Evaluasi Kepuasaan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Hipertensi Terhadap Layanan Kefarmasian Di Puskesmas Mulyorejo Surabaya
on
Putra, dkk.
DOI : https://doi.org/10.24843/JFU.2019.v08.i02.p06
pISSN: 2301-7716; eISSN: 2622-4607
Jurnal Farmasi Udayana, Vol 8, No 2, Tahun 2019, 95-103
Evaluasi Kepuasaan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Hipertensi Terhadap Layanan Kefarmasian di Puskesmas Mulyorejo Surabaya
Putra, O.N1*., Damayanti, A.1, Pinani, D.T1
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah, Jalan Arief Rahman Hakim 150, Surabaya
*Corresponding author e-mail: oki.nugraha@hangtuah.ac.id
Riwayat artikel: Dikirim: 23-09-2019; Diterima: 20-01-2020, Diterbitkan: 21-01-2020
ABSTRAK
Diabetes Mellitus (DM) dan Hipertensi merupakan penyakit kronis yang memerlukan perawatan jangka panjang. Salah satu tempat dilakukan layanan kefarmasian untuk pasien Diebetes Mellitus (DM) maupun hipertensi ialah Puskesmas. Evaluasi terhadap layanan kesehatan penting dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian, khususnya di puskesmas. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengukur kepuasan pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi terhadap pelayanan kefarmasian serta untuk mengetahui dimensi mutu pelayanan yang perlu ditingkatkan. Studi ini merupakan jenis penelitian observasional analitik menggunakan desain penelitian crosssectional. Sampel penelitian ini ialah pasien Diabetes Mellitus tipe 2 (DMT2) disertai Hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan secara consecutive sampling, selama bulan Juli - Oktober 2018 di Puskesmas Mulyorejo Surabaya. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner dengan skala likert yang telah tervalidasi. Untuk mengukur tingkat kepuasan pasien digunakan metode SERVQUAL dengan menghitung selisih kinerja dan harapan. Diperoleh 110 pasien DMT2 dengan hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil menunjukkan bahwa nilai rata-rata gap antara harapan dan kinerja ialah -0,49 dengan nilai gap terbesar ditunjukan pada dimensi tangible yaitu -0,76. Pada tingkat kepuasaan secara keseluruhan didapatkan hasil sebesar 88%. Kesimpulannya ialah tingkat harapan pasien DMT2 dengan hipertensi lebih tinggi daripada tingkat kinerja layanan informasi obat yang diberikan oleh pihak puskesmas Mulyorejo dengan tingkat kepuasaan pasien yang tergolong baik.
Kata Kunci : Mutu Pelayanan, SERVQUAL, Pasien DMT2 dengan Hipertensi, Puskesmas
ABSTRACT
Primary health center is a main facility for Diabetes Mellitus (DM) and hypertension patients. Evaluation of the implementation of health services is important to get better services, including pharmaceutical services. The aim of this study was to measure the satisfaction level for pharmaceutical services at the Mulyorejo Primary Health Center, Surabaya and to determine the dimensions that need to be improved. This study is an observational analytic with a cross-sectional design. The sample of this study was patients with type 2 diabetes mellitus (DMT2) with hypertension who met the inclusion criteria. Data collection was carried out by consecutive sampling during July - October 2018. The instrument used was a validated questionnaire. To measure the level of patient satisfaction, the SERVQUAL method is used. One hundred ten DMT2 patients with hypertension was enrolled this study. The results showed that the average value of the gap between expectations and performance is -0.49 with the largest gap value shown in the tangible dimension of -0.76. Overall the satisfaction level were 88%. The conclusion is the level of expectation of DMT2 patients with hypertension is higher than the performance level of drug information services with a relatively good level of patient satisfaction.
Keywords: Satisfaction level, Servqual, Type 2 DM with Hipertension, Primary Health Center
Diabetes mellitus (DM) ialah sindrom atau penyakit metabolik yang ditandai oleh meningkatnya kadar gula darah (hiperglikemia), yang diakibatkan oleh kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin ataupun keduannya [1]. Data menunjukan bahwa DM Tipe 2 menempati
peringkat pertama, yaitu berkisar 90% kasus dari semua pasien DM [2]. Terkait dengan hipertensi, sebesar 20 – 60% penderita diabetes mengalami hipertensi karena salah satu komplikasi terbanyak diabetes melitus tipe 2 adalah hipertensi [3].
Pasien penyakit kronis atau dengan sindrom metabolik, seperti DM Tipe 2 dengan Hipertensi,
pelayanan informasi tentang obat penting untuk dilakukan. Hal ini bertujuan agar pasien paham dengan terapi obat yang diberikan dan akan berdampak positif pada keberhasilan terapinya. Pemberian edukasi dan pelayanan informasi obat yang dibutuhkan oleh pasien yaitu informasi mengenai instruksi penggunaan obat dengan baik dan benar, edukasi mengenai pentingnya mengontrol stabilitas gula darah dan tekanan darah pasien, dan edukasi mengenai pencegahan serta penanganan efek samping obat [4,5].
Pelayanan kefarmasian saat ini telah berubah dari drug oriented menjadi patient oriented yang mengacu pada asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) [6]. Dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di puskesmas, standar yang digunakan ialah standar pelayanan kefarmasian di puskesmas, sesuai dengan permenkes RI No. 74 tahun 2016. Salah satu standar pelayanan kefarmasian di puskesmas bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas yaitu meliputi standar pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai serta standar pelayanan farmasi klinik. Standar pelayanan farmasi klinik di puskesmas meliputi pengkajian resep, penyerahan obat, pelayanan informasi obat, konseling, ronde/visite pasien, pemantauan dan pelaporan efek samping obat, pemantauan terapi obat dan evaluasi penggunaan obat [7].
Puskesmas sebagai salah satu pusat layanan kesehatan primer bagi masyarakat, sudah seharusnya memberikan pelayanan kefarmasian yang optimal. Apabila Apoteker dapat melakukan perannnya dengan baik di puskesmas, maka akan terbentuk suatu citra baik di mata masyarakat. Penilaian tersebut salah satunya dalam bentuk kepuasan, sehingga kepuasan dapat digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi kualitas pelayanan kategori kepuasan pasien terhadap pelayanan informasi obat di puskesmas [8]. Untuk mengetahui kepuasan terhadap mutu pelayanan dapat menggunakan konsep SERVQUAL (service quality). SERVQUAL model yang digunakan untuk mengukur kepuasan dalam penelitian terdiri dari lima dimensi, yakni bukti fisik (tangible), kehandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), dan kepedulian (empathy).
Berdasarkan latar belakang tersebut, akan dilakukan penelitian yang mengukur tingkat
kepuasan pasien DM Tipe 2 dengan hipertensi terhadap pelayanan informasi obat di Puskesmas Mulyorejo Surabaya.
Penelitian ini ialah penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional. Instrumen atau alat yang digunakan pada penelitian ini ialah kuesioner dengan 15 item pernyataan menggunakan skala likert, baik untuk pernyataan kinerja maupun harapan. Data yang digunakan pada penelitian ini ialah data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner yang sudah tervalidasi. Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas Mulyorejo, Surabaya daru bulan Juli sampai Oktober 2018. Sampel pada penelitian ini yaitu pasien DMT2 dengan hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusinya ialah pasien DMT2 dengan hipertensi berusia 17-60 tahun, mampu untuk membaca dan menulis, bersedia untuk mengisi kuesioner, dan yang mendapatkan pelayanan informasi obat terkait obat DMT2 dan hipertensi. Teknik pengambilan sampel menggunakan non random sampling dengan jenis consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi akan dimasukkan dalam penelitian sampai batas waktu tertentu sehingga jumlah pasien yang diperlukan dapat terpenuhi. Besar sampel yang diperlukan dihitung dengan rumus Slovin. Dengan memasukan N = 150, dan e = 0,05, diperoleh jumlah sampel minimal (n) = 110
N
Uji instrumen kuesioner yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan pendekatan statistik parametrik dengan bantuan program SPSS versi 20.0. Uji validitas kuesioner menggunakan korelasi product moment, sedangkan uji reliabilitas menggunakan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach. Analisis kualitas layanan ditunjukan dengan kesenjangan atau gap antara skor kinerja dan skor harapan. Sedangkan analisis tingkat kepuasaan berdasarkan nilai korelasi tingkat kepuasaan pasien dengan cara membandingkan rata-rata skor kinerja dan rata-rata skor harapan. Cara menghitung nilai servqual untuk setiap pernyataan adalah nilai kenyataan dikurangi dengan nilai harapan [9].
ASIL
Hasil uji validitas kuesioner didapatkan nilai r hitung pada masing-masing item pertanyaan lebih besar dari r tabel (0,3061) dan bernilai positif, maka tiap item pernyataan tersebut dinyatakan valid. Pada penelitian ini didapatkan nilai koefisien alpha cronbach kinerja sebesar 0,933 dan untuk harapan sebesar 0,937, lebih besar dari 0,60, sehingga kuesioner sudah dinyatakan reliabel. Pada penelitian ini diperoleh 110 pasien DMT2 dengan Hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi. Dari 110 pasien, 44% laki-laki dan 56% perempuan. Sedangkan untuk usia pasien, paling banyak dijumpai usia 46-55 tahun sebesar 37%. Data demografi pasien seperti ditunjukan pada Tabel 1. Hasil analisis gap untuk tiap item
pernyataan pada kuesioner dHi setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil rata-rata untuk gap pada setiap dimensi dan tingkat kepuasaan seperti ditunjukan pada Tabel 3.
Penggunaan obat antidiabetes (OAD) pada pasien DMT 2 dengan Hipertensi di Puskesmas Mulyorejo Surabaya, paling banyak mendapatkan kombinasi glibenklamid dengan metformin sebesar 55% seperti yang ditunjukan pada Gambar 1. Untuk terapi hipertensi, pasien paling banyak diresepkan captopril sebesar 86% seperti yang ditunjukan pada Gambar 2. Hasil kajian dari kuadran jendela pelanggan (customer window quadrant) pelayanan informasi obat di Puskesmas Mulyorejo Surabaya seperri ditunjukan pada Gambar 3.
Tabel 1. Data Demografi Pasien DMT2 dengan Hipertensi
Karakteristik Pasien |
Frekuensi |
Persentase (%) |
Jenis Kelamin Laki-laki |
48 |
44 |
Perempuan |
62 |
56 |
Usia (Tahun) 17-35 |
2 |
2 |
36-45 |
15 |
14 |
46-55 |
41 |
37 |
56-65 |
38 |
34 |
>65 |
14 |
13 |
Tabel 2. Nilai gap servqual tiap dimensi mutu pelayanan informasi obat
Dimensi |
No Kuesion er |
Indikator |
Skor Kinerja |
Skor Harapan |
Gap |
1 |
Puskesmas menyediakan tempat khusus untuk pelayanan informasi obat. |
2,89 |
4,12 |
- 1,23 | |
Tangibles |
2 |
Puskesmas menyediakan majalah kesehatan, brosur dan leafleat tentang obat. |
3,38 |
4,00 |
-0,62 |
3 |
Kenyamanan ruang tunggu pasien. |
3,78 |
4,22 |
-0,44 | |
4 |
Apoteker memberi tahu indikasi obat yang diberikan kepada pasien. |
4,00 |
4,59 |
-0,59 | |
5 |
Apoteker memberi tahu aturan pakai obat yang diberikan kepada pasien. |
3,83 |
4,57 |
-0,74 | |
Reliability |
6 |
Apoteker memberi tahu efek samping obat yang diberikan kepada pasien. |
3,76 |
4,26 |
-0,5 |
7 |
Apoteker langsung memberikan informasi obat yang dibutuhkan oleh pasien tanpa harus diminta oleh pasien. |
3,75 |
4,03 |
-0,28 | |
Responsiven ess |
8 |
Apoteker bertanya kembali terkait kejelasan pemahaman pasien terhadap informasi obat yang telah disampaikan oleh apoteker. |
3,82 |
3,76 |
0,06 |
9 |
Apoteker bersedia menjelaskan kembali jika pasien belum paham dengan informasi obat yang telah disampaikan oleh apoteker. |
3,82 |
4,18 |
-0,36 | |
10 |
Apoteker memiliki pengetahuan yang baik dalam menjelaskan indikasi, aturan pakai dan efek samping obat pada saat menyerahkah obat kepada pasien. |
3,99 |
4,30 |
-0,31 | |
Assurance |
11 |
Apoteker memiliki keterampilan yang baik dalam berkomunikasi kepada pasien pada saat melakukan pelayanan informasi obat kepada pasien. |
3,9 |
4,29 |
-0,39 |
12 |
Apoteker memberikan informasi obat dengan jelas dan mudah dimengerti oleh pasien. |
3,95 |
4,27 |
-0,32 | |
13 |
Apoteker melayani pasien dengan ramah dan murah senyum. |
4,00 |
4,27 |
-0,27 | |
Emphaty |
14 |
Apoteker memberikan pelayanan informasi obat kepada semua pasien tanpa memandang status sosial dan ekonomi. |
3,62 |
4,04 |
-0,42 |
15 |
Apoteker memantau penggunaan obat oleh pasien misalnya via telepon atau |
3,27 |
4,18 |
-0,91 |
pada saat pasien datang kembali.
Tabel 3. Analisis gap dan tingkat kepuasaan pasien DMT2 dengan hipertensi terhadap layanan informasi obat.
Dimensi |
Rata-rata kinerja |
Rata-rata harapan |
∑ gap |
Kepuasaan (%) |
Tangibles |
3,35 |
4,11 |
-0,76 |
81 |
Responsiveness |
3,79 |
3,99 |
-0,20 |
94 |
Assurances |
3,94 |
4,28 |
-0,34 |
92 |
Emphaty |
3,63 |
4,16 |
-0,53 |
87 |
Reliability |
3,86 |
4,47 |
-0,61 |
86 |
Rata-rata |
3,71 |
4,20 |
-0,49 |
88 |

Gambar 1. Terapi OAD pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

Gambar 2. Profil Terapi Obat Antihipertensi pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

Gambar 3. Hasil analisis kuadran jendela pelanggan (customer window quadrant) pelayanan informasi obat.
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kepuasan pasien DMT2 dengan hipertensi terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas Mulyorejo, Surabaya. Jumlah pasien DMT2 dengan Hipertensi berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini
adalah sebanyak 48 laki-laki (43,64%) dan 62 perempuan (56,36%). Dari hasil pengolahan data dengan perhitungan servqual didapatkan 14 item pernyataan yang bernilai negatif dan 1 item pernyataan yang bernilai positif. Pada tabel 3, dapat dilihat bahwa rata-rata untuk skor harapan sebesar 4,20 dan untuk skor kinerja didapatkan
3,71, dengan skor rata-rata gap sebesar -0,49. Dari hasil yang didapatkan, bahwa dimensi tangible memberikan nilai gap negatif yang paling besar, yaitu – 0,79 dan dimensi responsiveness memberikan nilai gap negatif yang paling kecil, yakni -0,20. Hal ini menunjukan bahwa harapan pasien relatif tinggi dibandingkan dengan kinerja yang diberikan oleh pihak puskesmas, artinya pasien mengharapkan kualitas layanan kefarmasian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja yang diberikan oleh pihak puskesmas. Tingkat kualitas layanan pada puskesmas didapatkan dari persentase antara kinerja dengan harapan pada tiap dimensi. Tingkat kepuasaan pasien terbesar diberikan pada dimensi assurance sebesar 92%, dan yang paling kecil pada dimensi tangible sebesar 81%. Secara keseluruhan, rata-rata untuk tingkat kepuasaan pasien yakni sebesar 88 % dan dikategorikan dalam kriteria sangat baik (excellent) [10].
Dimensi pertama yaitu bukti langsung (tangible). Pentingnya aspek ini akan menumbuhkan citra penyedia jasa, dalam hal ini adalah puskesmas bagi pasien yang datang ke puskesmas (Parasuraman., 1998). Salah satu pernyataan pada dimensi ini ialah “Puskesmas menyediakan tempat khusus untuk pelayanan informasi obat”, dihasilkan nilai gap yang paling besar yaitu -1,23. Hal ini menunjukan bahwa pasien mengharapkan puskesmas dapat menyediakan tempat khusus untuk melakukan layanan atau memberikan informasi obat. DMT2 dengan hipertensi merupakan suatu penyakit metabolik yang memerlukan terapi jangka panjang, bahkan seumur hidup [11]. Sehingga, dengan harapan apabila konseling dilakukan pada tempat khusus, pasien merasa akan lebih nyaman untuk mendengarkan penyampaian informasi obat yang diberikan oleh apoteker dan pasien akan terjaga privasinya terkait dengan penyakit yang dialaminya. Dimensi kedua adalah keandalan (reliability). Pentingnya aspek ini adalah kepuasan konsumen akan menurun jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan [12]. Salah satu pernyataan pada dimensi ini ialah “Apoteker memberi tahu aturan pakai obat yang diberikan kepada pasien”, dihasilkan nilai gap yang paling besar yaitu -0,74. Hal ini menandakan pasien mengharapkan apoteker untuk senantiasa menginformasikan terkait aturan pakai obat,
meskipun pasien sudah sering untuk mengkonsumsi obat tersebut. Hal ini untuk mengingatkan kembali tentang aturan pakai minum obat pada pasien DMT2 dengan hipertensi. Adapun faktor terpenting pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan adalah pemahaman tentang cara minum obat atau yang lebih dikenal instruksi pengobatan Dalam hal ini, peningkatan pengetahuan atau pemahaman pasien tentang instruksi pengobatan dan peningkatan kepatuhan pasien sangat ditentukan oleh pemberian pelayanan kefarmasian, dalam hal ini yaitu pemberoan layanan informasi obat [13].
Dimensi ketiga adalah ketanggapan (responsiveness). Pentingnya dimensi ini agar mampu memberikan pelayanan kefarmasian dengan lebih optimal, cepat dan tanggap. Ketanggapan dapat menimbulkan presepsi yang positif terhadap suatu layanan yang diberikan. Dimensi ketanggapan menekankan pada perhatian dan kecepatan petugas yang terlibat untuk merespon terhadap permintaan, pertanyaan, dan keluhan yang disampaikan oleh pasien [12]. Salah satu pernyataan pada dimensi ini ialah “Apoteker bertanya kembali tentang kejelasan pemahaman pasien terhadap informasi obat yang telah disampaikan oleh apoteker”, nilai gap yang dihasilkan positif. Hal ini menunjukan bahwa pasien merasa kinerja apoteker baik dalam memberikan layanan informasi obat jika pasien belum memahami dari informasi yang sudah disampaikan oleh apoteker di puskesmas.
Dimensi yang keempat adalah jaminan (assurance). Pentingnya dimensi ini karena berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku penyedia jasa untuk membangun suatu kepercayaan dan keyakinan kepada konsumen untuk menggunakan jasanya [12]. Salah satu pernyataan pada dimensi ini ialah “Apoteker memiliki keterampilan yang baik dalam berkomunikasi kepada pasien pada saat melakukan pelayanan informasi obat kepada pasien”, dihasilkan nilai gap yang paling besar yaitu -0,39. Hal ini menandakan kurangnya keterampilan berkomunikasi apoteker saat memberikan pelayanan informasi obat. Ketika informasi obat yang disampaikan tidak dipahami betul oleh pasien, maka kemungkinan besar efek terapi yang diharapkan sulit untuk dicapai. Sebagai bentuk komunikasi, selain menggunakan
komunikasi verbal, juga dapat menggunakan komunikasi nonverbal atau dengan cara menggunakan alat peraga seperti laptop, brosur dan leaflet tentang penggunaan obat yang diberikan kepada pasien. Dimensi yang kelima adalah kepedulian (empathy). Pentingnya dimensi ini untuk memberikan perhatian kepada konsumen dengan menempatkan dirinya pada situasi yang dirasakan oleh konsumen [12]. Salah satu pernyataan pada dimensi ini ialah “Apoteker memantau penggunaan obat oleh pasien misalnya via telepon atau pada saat pasien datang kembali”, dihasilkan nilai gap yang paling besar yaitu -0,91. Hal ini menggambarkan bahwa apoteker jarang sekali melakukan pemantauan terapi obat hingga efek samping obat baik melalui media telpon maupun dengan langsung menanyakan kepada pasien. Dengan melakukan pemantauan secara berkala, maka apoteker dapat meninjau perkembangan terkait terapi maupun kejadian efek samping obat.
Salah satu cara untuk melihat mutu pelayanan juga dapat digunakan Customer Window. Customer window digunakan untuk melihat item pernyataan pada kuisoner yang mana dipertahankan dan mana yang tidak dipertahankan. Customer window ini dibagi menjadi 4 kuadran dimana pada setiap kuadran menunjukkan pelayanan untuk masing-masing variabel pelayanan kefarmasian yang sudah dilakukan. Sumbu X menggambarkan tingkat kinerja pelayanan kefarmasian dari puskesmas dan sumbu Y menggambarkan tingkat harapan pasien. Kemudian untuk mendapatkan titik potong sumbu X adalah dengan mencari nilai rata-rata kinerja yang dilakukan oleh petugas kefarmasian di puskesmas dan untuk mendapatkan titik potong sumbu Y adalah dengan mencari nilai rata-rata harapan pasien.
Kuadran pertama adalah kuadran A yang berada di kiri atas. Kuadran A berisi indikator yang perlu ditingkatkan kinerjanya, karena pada kuadran A tingkat harapan pasien tinggi namun performa yang dilakukan apoteker tidak memenuhi harapan pasien. Sehingga hasil yang didapatkan pada kuadran ini menjadi suatu prioritas utama untuk dapat diperbaiki. Tetapi berdasarkan hasil analisis Customer window Quadrant, tidak terdapat indikator yang menjadi prioritas pertama dalam perbaikan kuadran A.
Kuadran kedua adalah kuadran B yang berada di kanan atas. Kuadran ini disebut kuadran “dipertahankan” yang berisi indikator yang diharapkan oleh pasien dan performa pelayanan kefarmasiannya tinggi maka indikator dikuadran ini perlu dipertahankan. Yang termasuk dalam kuadran ini ialah pernyataan nomor 4 dan 5. Hal ini menunjukkan bahwa dalam indikator tenaga kesehatan khususnya apoteker telah melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
Kuadran ketiga adalah kuadran C yang berada dititik kiri bawah. Kuadran ini disebut kuadran “prioritas rendah” berisi indikator yang diharapkan oleh pasien dan performa pelayanan kefarmasiannya rendah maka indikator di kuadran ini perlu diperbaiki. Pernyataan nomer 1, 2, 3, 6, 7, 14, dan 15 masuk dalam kuadran ini seperti pada gambar 3. Seluruh pernyataan pada dimensi tangible masuk dalam kuadran C. Artinya pada seluruh dimensi tangible, lingkungan fisik tempat dilakukannya layanan kefarmasian tidak terlalu dianggap penting oleh pasien. Kuadran keempat adalah kuadran D yang berada dititik kanan bawah. Kuadran ini disebut kuadran “berlebihan” berisi indikator yang kurang diharapkan oleh konsumen atau pasien dan performa petugas pelayanan kefarmasiannya tinggi maka indikator yang termasuk dalam kuadran ini dirasa berlebihan oleh pasien. Pernyataan nomer 8, 9, 10, 12, dan 13 masuk dalam kuadran D seperti yang ditunjukan oleh gambar 3. Pada penelitian ini, peneliti menemeukan bahwa pasien diberikan konseling hanya satu kali saat pasien pertama kali mendapatkan obat antidiabetes dan antihipertensi, selebihnya tidak ada konseling kecuali jika ada pertanyaan atau keluhan dari pasien. Apoteker di Puskesmas telah memberikan solusi jika pasien mendapatkan keluhan ataupun harus di rujuk ke Rumah Sakit. Sehingga pada kuadran ini kinerja petugas kesehatan di Puskesmas sangat baik, namun pasien menilai indikator yang berada pada kuadran ini berlebihan. Pasien yang menjadi responden dalam penelitian ini telah lebih dari satu kali mengunjungi puskesmas tersebut sehingga merasa telah mengetahui obat yang diterimanya. Sedangkan untuk memberikan suatu informasi yang dapat dengan mudah dipahami dengan jelas oleh pasien merupakan salah satu komponen pelayanan informasi obat yang
dibutuhkan untuk dapat tercapainya penggunaan obat yang rasional [6].
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Fakhriani et al yang menyatakan bahwa pasien rawat inap tidak puas terhadap pelayanan kefarmasian di salah satu Rumah Sakit di Jawa Tengah [14]. Penelitian lain oleh Hilda et al, menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian yakni ketersediaan obat, kemudahan akses ke tempat layanan kesehatan BPJS serta hubungan pasien dengan apoteker memiliki hubungan yang kuat terhadap kepuasan pasien DM rujuk balik BPJS [15]. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan melakukan pelayanan kefarmasian yang optimal, pasien akan mendapatkan kepuasaan terhadap layanan yang diberikan oleh pihak tempat layanan kesehatan. Penelitian oleh Widya et al, menyebutkan bahwa pemberian layanan informasi obat pada pasien DMT2 dapat memperbaiki kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (post prandial) , kadar HDL, dan trigliserida secara signifikan dibandingkan dengan pasien DMT2 tanpa diberikan edukasi dan layanan informasi obat [16].
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasaan pasien terkaiat pemahaman obat ialah dengan melakukan layanan home care. Penelitian yang dilakukan oleh Kangagung et al, menyebutkan bahwa dengan dilakukannya home care pada pasien tuberculosis (TB) secara signifikan meningkatkan pemahaman pasien terhadap penyakit TB paru [17]. Salah satu manfaat lain jika layanan kefarmasian di Puskesmas dilakukan dengan baik, maka dapat menurunkan resiko timbulnya drug related problems (DRPs) khususnya pada pasien dengan penyakit kronik. Penelitian yang dilakukan oleh Gumi et al, menyebutkan bahwa dari 21 pasien hipertensi, 20 diantaranya mengalami masalah tentang kepatuhan dan gagal mencapai target penurunan tekanan darah pada 10 hingga 15 hari perawatan [18]. Oleh karena itu, sangat penting bagi Apoteker untuk senantiasa memberikan perhatian tentang kepatuhan kepada pasien dengan penyakit kronik. Apoteker dapat membantu mengoptimalkan hasil terapi melalui tatalaksana farmakologi maupun non-farmakologi. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat outcome terapi yang positif dari pemberian intervensi oleh Apoteker [19].
Keterbatasan penelitian ini ialah tidak dilakukan korelasi faktor-faktor lain seperti umur, tingkat pendidikan, dan lain-lain yang ikut berpengaruh terhadap kepuasaan pasien selain layanan kefarmasian. Keterbatasan lainnya ialah pasien DMT2 dengan hipertensi yang digunakan pada penelitian ini ialah bisa pasien yang baru terdiagnosis DMT2 dengan hipertensi maupun pasien lama yang sudah sering kontrol berobat ke puskesmas. Hal ini kemungkinan dapat menyebabkan perbedaan persepsi terhadap layanan kefarmasian yang diberikan oleh pihak puskesmas. Penelitian lanjutan diperlukan dengan menggunakan jenis pasien yang lebih spesifik serta mengevaluasi faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap tingkat kepuasaan pasien rawat jalan.
Secara keseluruhan, kualitas layanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien DMT2 dengan Hipertensi di Puskesmas Mulyorejo, Surabaya termasuk dalam klasifikasi gap negatif dengan rata-rata sebesar -0,49 dengan tingkat kepuasaan pasien tergolong baik.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf di Puskesmas Mulyorejo, Surabaya atas waktu dan tempat yang telah diberikan dalam melakukan penelitian ini.
-
[1] PERKENI. 2015, Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia Tahun 2015, Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Jakarta.
-
[2] Soegondo, S. Hidup Sehat Secara Mandiri dengan Diabetes Melitus, Kencing Manis, Sakit Gula, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2008.
-
[3] Mogensen, C.E. Hypertension and Diabetes Volume Three: Treatment of Hypertension in Patients with Diabetes Mellitus Evidence from Recent Trials, Lippincott Williams and Wilkins, London, 2003.pp. 3
-
[4] Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes meliitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005
-
[6] Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2006
-
[7] Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta.
-
[8] Fitria. Utami, R. Aryani, F. Evaluasi Mutu Pelayanan Kategori Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Informasi Obat di Salah Satu Puskesmas di Kecamatan Tampan Baru. Jurnal Sains dan Farmasi Klinik. 2015
-
[9] Tjiptono, Fandy dan Gregorius Chandra.
Service Quality and Satisfaction. Andi. Yogyakarta, 2005
-
[10] Arikunto S, Jabar CSA. Evaluasi program pendidikan pedoman teoritis praktek bagi mahasiswa dan praktisi pendidikan. Jakarta. PT. Bumi Askara, 2009. pp. 141.
-
[11] Donnan PT, MacDonald TM, Morris AD. Adherence to prescribed oral
hypoglycaemic medication in a population of patients with type 2 diabetes: a retrospective cohort study. Journal of Diabetic Medicine, 19(3): 279–284, 2002.
-
[12] Parasuraman, Zeithaml, dan Berry. SERVQUAL: A Multiple Item Scale for Measuring Consumer Preceptions of Service quality. Journal of Retailing: 12-40, 1998.
-
[13] Chumney EC, Robinson LC. The effects of pharmacist interventions on patients with
-
[5] Salema NE, Elliott RA, Glazebrook C. A systematic review of adherence-enhancing interventions in adolescents taking longterm medicines. Journal of Adolescence Health, 49(5): 455–466, 2011.
polypharmacy. Journal of Pharmacy Practice, 4(3): 103–109, 2006
-
[14] Rizka Fakhriani, Hasnah Rimiyanti. Analisis persepsi kepuasaan pelanggan dalam upaya pengembangan mutu pelayanan rawat inap. Jurnal Medicoeticolegal dan Managemen Rumah Sakit, 5(1) : 1-15, 2016.
-
[15] Hilda, S. Kepuasan Pasien Diabetes Melitus Rujuk Balik Peserta BPJS Kesehatan
terhadap Pelayanan Kefarmasian di Klinik dan Apotek Kota Yogyakarta. Jurnal
Manajemen dan Pelayanan Farmasi, Vol.5 No.4 : 249-254, 2015.
-
[16] Widya N.Insani, Keri Lestari, Rizky Abdullah, Salma K.Ghassani. Pengaruh
Pelayanan Informasi Obat terhadap Keberhasilan Terapi Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol. 2, 2013
-
[17] Kangagung, C.P., Susanti, N.M.P., Widhiarti, I.A.A Pengaruh home care terhadap pemahaman dan ketaatan pada pasien tuberkulosis di farmasi komunitas. Jurnal Farmasi Udayana, Vol. 3 No.2, 2014
-
[18] Gumi, V.C, Larasanty, L.P.F., Udayani, N.N.W. Identifikasi drug related problems pada penanganan pasien hipertensi di UPT Puskesmas Jembrana. Jurnal Farmasi Udayana, Vol. 2 No. 3, 2013.
-
[19] Viktil, K.K, H.S. Blix. The impact of clinical pharmacists on drug-related problems and clinical outcomes. Basic Clin Pharmacol Toxicol, 102 : 275-280, 2008.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
103
Discussion and feedback