JURNAL FARMASI UDAYANA | pISSN: 2301-7716; eISSN: 2622-4607 | VOL. 11, NO. 1, 2022

https://doi.org/10.24843/JFU.2021.v11.i01.p06

Penetapan Kadar Astaxanthin Dalam Cincalok Yang Difermentasi

Siti Nani Nurbaeti1, Aulia Faradilla1, Hadi Kurniawan1, Inarah Fajriaty1 dan Fajar Nugraha1

  • 1    Faculty of Pharmacy, Tanjungpura University, Jalan Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak 78124, Indonesia

Reception date of the manuscript: 2021-01-12

Acceptance date of the manuscript: 2021-04-20

Publication date: 2022-07-31

Abstract— Cincalok is a traditional West Kalimantan food made from a fermentation process with the basic ingredients of rebon shrimp. Rebon shrimp contains carotenoid compounds, namely astaxanthin compounds which are known to have benefits as antioxidants. In this study, an analysis of the content of astaxanthin compounds in rebon shrimp that had been fermented into cincalok was carried out. Rebon shrimp is taken from Mendalok Village, Sungai Kunyit, West Kalimantan. The purpose of this study was to determine the levels of astaxanthin compounds in fermented cincalok for 1 week and 2 weeks. 1 week and 2 weeks of cincalok extraction were made as many as 3 batches with the maceration method using acetone for 3 consecutive days. The extract obtained was then measured the levels of astaxanthin compounds using the UV-Vis spectrophotometric method at a visible wavelength (477 nm). The results of astaxanthin levels obtained per 100 g wet weight of cincalok were 3.292 mg (1 week fermented cincalok) and 0.920 mg (2 weeks fermented cincalok).

Keywords—Cincalok, Rebon shrimp, Astaxanthin, Spectrophotometry UV-Vis

Abstrak— Cincalok merupakan makanan tradisional khas Kalimantan Barat yang dibuat dari proses fermentasi dengan bahan dasar udang rebon. Udang rebon memiliki kandungan senyawa karotenoid, yaitu senyawa astaxanthin yang dikenal memiliki manfaat sebagai antioksidan. Pada penelitian ini dilakukan analisis kandungan senyawa astaxanthin dalam udang rebon yang telah difermentasi menjadi cincalok. Udang rebon diambil dari Desa Mendalok, Sungai Kunyit, Kalimantan Barat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kadar senyawa astaxanthin dalam cincalok yang telah difermentasi selama 1 minggu dan 2 minggu. Ekstraksi cincalok 1 minggu dan 2 minggu masing-masing dibuat sebanyak 3 batch dengan metode maserasi menggunakan pelarut aseton selama 3 hari berturut-turut. Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan pengukuran kadar senyawa astaxanthin dengan metode spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang visibel (477 nm). Hasil kadar astaxanthin yang diperoleh tiap 100 g berat basah cincalok yaitu 3,292 mg (cincalok fermentasi 1 minggu) dan 0,920 mg (cincalok fermentasi 2 minggu).

Kata Kunci—Cincalok, Udang rebon, Astaxanthin, Spektrofotometri UV-Vis.

  • 1 .Pendahuluan

Cincalok merupakan makanan tradisional khas Kalimantan Barat yang dibuat melalui proses fermentasi berbahan dasar udang rebon. Waktu yang diperlukan dalam proses fermentasi pada udang rebon menjadi cincalok umumnya selama 8 hari (Rinto, 2018).

Proses fermentasi udang rebon menjadi cincalok dibantu oleh bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh dan berkembang biak pada produk fermentasi (Achmad dkk, 2012). Hal ini dikarenakan pada proses fermentasi udang rebon dilakukan dengan penambahan garam dan gula. Garam berperan sebagai pengawet dalam proses fermentasi yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk serta memicu pertumbuhan BAL, sedangkan gula sebagai sumber ener-

Penulis koresponden: Siti Nani Nurbaeti, [email protected]

gi bagi BAL untuk tumbuh dan berkembang biak (Dyastuti dkk, 2013; Widayanti 2015). BAL dibantu oleh enzim PPO yang menyebabkan terlepasnya ikatan astaxanthin dari komponen (protein) dalam tubuh udang sehingga terbentuk astaxanthin bebas yang mengakibatkan warna hasil fermentasi udang rebon menjadi merah muda hingga orange (Khairina dkk, 2016; Rahmayati dkk, 2014).

Cincalok biasanya dimanfaatkan sebagai lauk pauk, penyedap makanan, dan campuran sambal, serta memiliki ciri berupa berbentuk pasta, berwarna merah muda hingga orange, dan rasa asin-asam dengan aroma khas (Khairina dkk, 2016; Khairina dkk, 2013). Warna merah muda hingga orange pada cincalok disebabkan karena adanya astaxanthin dari udang seperti pada Gambar 1

Astaxanthin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam udang rebon maupun udang lainnya yang merupakan sumber warna merah pada udang. Senyawa ini termasuk dalam golongan xanthofil karena memiliki atom oksigen pada cincin ionon sehingga aktivitas antioksidannya le-

Gambar. 1: Cincalok

bih besar dibanding karotenoid lainnya karena adanya gugus hidroksi dan keto yang mengalami eterifikasi dan menjadikannya lebih polar (Gambar 2) (Aisoi, 2016). Antioksidan pada astaxanthin bekerja dengan cara menangkal radikal bebas yang dapat menyebabkan penyakit kanker, peradangan, penuaan dini, jantung koroner, stress oksidatif dan dapat bekerja sebagai antibakteri, serta dapat mencegah terjadinya kerusakan oksidatif pada perokok (Yang dkk, 2013).

Gambar. 2: Struktur Astaxanthin (Aisoi, 2016)

Rahmayati dkk (2014), menyebutkan kandungan astaxanthin dalam udang rebon utuh beku yaitu sebanyak 3,12 mg/100 g berat basah. Sedangkan, Sachindra et al (2005) mengatakan kadar karotenoid dalam daging udang yaitu sekitar 10,4 – 17,4 g/g; dalam kepala udang sekitar 35,8 – 153,1 g/g, dan dalam kulit udang sekitar 59,8 – 104,7 g/g. Namun, belum terdapat penelitan yang menyebutkan seberapa besar kadar astaxanthin dalam udang rebon yang difermen-tasi menjadi cincalok. Adanya proses fermentasi umumnya meningkatkan kualitas fisik maupun gizi yang terkandung dalam produk fermentasi tersebut, sehingga perlu dilakukan analisis kadar senyawa astaxanthin untuk mengetahui seberapa besar kandungan astaxanthin dalam produk fermentasi cincalok.

  • 2 . METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode instrumen spektrofo-tometri UV-Vis (Shimadzu serial nomor A120654) dengan astaxanthin standar Sigma Aldrich (SML0982-50MG/ 97 % for HPLC) sebagai pembanding serta menggunakan pelarut aseton pro analys dan alat sentrifugasi (Centrifuge PLC series). Sampel cincalok yang telah difermentasi selama 1 minggu dan 2 minggu masing-masing sebanyak 100 g dieks-traksi menggunakan metode maserasi (3 hari berturut-turut)

dengan pelarut aseton teknis yang masing-masing dibuat sebanyak 3 batch.

Penelitian dilakukan dengan pembuatan larutan baku astaxanthin yang akan digunakan untuk menentukan panjang gelombang maksimum serta penetapan kurva baku. Panjang gelombang maksimum dan kurva baku yang diperoleh kemudian digunakan untuk menetapkan kadar astaxanthin dalam ekstrak cincalok. Hasil penetapan akan dianalisis menggunakan analisis paired t-test.

  • 3 .HASIL PENELITIAN

Hasil rendemen yang diperoleh rata-rata 12,27 % (cinca-lok fermentasi 1 minggu) dan 7,63 % (cincalok fermentasi 2 minggu) yang dapat dilihat pada tabel 1. Nilai rendemen yang semakin tinggi maka semakin tinggi pula kandungan senyawa yang tersari. Ekstrak cincalok 1 minggu dan 2 minggu memiliki bentuk yang kental dan bau yang khas, namun warna ekstrak yang diperoleh masing-masing cincalok berbeda, yaitu cincalok 1 minggu memiliki warna jingga tua (Gambar 3) sedangkan cincalok 2 minggu memiliki warna jingga muda (Gambar 4).

Tabel 1: HASIL RENDEMEN EKSTRAK CINCALOK 1 DAN 2

MINGGU

Sampel

Batch

% Rendemen

Rataan ( %)

1

12,3

Cincalok 1 minggu

2

12,3

12,27

3

12,2

1

7,6

Cincalok 2 minggu

2

7,5

7,63

3

7,8

Gambar. 3: Ekstrak Cincalok 1 minggu

Gambar. 4: Ekstrak Cincalok 2 minggu

5.PEMBAHASAN

Ektraksi bertujuan untuk menarik senyawa yang diinginkan dari sampel cincalok yang telah difermentasi 1 dan 2

minggu menggunakan pelarut yang sesuai. Cincalok dieks-traksi menggunakan pelarut aseton yang telah dilaporkan menarik lebih banyak senyawa astaxanthin dibanding pelarut etanol, metanol, petroleum eter, klorofom maupun hek-sana (13). Sampel cincalok fermentasi 1 dan 2 minggu masing-masing dihaluskan untuk mengecilkan ukuran sampel sehingga luas permukaan sampel semakin besar yang akan meningkatkan jumlah astaxanthin yang tersari.

Larutan baku dibuat dengan menimbang sejumlah astaxanthin standar yang dilarutkan dalam aseton pro-analys hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 0,6; 1; 1,4; 1,8; dan 2,2 ppm.

Pada penelitan ini penentuan panjang gelombang maksimum menggunakan konsentrasi 1 ppm yang diukur pada panjang gelombang visibel (400 – 750 nm). Hasil yang diperoleh yaitu 477 nm yang telah sesuai dengan teori sebelumnya. Adapun hasil pengukuran 5konsentrasi berbeda menghasilkan nilai r yaitu 0,998 yang telah memenuhi syarat menurut Farmakope Indonesia V dan ICH (r 0,998) sehingga diperoleh persamaan kurva baku y = 0,3164x + 0,0313. Persamaan kurva baku tersebut digunakan untuk menentukan kadar astaxanthin dalam cincalok 1 minggu dan 2 minggu, dimana diperoleh rata-rata kadar berturut-turut yaitu 3,267 mg/100 g berat basah sampel dan 0,883 mg/100 g berat basah sampel. Hasil tersebut mengatakan bahwa kadar astaxanthin dalam cincalok fermentasi 1 minggu lebih besar dibandingkan cincalok yang difermentasi 2 minggu.

Proses fermentasi umumnya dapat menyebabkan peningkatan gizi dan kualitas pada produk fermentasi tersebut serta dapat meningkatkan kandungan senyawa organik karena BAL yang tumbuh mendegradasi substrat pada bahan baku fermentasi (13,26). BAL yang hidup pada pH rendah (4 – 4,8) sedangkan bakteri patogen yang tunbuh pada pH 6 – 8 menyebabkan BAL tumbuh sedangkan bakteri patogen cenderung mati.

Pada penelitian sebelumnya, dilaporkan kandungan senyawa astaxanthin dalam udang rebon yang diambil dari tempat yang sama memiliki kandungan astaxanthin sebanyak 2,548 mg/100 g berat basah(untan). Oleh karena itu, dapat dikatakan kandungan astaxanthin pada produk cincalok 1 minggu terjadi peningkatan namun terjadi penurunan pada minggu ke-2. Hal ini diduga karena proses fermentasi yang berlangsung selama 1 minggu menghasilkan senyawa hasil fermentasi yang paling optimal karena pertumbuhan BAL yang telah memasuki fase log, dimana BAL yang bertugas mendegrada-si substrat tumbuh dengan cepat karena adanya ketersediaan nutrisi dalam jumlah yang banyak, sedangkan bakteri patogen cenderung mati karena telah teseleksi oleh perubahan pH pada produk cincalok yang semakin menurun.

Lamanya waktu fermentasi mempengaruhi pertumbuhan bakteri untuk mendegradasi substrat, dimana semakin lama waktu fermentasi pada waktu tertentu maka semakin banyak pula bakteri tersebut tumbuh untuk mendegradasi substrat. Pada penelitian ini, cincalok 1 minggu diduga BAL telah tumbuh secara optimal yang mendegradasi bahan baku cin-calok lebih banyak, namun semakin lama waktu fermentasi juga dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan nutrisi bagi bakteri untuk tumbuh yang dapat mempengaruhi proses degradasi udang rebon yang telah memasuki fase kematian.

Fermentasi yang terlalu lama tidak disarankan karena dapat menyebabkan terakumulasinya asam organik yang lebih

banyak sehingga menyebabkan pH yang semakin menurun dan mempengaruhi kadar senyawa astaxanthin dalam cinca-lok. Pada penelitian ini, rendahnya kadar astaxanthin dalam cincalok 2 minggu dapat terjadi karena perubahan pH yang berada diluar pH stabilitas astaxanthin dan menyebabkan senyawa astaxanthin terdegradasi atau rusak. Penurunan kadar juga dapat disebabkan karena pertumbuhan bakteri yang telah memasuki fase kematian dengan kondisi berkurangnya ketersediaan nutrisi bagi bakteri untuk tumbuh sehingga bakteri tidak dapat mendegradasi substrat secara optimal. Hasil kadar yang diperoleh dari analisis Paired Sample T-Test menunjukkan nilai sig. (2-tailad) 0,000 <0,05 sehingga terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar senyawa astaxanthin dalam cincalok fermentasi 1 minggu dan 2 minggu.

5.KESIMPULAN

Kandungan senyawa astaxanthin dalam cincalok 1 minggu dan 2 minggu memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu astaxanthin dalam cincalok 1 minggu lebih tinggi dibanding cincalok 2 minggu.

6. Daftar Pustaka

Achmad, D. I., Nofiani, R., Arningsih, P. 2012. Karakteristik bakteri asam laktat Lactobacillus sp. RED1 dari cinca-lok formulasi. Jurnal Kimia Khatulistiwa, 1(1): 1 – 5.

Aisoi, L.. 2016. Karakteristik astaxanthin sebagai antioksidan. Novae Guinea Jurnal Biologi, 7(1): 43 – 51.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmako-pe Indonesia Edisi 5. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dyastuti, E. A., Nofiani, R., Ardi-ningsih, P. 2013. Uji organoleptic cincalok dengan penambahan serbuk bawang putih (Allium sativum) dan serbuk cabai (Capsium annuum L.). JKK, 2(2): 70 – 73.

Faradilla, A. 2019. Penetapan kadar senyawa astaxanthin dalam udang rebon menggunakan metode spektrofotome-tri UV-Vis. Jurnal Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran UNTAN, 4(1): 1 – 9.

International Conference on Harmonisation (ICH) of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use. 2005. Q2 (R1): Validation of analytical procedures: Text and methodology, www.ich.org.

Khairina, R., Fitrial, Y., Satria, H., Rahmi, N. 2013. Profil ronto produk fermentasi udang tradisional di Kalimantan Selatan. Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia (MPHPI), 153 – 159.

Khairina, R., Fitrial Y., Satrio, H., Rahmi, N. 2016. Physical, chemical, and microbiological properties of “Ron-to” a tradisional fermented shrimp from South Borneo. Indonesia. Aquatic Procedia, 7: 214 – 220. Khairina, R., Cahyanto, M. N., Utami, T., Rahardjo, S. 2016. Karakteristik fisikawi, kimiawi, dan mikrobiologis ronto selama penyimpanan. JPHPI, 19(3): 348 – 355.

Rahmayati, R., Riyadi, P. H., Rianingsih, L. 2014. Perbedaan konsentrasi garam terhadap pembentukan warna terasi udang rebon (Acetes sp.) basah. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(1): 108 – 117. Rinto. 2018. Manfaat fungsional produk fermentasi hasil perikanan Indonesia, edisi 1. Palembang: UPT. Universitas Sriwijaya.

Sachindra, N. M., Bhaskar, N., Mahendrakar, N. S. 2005. Carotenoid in different body components of Indian shrimp. Journal of The Science of Food and Agriculture, 85: 167

– 172.

Widayanti, Ibrahim, R., Rianingsih L. 2015. Pengaruh penambahan berbagai konsentrasi bawang putih (Allium sativum L.) terhadap mutu “Bekasam” ikan nila merah (Oreochromis niloticus). IJFST, 10(2): 119– 124.

Yang, Y., Kim, B., Lee, J. 2013. Astaxanthin structure, metabolism, and health benefits. Journal of Human Nutrition and Food Science, 1003(1): 1 – 11.

NURBAETI, DKK.

35