SPIRIT SUSTAINABLE DEVELOPMENT DAN PRAKTIK AKUNTABILITAS KORPORASI
on
SPIRIT SUSTAINABLE DEVELOPMENT DAN PRAKTIK AKUNTABILITAS KORPORASI
I Putu Sudana1
1Fakultas Ekonomi Universitas Udayana e-mail: putusudana@yahoo.co.id 0361 8757875
ABSTRAK
Praktik akuntabilitas sosial dan lingkungan korporasi yang cenderung difungsikan sebagai alat legitimasi, dapat ditengarai merupakan akibat dari masih rendahnya kesadaran tentang arti penting sustainabilitas alam sebagai fondasi eksistensi organisasi dan kuatnya pengaruh karakter oportunistik untuk lebih memprioritaskan kinerja finansial. Sebagai pemain penting dalam sistem informasi keuangan, profesi akuntansi membutuhkan reorientasi pemikiran dalam menyikapi tuntutan ke arah sustainable development. Tuntutan ke arah sustainable development mengharuskan profesi akuntan memberikan perhatian pada dua hal penting, yakni mengadopsi konsep akuntabilitas kepada stakeholder, dan mengadopsi paradigma riset yang beragam, bukan paradigma tunggal. Untuk membawa praktik akuntabilitas sosial dan lingkungan ke jalur yang seharusnya, maka langkah penting yang harus diupayakan adalah membangun kesadaran pada pentingnya sustainale development.
Kata kunci: akuntabilitas, kesadaran, stakeholders, sustainale development
ABSTRACT
Corporate social and environmental accountability practice that is likely functioned as legitimative tool can be deemed as the results of the low level of awareness to the importance of sustainable development, and strong acceptance of opportunistic character bringing financial performance into priority. As a key player in financial information system, accounting profession is required to reorient its thinking to respond to the demand toward sustainable development. Accounting profession must adopt wider concept of accountability in terms of stakeholders, as well as multiparadigm approach in conducting research projects. An important step is required to bring social and environmental accountability to the right track requires. We must build awareness to the important of sustainable development
Keywords: accountability, awareness, stakeholders, sustainable developmet
PENDAHULUAN
Studi ini diinspirasi oleh beberapa penelitian pada ranah Corporate Social Responsibility (CSR) dan sustainability accounting, yang antara lain menyimpulkan terjadinya kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan pada aspek pertanggungjawaban sosial korporasi. Kesenjangan ini sangat mungkin disebabkan oleh kurangnya
pemahaman dan apresiasi pada eksistensi stakeholders dalam arti luas dan masih perlunya ditumbuhkan kesadaran pada urgensi sustainable development.
CSR dan sustainability accounting telah menjadi isu sentral bagi manajemen korporasi, sekurang-kurangnya pada tiga dekade terakhir ini. Kualitas lingkungan alam yang semakin merosot menjadi pemicu utama tuntutan masyarakat ke
arah korporasi. Secara kelembagaan, tuntutan tersebut, antara lain telah dikumandangkan oleh UN-WCED (United Nations’ World Commission on Environment and Development) (Brundtland, 1987). Tuntutan akan tanggung jawab yang lebih luas secara otomatis memberikan beban tambahan bagi manajemen korporasi. Tentu pantas untuk di pertanyakan, apakah manajemen telah memenuhi kewajiban tersebut dengan baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa laporan pertanggungjawaban sosial yang dipublikasi oleh korporasi cenderung digunakan lebih sebagai alat legitimasi untuk memperbaiki citra organisasi (Branco & Rodrigues, 2008; Cho, Chen, & Roberts, 2008; Cho & Patten, 2007; Cho & Roberts, 2010; Hughes, Anderson, & Golden, 2001).
Studi Hughes et al. (2001), misalnya, menyimpulkan bahwa “poor performer makes the most dislosures.” Dengan kecenderungan bahwa korporasi akan menyajikan lebih banyak good news daripada bad news dalam pengungkapan tanggung jawab sosialnya, maka masyarakat tidak dapat mengharapkan informasi yang fair dari pengungkapan tersebut. Studi oleh Cho & Roberts (2010) dengan setting perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam America’s Toxic 100, juga memberikan simpulan senada: “worse environmental performers provide more extensive disclosure in terms of content and website presentation.” Temuan-temuan riset ini setidaknya menunjukkan bahwa masih ada korporasi yang belum menyajikan informasi yang fair terkait dengan pelaksanaan tanggung jawab sosialnya. Kondisi demikian menuntut masyarakat dan stakeholders lainnya untuk lebih berhati-hati dalam menanggapi CSR disclosures dan laporan sustainability accounting yang disajikan oleh korporasi. Sugesti Kolk & Pinkse (2006)
mengatakan bahwa patut dicermati hal di bawah ini.
Stakeholders cannot trust managers blindly, since stakeholder interests will not always get appropriate attention. It appears that, in some cases, managers will intentionally or unintentionally neglect stakeholders to strengthen their own positions.
Terdapat sekurang-kurangnya dua argumen yang dapat digunakan untuk menjelaskan kecenderungan sikap manajemen yang demikian. Pertama, belum tumbuhnya kesadaran bahwa sustainabilitas lingkungan alam merupakan faktor utama bagi eksistensi organisasi. Kedua, kuatnya pengaruh karakter oportunistik sehingga manajemen memilih untuk lebih memprioritaskan kinerja finansial daripada menjalankan organisasi yang lebih bertanggungjawab pada sustainabilitas lingkungan alam. Pada tataran akademik, kedua masalah ini belum mendapat perhatian yang sepantasnya dari studi-studi dengan tema CSR disclosures dan sustainability accounting yang selama ini dilakukan (Branco & Rodrigues, 2008; Cho & Patten, 2007; Cho & Roberts, 2010; Hughes et al., 2001). Studi-studi ini dan studi-studi lainnya yang dominan mengadopsi paradigma positivistik lebih menekankan pada aspek ketaatan korporasi dalam memenuhi kewajiban ritual pelaporan nya. Padahal, aspek yang lebih penting adalah bagaimana membangun kesadaran pada pentingnya sustainabilitas lingkungan alam. Dengan kesadaran yang rendah, maka perilaku oportunistik akan lebih dominan mempengaruhi upaya-upaya manajemen dalam memenuhi kewajiban pelaporannya.
Menyadari betapa krusialnya masalah tanggung jawab korporasi pada sustainabilitas lingkungan alam, maka
diperlukan lebih banyak lagi studi yang memberikan perhatian pada tema tersebut. Studi dengan paradigma tunggal, apalagi dengan metode riset yang seragam, tentu kurang memadai untuk menjawab tantangan besar ini. Sejalan dengan pemikiran Schaltegger & Burritt (2010), pandangan Creswell (1994) dapat dijadikan acuan hal berikut.
Given the significance of the task, there is a need for diversity of research methods to be encouraged in direction of sustainability accounting, whatever the philosophical stance being taken—empirical, qualitative and research based on mixed methods.”
Profesi akuntan, yang telah diakui berperan penting dalam dunia bisnis, memiliki tanggung jawab untuk ikut mengusahakan jalan keluar bagi upaya-upaya mengatasi kesenjangan ekspektasi ini. Tuntutan ini mengharuskan profesi akuntan, dalam riset-risetnya, memberikan perhatian pada dua hal penting, yaitu (1) atensi pada konsep pertanggungjawaban yang lebih luas, yaitu pertanggung jawaban kepada stakeholders, bukan stockholders; dan (2) penggunaan paradigma riset yang lebih beragam, bukan paradigma tunggal.
PEMBAHASAN
Studi ini mengambil tema spirit sustainable development dalam praktik akuntabilitas korporasi. Praktik akuntabilitas pada umumnya difungsikan sebagai media komunikasi antara manajemen dan pihak-pihak yang memiliki stake atau kepentingan pada beroperasinya sebuah korporasi. Kandungan informasi yang disampaikan melalui media akuntabilitas ini, sangat dipengaruhi oleh spirit atau semangat yang diadopsi oleh manajemen. Spirit itu sendiri ditentukan oleh sistem nilai (values) dan keyakinan (beliefs) yang dimiliki. Pembahasan dalam studi
konseptual ini disajikan dalam beberapa subtema. Tiga subtema pertama adalah keniscayaan untuk memberikan apresiasi kepada stakeholders, stakeholders theory dalam pandangan profesi akuntansi, dan dimensi kuasa dan pengetahuan dalam praktik akuntabilitas. Empat sub-tema berikutnya mengkaji konteks sustainabilitas dihubungkan dengan organisasi, akuntansi, dan spirit kesadaran.
Apresiasi kepada Stakeholders: Sebuah Keniscayaan
Kehadiran stakeholder theory dapat dirunut ke tahun 1984, melalui karya Freeman berjudul ‘Strategic Management: A Stakeholder Approach’. Publikasi ini memberikan pengaruh luas dan menimbulkan daya tarik signifikan sehingga memicu banyak peneliti untuk melakukan studi dengan menggunakan basis teori ini. Akseptabilitas teori Freeman tidak terbatas pada kalangan akademisi dan peneliti, tetapi juga telah mempengaruhi para eksekutif korporasi. Bahkan, manajemen telah mengadopsi pandangan-pandangan
Freeman ke dalam strategi bisnis yang dirancangnya, baik pada level korporasi maupun unit bisnis. Freeman menyatakan bahwa korporasi harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan permintaan-permintaan, bukan hanya dari para shareholders-nya melainkan juga dari konstiuen-konstituen eksternal lain dalam arti luas, yakni stakeholders (Clement, 2005). Tidak seperti pandangan tradisional yang umumnya menyamakan stakeholder dengan pemilik atau pemegang saham, Freeman mendefinisikan
stakeholder secara lebih luas, yaitu sebagai berikut.
.....as any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the firm’s objectives [(Clement, 2005), (Kolk & Pinkse, 2006)].
Dengan pandangan demikian, Freeman diakui sebagai pakar manajemen pertama yang secara jelas mengidentifikasi arti strategis kelompok-kelompok atau individu-individu selain pemegang saham korporasi. Clement menegaskan bahwa definisi Freeman tentang stakeholder mencakup konstituen yang lebih luas, selain stockholders, employees, customers, dan suppliers seperti dibawah ini.
Indeed, he (Freeman) saw such widely disparate groups as local community organizations, environmentalists, consumer advocates, governments, special interest groups, and even competitors and the media as legitimate stakeholder (Clement, 2005).
Definisi yang lebih luas ini, pada tahun 1994, dipertegas oleh Starik dengan menyatakan bahwa stakeholder dapat melingkupi hal-hal berikut.
……..those who “are or might be influenced by, or are or potentially are influencers of, some organizations” (Kolk & Pinkse, 2006).
Dalam pandangan Freeman, munculnya kebutuhan untuk mem perhatikan konstituen yang lebih luas disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam operasinya korporasi meng hasilkan eksternalitas yang mem pengaruhi berbagai pihak di dalam dan di luar organisasi. Adanya eksternalitas ini, menyebabkan stakeholders menaruh perhatian dan berupaya meningkatkan pengaruhnya kepada oganisasi untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif operasi korporasi (Darnall, Seol, & Sarkis, 2009).
Dengan mengadopsi definisi Freeman dan Starik, stakeholders dapat dibedakan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama, adalah kelompok yang cukup powerful untuk mempengaruhi berfungsinya korporasi secara benar, meliputi para shareholders, pegawai, pemasok, pemberi pinjaman, pelanggan, dan regulator. Kelompok ini disebut powerful stakeholders atau primary stakeholders (Clarkson, 1995; Waddock et. al., 2002; dalam Clement, 2005). Motivasi korporasi untuk memperhatikan kebutuhan powerful stakeholder, didasari atas kemungkinan akan terganggunya operasional korporasi apabila para stakeholders ini merasa kepentingan nya tidak difasilitasi. Namun, korporasi dapat secara sadar memilih untuk memenuhi permintaan stakeholders lainnya (secondary stakeholders) dengan pertimbangan kewajiban moral (Kolk & Pinkse, 2006).
Tuntutan pada perhatian korporasi yang berasal dari kelompok kedua, secondary stakeholders, terutama dikaitkan dengan isu-isu lingkungan. Isu lingkungan telah menjadi perbincangan masyarakat pada berbagai lapisan, dan mempengaruhi masyarakat, baik pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Selain secondary stakeholders, investorinvestor individual juga menaruh perhatian yang jauh lebih besar pada informasi tahunan yang terkait dengan isu lingkungan dibandingkan dengan isu-isu sosial lainnya (Hughes et al., 2001).
Stakeholder theory memang bukan satu-satunya teori yang dapat dijadikan acuan dalam mengkaji isu-isu lingkungan. Pendekatan lain, yang serumpun dengannya, yaitu legitimacy theory juga diakui pengaruhnya. Kedua teori tersebut berasal dari rumpun yang sama, karena di kembangkan dari teori yang lebih luas, yaitu Political Economy Theory. Teori ekonomi politik merupakan rerangka sosial, politikal, dan perekonomian dalam kehidupan manusia sebagai masyarakat (Deegan, 2004, p. 251). Teori ini berpandangan bahwa
masyarakat, politik dan perekonomian tidak dapat dipisahkan. Isu-isu ekonomi tidak akan bermakna apabila dikaji tanpa melibatkan aspek politikal, sosial, dan institusional di mana perekonomian berlangsung. Dari sudut pandang ilmu sosial, politik, ekonomi terikat oleh waktu dan lingkungan, termasuk juga oleh nilai-nilai yang melekat pada lingkungan tersebut (Andrianto & Irianto, 2008, p. xviii).
Profesi Akuntansi dan Stakeholders Theory: Ekspektasi vs. Kenyataan
Stakeholder theory telah mendapat perhatian luas dan menginspirasi banyak penelitian. Cakupan penelitian-penelitian ini tidak saja pada area yang terkait dengan pengujian, perubahan dan perbaikan teori tersebut, tetapi juga pada area yang mengkaji pandangan-pandangan eksekutif korporasi yang telah mengadopsi stakeholder theory ke dalam strategi-strateginya. Beberapa di antara penelitian yang mengadopsi Teori Freeman adalah Smith, Adhikari, dan Tondkar (2005), Clement (2005), Kolk dan Pinkse (2006), Darnall et al., (2009), Marshall, Akoorie, Hamann, & Sinha (2009), dan Jurgens, Berthon, Papania, dan Shabbir (2010). Luasnya akseptabilitas stakeholder theory dan banyaknya penelitian yang menggunakan basis teori ini, ternyata belum mendapatkan apresiasi yang memadai dari kalangan accounting standard-setting body. Dalam regulasi-regulasinya, badan-badan pembuat standar akuntansi masih condong memberikan perhatiannya kepada owners atau shareholders walaupun eksekutif korporasi telah mengadopsi stakeholder theory ke dalam strategi-strateginya. Secara logika, kesenjangan ini dapat memiliki konsekuensi yang serius bagi profesi akuntansi, karena pihak-pihak yang melakukan pengambilan keputusan tidak
disuguhi informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi demikian secara langsung mempengaruhi kualitas informasi akuntansi dari sudut pandang relevansinya.
SFAC No. 1 (FASB, 1978) menegaskan bahwa pelaporan keuangan yang efektif harus memenuhi beberapa tujuan yang luas sehingga memungkin kan current and potential investors, creditors, and other users untuk membuat keputusan-keputusan investasi dan kredit; menaksir prospek aliran kas; dan melaporkan resources korporasi, klaim atas sumber tersebut, dan perubahan-perubahannya. Konsep ini secara implisit menyatakan bahwa users utama pelaporan keuangan adalah investor dan kreditor. Dengan demikian, tujuan pelaporan keuangan bersandar pada keinginan untuk dapat menyajikan informasi keuangan yang dibutuhkan oleh users utama ini. Stakeholders selain investor dan kreditor diberi nama other users. Karena tidak didentifikasi dengan jelas, kepentingan other users ini potensial untuk kurang, bahkan tidak, diperhatikan. Sebagai konsekuensi nya, other users harus mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang tidak didesain untuk kepentingan mereka. Karena perspektif keputusan yang diambil oleh setiap users pada umumnya berbeda-beda, maka relevansi informasi keuangan pantas untuk dipertanyakan oleh users selain investor dan kreditor.
Ketidakberpihakan dunia akuntansi kepada stakeholders selain investor dan kreditor juga implisit pada SFAC No. 6 (FASB, 1985). Statemen konsep ini mendefinisikan sepuluh elemen laporan keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja dan posisi keuangan korporasi. Kesepuluh elemen tersebut adalah: assets, liabilities, equity, investments by owners, distributions to owners, comprehensive income,
revenues, expenses, gains, dan losses. Kodifikasi dalam konsep ini secara tersirat menunjukkan keberpihakan standard setting body kepada pemegang saham atau pemilik. Konsep ini mempertegas bahwa stakeholders selain investor dan kreditor memang dipandang sebagai just other users. Kegagalan mengidentifikasi users dengan tepat akan berimbas kepada konsep-konsep yang dibangun dan standar-standar yang ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini, tentu masuk akal untuk mempertanyakan ‘decision usefulness’ informasi yang disajikan. Apabila stakeholders didefinisikan secara sempit maka decision usefulness informasi yang disajikan akan berpatokan kepada kebutuhan informasi bagi pihak-pihak tersebut.
Dari paparan-paparan tersebut dapat dipahami bahwa kegagalan dalam mengidentifikasi users dengan tepat akan menyebabkan terjadinya kesenjangan antara ‘informasi keuangan yang dibutuhkan oleh para pengambil keputusan’ dengan ‘informasi yang disajikan dalam pelaporan keuangan’. Ketika dunia bisnis sudah mengadopsi wider-view of stakeholders dalam strategi dan keputusan-keputusannya, akuntansi masih menggunakan narrow view dalam menyajikan informasi-informasinya. Mismatch atau kesenjangan ini amat mungkin tidak disebabkan oleh ketidaktahuan profesi akuntansi terhadap perkembangan dunia bisnis, mengingat demikian luasnya perhatian para eksekutif bisnis dan peneliti kepada stakeholder theory.
Dari sejarahnya dapat diketahui bahwa disiplin akuntansi terlahir dari upaya suatu entitas yang menerapkan -power-nya terhadap individu-individu. Sebagai sebuah disiplin, harus diakui bahwa praktik-praktik akuntansi lahir sebagai akibat dari adanya tekanan kekuatan (power) yang dijalankan oleh suatu entitas. Dengan kenyataan bahwa
akuntansi merupakan aktivitas jasa, maka definisi dan praktik akuntansi tidak akan ditentukan oleh akuntan, tetapi oleh mereka yang dilayani para akuntan. Kalau jasa (informasi) yang diserahkan tidak sesuai dengan kebutuhan pihak-pihak yang dilayani, maka tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa profesi akuntansi seharusnya merasa khawatir dengan eksistensinya. Mengenali pemakai jasa akuntansi sama artinya dengan mengenali stakeholders korporasi karena jasa (informasi) yang dihasilkan oleh akuntansi dimaksudkan untuk memenuhi information needs mereka.
Ketiadaan regulasi akuntansi yang secara tegas mengatur akuntabilitas manajemen kepada stakeholders korporasi menimbulkan beberapa konsekuensi. Pertama, manajemen yang menyadari pentingnya akuntabilitas kepada stakeholders dapat menghadapi kesulitan karena tidak tersedianya ketentuan atau regulasi yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan akuntabilitas. Kedua, manajemen yang mendefinisikan rasionalitas sebagai keuntungan finansial yang setinggi-tingginya menjadikan ketiadaan regulasi sebagai alasan pembenar kalau mereka memang tidak perlu care terhadap pihak-pihak selain investor dan kreditor. Kedua konsekuensi tersebut dapat memiliki akibat buruk pada profesi akuntansi.
Dimensi Kuasa dan Pengetahuan dalam Akuntabilitas
Perhatian dan perlakuan organisasi bisnis terkait dengan akuntabilitas pada stakeholders korporasi sangat ditentukan oleh dimensi kuasa dan pengetahuan (power and knowledge) yang melekat pada manajemen puncak sebagai pemangku kebijakan. Statemen Fillingham berikut ini mendukung argumentasi tersebut:
Apabila kita berbicara tentang pengetahuan mengenai manusia,
ilmu-ilmu sosial, atau seperti disebut Foucault “ilmu-ilmu manusia”, maka orang-orang yang memutuskan apa yang benar (membangun kebenaran) sesungguh nya memutuskan perkara-perkara yang mendefinisikan manusia dan mempengaruhi orang secara umum (Fillingham, 1993, p. 8).
Akuntansi tidak dapat dimaknai sebagai alat atau teknik manajemen yang bersifat netral. Di balik regulasi akuntansi terdapat kuasa dan pengetahuan pihak-pihak tertentu untuk memaksakan kehendaknya dengan menggunakan regulasi sebagai media. Sintesis yang dibangun oleh Sukoharsono dapat dijadikan acuan, yaitu seperti berikut ini.
Accounting is no longer seen as only a technical and neutral apparatus. Accounting as a disciplinary power and knowledge appears not as a single dimensional aspect, but as a complexity of social, political, and economic phenomena in society.” (Sukoharsono, 2002).
Paparan-paparan di atas menyiratkan dua fenomena penting. Pertama, untuk menjawab tuntutan skeholders yang lebih luas, sebagian korporasi telah memenuhinya, antara lain, melalui pengungkapan atau disclosures. Namun, beberapa riset menyimpulkan bahwa pengungkapan tersebut lebih condong untuk tujuan legitimasi (atau ritualistik) daripada untuk mengupayakan fair presentation (Branco & Rodrigues, 2008; Cho & Patten, 2007; Cho & Roberts, 2010; Hughes et al., 2001). Kedua, adanya kebutuhan atas riset-riset yang memberikan atensi pada konsep pertanggungjawaban yang lebih luas, yaitu pertanggungjawaban kepada stakeholders. Riset-riset ini tidak harus
dikembangkan dengan menggunakan paradigma tunggal, tetapi har dengan research paradigms yang beragam. Riset-riset ini harus ditujukan pada masalah-masalah yang lebih mendasar, yaitu masalah kesadaran pada betapa pentingnya korporasi memberikan perhatian pada sustainabilitas lingkungan alam dan kepentingan secondary stakeholders lainnya.
Sustainabilitas Organisasi
Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi tema sentral dalam kaitannya dengan upaya-upaya pemenuhan kebutuhan informasi bagi secondary stakeholders. Penelitian-penelitian yang mengkaji CSR berupaya untuk mengungkap apa dan bagaimana korporasi melaporkan tanggung jawab sosialnya melalui disclosures. Termasuk di dalamnya adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Cho dan Patten (2007), Branco dan Rodrigues (2008), serta Cho dan Roberts (2010). Tema sentral dalam praktik dan studi tentang CSR adalah sustainabilitas organisasi.
Istilah sustainabilitas berkaitan dengan kelangsungan hidup organisasi dalam perspektif jangka panjang. Dalam bahasa Inggris, sustainabilitas disinonimkan antara lain dengan continue, keep-up, keep-going, dan up-hold. Semua sinonim itu memiliki makna keajekan, bertahan dalam jangka panjang tanpa gettingworse. Sustainabilitas organisasi sering dihubungkan dengan konsep profitabilitas dan solvabilitas. Tanpa profit, bagaimana bisa solvabel; tanpa solvabilitas, bagaimana bisa sustainabel. Pandangan demikian ada benarnya. Akan tetapi, jangan pernah mengabaikan adanya potensi bahwa atas nama sustainabilitas, organisasi berusaha mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya yang justru akan berdampak buruk pada sustainabilitas alam. Apabila alam sudah rusak, tidak
lagi memiliki sustainabilitas yang baik, masih mampukah sebuah organisasi untuk tetap sustainabel? Hidup ini adalah tentang sustainabilitas. Setiap orang harus memikirkan sustainabilitas pada berbagai tingkatan, mulai dari sustainabilitas diri sendiri, keluarga, masyarakat, lingkungan alam sekitar, sampai pada alam dalam arti luas. Bayangkan kalau karena ulah sebagian manusia, bumi menjadi semakin panas, kutub es mencair, banyak pulau atau dataran tenggelam. Ketika itu terjadi, masihkah kita bisa mengatakan bahwa organisasi yang kita pimpin memiliki sustainabilitas yang baik?
Sudah saatnya para penguasa dan para pengusaha mengupayakan reorientasi cara pandang menjalani kehidupan. Menabung adalah penting, tetapi layakkah seseorang untuk menumpuk kekayaan yang menggunung, kalau hal ini diperoleh dari cara-cara eksploitasi terhadap alam secara serakah? Layakkah kita duduk di atas singgasana emas, sementara di belakang istana kita lingkungan alam sudah coreng moreng? Ketika bumi hancur, masih banggakah seorang nakhoda ketika kapal mewahnya tidak lagi punya tempat berlabuh? Kita mesti sadar bahwa sustainabilitas kita— sebagai individu memiliki saling ketergantungan yang erat dan kuat dengan keluarga, masyarakat, lingkungan alam sekitar, dan lingkungan alam dalam arti luas. Kita harus menjadi lebih bijak. Perlukah kita menanyakan dan mempertanyakan, siapa yang telah mengajari kita menjadi serakah?
Sudah seharusnya para pemuka bisnis memperkaya wawasan kesadaran, bahwa selama kita hidup di bumi maka keajekan bumi adalah yang terpenting. Oleh sebab itu, memikirkan sustainabilitas organisasi tanpa bingkai sustainabilitas lingkungan alam adalah pandangan yang keliru. Pandangan berikut dapat dijadikan
cermin bagi para pemangku kebijakan bisnis:
Corporate sustainability, then, is probably better understood not so much as the discipline by which companies ensure their own longterm survival–though that is clearly part of the equation–but as the field of thinking and practice by means of which companies and other business organisations work to extend the life expectancy of: ecosystems (and the natural resources they provide); societies (and the cultures and communities that underpin commercial activity); and economies (that provide the governance, financial and other market context for corporate competition and survival (Visser, Matten, Pohl, & Tolhurst, 2010, p. 115).
Kepada para koleganya, yaitu para pakar akuntansi dan finance, Gray mengungkapkan kekhawatiran dan sekaligus harapannya seperti di bawah ini.
At the core of accounting and finance is a truly fundamental conflict between sustainability and modern international financial capitalism. Our choices between these are likely to be a great deal more than matters of methodolo gical nicety or intellectual convenience. Social and environmental accounting and finance offer a way to recover a moral and productive accounting and finance that places survival of the species at its very heart (Gray, 2002).
Upaya-upaya membangun kesadaran pada urgensi sustainabilitas lingkungan alam penting dilakukan, seperti yang ditegaskan oleh Gray (2010): “what may be required, is a more nuanced understanding of what ‘sustainability’
actually is and how, if at all, it can have any empirical meaning at the level of the organisation.” Dengan kesadaran yang rendah, maka perilaku oportunistik akan lebih dominan mempengaruhi upaya-upaya manajemen dalam memenuhi kewajiban tanggung jawab sosialnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka riset-riset di bidang CSR memerlukan suatu reorientasi. Pada masa-masa mendatang, riset-riset tersebut harus lebih menekankan pada upaya-upaya membangun kesadaran manajemen pada urgensi sustainabilitas lingkungan. Tiga pemikiran penting dapat dipetik dari telaah atas karya Schaltegger & Burritt (2010) seperti berikut.
-
a) Future research needs to
address the real challenge to corporate management—to develop pragmatic tools for sustainability accounting for a well described set of business situations.
-
b) Conducting theoretical research that is useful to corporate managers in practice, based on a pragmatic orientation is necessary if sustainability accounting is to demonstrate its fitness for purpose.
-
c) The linkage between sustainability accounting and sustainability reporting needs to be extended as a pragmatic imperative by moving beyond the procedural tasks (designed to emphasise report preparation, information verification and disclosure) towards behavioural change within corporations.
Gagasan Sustainable Development
Sustainabilitas adalah terminologi atau konsep yang merefleksikan
keajekan, mencerminkan eksistensi jangka panjang. Bagi organisasi bisnis, konsep sustainabilitas memiliki makna yang lebih dalam dibanding kan dengan konsep kesinambungan usaha (goingconcern), konsep yang mungkin lebih familiar di telinga para pembisnis dan akuntan. Krusialnya arti sustainabilitas bagi sebuah organisasi, muncul karena konsep tesebut berkaitan langsung dengan eksistensi dan kelangsungan hidup organisasi dalam perspektif jangka panjang. Dengan pandangan demikian, maka dapat dipahami mengapa World Commission on Environment and Development (WCED) mengingatkan perlunya semua pihak—baik secara individu maupun bersama-sama—untuk terus menerus mengupayakan dan melaksanakan sustainable development. Ajakan ini menyiratkan arti penting pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi pembangunan yang tidak sustainable malah akan membawa komunitas dunia terperosok ke jurang kehancuran.
Sasaran (goal) sustainable development harus diupayakan oleh setiap organisasi, apa pun jenisnya, dan setiap orang yang ada dalam organisasi tersebut. Mengacu pada definisi oleh WCED, Global Reporting Initiatices (GRI) dalam reporting guidelines-nya menyatakan sebagai berikut.
The goal of sustainable development is to “meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” As key forces in society, organizations of all kinds have an important role to play in achieving this goal (GRI, 2006, p. 2).
Ajakan tersebut didasarkan pada hasil investigasi mendalam yang telah dilakukan oleh komisi independen bentukan United Nations General Assembly pada 1984 itu. WCED menyimpulkan bahwa pada beberapa dasawarsa terakhir, pembangunan yang dilakukan di seluruh dunia telah membawa komunitas bangsa-bangsa menjauh dari upaya-upaya memelihara sustainabilitas.
Pada masa-masa sesudah terbitnya Brundtland Report, gagasan mengenai sustainabilitas organisasi semakin menemukan pijakannya. Dalam pidato serangkaian acara penutupan WCED meeting di Tokyo, Bruntland menegaskan diperlukannya langkah-langkah intervensi untuk mencapai sustainable development. Intervensi tersebut harus dikonsepsi dan dieksekusi melalui proses-proses yang mengintegrasikan pertimbangan -pertimbangan environment, social, dan economic (Brundtland, 1987). Komisi ini melihat urgensi perlunya perubahan struktural dalam model pembangunan. Statemen berikut ini menegaskan kebutuhan tersebut:
Those structure must be remodelled so that development policies are policies for sustainable human progress far into the next century. Institutions whose policies and actions damage the resource base must be made responsible for that damage (Brundtland, 1987).
Tuntutan WCED, yang diarahkan terutama kepada insititusi-institusi yang kebijakan dan tindakan-tindakannya merusak sumber daya alam telah menyadarkan [memaksa] korporasi untuk memberikan perhatian pada masalah-masalah tanggung jawab sosial korporasi.
Konsep CSR dapat dipandang sebagai indikasi bahwa sustainabilitas telah ber kembang sampai ke tataran atau level praktikal, yaitu corporate citizenship (Wiedmann & Lenzen, 2006). WCED, melalui Tokyo Declaration-nya, telah menjadi sumber inspirasi bagi berkembang pesatnya perhatian pada CSR.
WCED mengajak semua bangsa-bangsa di dunia secara bersama-sama dan individual, untuk mengintegrasikan sustainable development ke dalam tujuan-tujuannya. Integrasi tersebut dapat dilakukan melalui pengadopsian prinsip-prinsip sustainable development sebagai panduan bagi kebijakan-kebijakan yang dijalankan, yang meliputi, revive growth; change the quality of growth; conserve and enhance the resource base; ensure a sustainable level of population; reorient technology and manage risk; integrate environment and economic in decision making; reform international economic relations; dan strengthen international cooperation (Brundtland, 1987).
Akuntansi dan Sustainable Development
Bagaimanakah peranan akuntansi dalam upaya-upaya yang terkait dengan sustainable development? Sebagai financial information system terkemuka, akuntansi memiliki peranan penting dalam menyajikan informasi yang memungkinkan dilakukannya analisis kinerja sustainabilitas organisasi (Moneva, Archel, & Correa, 2006). Keterlibatan akuntansi pada aspek-aspek sustainabilitas organisasi dapat dirunut pada Brundtland Report berikut ini.
The key text in this area has been 1987’s Brundtland Commission report, Our Common Future. Its definition of sustainable development is now widely accepted. It was brought into greater focus in 1994
with the introduction of the triple bottom line concept, which has subsequently been widely adopted– for example by the Global Reporting Initiative (Visser et al., 2010, p. 115).
Sebelum Brundtland Report 1987, peranan akuntansi dalam kaitannya dengan sustainabilitas organisasi belum menunjukkan signifikansinya. Hal ini dicermati oleh Gray & Bebbington seperti di bawah ini.
Indeed, despite the importance of accounting as a vehicle for the spread, imposition and acceptance of western capitalist values, we still see relatively little exploration in the literature of accounting's role on the global stage. One such stage is that relating to the battle for the meaning and soul of sustainability (Gray & Bebbington, 1996)
The Rio "Earth Summit" pada 1991 memberikan indikasi mengenai peran sentral yang dapat diperankan oleh akuntansi. Gray & Bebbington (1996) menyimpulkan “The central argument is that accounting is pivotal to the capture/re-capture of the sustainability agenda.” Pada domain akuntansi, konsep sustainabilitas organisasi yang diturunkan dari CSR didominasi oleh triple bottom line (TBL). Bentuk akuntansi sustainabilitas ini digagas oleh Elkington pada 1997 (Sukoharsono, 2010).
Dengan TBL, korporasi telah melampaui praktik konvensional yang hanya melaporkan financial bottom-line. Konsisten dengan gagasan Bruntland Report, TBL memandatkan korporasi untuk menunjukkan sustainabilitasnya dalam tiga area, yaitu economic, social dan environmental (Lamberton, 2005). Dengan demikian, dalam perspektif TBL
reporting tersirat bahwa sustainabilitas merupakan sebuah organisasi atau komunitas yang ditentukan oleh tiga aspek. Pertama, entitas tersebut harus aman secara finansial. Kedua, entitas tersebut harus bertindak sesuai dengan harapan sosial masyarakat. Ketiga, entitas tersebut harus mampu meminimalkan (lebih idealnya lagi menghilangkan) dampak negatifnya pada lingkungan.
Konsep Kesadaran dan Sustainable Development
Sustainabilitas alam adalah prasyarat bagi sustainabilitas organisasi. Diskusi mengenai eksistensi dan kelangsungan hidup organisasi, dalam perspektif jangka panjang, tidak memiliki pijakan yang dapat diterima tanpa memperhitungkan sustainabilitas alam sebagai bingkainya. WCED (Brundtland, 1987) telah mengingatkan perlunya semua pihak baik, secara individu maupun bersama-sama, untuk melaksanakan sustainable development. Kemunculan CSR, TBL, dan GRI dapat dipandang sebagai respons yang diberikan oleh dunia bisnis atas tuntutan tersebut.
Kalau [hanya] bersandar pada konsep rasionalitas, maka kewajiban utama [manajemen] korporasi adalah memaksimalkan profit untuk para penyuplai modalnya. Konsep ini dapat membawa, bahkan sudah membuat, korporasi menjadi predator lingkungan yang demikian ganas. Sebagai major exploiter dari sumber-sumber langka bumi, korporasi memiliki kewajiban untuk secara proaktif membangun ‘a sustainable future for the world’. Tuntutan pelaporan CSR, TBL, dan GRI yang kompleks dan komprehensif (GRI, 2006; Hughes et al., 2001; Wiedmann & Lenzen, 2006) mengharuskan korporasi mengeluarkan extra resources dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut.
Fakta ini mengindikasikan dilema yang dihadapi oleh manajemen organisasi bisnis. Dalam upaya memenuhi tanggung jawab tersebut, manajemen harus rela mengorbankan sejumlah angka yang dapat dikonversi menjadi profit.
Dalam memenuhi tanggung jawab sosial korporasi, manajemen yang dibalut dengan rasionalitas jangka pendek, akan berusaha melakukannya dengan seefisien mungkin. Bagi mereka tidak penting menjadi korporasi yang betul-betul menjalankan tanggung jawab sosial. Yang lebih penting adalah dapat menunjukkan kepada publik bahwa korporasi yang dipimpin kelihatan [seperti] sudah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Elaborasi ini sejalan dengan temuan riset yang menunjukkan potret kinerja sustainabilitas organisasi bisnis. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa laporan pertanggungjawaban sosial yang dipublikasikan cenderung digunakan untuk memenuhi tujuan legitimatif, yaitu untuk memperbaiki akseptabilitas dan citra organisasi (Branco & Rodrigues, 2008; Cho & Patten, 2007; Cho & Roberts, 2010; Hughes et al., 2001).
Apakah yang hilang dari laporan pertanggungjawaban sosial korporasi? Apakah ajakan WCED telah ditanggapi [dengan benar] oleh organisasi bisnis? Tanpa bermaksud untuk melakukan generalisasi, berbagai studi menyimpulkan bahwa masih banyak organisasi bisnis yang belum memenuhi kewajibannya secara sungguh-sungguh. CSR, TBL, dan GRI digunakan lebih sebagai alat retorika. Ketika WCED mengingatkan perlunya semua pihak, secara individu dan bersama-sama, untuk terus menerus mengupayakan sustainable development, implisit di dalamnya kebutuhan atas spirit kesadaran. Apabila pelaporan pertanggungjawaban korporasi dilaksanakan [hanya sebagai alat
legitimasi dan retorika] tanpa dilandasi oleh spirit kesadaran, maka sustainable development tidak akan terlaksana.
Makna penting yang dapat dicermati adalah bahwa kesadaran (awareness) merupakan ‘the missing link’ dalam praktik pertanggungjawaban sosial korporasi. Karena kesadaran yang menjadi jurang pemisah antara semangat sustainable development dengan praktik-praktik [rational-based] corporate social responsibility, maka menjadi jelas apa yang harus segera diupayakan untuk membawa praktik CSR ke jalur yang seharusnya. Membangun organizational awareness berarti mengupayakan sebuah proses organization learning, dalam hal ini tentang pentingnya sustainable development. Dengan memandang organisasi sebagai systems of interrelated rules, Simon (1991) mempostulatkan sebagai berikut.
It was learning by an individual that had consequences for an organization decision—it provided new factual decision premises that led to an offer.
Organization learning theory dapat dipahami konsistensinya dengan teori sosiologi integrasi agen—struktur. Individu (agen) adalah bagian dari organisasi (struktur), dan proses pembelajaran organisasi pada hakikatnya adalah proses pembelajaran oleh individu-individu dalam organisasi tersebut. Dalam pandangan Dawe, masalah utamanya terletak pada sentralnya peran agen manusia dan struktur sosial yang ditempatinya, serta terjadinya ketegangan terus-menerus di antara keduanya (Ritzer & Goodman, 2003). Proses pembelajaran organisasi, melalui individu-individu dalam organisasi tersebut, merupakan salah satu bentuk integrasi agen—struktur yang
menurut Giddens (1993) terjadi secara dialektik.
SIMPULAN DAN SARAN
Beberapa studi pada ranah CSR dan sustainability accounting mengindikasikan bahwa laporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan yang dipublikasi oleh korporasi cenderung digunakan lebih sebagai alat legitimasi untuk memperbaiki citra organisasi. Kecenderungan sikap yang demikian dapat dijelaskan dari dua sisi, yakni (a)belum tumbuhnya kesadaran tentang arti penting sustainabilitas alam sebagai faktor utama bagi eksistensi organisasi dan (b)kuatnya pengaruh karakter oportunistik yang membuat manajemen memilih untuk lebih memprioritaskan kinerja finansial daripada menjalankan organisasi yang bertanggungjawab pada sustainabilitas lingkungan alam. Pada tataran akademik, kedua masalah ini juga belum mendapat perhatian yang sepantasnya. Stekeholder theory mengajarkan bahwa manajemen korporasi tidak boleh mengabaikan pihak-pihak yang selama ini dipandang sebagai secondary stakeholders. Korporasi dapat secara sadar memilih untuk memenuhi permintaan secondary stakeholders dengan pertimbangan kewajiban moral kepada masyarakat dan lingkungan.
Profesi akuntansi membutuh kan reorientasi pemikiran dalam menyikapi tuntutan ke arah sustainable development. Praktik akuntabilitas yang dipandu dengan regulasi akuntansi, tidak boleh membiarkan praktik bisnis yang merusak lingkungan tetap berlangsung. Harus diakui bahwa dalam regulasi-regulasinya, badan-badan pembuat standar akuntansi masih condong memberikan perhatiannya kepada owners atau shareholders, padahal eksekutif korporasi telah mengadopsi stakeholder theory ke dalam strategi-strateginya. Tanpa reorientasi pemikiran yang diikuti dengan tindakan nyata,
profesi akuntansi dapat berada dalam bahaya. Harus disadari bahwa jasa (informasi) yang dihasilkan oleh akuntansi dimaksudkan untuk memenuhi information needs para pengambil keputusan.
Sasaran dari sustainable development harus diupayakan oleh setiap organisasi, apa pun jenisnya dan setiap orang yang ada dalam organisasi. Pelaporan dalam rangka akuntabilitas sosial dan lingkungan tidak boleh lagi hanya diperankan sebagai alat legitimasi dan retorika. Praktik tersebut harus dikreasi dengan dilandasi oleh spirit kesadaran sehingga cita-cita mulia yang tetuang dalam konsep sustainable development dapat terlaksana.
Tuntutan ke arah sustainable development mengharuskan profesi akuntan memberikan perhatian pada dua hal penting. Pertama, perhatian pada konsep akuntabilitas yang lebih luas, yaitu pertanggungjawaban kepada stakeholders, bukan stockholders. Kedua, dalam kajian-kajiannya, akademisi akuntansi sudah saatnya mengadopsi paradigma riset yang beragam, bukan paradigma tunggal. Sebagai pemeran utama dalam lalu lintas sistem informasi keuangan, profesi akuntansi harus mampu menggerakkan para penguasa dan para pengusaha dalam mengupayakan reorientasi cara pandang menjalani kehidupan melalui sustainale development. Kita harus menjadi lebih bijak. Spirit kesadaran merupakan jurang pemisah antara semangat sustainable development dengan praktik-praktik corporate social responsibility. Oleh karena itu, maka menjadi jelas apa yang harus segera diupayakan untuk membawa praktik akuntabilitas sosial dan lingkungan ke jalur yang seharusnya. Upaya-upaya membangun kesadaran pada pentingnya sustainale development harus dilakukan oleh semua pihak, termasuk profesi
akuntansi. Membangun organizational awareness berarti mengupayakan sebuah proses organization learning. Pada masa-masa mendatang riset-riset akuntansi harus lebih menekankan pada upaya-upaya membangun kesadaran manajemen pada urgensi sustainabilitas lingkungan.
REFERENSI
Andrianto, J., & Irianto, G. 2008.
Akuntansi & Kekuasaan: [dalam konteks] Bank BUMN Indonesia. Malang: Fakultas Ekonomi,
Universitas Brawijaya.
Branco, M. C., & Rodrigues, L. L. 2008. "Social Responsibility Disclosure: A Study of Proxies for the Public Visibility of Portuguese Banks". The British Accounting Review, 40, 161-181.
Brundtland, G. H. 1987. "Address at the Final Meeting of World Commission on Environment and Development. Tokyo, Japan: World Commission on Environment and Development o. Document Number.
Cho, C. H., Chen, J. C., & Roberts, R. W. 2008. "The Politics of Environmental Disclosure Regulation in the Chemical and Petroleum industries: Evidence from the Emergency Planning and Community Right-to-Know Act of 1986". Critical Perspectives on Accounting 19, 450-465.
Cho, C. H., & Patten, D. M. 2007. "The Role of Environmental Disclosures as Tools of Legitimacy: A Research Note". Accounting, Organizations and Society, 32, 639--647.
Cho, C. H., & Roberts, R. W. 2010. "Environmental Reporting on the Internet by America's Toxic 100: Legitimacy and self-Presentation". International Journal of Accounting Information Systems, 11, 1--16.
Clement, R. W. 2005. "The Lessons from Stakeholder Theory for U.S. Business Leaders". Business Horizons, 48, 255--264.
Creswell, J. W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks, California: Sage Publications, Inc.
Darnall, N., Seol, I., & Sarkis, J. 2009. "Perceived Stakeholder Influences and Organizations’ Use of Environmental Audits". Accounting, Organizations and Society, 34, 170-187.
Deegan, C. 2004. Financial Accounting Theory. North Ride NSW: McGraw-Hill Australia Pty Limited.
FASB. 1978. Statement of Financial Accounting Concepts No. 1: Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises.
FASB. 1985. Statement of Financial Accounting Concepts No. 6: Elements of Financial Statements a replacement of FASB Concepts Statement No. 3 (incorporating an amendment of FASB Concepts Statement No. 2).
Fillingham, L. A. 1993. Foucault for Beginners (A. Widyamartaya, Trans.). New York: Writers and Readers Publishing, Inc.
Giddens, A. 1993. New Rules of Sociological Method: A Positive Critique of Interpretative
Sociologies (E. Adinugraha & Wahmuji, Trans. 2 ed.). California: Stanford University Press.
Gray, R. 2002. "Of Messiness, Systems, and Sustainability: Towards a More Social and Environmental Finance and Accounting". British Accounting Review, 34, 357--358.
Gray, R. 2010. "Is Accounting for Sustainability Actually Accounting for Sustainability. . .and How Would We Know? An Exploration of Narratives of Organisations and the Planet". Accounting, Organizations and Society, 35, 47-42.
Gray, R., & Bebbington, J. 1996.
"Accounting and the Soul of Sustainability: Hyperreality,
Transnational Corporations and the United Nations". Paper Presented at the 1996 Critical Perspectives on Accounting Conference, New York.
Hughes, S. B., Anderson, A., & Golden, S.2001. "Corporate Environmental Disclosures: are They Useful in Determining Environmental
Performance?". Journal of
Accounting and Public Policy, 20, 217--240.
Jurgens, M., Berthon, P., Papania, L., & Shabbir, H. A. 2010." Stakeholder Theory and Practice in Europe and North America: The Key to Success Lies in a Marketing Approach". Industrial Marketing Management, 39, 769--775.
Kolk, A., & Pinkse, J. 2006. "Stakeholder Mismanagement and Corporate
Social Responsibility Crises". European Management Journal, 24(1), 59--72.
Lamberton, G. 2005. "Sustainability accounting—a brief history and conceptual framework". Accounting Forum, 29, 7--26.
Marshall, R. S., Akoorie, M. E. M., Hamann, R., & Sinha, P. 2009.
"Environmental Practices in the Wine Industry: An Empirical
Application of the Theory of Reasoned Action and Stakeholder Theory in the United States and New Zealand". Journal of World Business, In Press.
Moneva, J. M., Archel, P., & Correa, C. 2006. "GRI and the Camouflaging of Corporate Unsustainability". Accounting Forum, 30, 121--137.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. 2003. Modern Sociological Theory (Alimandan, Trans. 6 ed.). New
Jersey: McGraw Hill.
Schaltegger, S., & Burritt, R. L. 2010." Sustainability Accounting for
Decision Support for Business Leaders?." Journal of World Business, 45, 375-384.
134.
Smith, J. v. d. L., Adhikari, A.,&
Tondkar, R. H. 2005. "Exploring Differences in Social Disclosures Internationally: A Stakeholder
Perspective". Journal of Accounting and Public Policy, 24, 123--151.
Sukoharsono, E. G. 2002. "Accounting in a ‘New’ History: A Disciplinary Power and Knowledge of Accounting". The International Journal of Accounting and Business Society, 10(1), 1--25.
Sukoharsono, E. G. 2010. "Metamorfosis Akuntansi Sosial dan Lingkungan: Mengkonstruksi Akuntansi
Unpublished Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya
Sustainabilitas Berdimensi Spiritualitas". Sustainability Reporting Guidelines © 2000-2006 GRI Version 3.0.
2006.
Visser, W., Matten, D., Pohl, M., & Tolhurst, N. 2010. "The A-Z of
Corporate Social Responsibility". Chichester, West Sussex, United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd.
Wiedmann, T., & Lenzen, M. 2006.
"Triple-Bottom-Line Accounting of Social, Economic and
Environmental Indicators - A New Life-Cycle Software Tool for UK Businesses". Paper presented at the Third Annual International
Sustainable Development Conference.
Vol. 7, No. 2, Juli 2012
AUDI
Jurnal Akuntansi & Bisnis
270
Discussion and feedback