PELUANG RISET AKUNTANSI BERBASIS AKRUAL DI INDONESIA

SANSALONI BUTAR-BUTAR1

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Soegijapranata, Semarang

ABSTRAK

Studi akrual menunjukkan hasil yang konsisten bahwa akrual memiliki kandungan informasi tambahan di samping arus kas. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan hasil-hasil riset empiris berkaitan dengan akrual dan mengidentifikasi peluang-peluang riset yang dapat dilakukan di Indonesia. Sepanjang pengetahuan penulis, belum banyak atau belum ada studi di Indonesia yang secara spesifik menguji implikasi perbedaan persistensi akrual dan arus kas terhadap harga saham pada masa depan. Di samping itu, fenomena akrual yang banyak teridentifikasi dalam studi-studi empiris menggunakan data pasar modal Amerika Serikat belum tentu merupakan fenomena tersendiri pada perusahaan-perusahan di Indonesia.

Kata kunci: studi akrual, anomali akrual, persistensi akrual, reaksi pasar, peluang riset

ABSTRACT

Studies about accruals show consistent results that accruals have additional information content besides cash flow. This article aims to depict results of empirical researches related to accruals and identify research opportunities could be done in Indonesia. As far as the author is concerned, there is only a little researches in Indonesia specifically study the implication of persistent differences between accruals and cash flow on future stock price. Additionally, accruals phenomena identified empirically were based on US capital market data, which are not necessarily applicable to Indonesia’s companies.

Keywords: accruals study, accruals anomaly, accruals persistent, market reaction, research opportunities

  • I.    PENDAHULUAN

Studi akrual telah menjadi area riset yang subur bagi periset berbasis pasar modal Amerika. Awalnya perhatian para peneliti terfokus pada manfaat informasi akrual. Studi kandungan informasi akrual menunjukkan

hasil yang konsisten bahwa akrual memiliki kandungan informasi tambahan di samping arus kas. Setelah itu, studi akrual perlahan-lahan bergeser ke studi perilaku manajer terhadap laba perusahaan yang terinspirasi dari agency theory Jensen dan Meckling (1976) dan semakin bertumbuh subur setelah Jones (1991) memperkenalkan teknik estimasian akrual terbaru.

Walaupun intervensi manajer terhadap akrual diskresioner tidak berdampak langsung terhadap arus kas, Subramanyam (1996) melaporkan respons positif pasar terhadap akrual diskresioner. Pada saat yang hampir bersamaan, Sloan (1996) melaporkan temuan yang menunjukkan pasar tidak efisien dalam menggunakan informasi akrual. Sloan menunjukkan harga saham berperilaku seolah-olah pelaku pasar tidak rasional dalam menggunakan informasi tentang rendahnya dampak komponen akrual terhadap laba masa depan ketika melakukan transaksi saham. Temuan ini merupakan pukulan terhadap teori pasar efisien yang selama ini digunakan untuk menjelaskan perilaku pasar. Di kemudian hari, temuan Sloan ini sering dianggap sebagai anomali akrual. Berbagai studi empiris yang dilakukan setelah itu juga melaporkan anomali akrual seperti yang ditemukan oleh Sloan (Collins dan Hribar, 2000; Xie, 2001, Chan dkk., 2001; Richardson dkk., 2004).

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan hasil-hasil riset empiris berkaitan dengan akrual dan mengidentifikasi peluang-peluang riset yang dapat dilakukan di Indonesia. Sepanjang pengetahuan penulis, belum banyak atau belum ada studi yang secara spesifik menguji implikasi perbedaan persistensi akrual dan arus kas terhadap harga saham pada

masa depan menggunakan sampel perusahaan BEI. Di samping itu,

fenomena akrual yang banyak diidentifikasi dalam studi-studi empiris menggunakan data pasar modal Amerika Serikat belum tentu merupakan fenomena tersendiri pada perusahaan-perusahan di Indonesia.

  • II.    STUDI-STUDI AKRUAL

Studi Manajemen Laba

Penggunaan sistem akrual dalam akuntansi tidak terlepas dari peran signifikan akrual dalam membantu pengungkapan kinerja perusahaan untuk periode waktu tertentu tanpa harus menunggu sampai perusahaan dilikuidasi. Pihak-pihak di luar perusahaan membutuhkan informasi keuangan terkini untuk menilai kemampuan perusahaan menghasilkan arus kas pada masa yang akan datang dan menilai risiko investasi dalam saham perusahaan. Informasi laba akrual dianggap lebih baik daripada arus kas dalam merepresentasikan kinerja perusahaan karena dapat mengurangi masalah waktu dan mismatching berkaitan dengan pengukuran arus kas dalam interval yang pendek (Dechow, 1994). Namun, sistem akrual memiliki kelemahan-kelemahan yang inheren, di antaranya mengizinkan manajer menggunakan diskresi dalam menentukan jumlah akrual yang akan dilaporkan.

Dalam literatur akuntansi, studi-studi yang menguji motif manajer memanipulasi item-item akrual telah berkembang menjadi satu bidang kajian tersendiri yang sering disebut dengan studi-studi manajemen laba. Awalnya peneliti menguji apakah pasar merespons secara rasional pergantian metode akuntansi yang tidak mempengaruhi arus kas

perusahaan yang dilakukan manajer untuk menampilkan kinerja

perusahaan yang lebih baik (misalnya Ball, 1972; Sunder, 1975). Di kemudian hari peneliti-peneliti menguji apakah pasar bertindak rasional terhadap perbedaan metode akuntansi antara perusahaan (Lee, 1988 dan Dhaliwall dkk., 2000). Teori akuntansi positif yang diperkenalkan Watts dan Zimmerman (1986) menjadi pijakan kuat bagi riset manajemen laba.

Penelitian manajemen laba pada umumnya terfokus pada volatilitas akrual diskresioner di seputar peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi dalam perusahaan. Asumsi yang digunakan adalah manajer berperilaku oportunistik dan berusaha memenuhi target-target laba dengan memanipulasi pos-pos akrual. Adanya perubahan akrual diskresioner sebelum dan setelah peristiwa tertentu (misalnya IPO) dianggap sebagai indikasi aktivitas manajemen laba. Namun, belakangan studi-studi empiris berkaitan dengan akrual tidak selalu harus dikaitkan dengan tindakan oportunistik manajer. Bidang riset baru yang tidak mengaitkan akrual dengan peristiwa tertentu telah berkembang secara terpisah dari studi manajemen laba dan area risetnya adalah menguji implikasi rendahnya persistensi akrual terhadap return saham perusahaan.

Reaksi Pasar dan Akrual

Sloan (1996) dan Subramanyam (1996) merupakan peneliti-peneliti awal yang berhasil mendokumentasikan bukti bahwa pasar tidak menggunakan secara rasional informasi tentang perbedaan persistensi akrual dan arus kas. Hasil penelitian mereka mengisyaratkan bahwa pasar

tidak secara penuh mengantisipasi rendahnya persistensi akrual dalam menilai harga saham perusahaan.

Setelah Sloan (1996) dan Subramanyam (1996), berbagai studi empiris bermunculan dalam literatur dan melaporkan hasil yang konsisten (di antaranya Collins dan Hribar, 2000; Xie, 2001; DeFond dan Park, 2001; Beneish dan Vargus, 2002; Bradshow dkk., 2005). Belakangan hasil-hasil studi yang memperlihatkan ketidakrasionalan pasar ini sering disebut dengan anomali akrual. Beberapa peneliti mencoba menjelaskan mengapa anomali akrual dan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya persistensi akrual (Dechow dan Dichev, 2002; Fairfield dkk., 2003; Richardson dkk., 2005; Francis dan Smith, 2005; Francis dan LaFond, 2005). Studi-studi yang lain lagi, seperti Kothari dkk. (2005) serta Hribar dan Collins (2002) menginvestigasi kesalahan-kesalahan dalam mengestimasi akrual.

Berikut ini diulas berbagai studi yang pernah dilakukan berkaitan dengan anomali akrual dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya fenomena tersebut.

Persistensi Akrual dan Arus Kas

Pemikiran yang mendasari pentingnya memisahkan komponen pembentuk laba berawal dari analisis kandungan informasi yang menunjukkan komponen akrual dan komponen kas membawa implikasi yang berbeda dalam menilai laba pada masa depan. Laba perusahaan yang mengandung komponen akrual yang tinggi akan sulit bertahan pada masa depan karena komponen-komponen akrual bersifat transitori. Sebaliknya, laba perusahaan yang sebagian besar komponennya berasal dari

komponen-komponen arus kas memiliki peluang besar untuk tetap

bertahan pada level yang ada pada periode mendatang.

Studi Sloan (1996) merupakan studi awal yang melaporkan rendahnya persistensi komponen laba akrual dibandingkan dengan komponen laba arus kas. Dalam studi ini, dia memisahkan komponen akrual laba menggunakan informasi yang diperoleh dari neraca dan dari laporan rugi laba. Akrual dihitung dari selisih aktiva lancar (setelah dikurangi kas) terhadap kewajiban lancar (setelah dikurangi pajak dan utang jangka pendek) dan depresiasi (amortisasi). Komponen arus kas merupakan selisih dari laba operasi dikurangi akrual. Komponen akrual dan komponen arus kas dideflasi menggunakan rata-rata aset total. Karena telah dideflasi, akrual yang digunakan Sloan lebih sering disebut dengan tingkat akrual. Sebelum regresi dilakukan, perusahaan sampel dibagi ke dalam sepuluh portofolio berdasarkan besaran akrualnya untuk mengontrol pengaruh ukuran perusahaan dan regresi dilakukan untuk tiap-tiap portofolio. Hasil regresi yang menghubungkan kedua komponen laba berjalan dan laba satu tahun ke depan menghasilkan koefisien regresi komponen akrual 0,765 dan koefisien komponen laba 0,855 dan berbeda signifikan (F=614,01). Hasil ini menunjukkan bahwa persistensi akrual lebih rendah daripada arus kas. Berbagai studi yang dilakukan setelah Sloan (1996) juga menghasilkan temuan yang konsisten, yaitu bahwa komponen arus kas lebih persisten dibandingkan dengan komponen laba (Collins dan Hribar, 2000; Xie, 2001, Chan dkk., 2001; Richardson dkk., 2004).

Penilaian Pasar Atas Akrual

Hasil-hasil penelitian empiris melaporkan bahwa akrual kurang persisten dibandingkan dengan arus kas belum mencerminkan kemampuan pasar dalam mengantisipasi perbedaan persistensi antara akrual dan arus kas. Dengan menggunakan prosedur pengujian yang dikembangkan oleh Mishkin (1983), Sloan menunjukkan bahwa koefisien regresi yang menghubungkan akrual dengan return abnormal satu tahun ke depan lebih rendah daripada koefisien regresi yang menghubungkan akrual dengan laba satu tahun ke depan. Perbedaan koefisien regresi ini mengindikasikan bahwa pasar tidak sepenuhnya menggunakan informasi perbedaan persistensi komponen laba akrual dan arus kas dalam menilai harga saham. Selanjutnya, hasil regresi menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara akrual berjalan dengan return abnormal periode berikutnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa pasar menilai secara berlebihan komponen akrual laba berjalan. Pengujian tambahan menggunakan hedge portofolio test yang mengeksploitasi ketidakmampuan investor membedakan secara tepat persistensi komponen akrual dan komponen arus kas. Hasilnya menunjukkan bahwa strategi perdagangan yang mengambil posisi short pada perusahaan yang melaporkan tingkat akrual terendah dan mengambil posisi long pada perusahaan yang melaporkan tingkat akrual tertinggi menghasilkan return abnormal sebesar 10.4%.

Temuan Sloan merupakan pukulan langsung terhadap pasar efisien yang selama ini menjadi teori yang digunakan untuk menjelaskan perilaku investor di pasar modal. Investor tampaknya tidak menggunakan secara

penuh informasi tentang akrual dan arus kas dalam melakukan valuasi

terhadap saham. Investor berperilaku seolah-olah terpaku (fiksasi) pada besaran laba yang dilaporkan perusahaan tanpa menganalisis lebih jauh lagi apakah sumber-sumber pembentuk laba persisten atau tidak.

Post-earnings annoucement drift merupakan fenomena harga saham yang terus menunjukkan respons terhadap laba hingga mencapai 120 hari perdagangan (Bernard dan Thomas, 1989). Sementara itu, seperti yang telah disinggung di atas bahwa anomali akrual mengacu pada hubungan negatif antara tingkat akrual dengan return abnormal periode berikutnya. Anomali akrual ini mengindikasikan bahwa pasar gagal mengapresiasi rendahnya persistensi akrual dan bereaksi secara berlebihan terhadap laba yang mengandung komponen akrual yang besar, baik akrual negatif yang ekstrem maupun yang positif. Reaksi yang berlebihan ini pada akhirnya mengalami pembalikan ketika pada periode berikutnya pasar baru sadar bahwa laba periode sebelumnya tidak persisten.

Studi-studi terdahulu yang melaporkan bukti konsisten kegagalan pasar dalam merefleksikan rendahnya persistensi akrual sangat tergantung pada validitas model pengestimasian akrual. Sadar akan kelemahan ini, maka Bradshow dkk. (2001) menggunakan sampel analis saham dan auditor untuk menjelaskan fenomena akrual. Mereka berargumen bahwa analis saham dan auditor seharusnya mampu mengidentifikasi dan mengkomunikasikan informasi mengenai rendahnya kualitas laba yang bersumber dari akrual yang tinggi kepada kliennya. Kualitas laba diukur menggunakan teknik akrual Sloan (1996) yang telah diperbarui dan selanjutnya mereplikasi penelitain Sloan menggunakan periode yang

berbeda. Pengujian awal menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan

yang melaporkan akrual yang tinggi mengalami penurunan kinerja laba pada periode berikutnya. Selanjutnya mereka menguji apakah informasi tentang penurunan laba pada periode berikutnya tercermin dalam ramalan laba analis dan opini audit.

Hasil pengujian lanjutan memperlihatkan bahwa kesalahan ramalan analis (analysts forecast error) sangat tinggi dan arahnya negatif untuk perusahaan-perusahaan dengan akrual yang sangat tinggi. Temuan ini mengindikasikan bahwa analis saham gagal mengantisipasi penurunan laba masa depan pada perusahaan yang melaporkan akrual tinggi. Sementara itu, mereka tidak menemukan bukti korelasi antara frekuensi opini audit modifikasian yang tinggi atau pergantian auditor yang tinggi dengan akrual yang tinggi. Temuan ini mengisyaratkan bahwa auditor gagal mengkomunikasikan kemungkinan penurunan laba masa depan dan kemungkinan pelanggaran standar akuntansi (GAAP) pada perusahan yang melaporkan akrual yang tinggi. Secara keseluruhan, bukti-bukti yang dikemukakan oleh Bradshow dkk. mendukung dan melengkapi temuan Sloan (1996) bahwa harga saham berperilaku seolah-olah investor tidak mengantisipasi penurunan harga saham pada masa akan datang berkaitan dengan tingginya tingkat akrual. Para profesional di bidang investasi yang memiliki spesialisasi dalam menginterpretasikan informasi akuntansi berperilaku seolah-olah tidak mengingatkan investor mengenai penurunan laba masa depan berkaitan dengan akrual yang tinggi. Simpulan ini mendukung hipotesis bahwa investor tidak sepenuhnya mengantisipasi secara penuh implikasi negatif komponen laba akrual yang tinggi.

Akrual yang berkualitas menjadi jaminan bagi investor bahwa laba

yang dilaporkan perusahaan juga berkualitas. Namun, bagaimana investor mengetahui bahwa akrual yang dilaporkan perusahaan merupakan akrual yang berkualtias? Pertanyaan inilah yang ingin dijawab oleh Beneish dan Vargus (2002). Mereka menggunakan aktivitas perdagangan saham yang dilakukan oleh eksekutif perusahaan sebagai indikasi persistensi akrual karena eksekutif perusahaan memiliki informasi privat mengenai faktor-faktor ekonomik yang saat ini dimiliki perusahaan. Beneish dan Vargus (2002) menguji apakah transaksi saham yang dilakukan oleh para eksekutif perusahaan (insider trading) dapat dijadikan sumber informasi mengenai kualitas laba perusahaan. Secara spesifik mereka menguji tiga hal: (1) apakah kualitas laba lebih rendah (tinggi) pada periode di mana arah akrual bertentangan (sesuai) dengan arah insider trading, (2) apakah pasar menilai secara berbeda akrual yang berkualitas tinggi dengan yang berkualitas rendah. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mereka mengevaluasi insider trading abnormal dan menguji apakah sinyal dari abnormal trading ini mampu memprediksi persistensi laba satu tahun ke depan. Mereka mendefinisikan abnormal insider trading sebagai selisih antara level insider trading (jual dan beli) dengan median insider trading untuk perusahaan-perusahaan yang berukuran sama. Mengikuti Sloan (1996) mereka menggunakan market mispricing test (Mishkin, 1983) dan hedge portfolio test untuk menguji apakah tingkat accrual mispricing berbeda antara perusahaan.

Pengujian terhadap persistensi laba memperlihatkan bahwa akrual income-increasing lebih persisten pada perusahaan-perusahaan dengan

abnormal insider buying dan kurang persisten pada perusahaan-perusahaan dengan abnormal insider selling relatif terhadap perusahaan yang tidak menunjukkan adanya abnormal insider trading. Berbeda dengan akrual income-increasing, insider trading hanya memberikan sedikit indikasi mengenai persistensi akrual yang bersifat menurunkan laba (income decreasing). Sementara itu, hasil pengujian terhadap penilaian pasar atas akrual menunjukkan bahwa accrual mispricing bersumber dari akrual income-increasing. Pasar tampaknya menilai terlalu tinggi (overprice) akrual income-increasing pada perusahaan-perusahaan yang eksekutifnya terlibat dalam abnormal selling. Namun, pasar tampaknya menilai secara rasional akrual income-increasing ketika eksekutif perusahaan terlibat dalam abnormal buying. Selain itu, Beneish dan Vargus (2002) juga menemukan bahwa pasar menilai terlalu tinggi akrual income-increasing pada perusahaan-perusahaan yang eksekutifnya tidak melakukan insider trading. Namun, jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang ekskutifnya melakukan abnormal selling, tingkat overprice tersebut masih lebih rendah. Secara keseluruhan, hasil-hasil yang ditemukan oleh Beneish dan Vargus mengindikasikan bahwa investor gagal menginterpretasikan informasi insider trading secara tepat, seolah-olah semua akrual yang bersifat menaikkan laba dipandang berkualitas tinggi.

Studi Kualitas Akrual

Dalam studi-studi akrual, tidak jarang peneliti menggunakan istilah kualitas akrual sebagai indikasi laba yang berkualitas (Dechow dan Dichev, 2002; Beneish dan Vargus, 2002; Krishnan, 2003; Richardson dkk., 2005).

Walaupun tidak didefinisikan secara tegas, kualitas akrual diyakini

berbanding lurus dengan persistensi akrual dan semakin tinggi kualitas akrual maka semakin tinggi pula kualitas laba yang dilaporkan. Apa sesungguhnya yang menjadi indikasi akrual yang berkualitas? Beneish dan Vargus (2002) mengatakan bahwa aktivitas perdagangan saham yang dilakukan eksekutif perusahaan merupakan indikasi kualitas akrual. Sementara itu, Xie (2001) melaporkan bahwa akrual normal lebih persisten dibandingkan dengan akrual abnormal (diskresioner) dan DeFond dan Park (2001) mengaitkan rendahnya persistensi akrual abnormal dengan sifat alami akrual yang mengalami reversal. Dari argumen-argumen di atas dapat disimpulkan bahwa rendahnya kualitas akrual sebagian besar disebabkan oleh akrual abnormal (diskresioner).

Dechow dan Dichev (2002) merupakan peneliti pertama yang menggunakan istilah kualitas akrual untuk menjelaskan persistensi akrual. Mereka mengatakan bahwa rendahnya persistensi akrual disebabkan oleh rendahnya kualitas akrual. Rendahnya kualitas akrual disebabkan oleh perannya sebagai mekanisme menggeser atau menyesuaikan pengakuan arus kas sepanjang waktu agar laba yang dilaporkan lebih dapat merefleksikan kinerja perusahaan. Sayangnya, untuk memenuhi peran tersebut akrual memerlukan asumsi-asumsi dan estimasi arus kas masa depan yang rentan terhadap kesalahan estimasi. Semakin tinggi kesalahan estimasi maka semakin rendah pula kualitas akrual. Dechow dan Dichev menunjukkan bahwa kualitas akrual yang diproksikan dengan nilai residual hasil regresi perubahan modal kerja terhadap arus kas operasi

masa lalu, arus kas operasi berjalan, dan arus kas masa depan

berhubungan positif dengan persistensi laba.

Krishnan (2003) menguji peran auditor untuk menjamin kredibilitas akrual yang terkandung dalam laba. Dia berargumen bahwa auditor yang berkualitas tinggi (auditor Big 6) kemungkinan besar mampu mencegah dan mendeteksi praktik-praktik akuntansi yang mencurigakan dan kesalahan-kesalahan material dibandingkan dengan auditor yang berkualitas rendah. Hal itu terjadi karena auditor yang berkualitas tinggi memiliki kemampuan, sumber daya, dan insentif yang lebih besar untuk meningkatkan keinformatifan akrual diskresioner dengan membatasi pelaporan akrual yang agresif dan oportunistik oleh manajer. Di samping itu, juga karena laba yang diaudit oleh auditor yang berkualitas memiliki akrual yang berkualitas pula. Argumen ini konsisten dengan Francis dkk. (1999) yang menemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki kecenderungan melaporkan akrual yang tinggi akan lebih cenderung mempekerjakan auditor Big 6 untuk meningkatkan kredibilitas laba yang dilaporkan.

Krishnan memisahkan laba ke dalam komponen arus kas operasi, akrual nondiskresioner dan akrual diskresioner, kemudian return saham diregres terhadap tiga komponen laba, sebuah variabel dummy yang mencerminkan kualitas audit (Big 6 versus non-Big 6), dan satu variabel interaksi kualitas audit dengan akrual diskresioner. Hasil regresi menggunakan pooled sample dan analisis tahun per tahun menunjukkan bahwa hubungan antara akrual diskresioner dan return saham lebih kuat pada perusahaan-perusahaan yang diaudit oleh auditor Big 6 dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang diadit oleh auditor non-Big 6. Temuan

ini mendukung pemikiran bahwa auditor Big 6 meningkatkan kredibilitas akrual yang dilaporkan dengan mengurangi noise dalam akrual diskresioner yang dilaporkan sehingga meningkatkan nilai informasi akrual diskresioner. Pengujian tambahan menunjukkan bahwa hubungan antara akrual diskresioner dan profitabilitas masa depan (laba satu tahun dan dua tahun ke depan) lebih besar pada perusahaan-perusahaan yang diaudit oleh auditor Big 6 dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang diaudit oleh auditor non-Big 6. Secara keseleruhan, bukti-bukti yang ditemukan tidak mendukung sepenuhnya argumen Sloan (1996) yang menyatakan bahwa investor terpaku (fiksasi) pada laba yang dilaporkan.

Richardson dkk. (2005) menggunakan istilah akrual yang andal sebagai cerminan akrual yang berkualitas. Walaupun desain penelitian dan model yang digunakan berbeda dengan Dechow dan Dichev (2002), pada dasarnya konsep yang digunakan hampir sama. Mereka mengelompokkan item-item akrual yang ada di neraca berdasarkan keandalannya: rendah, sedang, dan tinggi. Misalnya, perubahan aset lancar yang dimominasi oleh piutang dan persediaan memiliki keandalan yang rendah. Sementara, perubahan utang lancar yang didominasi oleh utang dagang masuk kategori akrual yang tinggi. Di tengah-tengahnya ada akrual yang memiliki keandalan yang medium, seperti piutang dan utang jangka panjang. Mereka menguji dan menemukan bahwa akrual-akrual yang kurang andal menyebabkan rendahnya persistensi laba. Hasil pengujian lanjutan menunjukkan bahwa investor gagal mengantisipasi secara penuh rendahnya persistensi laba yang bersumber dari rendahnya keandalan

akrual-akrual yang ada dan menyebabkan harga saham mengalami

mispricing.

Richardson dkk. (2006) menguji peranan distorsi akuntansi dalam menjelaskan rendahnya persistensi komponen akrual laba. Mereka menujukkan bahwa hubungan empiris antara akrual dan persistensi laba berkaitan erat dengan distorsi akuntansi yang muncul dari kesalahan estimasi akrual. Mereka membagi akrual ke dalam dua komponen: komponen pertumbuhan dan komponen efisiensi. Komponen pertumbuhan mencerminkan akrual yang berasal dari pertumbuhan output, sedangkan komponen efisiensi mencerminkan akrual yang tidak berkaitan dengan pertumbuhan output. Selanjutnya mereka berargumen bahwa pengaruh return marginal yang semakin menurun (diminishing marginal return) terhadap investasi yang terus meningkat ditangkap oleh komponen pertumbuhan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa return marginal yang semakin menurun tidak mampu menjelaskan secara penuh rendahnya persistensi akrual. Mereka menyimpulkan bahwa distorsi akuntansi yang disebabkan oleh penggunaan akuntansi akrual memiliki peranan yang penting atas rendahnya persistensi akrual.

Dengan mengadopsi model yang dikembangkan oleh Felthan dan Ohlson (1995), Fairfield dkk. (2003) menduga rendahnya perisistensi akrual ada kaitannya dengan pertumbuhan aset operasi perusahaan. Pemecahan aset operasi bersih ke dalam komponen akrual dan aset operasi jangka panjang memungkinkan seseorang untuk menguji apakah persistensi akrual yang lebih rendah bersumber dari perannya sebagai komponen laba atau perannya sebagai komponen pertumbuhan dalam aset operasi bersih.

Untuk memberikan bukti bahwa rendahnya perisistensi akrual berkaitan

erat dengan pertumbuhan aset perusahaan, Fairfield dkk. memecah aset operasi bersih ke dalam dua bagian: akrual dan aset operasi bersih jangka panjang, seperti halnya pada profitabilitas yang dapat dipecah menjadi komponen akrual dan komponen arus kas. Mereka menemukan bahwa return marginal investasi yang cenderung menurun disebabkan oleh adanya hubungan negatif antara profitabilitas masa depan dan pertumbuhan aset operasi perusahaan. Return marginal yang menurun dimungkinkan karena perusahaan-perusahaan mengeksploitasi peluang investasi yang paling menguntungkan sebelum melakukan investasi yang kurang menguntungkan. Selain itu, hubungan negatif ini juga sebagian disebabkan oleh penerapan prinsip akuntansi yang konservatif.

Berkaitan dengan penerapan akuntansi konservatif dan sistem akuntansi akrual, Penman (2001) mengatakan bahwa bias yang ditimbulkan dari prosedur-prosedur akuntansi menyebabkan investasi menjadi kelihatan kurang menguntungkan dalam tahun-tahun awal, tetapi menguntungkan pada tahun-tahun akhir. Kondisi ini menyebabkan return akuntansi yang diperoleh dari investasi-investasi baru cenderung bias ke bawah dibandingkan dengan return yang diperoleh dari investasi-investasi berjalan. Singkatnya, return marginal yang menurun dan penerapan akuntansi konservatif menyebabkan perusahaan yang berinvestasi lebih banyak dalam aset operasi selama tahun berjalan akan mengalami profitabilitas masa depan yang lebih rendah relatif terhadap perusahaan-perusahaan lain yang tidak banyak berinvestasi. Argumen return marginal yang menurun ini mempertanyakan kembali temuan Sloan (1996) bahwa

rendahnya persistensi akrual disebabkan oleh perannya sebagai komponen

laba. Argumen alternatifnya adalah bahwa rendahnya persistensi akrual disebabkan oleh peran akrual sebagai komponen pertumbuhan aset operasi bersih.

Kesalahan Pengestimasian Akrual

Studi-studi persistensi akrual yang menggunakan data pasar modal Amerika Serikat umumnya menggunakan informasi yang berasal dari neraca dan laporan rugi-laba untuk mengestimasi akrual. Komponen akrual dimungkinkan untuk diperoleh secara langsung dengan mengurangkan arus kas dari laba bersih apabila data yang digunakan setelah tahun 1988. Seperti yang telah diketahui secara luas, penyajian laporan arus kas baru diwajibkan pada tahun 1988 di Amerika Serikat sehingga data akrual sebelum tahun 1988 harus diestimasi dari item-item yang ada di neraca. Pengestimasian akrual menggunakan informasi neraca berpotensi mengandung noise karena menurut Hribar dan Collins (2002) peristiwa-peristiwa, seperti merger atau akuisisi dan operasi yang dihentikan (discontinued operation) dapat menyebabkan estimasi komponen akrual menggunakan neraca bias.

Hribar dan Collins (2002) menunjukkan betapa seriusnya bias yang terjadi dengan mereplikasi dua studi terdahulu yang menguji manajemen laba menggunakan estimasi akrual neraca. Hasil pengujian memberikan bukti bahwa estimasi akrual menggunakan informasi neraca mengandung errors-in-variable sehingga interpretasi statistis berkaitan dengan ekualitas parameter-parameter yang diestimasi menjadi keliru. Mereka juga

menunjukkan bahwa kesalahan dalam estimasi akrual mempengaruhi pengujian return portofolio abnormal karena menambah noise dalam tahap pembentukan portofolio. Akibanya, return portofolio masa depan menurun dan mendorong kemungkinan pengujian statistik yang tidak signifikan sekalipun pendekatan arus kas menunjukkan return masa depan yang signifikan. Lebih jauh lagi mereka menemukan bahwa errors-in-variable sangat rendah ketika peristiwa-peristiwa, seperti merger dan akuisisi, discontinued operation, dan foreign currency tidak dialami perusahaan.

  • III.    Peluang-peluang Riset

Temuan Sloan (1996) mengindikasikan bahwa pasar tidak rasional perlu diinvestigasi lebih lanjut. Apabila investor berperilaku seolah-olah terfiksasi terhadap laba dan gagal merefleksikan secara penuh informasi yang terkandung dalam komponen akrual seperti yang dinyatakan Sloan, maka patut diduga anomali akrual lebih kuat terjadi pada perusahaan yang sahamnya banyak dikuasai oleh investor yang naif (naive investor) dibandingkan dengan perusahaan yang lebih banyak dikuasai oleh investor canggih (sophisticated investor). Selanjutnya patut diduga bahwa investor naif tidak melakukan analisis yang mendalam terhadap besaran laba yang dilaporkan dan sangat percaya bahwa laba tahun berjalan yang tinggi mengindikasikan laba tahun depan yang tinggi pula. Investor naif tidak cukup rasional untuk dapat memahami implikasi akrual terhadap laba masa depan. Mereka baru sadar bahwa laba yang dilaporkan sebelumnya tidak sustainable ketika laporan keuangan berjalan dirilis dan serta merta

melakukan respons negatif terhadap laba berjalan. Dengan demikian, studi

Sloan (1996) dapat dikembangkan dengan membedakan sampel berdasarkan tingkat rasionalitas pasar terhadap informasi akrual.

Hand (1990) dan Maines dan Hand (1996) menunjukkan bahwa sebagian pelaku pasar gagal menggunakan secara tepat informasi yang tersedia untuk membentuk ekspektasi laba. Dengan kata lain, temuan-temuan ini mengindikasikan bahwa tingkat rasionalitas investor dalam perdagangan saham tidak sama dan secara implisit mendukung studi-studi perilaku investor yang membagi investor ke dalam dua kelompok: investor canggih (sophisticated investors) dan investor naif (naive investors). Investor institusional sering digunakan sebagai cerminan investor yang rasional dan canggih dan investor individu sebagai investor yang naif. Semakin besar jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi, maka semakin besar pula keyakinan kita bahwa saham perusahaan sebagian besar ditransaksikan oleh investor yang canggih. Menurut Hand (1990) dua buah variabel yang sering digunakan sebagai proksi partisipasi investor institusional adalah persentase saham beredar yang dimiliki oleh institusi dan jumlah institusi yang memegang saham perusahaan.

  • IV.    SIMPULAN

Kajian literatur studi akrual yang dipaparkan dalam tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi topik-topik riset yang dapat dilakukan di Indonesia. Sepanjang pengetahuan penulis, belum banyak atau belum ada studi di Indonesia yang secara spesifik menguji implikasi perbedaan persistensi akrual dan arus kas terhadap harga saham pada masa depan.

Di samping itu, fenomena akrual yang banyak teridentifikasi dalam studi-

studi empiris menggunakan data pasar modal Amerika Serikat belum tentu merupakan fenomena tersendiri pada perusahaan-perusahan di Indonesia.

Berikut ini adalah daftar pertanyaan penelitian yang dapat diajukan berkaitan dengan pengujian anomali akrual menggunakan data perusahaan-perusahaan di Indonesia dan pengaruh tingkat rasionalitas investor terhadap fenomena akrual.

  • 1.    Apakah ada perbedaan persistensi antara komponen laba akrual dan komponen laba arus kas pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia?

  • 2.    Apakah pelaku pasar di Indonesia mengantisipasi rendahnya persistensi akrual?

  • 3.    Apakah overpricing terhadap akrual terjadi di Indonesia?

  • 4.    Apakah overpricing komponen akrual yang dilakukan oleh para pelaku pasar di Indonesia lebih parah (severe) dibandingkan dengan pelaku pasar di Amerika Serikat?

  • 5.    Jika fenomena akrual terjadi di Indonesia, apakah kegagalan pasar dalam mengantisipasi rendahnya persistensi akrual bersumber dari akrual abnormal atau akrual normal?

  • 6.    Apakah strategi perdagangan saham dengan mengeskploitasi kegagalan pasar dalam mengantisipasi informasi yang terkandung dalam akrual memberikan return abnormal yang signifikan?

  • 7.    Apakah ada hubungan antara tingkat rasionalitas investor dan fenomena akrual?

  • 8.    Apakah hubungan negatif akrual abnormal dan return abnormal satu tahun ke depan tidak terjadi ketika saham perusahaan didominasi oleh investor canggih?

DAFTAR PUSTAKA

Beneish, M.D. and M.E. Vargus. 2002. “Insider Trading, Earnings Quality, and Accruals Mispricing”. The Accounting Review 77: 755--791.

Bernard, V.L. dan J.K. Thomas. 1990. “Evidence That Stock Prices do not Fully Reflect the Implication of Current Earnings for Future Earnings”. Journal of Accounting and Economics 13: 305--340.

Bradshow, M.T., S.A. Richardson, and R.G. Sloan. 2001. “Do Analysts and Auditors Use Information in Accruals?”. Journal of Accounting Research 39.

Collins, D.W. dan P. Hribar. 2000. “Earnings-Based and Accrual-Based Market Anomalies: One Effect ot Two? Journal of Accounting and Economics 29: 101--123.

Dechow, P. 1994. “Accounting Earnings and Cash Flows as Measures of Firm Performance: The Role of Accounting Accruals. Journal of Accounting and Economics 18: 3--42

Dechow, P. and L.D. Dichev. 2002. The Quality of Accruals and Earnings: the Role of Accrual Estimation Errors. The Accounting Review 77: 35--59.

DeFond, M.L. and J. Jiambalvo. 1994. Debt Covenant Violation and Manipulation of Accruals. Journal of Accounting & Economics 17.

DeFond, M.L. and C.W. Park. 2001. The Reversal of Abnormal Accruals and the Market Valuation of Earnings Surprise. The Accounting Review (july): 375—404.

Fairfield, P.M., J.S. Whisenant, and T.L. Yohn. 2003. “Accrued Earnings and Growth: Implication for Future Profitability and Market Mispricing. The Accounting Review 78: 353--371.

Feltham, G. dan J. Ohlson. 1995. “Valuation and Clean Surplus Accounting for Operating and Financial Activities. Contemporary Accounting Research 11: 689--731.

Foster, G., C. Olsen, and T. Shelvin. 1984. “Earnings Release, Anomalies, and the Behavior of Security Return. The Accounting Review 59: 574--603.

Francis, J. and R. LaFond. 2005. “Market Pricing of Accruals Quality”. Journal of Accounting and Economics 39: 295--327.

Francis, J. and M. Smith. 2005. “A Reexamination of the Persistence of Accruals and Cash Flows”. Journal of Accounting Research 43.

Freeman, R. and S. Tse. 1989. “The Multi-Period Information Content of Earnings Announcements: Confirmations and Contradictions of Previous Earnings Report”. Journal of Accounting Research 27: 49-79.

Hand, J. 1990. “A Test of the Extended Functional Fixation Hypothesis”. The Accounting Review 65: 740--763.

Healy, P. 1985. “The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions”. Journal of Accounting & Economics 7.

Hribar, P. and D. Collins. 2002. “Errors in Estimating Accruals: Implication for Empirical Research”. Journal of Accounting Research 40: 105-134.

Jensen, M. & Meckling, W. H. 1976. “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics, pp. 305--360.

Jones, J. 1991. “Earnings Management During Import Relief Investigation”. Journal of Accounting Research 29: 193--228.

Khrishnan, G.V. 2003. “Audit Quality and the Pricing of Discretionary Accrual”. Auditing: a Journal of Practice and Theory 22.

Mishkin, F. 1983. A Rational Expectation Approach to Macroeconometrics: Testing Policy Effectiveness and Efficient-Markets Model. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Ou, J. and S. Penman. 1989. “Financial Statement Analysis and the Prediction of Stock Returns”. Journal of Accounting and Economics 11: 295--329.

Penman, S. 2001. Financial Statement Analysis and Equity Valuation. New York, NY: McGraw Hill.

Richardson, S.A., R.G. Sloan, M.T. Soliman, and I. Tuna. 2005. “Accrual Reliability, Earnings Persistence and Stock Price”. Journal of Accounting and Economics 39: 437--485.

Richardson, S.A., R.G. Sloan, M.T. Soliman, and I. Tuna. 2006. “The Implication of Accounting Distortions and Growth for Accruals and Profitability”. The Accounting Review 81: 713--743.

Sloan, R.G. 1996. “Do Stock Prices Fully Reflect Information in Accruals and Cash Flows about Future Earnings?” The Accounting Review 71.

Subramayam, K. R. 1996. “The Pricing of Discretionary Accruals”. Journal of Accounting and Economics 22.

Xie, H. 2001. “The Mispricing of Abnormal Accruals”. The Accounting Review 76.

23