Pendidikan Etika dan Perkembangan Moral Mahasiswa Akuntansi
on
p-ISSN 2302-514X
e-ISSN 2303-1018
Laily dan Anantika. Pendidikan Etika.... 11
PENDIDIKAN ETIKA DAN PERKEMBANGAN MORAL MAHASISWA AKUNTANSI
Nujmatul Laily1
Nova Rifinda Anantika2
1,2Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Indonesia email: nujmatul.laily.fe@um.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami perbedaan pendidikan etika pada tahapan perkembangan moral mahasiswa akuntansi yang terdiri dari level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional), dan level 3 (post-conventional). Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survei yang dilakukan di Universitas “X” di kota Malang. Sampel penelitian ini sebanyak 176 mahasiswa akuntansi. Sampling menggunakan tehnik proportional random sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner untuk variabel pendidikan etika sedangkan variabel perkembangan moral menggunakan defining issues test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan etika mahasiswa akuntansi berbeda antara level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional) dan level 3 (post-conventional). Bagi peneliti selanjutnya dianjurkan untuk mengembangkan dengan menambahkan variabel bebas lain yang mempengaruhi perkembangan moral mahasiswa dan pengumpulan data menggunakan wawancara.
Kata kunci: Perkembangan moral, pendidikan etika, akuntansi
ETHICS EDUCATION AND MORAL DEVELOPMENT OF ACCOUNTING STUDENTS
ABSTRACT
The purpose of this research was to comprehend ethical education differences among level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional), and level 3 (post-conventional) toward moral development steps of accountancy students. This research is quantitative research using survey which is held in X University in Malang. The sampleof this research are 176accountancy students. Sampling method used proportional random sampling technique in choosing the responden.The instrumentof this research is questionnaire related to ethical education or ethical courses and moral development questionnaireusing defining issues test. The results showed that ethical education differ among level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional), and level 3 (post-conventional) of accountancy students.
Keywords: Moral development, ethics education, accounting DOI: https://doi.org/10.24843/JIAB.2018.v13.i01.p02
PENDAHULUAN
Persoalan etika dan moral seringkali dianggap sebagai persoalan interpersonal dan multipersonal atau pesoalan tentang kemanusiaan, sehingga aspek keyakinan dan latar belakang mempunyai pengaruh besar didalamnya (Ludigdo, 2007). Dua aspek tersebut akan berpengaruh terhadap tindakan seorang individu karena apa yang diyakini oleh seseorang akan berpengaruh terhadap tindakan serta keputusan yang diambilnya. Banyaknya kasus yang terkait dengan tindakan-tindakan tidak etis menjadikan
isu etika dan moral selalu menarik untuk dikaji. Salah satu kasus yang dapat dikategorikan sebagai perilaku tidak etis adalah kasus yang dilakukan oleh direksi PT Kimia Farma Tbk, yang terbukti melakukan penggelembungan (mark up) laba bersih laporan keuangan perusahaan untuk tahun buku 2001. Kasus serupa terkait pelanggaran etika dan moral yang melibatkan auditor adalah kasus skandal keuangan Enron dan WorldCom yang menenggelamkan kepercayaan investor terhadap korporasi Amerika
Serikat tersebut.
Banyaknya kasus-kasus pelanggaran etika tersebut menyebabkan krisis kepercayaan pada profesi akuntansi sehingga sangatlah penting untuk membekali mahasiswa Akuntansi dengan pendidikan etika sejak dini untuk memberikan pengetahuan sekaligus pemahaman tentang perilaku-perilaku etis dan tidak etis. Etika berasal dari kata yunani “ethos” yang berarti norma, adat istiadat, kebiasaan yang baik, nilai-nilai, kaidah-kaidah yang menjadi ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Etika juga disebut filsafat moral yang merupakan salah satu cabang dari filsafat yang membahas tentang keputusan normatif atas segala tindakan manusia yang baik maupun salah. Keputusan tersebut muncul dari keyakinan tentang norma, nilai, dan penghargaan yang diharapkan, serta hadiah dan hukuman dari tindakan tertentu (Brooks dan Dunn, 2010). Etika menjadi dasar sebagai pertimbangan moral dan juga perkembangan moral bagi seseorang maupun komunitas dalam melakukan suatu tindakan (Ludigdo, 2007).
Mahasiswa jurusan akuntansi di tingkat Perguruan Tinggi, diwajibkan untuk menempuh mata kuliah etika bisnis dan profesi. Kompetensi dari mata kuliah etika bisnis ini yaitu mahasiswa diharapkan dapat memahami perlunya etika dalam bisnis dan dapat menentukan sikap moral dalam profesinya, sehingga mahasiswa diharapkan mampu membuat keputusan-keputusan etis jika dihadapkan pada kondisi dilema etika. Namun, pendidikan etika dalam penelitian ini tidak hanya dibatasi pada matakuliah etika bisnis akan tetapi pendidikan etika secara umum dari mata kuliah apapun selain etika bisnis dan profesi asalkan dalam pembelajarannya mengandung muatan etika. Pendidikan etika tersebut nantinya akan membantu mahasiswa akuntansi di masa depan yang mana dituntut mampu mengembangkan ilmu yang telah didapat dan mampu berpikir logis, realistis dan kritis, dan mampu bertindak secara etis. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi akademisi (dosen) serta regulator untuk memahami perkembangan moral individu dalam menyusun kurikulum yang memiliki muatan etika.
Mengacu pada teori Kohlberg (1969) yang membagi perkembangannya menjadi 3 level, yaitu level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional), dan level 3(post-conventional) berpandangan bahwa penalaran moral merupakan dasar berperilaku etis. Kohlberg juga mengatakan bahwa cara individu melangkah dari satu tahap ke tahap berikutnya ialah melalui interaksi dengan orang lain yang tahapan moralnya memiliki tingkat diatasnya. Usia saat seorang individu menjalani tahap-tahap dalam perkembangan moral mungkin saja berbeda-beda,
individu yang sama mungkin dapat berperilaku pada tahap yang sama dalam waktu yang lama dan bisa menurut tahap yang lain pada saat waktu yang lain (Slavin, 2011).
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Buell (2009), yang mengukur pendidikan etika dari mata kuliah etika profesi, akan tetapi penelitian ini tidak hanya fokus pada mata kuliah etika bisnis dan profesi, namun mengembangkannya pada mata kuliah lainnya yang mengandung muatan etika. Lebih lanjut, kebaharuan juga terletak pada pengembangan instrumennya. Instrumen yang digunakan oleh Buell (2009) tentang dilema etika yang dihadapi oleh setiap individu dalam kehidupan sehari-hari dari berbagai profesi, akan tetapi kasus dilema etika pada penelitian ini lebih fokus pada kasus yang relevan dengan akuntansi dan kasus dilema etis yang seringkali dihadapi oleh akuntan publik. Selain itu, pada penelitian ini lebih menjabarkan perbedaan pendidikan etika pada setiap level perkembangan moral individu.
Penelitian ini akan mengkonfirmasi teori Kohlberg (1969) yang menyatakan cara individu melangkah dari satu tahap ke tahap berikutnya ialah melalui interaksi dengan orang lain yang tahapan moralnya memiliki tingkat diatasnya sehingga faktor eksternal dari dirinyalah yang dapat mengontrol dirinya. Usia saat seorang individu menjalani tahap-tahap dalam perkembangan moral mungkin saja berbeda- beda, individu yang sama mungkin dapat berperilaku pada tahap yang sama dalam waktu yang lama dan bisa menurut tahap yang lain pada saat waktu yang lain. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perbedaan pendidikan etika antara level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional), dan level 3 (post-conventional) pada tahapan perkembangan moral mahasiswa akuntansi.
Teori perkembangan banyak dikemukakan oleh para ahli, salah satunya yaitu Kohlberg (1969). Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok, tradisi, dan kebiasaan. Sedangkan perilaku yang tidak bermoral adalah perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok sosial yang disebabkan oleh ketidakmampuan yang bersangkutan dengan memahami kelompok serta kondisi lingkungannya (Agoes, 2009). Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa perkembangan moral (moral development) bergantung pada perkembangan intelektual seseorang melalui tahapan perkembangan moral Kohlberg.
Teori perkembangan moral Kohlberg merupakan pengembangan teori struktural-kognitif yang telah dilakukan Piaget sebelumnya. Kohlberg mempelajari cara bagaimana anak-anak (dan orang dewasa)
bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku individu dalam situasi tertentu dan menyelidiki bagaimana tanggapan individu terhadap beberapa situasi terstruktur atau dilema moral (Slavin, 2011). Teori Kohlberg menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui enam tahapan konstruktif dan berpandangan bahwa penalaran moral merupakan dasar berperilaku etis. Kohlberg kemudian mengusulkan suatu teori perkembangan pemikiran moral (teori development-kognitif). Teori Kohlberg ini sebenarnya ingin menyimpulkan bahwa terdapat hubungan pertambahan umur dengan tingkat perkembangan seseorang. Pada anak usia dini, kesadaran moralnya masih belum berkembang dan masih berpusat atas kepentingan diri sendiri (selfinterest, egoisme) sehingga faktor-faktor eksternal (external factors/forces) dari dirinyalah yang dapat mengontrol dirinya. Namun pada kenyataannya, teori model Kohlberg ini tidak selalu menunjukkan terdapatnya hubungan antara pertambahan usia dengan perkembangan moral. Dewasa ini, banyak penyimpangan moral yang justru dilakukan oleh orang tua yang seharusnya berada di tingkat III seperti manipulasi dan korupsi di berbagai lembaga pemerintahan maupun swasta.
Kohlberg juga berteori bahwa cara individu melangkah dari satu tahap ke tahap berikunya ialah melalui interaksi dengan orang lain yang tahapan moralnya memiliki tingkat diatasnya. Usia saat seorang individu menjalani tahap-tahap dalam perkembangan moral mungkin saja berbeda beda, orang yang sama mungkin dapat berperilaku pada tahap yang sama dalam waktu yang lama dan bisa menurut tahap yang lain pada saat waktu yang lain. Menurut Slavin (2011), dosen dapat membantu mahasiswa melangkah dalam penalaran moral dengan memasukkan pembahasan keadilan dan masalah moral kedalam mata kuliah, khususnya untuk menanggapi kasus yang terjadi di sekelilingnya atau masyarakat yang lebih luas.
Etika berasal dari kata yunani “ethos” yang berarti norma, adat istiadat, kebiasaan yang baik, nilai-nilai, kaidah-kaidah yang menjadi ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Etika juga disebut filsafat moral yang merupakan salah satu cabang dari filsafat yang membahas tentang keputusan normatif atas segala tindakan manusia yang baik maupun salah. Keputusan tersebut muncul dari keyakinan tentang norma, nilai, dan penghargaan yang diharapkan, serta hadiah dan hukuman dari tindakan tertentu (Brooks dan Dunn, 2010).
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan melalui nilai dan norma moral serta permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral itu. Etika menjadi dasar sebagai pertimbangan moral dan juga perkembangan moral bagi seseorang maupun komunitas dalam melakukan suatu tindakan (Ludigdo, 2007). Lebih lanjut, Brooks dan Dunn (2010) memaparkan bahwa terdapat tiga penjelasan umum mengapa individu harus berperilaku beretika, yakni berdasarkan pada pandangan agama, hubungannya dengan orang lain, dan persepsi terhadap dirinya sendiri.
Pendidikan etika adalah kegiatan pembelajaran yang mengandung muatan etika tentang keyakinan yang terkandung dalam sistem keyakinan suatu masyarakat tentang hal baik harus dilakukan dan hal buruk yang harus dihindari. Pendidikan etika dalam penelitian ini adalah pendidikan mengenai etika yang diberikan dosen kepada mahasiswa akuntansi melalui kegiatan pembelajaran yang didalam mata kuliahnya terdapat muatan etika. Pendidikan etika yang diberikan oleh Bapak/Ibu dosen dapat disampaikan secara tersirat maupun tersurat selama proses perkuliahan berlangsung, baik dalam mata kuliah etika bisnis dan profesi atau mata kuliah lainnya yang tidak berhubungan dengan etika secara spesifik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk kategori penelitian yang menggunakan metode penelitian survei yakni penelitian dengan tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel-variabel yang diteliti (Siregar, 2013). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perbedaan pendidikan etika antara level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional), dan level 3 (post-conventional) pada tahapan perkembangan moral mahasiswa akuntansi. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan akuntansi yang berjumlah 315 mahasiswa. Pengambilan sampel menggunakan rumus slovin yang menghasilkan jumlah sampel sebanyak 176. Sampling method menggunakan teknik secara proporsional random sampling.
Instrumen penelitian menggunakan angket untuk mengumpulkan data seberapa banyak pendidikan etika yang didapat mahasiswa melalui proses perkuliahan yang bermuatan etika dan definning issue test untuk mengetahui perkembangan moral mahasiswa berdasarkan teori Kholberg. Bentuk tes pendidikan etika adalah 10 pertanyaan yang mencakup pernyataan mengenai penerimaan pendidikan etika dari dosen selama kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dalam hal ini meliputi kegiatan pendahuluan (apersepsi), kegiatan inti (mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, mengolah data, mengkomunikasikan hasil), dan kegiatan penutup (refleksi). Sedangkan tes perkembangan moral menjadi tiga yaitu level 1 (pre-conventional) yang berorientasi pada hukuman dan reward, level 2 (conventional) berorientasi pada aturan dan norma dalam masyarakat serta dimana individu tersebut bekerja, dan level 3 (post-conventional) yang berorientasi pada kontrak sosial dan pada prinsip etika, yang terdiri dari 18 soal yang mana masing-masing sebanyak 8 item soal akan mewakili setiap level perkembangan moral. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji normalitas,
uji homogenitas, dan uji hipotesisnya menggunakan analisis diskriminan berganda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian menggunakan angket/kuesioner untuk mengumpulkan data. Total kuesioner yang dikumpulkan sebanyak 176 kuesioner dengan tingkat respon rate 100 persen. Responden penelitian adalah mahasiswa akuntansi angkatan 2012 yang berjumlah 176 mahasiswa. Karakteristik responden ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Karakteristik Responden
Keterangan |
Jumlah Responden |
Presentase |
Konsentrasi Jurusan: Akuntansi Bisnis Akuntansi dan |
74 |
42 |
Keuangan Syariah Keuangan dan Sistem |
27 |
16 |
Informasi Sektor Publik |
28 |
16 |
Perpajakan |
46 |
26 |
Jumlah |
176 |
100 |
Gender: Laki-laki |
75 |
43 |
Perempuan |
101 |
57 |
Jumlah |
176 |
100 |
Sumber: Data diolah, 2017
Hasil analisis deskriptif diketahui bahwa rata-rata skor jawaban variabel pendidikan etika yaitu 2,80 dimana nilai tersebut mendekati skor 3 (sering). Hal tersebut mengindikasikan mahasiswa akuntansi sering mendapatkan pendidikan etika yang terkandung dalam mata kuliah yang ditempuhnya.
Sedangkan hasil perkembangan moral, terlihat 68 persen (120 mahasiswa) berada di level 3, sebanyak 18 persen (32 mahasiswa) berada di level 2, dan 14 persen (24 mahasiswa) berada di level 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Akuntansi memiliki perkembangan moral yang tinggi.
Tabel 2.
Uji Kolmogorov-Smirnov
Pendidikan Etika
N |
176 |
Normal Parametersa,b |
Mean 31,08 Std. Deviat 5 77 5,747 Absolute 75 0,075 |
Most Extreme Differences |
e Positive 0,060 Negative -0,075 |
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) |
0,995 0,276 |
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan Tabel 2 Kolmogorov-Smirnov terhadap skor pendidikan etika menunjukkan bahwa nilai Asymp sig. sebesar 0,276 > 0,05. Maka dapat diketahui bahwa skor variabel bebas pendidikan etika memenuhi asumsi normalitas dan layak untuk digunakan. Hasil uji homogenitas menunjukkan
hasil uji Box’s M pada data pendidikan etika dapat diketahui bahwa nilai Sig. sebesar 0,056 > 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa data pendidikan etika mahasiswa tersebut adalah homogen. Tabel 3 berikut menunjukkan hasil uji Wilks’ Lambda.
Tabel 3.
Hasil Uji Wilks’ Lambda
Test of Function(s) |
Wilks' Lambda |
Chi-square |
Sig. |
1 |
0,684 |
65,718 |
0,000 |
Sumber: Data diolah, 2017
Pada hasil analisis Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai Wilks’Lambda memiliki signifikansi sebesar 0,000. Karena Signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ada perbedaan antara perkembangan moral level 1 (pre-conventional), perkembangan moral level 2 (conventional), dan perkembangan moral level 3 (post-conventional) mahasiswa jurusan akuntansi.
Tabel 4.
Deskripsi Variabel Perkembangan Moral
No. |
Kelas Ordinal |
Klasifikasi |
Frekuensi |
Persentase |
1 |
3 (postconventional) |
Tinggi |
120 |
68,2 |
2 |
2(conventional) |
Sedang |
32 |
18,2 |
3 |
1 (preconventional) |
Rendah |
24 |
13,6 |
Jumlah |
176 |
100 |
Sumber: Data diolah, 2017
Analisis deskriptif dari hasil penelitian variabel perkembangan moral mahasiswa ditunjukkan pada tabel 4. Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa 68 persen (120 mahasiswa) berada di level 3, kemudian sebanyak 18 persen (32 mahasiswa) berada di level 2, dan 14 persen (24 mahasiswa) berada di level 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Akuntansi Universitas “X” di
Malang memiliki perkembangan moral yang tinggi. Dalam penelitian ini, analisis diskriminan berganda digunakan untuk melihat pengaruh pendidikan etika terhadap perkembangan moral mahasiswa dan menganalisis perbedaan pendidikan etika pada setiap level perkembangan moralnya. Dengan analisis diskriminan berganda, dapat diketahui arah dan hubungan antara variabel-variabel yang telah
Tabel 5.
Uji Canonical Discriminant Function Coefficients
Function 1 | |
Pendidikan Etika (Constant) |
0,209 -6 501 |
Sumber: Data diolah, 2017
diidentifikasi.
Berdasarkan analisis diskriminan berganda, ditemukan persamaan diskriminan sebagai berikut.
D = a + b.X .............................................................(1)
D = -6,501 + 0,209 Ethics
Besarnya sumbangan pendidikan etika terhadap tingkat perkembangan moral mahasiswa yang menunjukkan perbedaan antara level 1 (pre -conventional), level 2 (conventional), dan level 3 (post-conventional) dilakukan analisis diskriminan tiga kelompok. Berikut hasil estimasi koefisien fungsi
Tabel 6.
Hasil Uji Wilks’ Lambda
Test of Function(s) |
Wilk ' Lambda |
Chi-square |
df |
Sig. |
1 |
0,684 |
65,718 |
2 |
0,000 |
Sumber: Data diolah, 2017
diskriminan.
Tabel canonical discriminant function coefficients menerangkan model diskriminan yang terbentuk, yaitu:
D = -6,501 + 0,209 Pendidikan Etika
Signifikansi fungsi diskriminan ditentukan dengan hasil Uji Wilks’ Lambda berikut. Berdasarkan hasil analisis diskriminan berganda menunjukkan bahwa nilai probabilitas signifikansi (Asymp Sig) pada uji Wilks’ Lambda yakni 0,000 lebih kecil dari 0,05 dan pada Tabel Group Statistik yang menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan etika antara pre-conventional (25,33), conventional (27,25), dan post-conventional (33,25) berbeda antara ketiganya. Hal ini berarti bahwa konsep diri secara parsial berpengaruh terhadap pemahaman akuntansi mahasiswa jurusan Akuntansi. Tabel 7 menunjukkan perbedaan rata-rata variabel pendidikan etika pada setiap kelompok
perkembangan moral.
Berdasarkan nilai canonical correlation sebesar 0,562, bila dikuadratkan menjadi (0,562 x 0,562) = 0,3158; artinya 31,58 persen varians dari variabel dependen dapat dijelaskan variabel independen dari model diskriminan yang terbentuk. Sedangkan 68,42 persen dipengaruhi oleh faktor atau atribut lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Sedangkan berdasarkan hasil Group Centroid untuk kelompok level 1 (pre-conventional) adalah sebesar -1,202, untuk kelompok level 2 (conventional) adalah sebesar -0,801, sedangkan untuk kelompok level 3 (post-conventional) adalah sebesar 0,454. Ini berarti bahwa secara rata-rata skor diskriminan ketiga kelompok berbeda cukup besar sehingga fungsi diskriminan yang diperoleh dapat membedakan secara baik kelompok yang ada. Secara keseluruhan model diskriminan yang terbentuk mempunyai tingkat validasi yang cukup tinggi yaitu 62,5 persen. Hasil survei di atas menunjukkan hasil keakuratan model
Tabel 7.
Uji Kelompok Statistik
Perkembangan_Moral |
Valid N (listwise) Mean Std. Deviation Unweighted Weighted |
Preconventional Pendidikan Etika Conventional Pendidikan Etika Postconventional Pendidikan Etika Total Pendidikan Etika |
25,33 6,377 24 24,000 27,25 4,529 32 32,000 33,25 4,474 120 120,000 31,08 5,747 176 176,000 |
Sumber: Data diolah, 2017
diskriminan yang cukup tinggi.
Tabel 7 menunjukkan bahwa secara kualitatif terlihat perbedaan rata-rata variabel pendidikan etika pada setiap kelompok perkembangan moral, hal tersebut mengindikasikan bahwa variabel pendidikan etika berperan dalam mengelompokkan responden dalam tahapan perkembangan moral. Pada Tabel 9 juga menunjukkan jumlah mahasiswa akuntansi yang perkembangan moralnya berada pada level 1 (pre-conventional) adalah 24 mahasiswa dengan rata-rata skor pendidikan etika 25,33. Sedangkan mahasiswa akuntansi yang berada pada perkembangan moral
mahasiswa level 2 (conventional) adalah 32 mahasiswa dengan rata-rata skor pendidikan etika 27,25, dan mahasiswa akuntansi yang berada pada perkembangan moral mahasiswa level 3 (post-conventional) adalah 120 mahasiswa dengan rata-rata skor pendidikan etika 33,25.
Hipotesis penelitian yang menyatakan terdapat perbedaan pendidikan etika antara perkembangan moral level 1 (pre-conventional), perkembangan moral level 2 (conventional), dan perkembangan moral level 3 (post-conventional) mahasiswa jurusan akuntansi diterima (H0 ditolak).
Hal ini didukung oleh hasil uji diskriminan berganda pada Tabel 6 yang menunjukkan bahwa nilai probabilitas signifikansi (Asymp Sig) yakni 0,000 lebih kecil dari 0,05 dan pada Tabel 7 yang menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan etika antara pre-conventional (25,33), conventional (27,25), dan post-conventional (33,25) berbeda antara ketiganya.
Hasil analisis data menunjukkan sebagian besar responden berada pada perkembangan moral level 3 (post-conventional) dengan jumlah responden 120 mahasiswa dengan rata-rata peringkat pendidikan etika sebesar 25,33. Mahasiswa yang berada pada perkembangan moral level 3 ini tergolong mampu mengendalikan diri dalam permasalahan dilema etika dengan perilaku moral yang berprinsip. Dengan pendidkan etika yang didapatnya seorang individu dapat bertindak sesuai nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan berdasarkan tindakan yang baik dan yang buruk tersebut mengacu pada nilai keadilan, bukan pada aturan masyarakat yang mengikat atau kewenangan tokoh otoritas.
Responden yang berada pada tahap perkembangan moral level 2 (conventional) adalah sebanyak 32 mahasiswa dengan rata-rata peringkat pendidikan etika sebesar 27,25. Hal ini mungkin dipengaruhi asumsi bahwa apabila seorang individu menyimpang dari kelompok akan terisolasi. Kelompok disini adalah keluarga, masyarakat, organisasi, ataupun bangsa dan negara. Rasa malu atau bahkan menghindari perasaan malu karena tidak sesuai dengan lingkungan, dapat dihindari oleh mahasiswa dengan cenderung berorientasi menjadi anak yang baik dan mengikuti aturan masyarakat yang merupakan dasar baik atau buruk, serta melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas. Sedangkan pada tahapan perkembangan moral yang paling rendah yaitu level 1 (pre-conventional) terdapat 24 mahasiswa dengan rata-rata peringkat pendidikan etika 33,25 pada hasil uji diskriminan berganda. Pada level ini mahasiswa tanggap terhadap aturan dan ungkapan mengenaik baik buruk dan benar salah. Namun lebih cenderung ditafsirkan untuk menghindari masalah ataupun untuk mendapatkan hadiah/imbalan/pujian. Sedikitnya jumlah responden pada level ini dikarenakan faktor usia mahasiswa tersebut yang sudah mencapai hampir dewasa dan kondisi mental yang siap untuk terjun di dunia kerja, membuat orientasi terhadap hukuman atau untuk mendapat hadiah bukanlah menjadi prioritas utama mereka.
Perkembangan moral seseorang menurut teori Kohlberg akan berkembang melalui enam tahapan konstruktif dan bergantung pada perkembangan
intelektual seseorang. Kohlberg juga berpandangan bahwa penalaran moral merupakan dasar berperilaku etis. Apa yang dilakukan individu akan menentukan apa yang akan diterimanya sebagai manfaat, pengalaman, pelajaran, serta resiko yang harus dihadapi. Maka dari itu penalaran moral harus ditekankan karena dalam bertindak, seseorang perlu memahami baik dan buruk suatu tindakan terkait apa yang akan dilakukannya bukan hanya sekedar bertindak (Budiningsih, 2008). Perilaku etis yang mengikuti kode moral kelompok, tradisi, dan kebiasaan, tidak lepas dari proses perkembangan intelektual yang didapatnya dari pendidikan mengenai etika.
Pendidikan etika dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai ilmu mengenai etika yang didapat dari selama proses pembelajaran di kelas dimana selama proses tersebut mengandung muatan etika dalam mata kuliahnya. Pendidikan tersebut bisa dalam bentuk tersirat maupun tersurat dari dosen ataupun dari bagaimana mahasiswa menerima pendidikan yang bermuatan etika tersebut. Menurut Fitriyah (2012) dunia pendidikan turut berkontribusi dalam menentukan perilaku korupsi para lulusannya, karena warna yang diberikan oleh dunia pendidikan akan ikut mewarnai perilaku lulusannya. Dengan demikian, pembangunan dunia pendidikan yang etis dan bermoral menjadi sangatlah penting dalam rangka membentuk generasi muda anti korupsi di kemudian hari saat mereka telah terjun di dunia kerja.
Berdasarkan hasil analisis data juga menunjukkan bahwa rata-rata skor jawaban mahasiswa atas pendidikan etika didapat hasil skor rata-rata jawaban variabel 2,80 dimana mendekati skor 3, sehingga bila dilihat dari kriteria skala likert maka mahasiswa akuntansi sering mendapatkan pendidikan etika didalam mata kuliah yang bermuatan etika yang diikutinya selama kuliah. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata dosen telah menanamkan serta mengajarkan pendidikan etika meskipun dosen tersebut tidak mengampu mata kuliah etika bisnis. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana mahasiswa tersebut menerima atau mengikuti alur proses pembelajaran yang bermuatan etika tersebut dengan memperhatikan setiap instruksi, himbauan, ataupun wejangan yang diberikan dosen kepada mahasiswanya.
International Federation of Accountants (IFAC) 2003 (Utami dan Indriawati, 2006) menyebutkan bahwa program pendidikan akuntansi sebaiknya juga memberikan kerangka nilai, etika dan sikap profesional untuk melatih mengambil keputusan para calon akuntan sehingga nantinya dapat bertindak secara etis ketika sudah terjun kerja ditengah
kepentingan masyarakat dan profesi. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Wulandari dan Sularso (2002), Utami dan Indriawati (2006) yang menemukan bahwa kurangnya muatan etika dalam kurikulum akuntansi untuk bekal mahasiswa terjun ke dunia kerja sehingga diperlukan adanya pemberian muatan etika dengan mengintegrasikannya ke semua mata kuliah. Pemberian pendidikan etika tersebut pada mahasiswa akan membantu menyelaraskan tindaknnya berdasarkan teori-teori etika (Bertens, 2013).
Hal ini didukung dengan penelitian Utami dan Indriawati (2006) yang menyimpulkan hasil bahwa pemberian muatan etika yang diintegrasikan dalam satuan acara perkuliahan (SAP) cukup efektif dalam meningkatkan kesadaran etis mahasiswa. Kerangka pembelajaran tersebut mencoba mengidentifikasi tujuan pengajaran serta strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengajarkan etika, nilai dan integritas kepada para mahasiswa akuntansi. Kemudian Jones (1991), Najmudin dan Adawiyah (2011) menyimpulkan bahwa pertumbuhan kesadaran etis seseorang tersebut dipengaruhi oleh pendidikan yang didapat selama seseorang tersebut menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Hasil penelitian ini juga relevan dengan peneliti terdahulu yang dilakukan oleh Buell (2009) yang mengemukakan bahwa ada perbedaan tingkat kematangan moral antara mahasiswa akuntansi yang telah mengikuti mata kuliah etika dengan mahasiswa yang belum memiliki program etika. Kemudian peneliti terdahulu oleh Sari (2012) yang menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa pemberian muatan etika dalam bentuk olah akal, olah rasa, olah batin, dan olah raga, untuk pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dengan cara yang diintegrasikan dalam kurikulum dapat meningkatkan sensitivitas mahasiswa terhadap isu-isu etika. Mahasiswa yang telah mendapatkan pendidikan etika melalui proses pembelajaran matakuliah yang bermuatan etika atau telah mengikuti kursus etika memiliki kematangan moral yang lebih baik, hal ini membuktikan bahwa pendidikan mengenai etika memberikan kontribusi pada perkembangan moral mahasiswa.
Penelitian ini mendukung teori perkembangan yang dikemukakan Kohlberg (1969) yang menyatakan cara individu melangkah dari satu tahap ke tahap berikunya ialah melalui interaksi dengan orang lain yang tahapan moralnya memiliki tingkat diatasnya sehingga faktor eksternal dari dirinyalah yang dapat mengontrol dirinya yakni dengan adanya bantuan dari tenaga pengajar atau dosen kepada mahasiswa akuntansi terkait ilmu etika yang menjadikannya
manusia yang lebih bermoral. Usia saat seorang individu menjalani tahap-tahap dalam perkembangan moral mungkin saja berbeda-beda, orang yang sama mungkin dapat berperilaku pada tahap yang sama dalam waktu yang lama dan bisa menurut tahap yang lain pada saat waktu yang lain. Maka dari itu semakin baik pendidikan etika seseorang semakin baik pula perkembangan moralnya. Semakin banyak pengetahuan tentang etika, maka akan mendorong seseorang untuk hidup yang lebih baik dan bermoral. Nilai eigenvalues sebesar 31,58 persen, menunjukkan kontribusi penelitian yang berarti pendidikan etika memberikan kontribusi sebesar 31,58 persen terhadap perkembangan moral. Besar kontribusi pendidikan etika tersebut hanya sebesar 31,58 persen dikarenakan terdapat faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang mungkin memberikan kontribusi lebih besar.
SIMPULAN
Sebagian besar mahasiswa akuntansi berada pada perkembangan moral level 3 (post-conventional), kemudian level 2 (conventional), dan paling sedikit berada pada level 1 (pre-conventional). Selain itu, hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa Akuntansi sering mendapatkan pendidikan etika atau matakuliah yang bermuatan etika dalam setiap proses kegiatan pembelajarannya. Penelitian ini berhasil membuktikan adanya perbedaan pendidikan etika pada tiga kelompok level perkembangan moral yang meliputi level 1 (pre-conventional), level 2 (conventional), dan level 3 (post-conventional) dimana tiap-tiap level menujukkan tahapan perkembangan moral sehingga semakin baik pendidikan etikanya, maka semakin baik perkembangan moralnya (semakin tinggi level perkembangan moralnya).
Adapun saran penelitian yaitu agar lembaga pendidikan atau universitas, hendaknya menghimbau dan menganjurkan dosen agar membantu mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan etikanya tidak hanya pada saat mengajarkan mata kuliah tentang etika, namun tetap memberikan muatan-muatan etika pada setiap proses pembelajaran berlangsung demi meningkatkan nilai etis melalui pendidikan etika yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan moral dan berlanjut pada perilaku mereka di masa depan. Bagi peneliti selanjutnya, dianjurkan untuk mengembangkan penelitian ini baik dengan menambahkan variabel bebas lain yang mempengaruhi perkembangan moral mahasiswa, menggunakan analisis atau instrumen penelitian yang lebih baru, sedangkan untuk pengumpulan data bisa
ditambah dengan cara wawancara, dan menggunakan populasi yang lebih luas.
REFERENSI
Agoes, S., & Ardana, I. C. (2009). Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta: Salemba Empat.
Bertens, K. (2013). Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Brooks, L. J., & Dunn, P. (2010). Business & Professional Ethic for Directors, Executives & Accountan, Fifth Edition. Canada: Macmillan Publishing Solutions.
Budiningsih, C. Asri. (2008). Pembelajaran Moral: Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: PT Asdi Mahastya.
Buell, E. Kevin. (2009). The Relationship of Ethics Education to the Moral Development of Accounting Students. Nova Southeastern University.
Fitriyah, Fury K. (2012). Peran Akuntan Pendidik dalam Mewujudkan Generasi Anti Korupsi: Model Kerangka Pengajaran Etika dalam Pendidikan Akuntansi di Perguruan Tinggi. Prosiding Neminar Nasional Forum Bisnis & Bisnis I.
Janitra. (2017). Pengaruh Orientasi Etika, Komitmen Profesional, Komitmen Organisasi, dan Sensitivitas Etis Terhadap Internal Whistleblowing. JOM Fekon, 4(1).
Kohlberg, Lawrence. (1969). Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development. Harper & Row.
Ludigdo, Unti. (2007). Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Najmudin, & Adawiyah, W. R. 2011. Studi Tentang Intervensi Etika dan Peningkatan Moral Mahasiswa. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), 18(1), 69-83.
Sari, Lita. P. (2012). Pengaruh Muatan Etika dalam Pendidikan Akuntansi terhadap Persepsi Etika Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya Malang Angkatan 2009). Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 1 (2).
Septi, & Martiah. (2017). Sensitivitas Etis dan Pertimbangan Etis Mahasiswa Akuntansi Berdasarkan Pendidikan Etika Akuntansi.
Siregar, S. (2013). Statistik Parametrik Untuk Penelitian Kuantitatif: Dilengkapi dengan Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS Versi 17. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Slavin, Robert, E. (2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Indeks.
Utami, W., & Indriawati F. (2006). Muatan Etika dalam Pengajaran Akuntansi Keuangan dan Dampaknya Terhadap Persepsi Etika Mahasiswa: Studi Eksperimen Semu. Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang.
Wulandari & Sularso. (2002) Persepsi Akuntan Pendidik dan Mahasiswa Akuntansi terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia: Studi Kasus di Surakarta, Perspektif. 7(2), 71-87
Jennifer J. Jones. (1991). Earnings Management During Import Relief Investigations, Journal of Accounting Research, 29(2), 193-228. DOI: 10.2307/2491047
IFAC. (2003). International Federation of Accountant.
Discussion and feedback