PENGARUH HOME CARE TERHADAP PEMAHAMAN DAN KETAATAN PADA PASIEN

TUBERKULOSIS DI KOMUNITAS (Kangagung,C.P., Susanti, N.M.P., Widhiartini, I.A.A.. )

PENGARUH HOME CARE TERHADAP PEMAHAMAN DAN KETAATAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI FARMASI KOMUNITAS

Kangagung, C. P.1, Susanti, N. M. P.1, Widhiartini, I. A. A. 2

1Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana 2Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Korespondensi: Clarissa P.Kangagung

Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana

Jalam Kampus Unud-Jimbaran, Jimbaran-Bali, Indonesia 80364 Telp/Fax: 703837

Email: [email protected]

ABSTRAK

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular dengan pengobatan jangka panjang yang memerlukan pelayanan kefarmasian home care oleh apoteker untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh home care terhadap pemahaman dan ketaatan pasien tuberkulosis paru di farmasi komunitas.

Penelitian dilihat melalui survei dengan kuesioner mengenai pengaruh pelaksanaan home care terhadap pemahaman dan ketaatan pasien dalam penggunaan obat.Penelitian melibatkan 15 pasien tuberkulosis paru dari puskesmas Denpasar Selatan I, Denpasar Barat II, Denpasar Timur I dan Denpasar Utara I yang terlibat selama bulan Agustus-Oktober 2013 yang bersedia mengikuti home care. Pasien kemudian diikuti perkembangannya baik melalui kunjungan ke rumah ataupun melalui telepon sebanyak 2 kali seminggu selama 2 bulan. Evaluasi dilakukan dengan pengisian kuesioner sebelum pelaksanaan home care (pretest) dan setelah pelaksanaan home care (posttest). Hasil kuesioner dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dengan taraf kepercayaan 95%.

Didapatkan hasil nilai signifikansi sebesar 0,002 (p<0,05) pada evaluasi pemahaman pasien yang berarti pelaksanaan home care berpengaruh terhadap pemahaman pasien terhadap penyakit tuberkulosis paru. Namun didapat hasil nilai signifikansi sebesar 0,132 (p>0,05) pada evaluasi ketaatan pasien yang berarti pelaksanaan home care tidak berpengaruh terhadap ketaatan pasien terhadap pengobatannya.

Kata Kunci: tuberkulosis, home care,farmasi komunitas, puskesmas

  • 1.    PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis yang menggunakan obat lebih dari satu (multi drugs) dalam jangka waktu lama merupakan salah satu kondisi yang memerlukan home care karena penggunaan obat lebih dari satu dalam jangka waktu lama menjadikan risiko ketidak taatan penggunaan obat menjadi lebih besar (Depkes RI, 2005). Pelayanan tuberkulosis perlu ditindak lanjuti oleh apoteker mengingat kondisi Indonesia sebagai peringkat kelima negara dengan angka kejadian tuberkulosis tertinggi pada tahun 2009 dan meningkat pada tahun 2012 menjadi posisi keempat setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Sebagai gambaran, pada tahun 2012 tercatat sebanyak 324.086 kasus terjadi di Indonesia, sementara di Bali berkontribusi sebesar 2.885 kasus (KemenKes RI, 2013).

Pelayanan kefarmasian home care yang dalam pelaksanaanya dilakukan melalui pemberian konseling mengenai obat serta pemantauan pengobatan pasien diharapkan dapat meningkatkan ketaatan pasien dalam mengkonsumsi obat dan akhirnya meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kesembuhan pasien. Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh home care terhadap tingkat pemahaman dan ketaatan pasien dalam pengobatannya sehingga dapat meningkatkan keberhasilan pengelolaan terapi tuberkulosis.

Dengan memperhatikan kebutuhan utama masyarakat terhadap pelayanan kesehatan primer yang ada di komunitas terkait kontribusi terhadap penemuan dan pengobatan kasus tuberkulosis serta kemapanan sistem pelayanan yang ada, maka dipilih institusi pelayanan kesehatan Puskesmas Denpasar

Barat II, Denpasar Selatan I, Denpasar Timur I, dan Denpasar Utara Isebagai lokasi penelitian.

  • 2.    BAHAN DAN METODE

    • 2.1    Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian iniadalah data hasil observasi di Puskesmas Denpasar Selatan I, Denpasar Barat II, Denpasar Timur I dan Denpasar Utara I serta data kuesioner yang telah diisi oleh pasien yang memenuhi kriteria inklusi.

  • 2.2    Metode Penelitian

Untuk mengetahui peranan apoteker terkait pelaksanaan pharmaceutical care dilakukan penelitian observasional yang disajikan secara deskriptif yang melakukan penilaian melalui observasi langsung dan wawancara. Sementara untuk mengetahui pengaruh home care, dilakukan denganrancangan penelitian pre-eksperimental dengan metode one-group pretest-posttest yang bersifat prospektif.

Pasien tuberkulosis berasal dari Puskesmas Denpasar Selatan I, Denpasar Barat II, Denpasar Timur I dan Denpasar Utara I selama bulan Agustus-Oktober 2013 yang bersedia mengikuti penelitian. Cara pemilihan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dimana sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan tujuan peneliti.

Adapun kriteria inklusi meliputi pasien yang menderita tuberkulosis paru barudengan usia 17-55 tahun. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi pasien yang mengalami tuberkulosis ekstra paru dan tuberkulosis-HIV/AIDS, serta komorbid lainnya seperti DM serta pasien hamil dan menyusui.

Penelitian untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan home care terhadap pemahaman dan ketaatan pasien dalam penggunaan obat dilakukan selama 2 bulan secara langsung (visitasi) ataupun melalui telepon dengan frekuensi sebanyak 2 kali seminggu. Untuk mengetahui tingkat pemahaman dan ketaatan pasien terhadap penggunaan obat, setiap pasien dilakukan penilaian awal (pretest) sebelum pemberian konseling dan penilaian akhir (posttest) denganmenggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya.

Hasil observasi terhadap peranan apoteker di puskesmas dianalisis secara deskriptif

sementara data hasil pengaruh home care terhadap pemahaman dan ketaatan pasien terhadap penggunaan obat dianalisis menggunakan uji Wilcoxon.

  • 3.    HASIL

    • 3.1    Karakteristik Sosio Demografis Sampel

Terdapat 15 pasien yang bersedia mengikuti penelitian. Karakteristik sosio demografi sampel ditanpilkan pada gambar 3.1. Berdasarkan jenis kelamin persentase pasien laki-laki sebesar 53% sementara pasien perempuan sebesar 47%. Pasien berumur 1725 tahun merupakan kelompok pasien dengan persentase tertinggi (47%). Terdapat 40% pasien tamatan SMA dan sebanyak 67 % pasien berprofesi sebagai pegawai swasta/layan jasa/dagang.

Gambar 3.1 Karakteristik Sosio Demografi Sampel

  • 3.2    Pengaruh Home Care

Hasil uji data secara statistik terhadap perubahan pemahaman dan ketaatan pasien terhadap pengobatan penyakit tuberkulosis dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Hasil Uji Wilcoxon

Hasil Uji

Pemahaman

Ketaatan

post - Pre

postpatuh -prepatuh

Z

-3.090a

-1.508a

Asymp. Sig. (2tailed)

.002

.132

  • 4.    PEMBAHASAN

    • 4.1    Karakteristik Sosio Demografis Sampel Penderita tuberkulosis paru yang bersedia menjadi responden dan mengikuti home care sejumlah 15 orang. Dapat dilihat dari gambar A.1 bahwa berdasarkan jenis kelamin, 47% berjenis kelamin perempuan dan 53% berjenis kelamin laki-laki. Proporsi pasien laki-laki lebihbanyak daripada pasien perempuan,

namun karena keterbatasan data, tidak dapat dipastikan apakah hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian berskala nasional Riskedas 2007 yang menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki cenderung lebih tinggi menderita penyakit tuberkulosis paru daripada perempuan. Sementara ditinjau dari usia, 47% berusia antara 17-25, 13% orang berusia antara 26-35, 20% orang berusia antara 36-45, ada 20% orang berusia antara 46-55. Manalu (2010) yang dikutip dari Hiswani menyebutkan bahwa penyakit tuberkulosis paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif, yaitu 15-50 tahun. Kelompok usia produktif ini mempunyai mobilitas dan interaksi sosial yang tinggi sehingga dapat menjadi sumber penularan baik di komunitas sosial maupun di tempat kerja.

Menurut pendidikan terakhir yang ditempuh, sebanyak 26% merupakan tamatan SD, 27% tamatan SMP, 40% tamatan SMA, dan 7% lulusan S1. Hal tersebut tidak sejalan dengan analisa Riskesdas 2007 yang menyatakan prevalensi penyakit tuberkulosis paru empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan pendidikan tinggi (Depkes RI, 2008). Pendidikan rendah lebih berisiko tertular penyakit TB paru dibandingkan kelompok pendidikan yang lebih tinggi, dikarenakan rendahnya kemampuan kognitif, pemahaman tentang pengetahuan pencegahan penularan pada kelompok dengan pendidikan rendah.

Sementara ditinjau dari pekerjaan yang dimiliki, 13% sebagai ibu rumah tangga, 20% mahasiswa, dan 67% sisanya merupakan pegawai swasta / layan jasa/dagang. Hasil tersebut sesuai dengan teori bahwa penularan tuberkulosis paru tinggi terhadap kelompok yang memiliki mobilitas dan interaksi sosial yang tinggi sehingga dapat menjadi sember penularan yang baik (Rukmini dan Chatarina, 2011)

  • 4.2    Pengaruh Home Care

Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan adalah dengan pemberian konseling dalam home care untuk meningkatkan pengetahuan pasien (Depkes RI, 2008). Pengetahuan dan pendidikan berkontribusi terhadap perilaku kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam memengaruhi

keputusan seseorang untuk berperilaku sehat (Pratiwi dkk, 2012).

Berdasarkan analisis Wilcoxon terhadap pemahaman pasien, diperoleh nilai signifikansi 0,002 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara pemahaman pasien dalam penggunaan obat sebelum dan setelah pelaksanaan konseling dalam home care. Dengan demikian, pelaksanaan home care yang dilakukan secara kontinu mampu meningkatkan pemahaman pasien mengenai penyakit tuberkulosis paru.

Sementara berdasarkan analisis Wilcoxon terhadap ketaatan pasien diperoleh nilai signifikansi 0,132 (p>0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara ketaatan pasien dalam penggunaan obat sebelum dan setelah pelaksanaan konseling dalam home care. Ada dua orang pasien yang sempat tidak meminum obat dikarenakan aktivitas dan pekerjaaan pasien sehingga pasien lupa meminum obat. Penyebab lainnya adalah karena pasien tidak sempat mengambil obat karena perjalanan yang jauh ke luar kota. Hal tersebut sesuai dengan uraian penyebab ketidak taatan pasien dalam meminum obat yang antara lain karena pasien lupa meminum obat dan karena tidak tersedianya obat untuk diminum (Cipolle et al, 2012).

Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian Novitri (2007) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan setelah diberikan perlakuan berupa konseling terhadap sikap dan keterampilan pasien tuberkulosis. Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh Irianto (2001) dalam penelitiannya, yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap, pelayanan, atau penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan terhadap ketaatan berobat tuberkulosis paru. Itu juga didukung oleh Friskarini (2010), yang menyebutkan bahwa meskipun telah dibawakan obat secara langsung oleh petugas kesehatan, yaitu bidan desa, masih ada pasien yang tidak patuh meminum obat karena efek samping obat yang tidak mengenakkan. Hal ini diduga karena terdapat perbedaan metode penelitian, kriteria sampel, dan jumlah sampel pada penelitian, sehingga didapatkan perbedaan hasil penelitian.

Data statistik yang didapat menyatakan tidak terdapat perbedaan bermakna antara ketaatan pasien dalam penggunaan obat sebelum dan setelah pelaksanaan konseling

dalam home care, diduga karena keterbatasan metode penelitian. Metode one group pre-test post-test memiliki kelemahan yaitu tidak ada jaminan perubahan yang terjadi pada pasien akibat konseling.

  • 5.    KESIMPULAN

Pelaksanaan home care oleh farmasis dapat meningkatkan pemahaman pasien terhadap penyakit tuberkulosis paru namun masih belum mempengaruhi ketaatan pasien terhadap pengobatannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dikti Kemendikbud RI melalui program High Permofance Education Quality (HPEQ) Batch III untuk Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah menyediakan sumber daya untuk melaksanakan penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Cipolle, R.J., Strand L.M., dan Morley P (2012) Pharmaceutical care Practice : The Patient Centered Approach to Medication Management, Third Edition. New York : McGraw Hill Professional.

DepKes RI.(2005). Pharmaceutical care Untuk PenyakitTuberkulosis. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI

DepKes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Indonesia Tahun 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

Friskarini, Kenti dan Helper S.P.M. (2010). Peran dan Perilaku Tenaga Kesehatan

terhadap Program TB Paru (Studi Kualitatif di Kabupaten Tangerang Banten Tahun 2009). Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4), 1320-1323

Bambang Irianto, Irianto(2001). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Wilayah Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon.skripsi. Universitas Indonesia, Jakarta

KemenKes RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Manalu, H.S.P. (2010). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4), 1340-1346

Rahmi Novitri, Novitri. (2007). Tingkat Kepatuhan Berobat pada Pasien Penderita Tuberkulosis dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Puskesmas Jembatan Serong Depok. skripsi. Universitas Indonesia, Jakarta.

Pratiwi N.L., Roosihermiatie B., dan Rachmat Hargono. (2012). Faktor Determinan Budaya Kesehatan dalam Penularan Penyakit Tb Paru. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan,15(1), 26–37.

Rukmini dan Chatarina U.W. (2011). Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian TB Paru Dewasa Di Indonesia (Analisis Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 14(4), 320-33

16