ANALISIS KINERJA KAWASAN METROPOLITAN SARBAGITA
on
ANALISIS KINERJA KAWASAN METROPOLITAN SARBAGITA
NI MADE ADI ERAWATI1
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana
ABSTRAK
Penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja Pemerintah Kawasan Metropolitan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan). Dalam penelitian ini penilaian kinerja Kawasan Metropolitan Sarbagita ditinjau dari tingkat kemandirian, tingkat efektivitas, tingkat efisiensi, dan tingkat keserasian. Adapun hasilnya menunjukkan bahwa semua daerah Kawasan Metropolitan Sarbagita mengalami peningkatan dalam hal kemandirian keuangan pada tahun 2007 dan 2008. Tingkat efektivitas pendapatan asli daerah (PAD) kawasan ini semuanya di atas 100 persen artinya ditinjau dari efektivitas penerimaan PAD sangat efektif. Meskipun rata-rata tingkat pertumbuhan PAD Kawasan Metropolitan Sarbagita cukup tinggi, yaitu sebesar 43 persen, masih ada pertumbuhan PAD yang negatif yaitu Pemkot Denpasar pada tahun 2007. Untuk pertumbuhan belanja aparatur daerah Kawasan Metropolitan Sarbagita cukup bervariasi. Kabupaten Badung dan Gianyar pertumbuhan belanja aparatur daerah dapat mencapai di atas 100 persen, sedangkan yang lain masih di bawah 35 persen. Pertumbuhan belanja aparatur daerah Badung dan Gianyar yang tinggi tidak seimbang jika dibandingkan dengan pertumbuhan PAD yang rata-rata hanya 43 persen, apalagi jika dibandingkan dengan pertumbuhan belanja publik yang sangat kecil, bahkan ada yang negatif pada periode 2007 dan 2008.
Kata kunci: kinerja pemerintah, kawasan metropolitan, kemandirian, tingkat efektivitas, tingkat efisiensi, tingkat keserasian
ABSTRACT
Performance appraisal is a process of recording and measuring activities realization to achieve organization’s mission. This research aims to investigate performance of local governments embracing the metropolitan area of Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar and Tabanan). The performance is viewed from several aspects, that are independence rate, effectivity rate, efficiency rate, and harmony rate. Results show that all areas indicate increases in financial independence in 2007 and 2008, while effectivity rate of local government revenue are all above 100 percent which means extremely effective. Even though the average of local government revenue growth was relatively high i.e 43 percent, the growth of Denpasar City was negative in
2007. Civil servants expenditure growth varied among the areas. The growth was above 100 percent in Badung and Gianyar, but it was below 35 percent in other areas. The civil servants expenditure growth of more than 100 percent in Badung and Gianyar was too high compared to local government revenue growth of 43 percent, moreover if it is compared to the low, even negative growth of public expenditure in 2007 and 2008.
Keywords: government performance, metropolitan area, independence, effectivity rate, efficiency rate, harmony rate
Kawasan metropolitan merupakan tempat terpusatnya berbagai fungsi pertumbuhan sehingga kompleksitas permasalahan menjadi hal yang tidak terlepaskan dari kawasan ini. Kawasan metropolitan memiliki sifat yang strategis, di samping peranannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pusat permukiman, pusat kegiatan sosial budaya, umumnya juga sebagai pusat pemerintahan, serta aktivitas-aktivitas lainnya.
Kawasan metropolitan didefinisikan sebagai satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu, dan mencirikan aktivitas kota. Kawasan metropolitan juga memiliki karakter kemudahan mobilitas dari suatu metropolitan, yaitu mobilitas pekerjaan (employment mobility), mobilitas perumahan (residential mobility), dan mobilitas perjalanan (trip mobility). Saat ini terdapat delapan kawasan metropolitan di Indonesia dengan penduduk di atas satu juta, yaitu Metropolitan Jabodetabek, Metropolitan Bandung, Metropolitan Semarang, Metropolitan Surabaya, Metropolitan Medan (Mebidang), Metropolitan Denpasar (Sarbagita), Metropolitan Makassar (Mamminasata), dan Metropolitan Palembang. Selain itu, ada pula Metropolitan Yogyakarta walaupun jumlah penduduk kota intinya belum mencapai satu juta jiwa,
secara struktur telah terbentuk kawasan metropolitan karena memiliki kota
satelit dan kota inti.
Undang-Undang Nomor 32, Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33, Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah merupakan tonggak dimulainya otonomi daerah. Pemerintah daerah tingkat kabupaten diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi, yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah. Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah itu sendiri.
Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, serta berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara optimal.
Era reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas mengakibatkan semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Pemerintah yang baik ditandai dengan empat pilar utama yang merupakan elemen dasar utama yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Keempat elemen tersebut adalah kejujuran, partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Suatu
pemerintahan yang baik selain harus menjunjung tinggi kejujuran juga harus membuka pintu yang seluas-luasnya agar semua pihak yang terkait di dalamnya dapat berperan serta atau berpartisipasi aktif. Di samping itu, jalannya pemerintahan juga harus diselenggarakan secara transparan dan selanjutnya pelaksanaan pemerintahan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu bentuk pertanggungjawaban atau akuntabilitas pemerintah daerah adalah dalam bidang keuangan daerah. Keuangan daerah merupakan salah satu unsur yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Hal ini menyebabkan diperlukannya suatu pertanggungjawaban keuangan daerah yang memadai. Pertanggungjawaban yang memadai harus mempunyai sifat mudah dimengerti dan memiliki hubungan informasi yang mencerminkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam keuangan daerah memiliki dimensi dan cakupan pengaruh yang sangat besar bagi daerah yang bersangkutan. Dalam konteks pemerintahan, akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu ciri dari terapan pengelolaan pemerintah yang baik (Abdul Halim, 2002: 145).
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas untuk menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintahan daerah telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat yang dapat
digunakan untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah melakukan analisis kinerja keuangan terhadap APBD yang telah diterapkan dan dilaksanakan.
Status metropolitan yang kini disandang oleh Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) bagi masyarakat Bali masih menjadi polemik. Sarbagita yang saat ini menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tidak secara otomatis membuat tiap-tiap kota yang ada di dalamnya juga menjadi PKN.
Peningkatan pelaksanaan penataan ruang kawasan metropolitan Sarbagita harus mempertimbangkan adanya aspek-aspek lokal yang terdapat di Bali. Aspek-aspek lokal yang dimaksud, seperti kawasan perlindungan setempat, kawasan tempat suci, yaitu mencakup danau, gunung, dan sungai, dan tempat suci yang mencakup tempat ibadah agama Hindu. Jadi, Sarbagita akan menjadi kawasan metropolitan dengan karakter tersendiri. Artinya, Sarbagita merupakan salah satu pusat perkembangan nasional dengan tiga sektor utama, yaitu pariwisata, pertanian, dan industri pendukung pariwisata dengan struktur sosial budaya masyarakat yang dipengaruhi tata kehidupan agama Hindu, yaitu Tri Hita Karana. Hal ini akan dapat berkelanjutan jika didukung oleh kinerja keuangan yang baik.
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka peneliti tertarik untuk mengetahui “Bagaimanakah Kinerja Kawasan Metropolitan Sarbagita”.
-
II. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Pengertian Kinerja
Menurut Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi. Sebaliknya, menurut Indra Bastian (2001: 329), kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi terutang dalam perumusan skema strategis suatu organisasi. Secara umum dapat juga dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu.
Pengukuran Kinerja (Performance Measurement)
Larry D. Stout dalam Indra Bastian (2001: 329) mengemukakan bahwa pengukuran/penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produksi jasa ataupun suatu proses. Maksudnya adalah setiap kegiatan organisasi harus dapat diukur dan dinyatakan dalam visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang dihasilkan diukur berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi organisasi. Sebaliknya, pengertian pengukuran kinerja menurut Whittaker dalam Indra Bastian (2001: 330) adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Indikator Kinerja
Indra Bastian (2001: 340) menyatakan bahwa indikator kinerja adalah
ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkatan pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator kinerja. Elemen indikator kinerja terdiri atas lima elemen, yaitu sebagai berikut.
-
(1) Indikator masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
-
(2) Indikator keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan atau nonfisik.
-
(3) Indikator (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
-
(4) Indikator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir pelaksanaan kegiatan.
-
(5) Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Terdapat beberapa indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk menilai kinerja organisasi pelayanan publik yaitu sebagai berikut.
-
(1) Efisiensi
Menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik memanfaatkan faktor-faktor produksi.
-
(2) Efektivitas
Terkait dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan.
-
(3) Keadilan
Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan.
-
(4) Organisasi
Organisasi adalah pelayanan publik yang merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat.
Analisis Kinerja Keuangan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pengertian analisis keuangan menurut Abdul Halim (2007: 231) adalah usaha mengindentifikasi ciri-ciri keuangan yang tersedia. Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Maskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntasian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. Hasil analisis ini selanjutnya digunakan sebagai tolak ukur dalam hal-hal berikut.
-
(1) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.
-
(2) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.
-
(3) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam
membelanjakan pendapatan daerahnya.
-
(4) Mengukur kontribusi tiap-tiap sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
-
(5) Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui kecenderungan yang terjadi. Selain itu, dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerah relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah sebagai berikut.
-
(1) DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
-
(2) Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya.
-
(3) Pemerintah pusat/provinsi sebagai saran masukan dalam pembinaan pelaksanan pengelolaan keuangan daerah.
-
(4) Masyarakat dan kreditor sebagai pihak yang akan turut memiliki saran pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman atau membeli obligasi.
-
III. METODE PENELITIAN
Definisi Operasional Variabel
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
-
(1) Rasio Kemandirian
Rasio kemandirian adalah rasio yang menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat.
-
(2) Rasio Efektivitas
Rasio efektivitas adalah tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan anggaran pendapatan.
-
(3) Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi adalah tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai dengan membandingkan realisasi biaya untuk memperoleh pendapatan dengan merealisasikan pendapatan.
-
(4) Rasio Keserasian
Rasio keserasian adalah rasio yang menggambarkan bagaimana pemerintah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur dan belanja pelayanan publik secara optimal.
-
(5) Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan adalah rasio yang mengukur pertumbuhan seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dalam setiap periode.
Metode Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel penelitian ini menggunakan purposive sampling, di mana pemerintahan kota dan kabupaten yang dipilih untuk dijadikan sampel penelitian adalah yang termasuk dalam kawasan Metropolitan Sarbagita, yaitu Pemerintah Kota Denpasar, Pemerintah Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
(1) Teknik analisis kuantitatif
Teknik analisis kuantitatif adalah dengan melakukan perhitungan-perhitungan terhadap data keuangan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini teknik analisis kuantitatif yang digunakan adalah sebagai berikut.
-
a. Rasio kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal)
Rasio kemandirian menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber keuangan yang diperlukan daerah. Menurut Abdul Halim (2007: 232), rasio kemandirian dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pendapatan Asli Daerah
Rasio Kemandirian = x 100%.....................(1)
Total Pendapatan Daerah
-
b. Rasio efektivitas pendapatan asli daerah
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Menurut Abdul Halim (2007: 234), rasio efektivitas dapat
dirumuskan sebagai berikut.
Rasio Efektivitas = Realisasi PAD x 100%
(2)
Target PAD yang Ditetapkan
-
c. Rasio efisiensi keuangan daerah
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara total realisasi pengeluaran (belanja daerah) dengan realisasi pendapatan yang diterima. Menurut Abdul Halim (2007: 234), rasio
efisiensi dapat dirumuskan sebagai berikut.
Rasio Efisiensi
Total Realisasi Belanja Daerah
Total Realisasi Pendapatan Daerah
x 100%
(3)
-
d. Rasio keserasian
Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik secara optimal (Abdul Halim, 2007: 235). Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja aparatur daerah berarti persentase belanja pelayanan publik yang diperoleh untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung kecil.
Rasio Belanja Aparatur Daerah terhadap APBD =
Total Belanja Aparatur Daerah x 100%.........................(4)
Total Belanja Daerah
Rasio Belanja Pelayanan Publik terhadap APBD =
Total Belanja Pelayanan Publik Total Belanja Daerah
x 100%.......................(5)
-
e. Rasio pertumbuhan (analisis shift)
Rasio pertumbuhan digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Menurut Abdul Halim (2001: 272), rasio pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pn — Po
r = Pn Po x 100% ………………………………………………..(6) Po
Keterangan :
r = Pertumbuhan (dalam persen)
Pn = Realisasi pendapatan dan belanja pada tahun ke-n
Po = Realisasi pendapatan dan belanja pada tahun awal/sebelumnya
-
(2) Teknik analisis kualitatif
Teknik analisis kualitatif adalah teknik analisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode analisis yang ditujukan untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan/menghimpun data, menyusun atau mengklasifikasikan, menganalisis, dan menginterpretasikan kinerja keuangan kawasan Metropolitan Sarbagita sesuai dengan teori yang relevan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2007--2008, tingkat kemandirian keuangan daerah Kawasan Sarbagita relatif meningkat. Kabupaten Badung dengan tingkat kemandirian yang paling
tinggi di Kawasan Sarbagita, yaitu sebesar 53,74 persen pada tahun 2007
dan 60,62 persen pada tahun 2008. Tingkat kemandirian yang paling rendah adalah Tabanan, yaitu 8,78 persen pada tahun 2007 dan 13,17 persen pada tahun 2008. Meskipun ada peningkatan kemandirian sebesar 4,39 persen, kemandirian Kabupaten Tabanan masih berada pada range rendah sekali atau instruktif demikian juga dengan Kabupaten Gianyar. Berbeda halnya dengan Kabupaten Badung dan Pemkot Denpasar, kedua pemerintahan ini sudah memiliki tingkat kemandirian yang lebih baik. Pada tahun 2008 Pemkot Denpasar berada pada range konsultatif dengan tingkat kemandirian 25,63 persen, sedangkan Kabupaten Badung berada pada range partisipatif, baik pada tahun 2007 maupun tahun 2008, masing masing dengan tingkat kemandirian 53,74 persen tahun 2007 dan 60,62 persen pada tahun 2008.
Tingkat efektivitas pendapatan asli daerah (PAD) Kawasan Metropolitan Sarbagita semuanya di atas 100 persen, artinya ditinjau dari efektivitas penerimaan PAD sangat efektif. Hal ini menunjukkan bahwa realisasi penerimaan PAD berada di atas anggaran PAD yang telah ditetapkan sebelumnya. Realisasi PAD Kawasan Metropolitan Sargabita yang sangat efektif ini perlu dipertahankan, tetapi perlu diperhatikan jika realisasi PAD sangat jauh melenceng dari anggaran PAD-nya, seperti ditunjukkan pada Kabupaten Tabanan tahun 2008 dan Badung pada tahun 2007--2008. Tingginya kesenjangan realisasi PAD dengan anggaran PAD mungkin saja disebabkan oleh kelemahan dalam proses penyusunan anggarannya atau disebabkan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Rata-rata tingkat efisiensi Kawasan Metropolitan Sarbagita kurang
efisien, bahkan ada yang tidak efisien. Hal ini menunjukkan bahwa porsi belanja daerah cukup tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan daerah. Rata-rata tingkat efisiensi kawasan Sarbagita di atas 90 persen, bahkan untuk Kabupaten Gianyar pada tahun 2008 tingkat efisiennya sebesar 100 persen. Tingkat efisiensi 100 persen menunjukkan bahwa PAD-nya dihabiskan untuk belanja daerah. Hasil ini selaras dengan tingkat kemandirian Kawasan Metropolitan Sarbagita yang masih rendah.
Tingkat keserasian belanja daerah Kawasan Metropolitan Sarbagita cukup baik dengan rata-rata 40 persen. Untuk Kabupaten Badung dan Pemkot Denpasar alokasi belanja publiknya bisa mencapai rata-rata 45 persen untuk Pemkot Denpasar dan 48 persen untuk Kabupaten Badung. Artinya Kawasan Metropolitan Sarbagita sudah cukup baik dalam mengalokasikan belanjanya, baik untuk belanja aparatur daerah maupun untuk belanja publik. Seperti diketahui bahwa belanja publik inilah yang akan digunakan untuk pelayanan publik yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan publik atau masyarakat.
Rata-rata tingkat pertumbuhan PAD Kawasan Metropolitan Sarbagita cukup tinggi, yaitu sebesar 43 persen meskipun masih ada yang negatif, yaitu Pemkot Denpasar pada tahun 2007. Pertumbuhan belanja aparatur daerah untuk Kawasan Metropolitan Sarbagita cukup bervariasi. Untuk Kabupaten Badung dan Gianyar pertumbuhan belanja aparatur daerah dapat mencapai di atas 100 persen. Hal ini tentu tidak seimbang jika dibandingkan dengan pertumbuhan PAD yang rata-rata hanya 43 persen, apalagi jika dibandingkan dengan pertumbuhan belanja publik yang sangat
kecil, bahkan ada yang negatif atau menurun. Dari pertumbuhan
pendapatan, belanja aparatur daerah dan belanja publik semestinya diupayakan seimbang sehingga kemandirian, keserasian belanja dapat dicapai. Khusus untuk belanja publik mestinya mendapat perhatian yang cukup serius karena hal inilah yang menyangkut pelayanan kepada publik atau masyarakat.
-
V. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Semua daerah Kawasan Metropolitan Sarbagita mengalami peningkatan dalam hal kemandirian keuangan pada tahun 2007 dan 2008. Tingkat efektivitas pendapatan asli daerah (PAD) Kawasan Metropolitan Sarbagita semuanya di atas 100 persen, artinya ditinjau dari efektivitas penerimaan PAD sangat efektif. Hal ini menunjukkan bahwa realisasi penerimaan PAD berada di atas anggaran PAD yang telah ditetapkan sebelumnya.
Rata-rata tingkat pertumbuhan PAD Kawasan Metropolitan Sarbagita cukup tinggi, yaitu sebesar 43 persen meskipun masih ada yang negatif, yaitu Pemkot Denpasar pada tahun 2007. Pertumbuhan belanja aparatur daerah untuk Kawasan Metropolitan Sarbagita cukup bervariasi. Untuk Kabupaten Badung dan Gianyar pertumbuhan belanja aparatur daerah dapat mencapai di atas 100 persen. Hal ini tentu tidak seimbang jika dibandingkan dengan pertumbuhan PAD yang rata-rata hanya 43 persen, apalagi jika dibandingkan dengan pertumbuhan belanja publik yang sangat kecil, bahkan ada yang negatif atau mengalami penurunan.
Saran
Realisasi PAD dengan anggaran PAD menunjukkan kesenjangan yang tinggi. Untuk menghindari hal ini semestinya proses penyusunan anggaran dilakukan dengan optimal sehingga anggaran dan realisasi tidak berbeda jauh. Dari pertumbuhan pendapatan, belanja aparatur daerah dan belanja publik semestinya diupayakan seimbang sehingga kemandirian, keserasian belanja dapat dicapai. Khusus untuk belanja publik mestinya mendapat perhatian yang cukup serius karena hal inilah yang menyangkut pelayanan kepada publik atau masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2002. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Adi, Priyo Hari. 2005. ”Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi”. Jurnal Kritis. Salatiga.
_________. 2006. ”Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang.
_________. 2007. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Ke-3. Jakarta: Salemba Empat.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Buchman, Thomas A., Philip E., Tetlock, dan Ronald O, Reed. 1996. ”Accountability and Auditor’s Judgment about Contigent Event”. Journal of Business Financeand Accounting.
Burrowes, Ashley & Person, Marie. 2000. ”The Swedish Management Audit: A Precedent for Performance and Value For Money Audit”. Management Audit Journal. Vol.15.
Deddi Nordiawan. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat.
Departemen Dalam Negeri. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 690.900.327.1996. tentang Pedoman Penilaian dan Kinerja Keuangan.
Denny Zulkaidi. 2008. Profil kawasan Metropolitan Indonesia.
Devas, Nick, et. al. 2001. ”Revenue Authorities: Are they the right vehicle for improved tax administration?” Publik Administration Development. 21.
Indra Bastian. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
Mc Candless, Henry E. 1993. ”Auditing to Serve Public Accountability”. International Journal of Government Auditing.
Michael, W.S dan Troy, A. 2000. ”Financial Performance Monitoring and Costumer Oriented Government: A Case Study”. Journal of Public Budgeting Accounting & Financial Management.
Mohamad, Mahsun. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Edisi 1. Yogyakarta: BPFE.
Mulgan, R. 1997. ”The Processes of Public Accountability”. Australia Journal of Public Administration.
_________. 2000. ”Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah: Implementasi Value for Money Audit Sebagai Antisipasi atas Antisipasi atas Tuntutan Akuntabilitas Publik”. Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia.
Parker, L.D. 1986. Value For Money Audit: Conceptual, Development and Operational Issues. Australian Accounting Research Foundation. Auditing Discussion Paper.
Pedoman Penyusunan Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah, Hibah dan Bantuan Daerah. 2008. Jakarta: Eka Jaya.
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2005. Standar Akuntansi
Pemerintahan. 2008. Jakarta: Salemba Empat.
Pemerintah Kabupaten Badung. 2009. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2006--2008. Badung.
Pemerintah Kabupaten Gianyar. 2009. Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2006--2008. Gianyar.
Revrisond Baswir. 2000. Akuntansi Pemerintah Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan Ketujuh. Yogyakarta: BPFE.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Undang-Undang Republik Indonesia. No. 25 1999. 2008. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta: Panca Usaha.
19
Discussion and feedback