalensi hasil uji serologis menunjukkan tingkat infeksi pada sapi potong lebih rendah, yakni 17,90%, jika dibandingkan dengan tingkat infeksi pada sapi perah yang mencapai 35,90%.

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa diantara kejadian neosporosis di Indonesia, seroprevalensi Neospora

caninum pada sapi bali cukup rendah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tahanji (2003), seroprevalensi Neospora caninum di Jawa Barat adalah 41,56 % dan di Jawa Timur adalah 4,66%. Penelitian lain yang serupa menyebutkan bahwa seroprevalensi neosporosis di daerah Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur adalah 7,40% untuk sapi perah dan 0,44% untuk sapi potong (Rochmadiyanto et al., 2013).

Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh penggunaan bibit impor yang telah terinfeksi Neospora caninum pada peternakan besar di Jawa. Bibit yang diimpor langsung oleh peternakan di Jawa berasal dari negara yang dilaporkan terdapat kasus neosporosis, sehingga kemungkinan terbawanya Neospora caninum bersama sapi bibit yang terinfeksi sangat besar (Tahanji, 2003). Berbeda dengan bibit sapi bali yang murni berasal dari sapi bali di Bali. Hal ini memperkecil kemungkinan penyebaran infeksi Neospora caninum dari luar Bali.Selain hal tersebut, kepadatan jumlah ternak dalam satu lokasi peternakan juga menjadi faktor risiko penyebaran neosporosis. Secara umum, peternakan sapi di Jawa lebih besar dan padat jika dibandingkan di Bali (Statistik Pertanian, 2005).Selain itu, rata-rata suhu tahunan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi

dinamika epidemiologi Neospora caninum (Susilo, 2013).

Dari hasil penelitian ini, diketahui serum sapi yang terdeteksi positif neosporosis berasal dari sapi yang berumur 3 dan 6 tahun. Ini menunjukkan bahwa kedua sapi tersebut berada pada sapi betina dewasa.Kejadian neosporosis dengan abortus dilaporkan lebih banyak menyerang sapi dewasa selama tiga bulan pertama kebuntingan (Thurmond et al., 1990). Anderson (1999) menambahkan bahwa dari hasil pengamatannya pada sapi dewasa dengan usia kebuntingan 98 dan 105 hari, menemukan rata-rata kematian fetus akibat Neospora caninum terjadi pada 99-105,5 hari kebuntingan.

Meskipun prevalensi neosporosis hanya 1,08%, kewaspadaan tetap dipertahankan seperti melaksanakan surveylance berkelanjutan sehingga pencegahan dan perluasan penyebaran penyakit ini dapat diturunkan. Menjaga sanititas lingkungan di sekitar sapi sangat penting untuk mengurangi penularan penyakit neosporosisini. Sekali sapi terinfeksi, penularan transplasental/vertikal akan menjadi sarana utama penyebaran penyakit neosporasis.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi Neospora

caninum pada sapi bali yang di potong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Denpasar adalah 1,08%.

SARAN

Untuk menyempurnakan data epidemiologi Neospora caninum maka diperlukan penelitian lanjutan yang membandingkan          seroprevalensi

berdasarkan jenis kelamin dan lingkungan dimana habitat asal ternak sebagai faktor resiko.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Almería S, Vidal D, Ferrer D, Pabón M, Fernández-de-Mera MI, Ruiz-Fons F, Alzaga V, Marco I, Calvete C, Lavin S, Gortazar C, López-Gatius F, Dubey JP. 2007. Seroprevalence of Neospora caninum in Non-carnivorous Wildlife From Spain. Vet Parasitol 143(1), pp: 21-28.

Anderson ML. 1999 Neospora in Cattle. Proc. Am. Assoc. Bov. Pract. (32), pp:161-166.

Badan Pusat Statistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010: Data Agregat Per Provinsi. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

Bjerkas I, MOHN SF, Presthus J. 1984. Unidentified Cyct-forming Sporozoon Causing Encephalomyelitis and Myiositis in Dogs. Z. Parasitenkd 20: 271-27

Damriyasa IM, Schares G, Bauer C. 2009. Seroprevalensi of Antibodies to Neospora caninum in Bos javanicus (Bali cettle) from Indonesia.Trop animal Health Period 42(1), pp: 95-98

Dubey JP, Lindsay DS. 1996. A Review of Neospora caninum and Neosporosis. Vet.Parasitol. 67: 1-59

Dubey JP, Buxton D, Wouda W. 2006. Pathogenesis of Bovine Neosporosis. Animal Parasitic Diseases Laboratory, United States Department of Agriculture, Agricultural Research Service, Animal and Natural Resources   Institute,   BARC-East,

Building 1001,  10300 Baltimore

Avenue,    Beltsville, MD20705-

2350,USA, Moredun Research Institute, Pentlands Science Park, Bush Loan, Edinburgh, EH26 0PZ,UK, and Animal Health Service Ltd, Post Box 9,  7400 AA

Deventer,The Netherlands, J. Comp. Path.134,pp: 267-289

Dubey JP, Schares G, Ortega-Mora LM. 2007. Epidemiology and Control of Neosporosis and Neospora caninum. Clinical Microbiology. Reviews. April 2007 vol. 20 no. 2 323-367.

Duong MC, Alenius S, Huong LTT, Björkman B. 2008. Prevalence of Neospora caninum and Bovine Viral Diarrhoea Virus in Dairy Cows in Southern Vietnam.The Veterinary Journal 175(3), pp: 390–394

Fard SRN, Khalili M, Aminzadeh A. 2008.Prevalence of Antibodies to Neospora caninum in Cattle in Kerman Province, South East Iran.Veterinarski Arhiv 78 (3), 253259

Gondim LF, Sartor IF, Hasegawa M, Yamane I. Seroprevalence of Neospora caninum in Dairy Cattle in Bahia, Brazil.Vet Parasitol 86(1), pp: 71-75.

Hurkova L, Halova D, Modry D. 2005. The prevalence of Neospora caninum Antibodies in Bulk Milk of Dairy Herds in the Czech Republic: a case report. Vet. Med. – Czech 50 (12): 549–552

Omar B, Leila DA, Rachida A, Nedjoua L, Assia B, Hacène BEI. 2013. Seroprevalence of Neospora caninum in Dairy Cattle in Eastern Algeria. Annals of Biological Research, 2013, 4 (11):76-79.

Quintanilla-Gozalo A, Pereira-Bueno J, Tabares E, Innes EA, Gonzalez-Paniello R, Ortega-Mora LM. (1999): Seroprevalence of Neospora caninum Infection in Dairy and Beef Cattle in Spain. International Journal for Parasitology, 29, 1201–1208.

Rochmadiyanto, Fatiyah E, Dewi AP, Imron K. 2013. Survei Serologi Neospora caninum pada Sapi Potong dan Sapi Serah di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur Tahun 2012. Buletin Laboratorium Veteriner. 13(3):   13

20

Sengupta PP, Balumahendiran AG, Honnappa TG, Gajendragad MR, Prabhudas K. 2013.Prevalence  of

Neospora  caninum Antibodies in

Dairy Cattle and Water Buffaloes and Associated Abortions in the Plateau of Southern Peninsular India.Tropical Animal Health and Production 45(1), pp: 205-210.

Statistik Pertanian. 2005. Populasi Ternak Sapi Potong, Kerbau dan Kuda. Available                          at

:http://www.bappenas.go.id/files/1313 /5098/8840/bab-4.pdf. Accessed July 24, 2014

Suhardono, Iskandar T, Kosasih Z. 2002. Neosporosis Salah Satu Penyebab Keguguran pada Ternak Baru Dikenali di   Indonesia.   Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 : 1-4.

Susilo J. 2013. Neospora caninum Penyebab Keguguran pada  Sapi.

Available                      from:

http://bvetlampung.com/neospora-caninum-penyebab-keguguran-pada-sapi/. Accessed July 22, 2014

Tahanji F. 2003. Studi tentang Infeksi Neopora caninum pada Ternak Sapi Perah di Indonesia. (Skripsi) Institut Pertanian Bogor.

Thurmod MC, Picanso JP, Jameson CM. 1990. Considerations for Use of

Descriptive Epidemiologyto Ivestigate Fetal Loss in Dairy Cows. J. AM. Vet. Med. Assoc. 197: 1305-1312

Thrusfield M. 2007. Veterinary Epidemiology 3th edition. Blackwell Science. Oxford.

Toelihere MR. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta: UI Press.

Wouda W, Dijkstra T, Kramer AR. 1999. Characteristics of Neospora caninum-associated Abortion Storms in Dairy Herds in the Netherlands (1995-1997). Theriogenalogy, 52, 233-225.

79