Respon Petani Terhadap Perkembangan Teknologi dan Perubahan Iklim: Studi Kasus Subak di Desa Gadungan, Tabanan, Bali
on
JEKT ♦ 6 [2] : 128 - 139
ISSN : 2301 - 8968
Respon Petani Terhadap Perkembangan Teknologi dan Perubahan Iklim Studi Kasus Subak di Desa Gadungan, Tabanan, Bali
Ni Made Sukartini*)
Achmad Solihin
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
ABSTRAK
Sektor pertanian dikenal secara umum sebagai salah satu sektor yang relatif cukup lambat dalam mengadopsi perkembangan teknologi, serta sektor yang paling rawan terkena dampak negatif dari perubahan iklim. Studi ini mengalisa adaptasi teknologi pertanian yang dilakukan petani untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi, serta mencoba menganalisa modal sosial di masyarakat berperan dalam meminimalkan dampak negatif dari perubahan iklim. Dengan menggunakan model regresi linier sederhana dan regresi logistik, studi ini menemukan bahwa hanya luas lahan yang secara statistik signifikan mempengaruhi rata-rata hasil produksi atau panen. Adaptasi teknologi bertani serta karakteristik individu petani tidak signifikan mempengaruhi produktivitas hasil pertanian. Hal ini mungkin mengindikasikan ada hubungan yang tidak linier dari adaptasi teknologi dan karakteristik individu petani terhadap rata-rata hasil panen padi. Implikasi dari temuan studi ini adalah agar pengambil kebijakan di sektor pertanian meminimalkan proses alih fungsi lahan pertanian, mengingat lahan pertanian masih merupakan komponen input utama dalam aktivitas produksi padi.
Kata kunci: adaptasi teknologi, perubahan iklim, pertanian, subak
Farmer’s Responses for Technologycal Progress and Climate Change: Case Study in Gadungan Village’s Subak, Tabanan, Bali
ABSTRACT
Agricultural sector is one of the economy’s sector well known for it slowly adapt the tehcnological progress as well as the most vulnerable sector affected by climate change. This study will analyze how technological adaptation by the farmers can improve the productivity of rice output, and investigate how social capital in the community can minimalize the downside effect of the climate change. We run the data with linear and logistic regression. Our study find that among several variables, only the plot size matters in determine the harvesting output volume. Technological adoption and set of farmers’ individual characteristics are not statistically significant influence the output variation. Our study infer this insignificant relation between technological adoption and farmers’ characteristic due to non linearity in relation between these variables. Based on our study finding, we would suggest the policy maker in Bali’s agricultural sector to minimize the possibility of land conversion from ricefield to other business activity of real estate, for example.
Keywords: technology adoption, climate change, agriculture, and Subak
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi dan perubahan iklim adalah dua peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas produksi pertanian, khususnya pertanian tananam pangan, seperti padi. Di beberapa negara berkembang, yang sebagian besar penduduknya
bertumpu pada aktivitas pertanian, perkembangan teknologi dalam proses produksi pertanian dilaporkan membawa dampak positif. Dampak positif yang dimaksud adalah peningkatan dalam produksi pertanian, namun proses perubahan iklim di sisi yang lain juga dapat membuat peristiwa gagal panen semakin sering terjadi (Nam, 2011; Setiawan, 2004; dan Hardono dkk, 2004).
Nam (2011) dalam studinya pada rumah tangga
pertanian di pinggiran sungai Mekong, Vietnam melaporkan bahwa ada fenomena peranan modal sosial yang tinggi, yang berlaku dalam rumah tangga (RT) pertanian, dikarenakan oleh kurang terjangkaunya mekanisme asuransi formal, atau karena pasar asuransi bersifat tidak sempurna. Para petani di lembah sungai Mekong, Vietnam melakukan proses adaptasi teknologi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mengandalkan pola kekerabatan yang ada di antara petani yang bersangkutan. Beberapa studi melaporkan ada pengaruh negatif perubahan iklim dan cuaca mempunyai dampak pada kesinambungan pendapatan rumah tangga miskin dan rumah tangga pertanian di desa-desa, khususnya di negara berkembang.
Variasi curah hujan, baik dari tahun ke tahun, maupun variasi antar daerah atau desa di daerah pedesaan, misalnya di negara India dilaporkan berpengaruh cukup signifikan pada kesinambungan pendapatan rumah tangga pertanian (Kochar, 1995; 1999). Variasi curah hujan sebagai bentuk dari bencana yang berdampak menyeluruh (common shock) dalam aktivitas perekonomian rumah tangga pertanian di negara-negara berkembang dikaji dalam studi-studi dari: Yang & Choi (2007) dalam studi di negara Philippina, Townsend (1994), dan Rosenzweig & Wolpin (1993) untuk kasus rumah tangga pertanian di Asia Selatan.
Studi tentang bagaimana respon petani terhadap perubahan iklim bagi rumah tangga pertanian di Asia Tenggara (Malaysia, Philipina, dan Thailand) juga dilakukan oleh Blennow & Persson (2009). Kedua peneliti memfokuskan pada explorasi bagaimana persepsi petani tentang perubahan iklim dan bagaimana persepsi mereka terhadap dampak negatif dari perubahan iklim pada produksi hasil pertanian. Hoffman et al. (2009) melakukan studi explorasi tentang insentif dan kemampuan rumah tangga pertanian untuk melakukan proses adaptasi dari pengaruh perubahan iklim di Thailand. Seo & Mendolsohn (2008) dalam studinya mulai mengenalkan faktor lingkungan dan dampaknya terhadap proses produksi dalam sektor pertanian di Malaysia dan Philipina. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah tingkat substitusi penggunaan tanah dalam pemilihan jenis tanaman, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan pasar. Sejauh ini, belum banyak studi yang melakukan investigasi pada bagaimana para petani melakukan proses adaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan dan perubahan iklim untuk mempertahankan keberlangsungan aktivitas pertanian mereka, kecuali studi dari Pelling & High (2005), Chinvanno et al.
-
(2008) dan Nam (2011) di Vietnam dan Kamboja.
Hasil studi dari Chinvanno et al. (2008), mereka melaporkan bahwa sebagai upaya untuk mempertahankan produktivitas pertanian dari pengaruh buruk perubahan iklim (kemarau panjang dan juga ancaman banjir pada musim hujan) para petani di lembah sungai Mekong, Vietnam, pada umumnya menggunakan sumber daya yang ada dalam rumah tangga mereka, seperti menyimpan air yang berlimpah pada tandon, dan menggunakannya pada saat musim hujan. Selanjutnya, mekanisme mempertahankan keberlangsungan konsumsi dilakukan dengan menggunakan persediaan makanan keluarga (lumbung padi keluarga), serta mekanisme kekerabatan dalam mengatasi kesulitan keuangan dan proses bertahan apabila salah satu anggota keluarga ada yang sakit.
Selanjutnya, dalam studi yang dilakukan oleh Nam (2011); memfokuskan bagaimana para petani di lembah sungai Mekong mengupayakan keberlanjutan ketersediaan air dengan cara menyimpannya dalam dam buatan dari plastik yang di buat per kelompok, dan pada umumnya beranggotakan kerabat dekat mereka. Dengan cara penyimpanan air berkelompok ini dan mekanisme pembagian berkelompok, para petani dapat mempertahankan produktivitas hasil tanaman padi mereka pada musim kemarau. Para petani tersebut juga belajar berkelompok dalam proses adaptasi penggunaan informasi baru dalam pertanian seperti menanam bibit baru, menggunakan alat mesin untuk penyiraman dan pencegahan gulma, semua dilakukan berkelompok, yang oleh Nam (2011) dilaporkan sebagai bentuk field learning procees.
Studi lainnya, Chinvanno (2008b) melaporkan ada dua bentuk khusus yang dilakukan petani-petani di Vietnam untuk menyelamatkan padi mereka pada musim kemarau. Pertama, bentuk pengaturan penggunaan air dan yang kedua adalah dengan mengubah pola tanam. Dalam hal pengubahan pola tanam dan menggunakan sistem kekerabatan dalam pola pengaturan penggunaan air, baik Chinvanno (2008, 2008b) dan Nam (2011), menyebutkan ada peranan dari modal sosial yang masih melekat dalam aktivitas pertanian di wilayah Sungai Mekong. Menurut kedua peneliti, karena relatif masih tingginya peran modal sosial dalam kehidupan para petani tersebut, sehingga potensi dampak negatif dari perubahan iklim secara relatif masih dapat dikurangi. Yang dimaksud dengan modal sosial, khususnya dalam konteks masyarakat petani dalam studi Chinvanno dan Nam di sini adalah hubungan kerjasama yang berupa kerelaan untuk saling berbagi dan saling menjaga keberlangsungan fasilitas umum seperti tempat penyimpanan air dan alat-alat pertanian.
Pada studi kali ini, kami tertarik untuk melakukan replikasi studi untuk kasus sejumlah petani padi pada 3 (tiga) kelompok tani Subak di Banjar Tegeh, Desa Gadungan, Tabanan, Bali. Ketiga kelompok tani tersebut adalah: Subak Delod Deso (Area Sebelah Selatan Desa), Subak Babakan (Area sebelah Barat Desa) dan Subak Labak (Area dekat Sungai Ha, Tabanan). Studi ini mengambil dan fokus pada 3 (tiga) kelompok tani di Provinsi Bali, karena beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama: dibandingkan dengan kelompok tani di daerah lain, di Jawa misalnya, hanya di daerah Bali ada kewajiban petani untuk berkoordinasi dalam menanam padi secara serentak untuk areal tertentu yang disebut subak. Hal ini akan memudahkan pada saat pengumpulan data mengenai hasil panen, terutama panen dari hasil komoditi yang sama. Di Jawa petani boleh menanam tananam lain selain padi, misalnya tembakau atau jagung, meskipun pada satu area yang berdekatan dengan petani lain yang menanam padi, secara bersamaan. Pada kondisi ini, hasil panen akan beragam, dan waktu panen juga otomatis tidak sama.
Kedua, bila petani secara bersama-sama menanam padi, maka kebutuhan penggunaan air akan bersamaan. Jika mereka menanam tanaman yang berbeda, maka pola penggunaan air akan berbeda-beda. Dari kondisi inilah, dengan fokus pada pertanian di Bali lebih mudah dalam pengumpulan data bagaimana mekanisme atau bentuk kerjasama dalam pembagian air ke masing-masing petak sawah petani. Oleh karena alasan inilah studi ini difokuskan pada tiga kelompok tani di Bali yang tersebut di atas.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji hal-hal berikut: 1). Apakah petani dan kelompok tani yang tergabung dalam 3 (tiga) tempek di wilayah subak Desa Gadungan, Tabanan, Bali, sudah memanfaatkan perkembangan teknologi dalam melakukan aktivitas bertanam padi; 2). Untuk mendapatkan informasi, faktor-faktor apakah yang menentukan produktivitas tanaman padi di 3 (tiga) tempek yang diteliti; 3). Untuk mengkaj i apakah perubahan iklim yang menjadi fenomena umum dewasa ini mempengaruhi hasil pertanian dan keputusan petani untuk mencari pekerjaan baru.
Gambaran Umum Rumah Tangga Pertanian
Perilaku dari rumah tangga pertanian mulai menarik dalam kajian para ekonom, salah satunya sejak muculnya kajian studi dari Johnston & Mellor (1961) yang menyajikan peranan sektor pertanian dalam kontribusinya dalam perekonomian nasional. Dalam studi tersebut, disajikan bukti empiris dalam kajian runtut waktu yang diamati di beberapa negara.
Secara umum dilaporkan bahwa dalam periode awal 1990-an kontribusi sektor pertanian relatif yang paling besar dalam pembentukan pendapatan nasional suatu negara. Sektor pertanian juga mampu menyerap surplus tenaga kerja dalam perekonomian, dan pada umumnya tanpa mensyaratkan suatu kwalifikasi pendidikan atau ketrampilan tertentu.
Pada sektor yang lain, secara umum kwalifikasi tenaga kerja dibedakan menjadi skilled dan unskilled labor. Lebih lanjut, sektor pertanian juga mempunyai nilai keterkaitan yang tinggi dengan sektor-sektor yang lain, seperti sektor industri, khususnya industri makanan dan pakaian. Bahkan dalam beberapa dasa warsa terakhir, sektor pariwisata juga sudah mulai mengaitkan dengan aktivitas wisata pertanian, yang dikenal dengan agrotourism.
Ditinjau dari perilaku agen ekonomi, sektor pertanian bersifat sangat unik. Bila dalam pelaku ekonomi secara umum dibedakan menjadi produsen dan konsumen, maka dalam rumah tangga pertanian agen ekonomi sekaligus bertindak sebagai produsen dan konsumen. Petani di samping menanam padi, sayur, dan jenis produk pertanian yang lain untuk di jual di pasar, sebagian dari jumlah yang diproduksi juga digunakan untuk konsumsi rumah tangga petani itu sendiri.
Selanjutnya, dikaitkan dengan permintaan dan penawaran tenaga kerja, pada umumnya pertanian dengan skala kecil akan menggunakan tenaga kerja yang berasal dari anggota rumah tangga secara optimal, namun dalam skala yang lebih besar, pasar tenaga kerja juga mulai di kenal, meskipun harga tenaga kerja di sini masih bersifat informal. Sifat informal di sini berkaitan dengan kondisi bahwa pola kontrak kerja tidak mengikuti aturan formal yang berlaku, namum disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat yang bersangkutan (Singh et al., 1986:25).
Karakteristik unik yang terjadi dalam rumah tangga pertanian dikenal dengan istilah non separability, dan aspek non separability ini berlaku baik dalam produksi dan konsumsi maupun dalam penawaran dan permintaan tenaga kerja. Salah satu studi yang mengkaji hal ini adalah studi yang dilakukan oleh Singh et al. (1986). Adapun kajian model yang dipakai dalam studi mereka menggunakan pendekatan rumah tangga konsumen, dengan memasukkan karakteriktik unik dari rumah tangga pertanian.
Kemajuan Teknologi, Perubahan Iklim dan Aktivitas Pertanian
Kegiatan atau aktivitas pertanian sudah dimulai sejak manusia mulai memilih pola hidup menetap,
bukan nomaden. Upaya untuk menyimpan persediaan bahan makanan dilakukan dengan menanam bahan makanan yang bisa di simpan dalam jangka waktu lama, minimal sampai tiba musim panen berikutnya. Peralatan yang di pakai bercocok tanam juga berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Secara umum, pada awalnya pekerjaan pertanian lebih banyak menggunakan tenaga kerja manusia, yaitu dnegan cara mencangkul dan membajak. Sebelum teknologi dan peralatan mesin di kenal, aktivitas pertanian lebih banyak dilakukan dengan bergotong royong.
Sejalan dengan perkembangan waktu, dengan semakin bervariasinya aktivitas dalam perekonomian, petani mulai menggunakan tenaga hewan dalam membajak sawah. Setelah mesin traktor ditemukan, inovasi penggunaan mesin pengolah tanah dengan traktor secara perlahan-lahan di adopsi oleh petani. Pekerjaan mencangkul dan membajak 1 hektar sawah, yang biasanya memakan waktu 1 (satu) minggu, dapat diselesaikan dengan bantuan mesin traktor relatif dalam 1 (satu) hari. Kondisi ini, secara perlahan namun pasti akan mulai menggeser kebutuhan tenaga kerja manusia, karena mulai di geser oleh peranan mesin traktor.
Teknologi pertanian juga semakin berkembang dengan ditemukannya bibit unggul, yaitu bibit yang mempunyai ciri-ciri: 1. dapat dipanen lebih cepat dengan kwalitas rasa yang lebih baik; dalam konteks padi adalah kwalitas nasi pulen). 2. lebih tahan terhadap perubahan cuaca (kekeringan atau ter rendam air). 3. lebih tahan dengan serangan hama dan penyakit. 4. Tidak membutuhkan pupuk dan obat pembasmi hama (Satoto dkk., 2008).
Adaptasi teknologi peralatan pertanian seperti mesin traktor untuk mengolah tanah, mesin pencabut rumput dan mesin pompa air untuk memperlancar saluran pengairan, sudah mulai banyak dimanfaatkan oleh petani dewasa ini. Perkembangan teknologi dan intensifikasi sistem pertanian tidak selalu berdampak positif pada output dan kwantitas hasil pertanian. Ada variabel cuaca yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh petani, yang bisa membawa dampak buruk bagi hasil pertanian, yang disebut gagal panen. Perubahan cuaca yang semakin tidak menentu, seperti musim hujan yang terlalu deras, atau musim kemarau yang terlalu panjang, dilaporkan merupakan salah satu penyebab semakin seringnya petani mengalami gagal panen [Winters et al. (1996), dan Hertel & Rosch (2010)].
Perkembangan Teknologi dan Perubahan Iklim
Proses adaptasi teknologi yang dilakukan petani terhadap dampak negatif dari perubahan iklim mulai di kaji dalam beberapa studi, khususnya di negara-negara Asia. Proses adaptasi yang dilakukan oleh para petani yang dimaksud di sini adalah berbagai bentuk investasi yang dilakukan oleh petani, baik sebagai individu atau berkelompok, untuk tujuan mengurangi potensi kerugian yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (Kane & Shogren, 2000; dan Mendelsohn, 2000). Nam (2011) menyebut proses adaptasi yang dilakukan petani ini sebagai mekanisme self insurance. Hal ini disebabkan oleh bahwa individu petani tersebut menyadari besar peluang efek negatif yang akan mereka tanggung karena adanya perubahan iklim. Dengan memanfaatkan semua informasi yang ada dan segala potensi yang dimiliki, petani baik sendiri-sendiri maupun berkelompok akan melakuakn upaya adaptasi baik dalam hal teknologi maupun meningkatkan manfaat modal sosial (Fankhauser et al. 1999, dan Kane & Shorgen, 2000).
Carter & Maluccio (2003) dalam studinya di Afrika Selatan dan Deressa et al. (2009) menyebutkan dalam komunitas masyarakat yang memegang adat kesukuan atau tinggal menurut pola kekerabatan tertentu cenderung mempunyai modal sosial yang erat. Rasa saling ketergantungan yang tinggi muncul meskipun tiap-tiap individu yang bergabung tidak memiliki pola kekerabatan. Faktor kesamaan kondisi fisik juga menimbulkan suatu upaya kebersamaan dan saling membantu. Hal ini dilaporkan oleh Carter dan Maluccio (2003), bagaimana sekelompok orangorang yang bertubuh pendek mencoba melindungi diri mereka dalam kondisi keterbatasan fisik, untuk bersaing masuk ke pasar kerja, dikarenakan perusahaan hanya mau menerima pekerja yang mempunyai fisik sehat atau ukuran tubuh yang normal.
Bentuk adaptasi petani terhadap perubahan iklim dalam studi yang dilakukan oleh Nam (2011) berupa tehnik penggunaan dan penyimpanan air selama musim kemarau, serta mengubah variasi pola dan jenis tanaman. Studi ini, tidak sepenuhnya melakukan replikasi dari studi Nam. Hal ini disebabkan oleh secara umum tidak ada masalah dalam pengaturan air dalam pertanian di Bali, karena alokasi air sepenuhnya mengikuti sistem Subak. Proses adaptasi yang dikaji adalah apakah petani mengubah sistem penggarapan dari kebiasaan tolong menolong menjadi sistem pengupahan, apakah petani melakukan diversifikasi tanaman, dan apakah petani aktif mengikuti kegiatan pelatihan tehnik bertani yang diberikan oleh Dewan Pembina Lapangan (DPL) mereka atau tidak.
DATA DAN METODOLOGI
Secara umum data yang akan dijadikan analisis utama dalam studi ini adalah data yang dikumpulkan dari survey pada 3 (tiga) kelompok Subak tani atau dikenal dengan nama “tempek” di Desa Gadungan, Bali. Tempek adalah sekelompok petak sawah yang memiliki saluran air yang sama, yang biasanya terdiri dari 15 – 20 petani. Ada tiga tempek yang di survey dalam studi ini, yaitu: 1). tempek Delod Desa; 2). tempek Labak; dan 3). tempek Babakan. Namun, sebagai gambaran pembanding dampak perubahan iklim pada kondisi pertanian di level nasional, data laporan tentang peristiwa gagal panen dalam survey nasional akan di jadikan informasi pembanding. Data pembanding ini di ambil dari data Indonesia Family Life Survey (IFLS), untuk informasi dari data survey wave tahun 1997, 2000, dan 2007. Adapun metodelogi yang akan digunakan adalah regresi linier sederhana dan regresi logistik untuk analisa probabilitas petani mengalami gagal panen berturut-turut minimal dua kali dalam setahun, probabilitas petani akan membeli beras, dan probabilitas generasi berikut dari keluarga petani akan berhenti menjadi petani atau berganti pekerjaan.
Model yang di estimasi, dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
-
1) . Estimasi rata-rata produksi pertanian
Outputi = β0 + X' βi + Z δi + εi (i)
dimana:
Output: Rata-rata kuantitas (hasil) panen padi pada periode panen sebelumnya.
Indek i merujuk individu petani dengan i=1,2,...,56
Х’ : Vektor yang mewakili set input dalam pertanian, seperti luas lahan, penggunaan tenaga kerja, dan sejumlah adaptasi teknologi dalam pengolahan lahan
Z’ : Vektor yang mewakili set karakteristik individu petani, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pengalaman (lama) bekerja sebagai petani.
β dan δ : Parameter yang diestimasi ε : Residual dalam model
-
2) . Estimasi Probabilitas Gagal Panen, Adopsi Teknologi, dan Kesinambungan Bertani
Pr(Y = 1∣Xι) = β0 + X'βi + Zδi + εi ...........(ii)
dimana:
Pr( Y = 1∣Xi) : Probabilitas individu petani untuk: (i). mengalami peristiwa gagal panen, (ii). membeli beras (karena hasil panen rendah), dan (iii). berlanjut bekerja di sektor pertanian; dengan i=1,2,...,56
Х’ : Vektor yang mewakili set input dalam pertanian, seperti
luas lahan, penggunaan tenaga kerja, dan sejumlah adaptasi teknologi dalam pengolahan lahan
Z’ : Vektor yang mewakili set karakteristik individu petani, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pengalaman (lama) bekerja sebagai petani.
β dan δ : Parameter yang diestimasi
ε : Residual dalam model
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data
Pada bagian ini akan menyajikan informasi data dari IFLS mengenai kondisi pertanian di Indonesia berdasarkan data IFLS tahun 1997, 2000 dan 2007. Informasi data akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafis, dimana data yang dipakai adalah rata-rata nilai respon petani dari survey tahun 1997, 2000, dan 2007. Dari sejumlah responden yang melaporkan status pekerjaannya sebagai petani, di kaitkan dengan informasi mengenai alat-alat pertanian yang dimilikinya, diperoleh informasi dan disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Respond Petani atas Kepemilikan Alat-alat Pertanian dan Mesin Traktor, di beberapa Provinsi di Indonesia.
NTB
Lampung
JaTim
JaBar
SumUt
JaTeng
DKIJkt
DI Yogya
SulSel
KalSel
SumSel
JBKSPRNGMeuaioTAamlnplrTBDuUotguBRibekaBnmtkainrutaBnagrulalugorBaetl
Punya A0lat Tani
Sumber : IFLS 1997, 2000, dan 2007
Gambar 1 menunjukkan bahwa di beberapa provinsi, dimana responden mengaku bekerja sebagai petani, diantara 500 – 1500 responden petani, tidak lebih
Tabel 1. Jumlah Petani Yang Melaporkan tentang Dampak Perubahan Iklim yang dialami, serta mekanisme mengurangi dampak negatif yang dialami, Tahun 1997 – 2007
Provinsi |
Pernah Gagal Panen |
Penurunan Harga |
Mempunyai Asuransi |
Total Sampel |
Bali |
60 (0,09) |
42 (0,19) |
156 (0,82) |
703 |
Jawa Barat |
265 (0,38) |
95 (0,14) |
574 (0,82) |
2,124 |
Jawa Tengah |
203 (0,29) |
108 (0,15) |
324 (0,46) |
1,748 |
Jawa Timur |
186 (0,26) |
114 (0,16) |
426 (0,61) |
1,957 |
Jakarta |
7 (0,01) |
37 (0,05) |
346 (0,49) |
964 |
Kalimantan Selatan |
177 (0,25) |
106 (0,15) |
119 (0,17) |
594 |
Kalimantan Tengah |
0 (0,00) |
0 (0,00) |
2 (0,00) |
6 |
Kalimantan Timur |
0 (0,00) |
0 (0,00) |
0 (0,00) |
3 |
Lampung |
168 (0,24) |
91 (0,13) |
38 (0,05) |
523 |
NTB |
103 (0,15) |
50 (0,07) |
131 (0,19) |
858 |
Riau |
1 (0,00) |
1 (0,00) |
15 (0,02) |
37 |
Sulawesi Selatan |
92 (0,13) |
15 (0,02) |
104 (0,15) |
622 |
Sumatera Barat |
56 (0,08) |
45 (0,06) |
135 (0,19) |
561 |
Sumatera Selatan |
104 (0,15) |
72 (0,10) |
126 (0,18) |
596 |
Sumatera Utara |
85 (0,12) |
36 (0,05) |
171 (0,24) |
863 |
Yogyakarta |
120 (0,17) |
71 (0,10) |
214 (0,30) |
811 |
Sumber : IFLS (1997, 2000, dan 2007)
Catatan : angka di dalam kurung adalah persentase terhadap total sampel di masing-masing provinsi.
dari lima petani yang mempunyai alat-alat pertanian modern seperti mesin traktor dalam menjalankan usaha pertaniannya. Beberapa provinsi yang dimaksud adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, DI Yogyakarta dan Sumatera Selatan. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar petani di Indonesia masih belum banyak memanfaatkan peralatan pertanian modern dan juga mesin traktor dalam mengolah lahan. Petani Indonesia rata-rata masih mengandalkan peralatan tradisional. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya daya adaptasi terhadap peralatan baru, atau petani-petani tersebut belum mampu membelinya, karena penghasilan mereka relatif masih rendah.
Selanjutnya, dikaitkan dengan kesinambungan dalam produksi pertanian, maka isu gagal panen dan daya saing output hasil pertanian di pasar, serta mekanisme penjaminan yang dimiliki berupa asuransi dari petani-petani di beberapa petani di Indonesia,
untuk data IFLS antara tahun 1997, 2000, dan 2007, diperoleh informasi yang disajikan dalam Tabel 1.
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat kita simak bahwa di beberapa provinsi, khususnya di Jawa, beberapa di Sumatera (Lampung dan Sumatera Selatan), Kalimantan Selatan, dan beberapa di daerah lain, jumlah petani yang mengalami “pernah gagal panen”, cukup tinggi. Demikian juga bila dikaitkan dengan jumlah petani yang mengalami penurunan harga output, relatif lebih tinggi untuk petani-petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Barat dan Lampung. Lebih lanjut, untuk mekanisme berjaga-jaga, sebagian besar petani melaporkan bahwa mereka ikut program asuransi. Peristiwa gagal panen dan mengalami penurunan harga ini, karena berpotensi dialami oleh sekelompok orang/ keluarga saja, di sebut dengan “common shock”, sedangkan apabila di alami hanya oleh oleh individu petani, disebut dengan “idiosyncratic shock”.
Tabel 2: Deskripsi Data Petani di 3 (tiga) Tempek, Subak “Delod Desa”, Bali
Deskripsi Variabel |
Rata-rata |
Nilai Minimum |
Nilai Maksimum |
Karakteristik Petani: | |||
Umur Petani/ Kepala Rumah Tangga Petani (tahun) |
50,34 (12,85) |
27 |
80 |
Jenis Kelamin (Laki-laki = 1) |
0,57 (0,49) |
0 |
1 |
Pendidikan (lama pendidikan dalam tahun) |
8.09 (2,95) |
6 |
16 |
Aktivitas Tani: | |||
Luas Sawah (dalam ha/ acre) |
36,69 (19,48) |
10 |
90 |
Hasil / panen (dalam kwintal) |
15,27 (10,80) |
4 |
50 |
Lama bertani (dalam tahun) |
13,59 (5,53) |
3 |
22 |
Mempekerjakan buruh garap (ya = 1) |
0,5 (0,504) |
0 |
1 |
Adopsi alat-alat mesin pertanian (ya = 1) |
0,93 (0,26) |
0 |
1 |
Pola Tanam [2 kali padi, 1 kali palawija] Pola Tanam [3 kali padi, tidak pernah menanam palawija] |
0,46 (0,51) 0,27 |
0 |
1 |
(0,45) |
0 |
1 | |
Hasil Pertanian: | |||
Mengalami penurunan hasil panen (ya = 1) |
0,68 (0,47) |
0 |
1 |
Menanam padi 1 kali setahun (ya = 1) |
0,27 (0,45) |
0 |
1 |
Dampak dan Respon Terhadap Perubahan Iklim: | |||
Membeli beras sampai 3 bulan berturut-turut (ya = 1) |
0,29 (0,46) |
0 |
1 |
Membeli beras sampai 5 bulan berturut-turut (ya = 1) |
0,07 (0,26) |
0 |
1 |
Berencana untuk ganti pekerjaan (ya = 1) |
0,28 (0,45) |
0 |
1 |
Perkiraan apakah anak akan mau bertani (ya = 1) |
0,71 (0,46) |
0 |
1 |
Sumber : Data Survey
Persentase petani yang melaporkan mengalami peristiwa common shock (gagal panen dan penurunan harga) di sajikan dalam Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Persentase Petani yang mengalami “common shock”: gagal panen dan penurunan harga hasil panen, 1997-2007
□ Gagal Panen
□ Penurunan Harga
Sumber : IFLS 1997 - 2007
Gambar 2 menyajikan informasi bahwa secara umum selama tahun 1997 – 2007, peristiwa gagal
panen lebih sering dialami petani dibandingkan bahwa harga produk pertanian mengalami penurunan dari periode sebelumnya. Petani di Jawa, secara umum lebih banyak yang mengalami gagal panen, jika dibandingkan dengan petani di luar pulau Jawa. Pada bagian selanjutnya, akan disajikan deskripsi data penelitian yang dilakukan di 3 (tiga) tempek Subak di desa Gadungan, Tabanan, Bali.
Tabel 2 menyajikan deskripsi data petani yang di survey. Secara umum, informasi karakteristik petani dilaporkan bahwa kepala rumah tangga petani berusia sekitar 50 tahun, dimana beberapa petani ada yang berusia sampai 80 tahun, dan yang paling muda berusia 27 tahun. Lebih lanjut, sebagian rumah tangga pertanain mempunyai kepala keluarga perempuan, namun masih lebih banyak yang dikepalai oleh pria. Dilihat dari tingkat pendidikannya, rata-rata petani pernah menjalani 8 tahun bangku sekolah (setara SMP), namun ada juga beberapa yang sudah menamatkan pendidikan setingkat SMA.
Dikaitkan dengan aktivitas pertanian, rata-rata
Tabel 3. Estimasi nilai rata-rata produksi padi di 3 (tiga) tempek Subak Delod Desa
Varbl. Tergantung = Rata-Rata Hasil Bersih Panen Padi |
Model | |||
(1) |
(2) |
(3) |
(4) | |
Konstanta |
0,8243 |
3,3150 |
2,1592 |
5,1376 |
(0,59) |
(1,11) |
(0,66) |
(0,49) | |
Input Pertanian | ||||
Luas Sawah |
0,4833 |
0,4613 |
0,4674 |
0,4688 |
(13,05)*** |
(11,83)*** |
(11,72)*** |
(11,33)*** | |
Tenaga Buruh (Ya = 1) |
1,4388 |
1,4083 |
1,4124 | |
(0,92) |
(0,90) |
(0,87) | ||
Adopsi Mesin Pertanian (Ya = 1) |
-6,2597 |
-7,7201 |
-10,54 | |
[Traktor] |
(-1,79)* |
(-1,95)* |
(-1,15) | |
Adopsi Teknologi (Ya = 1) |
0,4223 |
0,5178 |
0,8502 | |
[bibit, pupuk, obat, alat-alat] |
(1,61) |
(1,79)* |
(0,87) | |
Pernah Mengikuti Kursus Per- |
0,4497 |
0,2319 |
0,2219 | |
tanian |
(0,29) |
(0,14) |
(0,13) | |
(Ya = ι) | ||||
0,1228 |
0,1001 | |||
Pengalaman Bertani (tahun) |
(0,79) |
(0,60) | ||
Karakteristik Petani | ||||
Umur (tahun) |
0,0043 | |||
(0,07) | ||||
Jenis Kelamin (Laki-laki = 1) |
0,2838 | |||
(0,17) | ||||
Pendidikan (tahun) |
-0,3607 | |||
(-0,36) | ||||
N = 56 |
N = 56 |
N = 56 |
N = 56 | |
PFr(o1,b54 =) =^01,0700 |
PFro(5b,5 0=) = 35 |
Pro(6b,4 =9) 0,00 |
F(9,46) = 19 Prob = 0,00 | |
Ad R2= 0,75 |
0,00 |
Ad R2=0,76 |
Ad R2= 0,78 | |
Ad R2 = 0,76 |
Sumber : Data survey, diolah
luas sawah yang dikerjakan petani adalah seluas 36 ha atau 3600 m2. Sejumlah petani hanya memiliki lahan sawah seluas 10 ha atau 1000 meter persegi, namun ada juga yang mempunyai lahan sampai 90 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua Subak, diperoleh informasi bahwa hampir 30% anggota kelompok tani yang dibina-nya merupakan petani penggarap, artinya mereka mengerjakan sawah petani lain, yang di Bali di sebut dengan “Nandu”, yaitu bentuk kerjasama sama bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap.
Hasil panen per keluarga petani berkisar pada nilai 5 – 50 kwintal setiap kali panen; yang biasanya setiap 3 bulan sekali. Petani mempunyai pengalaman bekerja di sektor pertanian padi rata-rata 3–22 tahun. Berkaitan dengan perkembangan dalam teknologi pertanian, 93% dari responden petani di 3 tempek yang di survey melaporkan bahwa mereka sudah melakukan adaptasi pemanfaatan teknologi pertanian, seperti menggunakan mesin traktor, pompa air, dan penggunaan obat dan pupuk yang dapat membunuh hama dan gulma. Lebih lanjut separuh petani yang di survey menanam padi 2 kali dalam setahun, dan
sebagian petani bisa menanam padi 3 kali setahun, tergantung pada ketersediaan air yang diperoleh di tempek-nya, yaitu wilayah aliran sungai subak mereka.
Proses adaptasi teknologi sudah mulai di kenal dalam kelompok tani atau Subak Delod Desa, namun, seiring dengan masalah perubahan iklim yang mulai berdampak di negara Indonesia, sejumlah petani yang di survey melaporkan mereka mengalami perubahan hasil. Perubahan hasil yang di maksud adalah penurunan rata-rata hasil panen yang disebabkan oleh kerusakan tanaman atau dalam kasus yang ektrim mereka sebut sebagai “gagal panen”. Karena peristiwa kekeringan dalam dua tahun terakhir, di tempek Babakan, sejumlah petani hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun. Menurut kepala Subak atau “Perbekel”, I Nyoman Pande Artha, tempek Babakan merupakan tempek yang memiliki posisi lebih tinggi dibanding saluran air “temuku” subak. Oleh karena itu, dibanding dengan tempek “Delod Desa” dan tempek “Labak”, tempek Mekel Gede paling sering tidak bisa menanam padi, atau hanya bisa menanam palawija seperti kedelai, kacang hijau dan jagung. Berikut ini akan disajikan estimasi model regresi linier
Tabel 4. Estimasi regresi logistik untuk respon petani terhadap perubahan iklim | ||||||
Variabel Bebas |
Perubahan Hasil |
Pernah Gagal Panen Membeli Beras Bertu- Rencana Generasi [Ya = 1] rut-turut=s1a]mpai [Ya Berganti Berikut | ||||
[Ya = 1] |
Gagal 1 kali |
Gagal 2 kali |
3 Bulan |
PekerjaanMasihBer- >3 Bulan [Ya = 1] tani [Ya=1] | ||
Konstanta |
12,6845 |
-4,4644 |
21,9190 |
0,1352 |
-1,7070 9,0611 |
2,0438 |
(….) |
(-1,06) |
( …) |
(0,07) |
(-0,56) (2,20) |
(0,99) | |
Input Pertanian | ||||||
Luas Sawah |
0,0246 |
-0,0241 |
-0,0075 |
-0,0399 |
-0,0068 -0,0631 |
-0,0195 |
(0,96) |
(-1,06) |
(-0,31) |
(-1,00) |
(-0,11) (-0,08) |
(-0,58) | |
Hasil Panen |
0,0713 |
0,0936 0,0005 |
0,0797 | |||
(1,04) |
(0,91) (0,01) |
(1,18) | ||||
Perubahan Hasil |
-3,1367 |
1,3056 | ||||
(-1,64)* |
(1,76)* | |||||
Tenaga Buruh |
-1,2416 |
-0,3039 |
2,3379 | |||
(Ya = ι) |
(-1,00) |
(-0,42) |
(2,00)** | |||
Adopsi Mesin Traktor Perta- |
-13,3490 |
2,9205 |
-22,8798 | |||
nian (Ya = 1) |
(-3,86)*** |
(0,78) |
(-8,05)*** | |||
Adopsi Teknologi |
2,6895 |
-0,3451 |
3,4122 | |||
(Ya = 1) [bibit, pupuk, obat, alat-alat] |
(3,81)*** |
(-0,87) |
(4,68)*** | |||
Pernah Mengikuti Kursus Per- |
-0,2883 |
1,3902 |
-0,8864 | |||
tanian |
(-0,28) |
(1,99)** |
(-0,97) | |||
(Ya = ι) |
-0,1022 |
-0,0392 |
0,2643 | |||
Pengalaman Bertani (tahun) |
(-0,89) |
(-0,54) |
(2,24)** | |||
Prod. 2 kali/tahun |
-2,2023 |
0,9348 |
-2,9048 | |||
(-1,63) |
(1,14) |
(-2,01)** | ||||
Pola tanam 2-1 |
-2,6931 |
0,7791 |
0,6098 | |||
(-2,00)** |
(-0,90) |
(0,55) | ||||
Pola tanam 3-0 |
-1.7193 |
0,2842 |
0,1488 | |||
(-1,23) |
(0,32) |
(0,11) | ||||
Karakt. Petani | ||||||
Umur |
0,1161 |
0,0334 |
-0,0384 |
-0,0359 |
-0,0236-0,0491 |
-0,0462 |
(2,22)** |
(1,27) |
(-1,11) |
(-1,31) |
(-0,44)(-1,15) |
(-1,60) | |
Jenis Kelamin |
2,4548 |
0,6551 |
-3,9566 |
-0,1279 |
-1,1445Dropped |
-0,5033 |
(2,08)** |
(0,95) |
(-3,16)*** |
(-0,19) |
(-0,87) |
(-0,70) | |
Pendidikan |
-2,8687 |
0,3499 |
-3,1658 |
0,1043 |
dropped-0,4958 |
0,0072 |
(-4,85)*** |
(0,86) |
(-4,57)*** |
(0,91) |
(-2,14)** |
(0,05) | |
N = 56 |
N = 56 |
N = 56 |
N = 56 |
N = 56 N = 56 |
N = 56 | |
LR Chi2 |
LR Chi2 |
LR Chi2 |
LR Chi2 |
LR Chi2 LR Chi2 |
LR Chi2 | |
(12) = 33 |
(12) = |
(12) = 35 |
(5) = 5.55 |
(4) = 3,43(5) = 13,09 |
(6) = 7,20 | |
Prob = |
10,34 |
Prob = |
Prob = |
Prob = Prob = |
Prob = | |
0,00 Pseudo |
Prob = |
0,00 Pseudo |
0,35 |
0,48 0,03 |
0,30 | |
0,59 |
Pseudo |
PseudoPseudo |
Pseudo | |||
R2= 0,47 |
Pseudo R2= 0,14 |
R2= 0,46 |
R2= 0,08 |
R2= 0,15R2= 0,30 |
R2= 0,11 |
Sumber : Data survey, diolah
sederhana untuk rata-rata estimasi hasil produksi dan estimasi regresi logistik untuk respon petani terhadap perubahan iklim. Pertama-tama di sajikan hasil persamaan regresi linier dari estimasi rata-rata hasil panen. Estimasi untuk regresi linier ini dibedakan dalam 4 (model), dengan menyatakan estimasi produksi dari yang sederhana dan menambahkan
beberapa variabel penjelas di model 2, 3 dan 4. Hal ini di sajikan dalam Tabel 3 .
Hasil estimasi persamaan rata-rata produksi padi menunjukkan bahwa diantara ke-empat model diatas, hanya variabel luas lahan pertanian yang secara statistik signifikan menjelaskan variasi dalam rata-rata produksi padi. Variabel luas lahan juga bersifat robust
dalam perubahan spesifikasi; yang ditunjukkan dalam model 2, 3, dan 4. Selanjutnya, jika di kombinasikan dengan variabel yang lain, hanya variabel dummy adopsi teknologi dan penggunaan mesin yang secara marginal signifikan, meskipun tidak robust dalam spesifikasi yang lain. Selanjutnya akan disajikan hasil estimasi regresi logistik untuk respon petani terhadap perubahan teknologi dan perubahan iklim, yang disajikan dalam Tabel 4 di bawah ini.
Pada Tabel 4, variabel tergantung pada model regresi logistik dibedakan menjadi 5 (lima), yaitu masing-masing variabel dummy untuk: mengalami perubahan hasil panen, mengalami gagal panen, membeli beras karena hasil panen padi tidak cukup untuk memenuhi keperluan sendiri, rencana untuk berganti pekerjaan, dan apakah generasi berikutnya masih bekerja sebagai petani.
Untuk regresi logistik perubahan hasil panen, ditemukan estimasi bahwa menggunakan adopsi mesin traktor berpeluang untuk menurunkan hasil panen hampir 13 persen lebih besar dibandingkan petani yang tidak menggunakan mesin traktor. Selanjutnya, jika petani melakukan adapatsi teknologi bertani seperti menggunakan bibit unggul, menggunakan pupuk dan obat, maka hal ini berpeluang meningkatkan hasil panen hampir 15 kali lipat lebih banyak dari petani yang tidak melakukan hal yang sama. Jika petani melakukan pola tanam dua kali menanam padi dan diselingi dengan menanam satu kali palawija, maka praktek ini akan menurunkan peluang petani yang bersangkutan mengalami penurunan hasil panen, hampir 8% dibanding petani yang tidak melakukan pola ini.
Pada model yang menyatakan bahwa pernah mengalami gagal panen, baik minimal sekali atau mengalami sampai dua kali dalam setahun menunjukkan bahwa variabel menggunakan mesin traktor atau adaptasi teknologi bertani, walaupun menggunakan spesifikasi model yang sama, magnitude dampak berubah dari tanda positif menjadi tanda negatif dan menjadi sangat signifikan secara statistik. Hal ini terjadi ketika variabel tergantung-nya adalah mengalami peristiwa gagal panen sebanyak dua kali atau lebih dalam setahun. Hal ini di duga berkaitan dengan keadaan yang berlangsung bahwa peristiwa gagal panen semakin sering terjadi yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kekeringan, serangan hama wereng, tikus dan hama lainnya.
Lebih lanjut, estimasi regresi logistik menunjukkan bahwa rencana petani untuk mencari pekerjaan lain di luar sektor pertanian berkaitan dengan faktor perubahan hasil panen dan tingkat pendidikan petani. Semakin sering petani mengalami perubahan/
penuruan hasil panen, menyebabkan alasan untuk berpindah pekerjaan semakin tinggi, rata-rata 31% lebih tinggi dibanding petani yang tidak mengalami penurunan hasil panen.
Jika dikaitkan dengan jenjang pendidikan (dalam tahun) yang dimiliki petani, setiap peningkatan 1 tahun dalam pendidikan yang pernah ditempuh petani berpeluang untuk meningkatkan keingianan petani untuk pindah pekerjaan sebesar 0,72% dibandingkan dengan petani yang tidak menempuh pendidikan formal setingkat SD.
Untuk persamaan yang terakhir, yaitu probabilitas bahwa generasi berikut dalam keluarga petani masih mau bekerja di sektor pertanian. Hasil estimasi dalam model ini menemukan bahwa tidak ada satupun variabel penjelas yang dapat memberikan estimasi perbedaan peluang bahwa generasi berikutnya dalam keluarga petani masih mau bekerja sebagai petani, kecuali variabel penjelas perubahan hasil, meskipun signifikan hanya pada level marginal 10%.
SIMPULAN
Ada rentang yang cukup besar dalam hal luas dari kepemilikan lahan sawah. Beberapa petani hanya memiliki atau mengerjakan lahan seluas 10 are atau seluas 1000 m2 dan sejumlah petani ada yang mengerjakan lahan sawah sampai 90 are atau 9000 m2. Ini menunjukkan ada variasi kepemilikan lahan yang cukup signifikan, dimana rata-rata luas lahan sawah hanya 37 ha, artinya masih di bawah rata-rata ketentuan petani secara umum. Ini berarti kebanyakan petani di Subak ini masih termasuk petani gurem.
Berkaitan dengan proses adaptasi terhadap teknologi seperti penggunaan traktor, mesin pompa air, mesin pencabut rumput meningkatkan peluang pada hasil pertanian yang lebih baik, atau meningkatkan peluang hasil pertanian tidak turun. Di sisi lain, adaptasi terhadap teknologi bertani seperti penggunaan bibit unggul, penggunaan obat hama dan pupuk, meningkatkan peluang rata-rata hasil pertanian semakin baik, tetapi sekaligus bisa menambah peluang terjadinya gagal panen dan membeli beras karena mereka terlalu sering mengalami peristiwa gagal panen atau penurunan hasil panen.
Dikaitkan dengan fenomena penurunan hasil pertanian serta pengalaman petani mengalami gagal panen secara berturut-turut, estimasi model menemukan hal ini dapat meningkatkan probabilitas keinginan petani untuk berganti pekerjaan. Hal yang sama juga mempengaruhi probabilitas dari keyakinan petani, bahwa generasi berikutnya masih mau bekerja sebagai petani atau berhenti menjadi petani.
SARAN
Oleh karena rata-rata kepemilikan lahan sawah relatif rendah, dan luas lahan pertanian relatif bersifat tetap, dan hal ini khususnya berlaku di provinsi Bali, maka upaya intensifikasi sistem pertanian perlu dilakukan. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menjaga ketersediaan air/irigasi subak, terutama pada saat awal musim tanam, pada saat tanaman padi membutuhkan banyak air. Kepada pengambil kebijakan di sektor pertanian, diharapkan agar betul-betul mengawasi agar tidak terjadi konversi penggunaan lahan pertanian menjadi area bisnis yang lain, seperti perumahan dan toko.
Sistem intensifikasi pertanian yang dimaksud dalam saran pada butir 1 diatas, adalah sistem intensifikasi dalam bentuk penggunaan input pertanian yang lebih baik seperti mengggunakan bibit unggul, pupuk serta obat-obatan. Hal ini di temukan dapat meningkatkan rata-rata hasil panen pertanian. Demikian juga petani yang aktif dalam mengikuti pelatihan atau penyuluhan pertanian, dapat meningkatkan rata-rata hasil panen, dibandingkan petani yang tidak melakukan adaptasi teknologi bertani.
Meskipun pertanian mempunyai nilai tambah ekonomi yang relatif rendah, dan fenomena bencana gagal panen semakin sering terjadi, maka pemerintah perlu melakukan kebij akan yang bersifat menjamin stabilitas harga. Di samping itu, pemerintah juga perlu tetap mendukung upaya-upaya untuk mempertahankan sistem kekerabatan yang berlaku dalam lingkungan kelompok petani, seperti membentuk kelompok tani.
REFERENSI
Dercon, S. (editor). (2004). Insurance Against Poverty. American Economic Review. Vol. 51, September.
Duflo, E,. & Udry, C,. (2004). Intrahousehold Resource Allocation in Cote D’ Ivoire: Social Norms, Separate Accounts and Consumption Choices. NBER WPr No. 10497
Dwayne, B. (1992). Household Composition, Labor Markets, and Labor Demand: Testing for Separation in Agricultural Household Models. Econometrica Vol. 60. No. 2
Fei, J. C. and Ranis, G. (1961). ’A Theory of Economic Development’, American Economic Review, Vol. 51, No. 4.
Hardono, G.S., Handewi P.S. Rahman, dan Sri H Suhartini (2004). Liberalisasi Perdagangan: Sisi Teori, Dampak Empiris, dan Persfektif Ketahanan Pangan. Pusat Pengembangan Pertanian, Bogor
Hertel. T.W. & Rosch, S.D. (2010). Climate Change, Agriculture, and Poverty. Applied Economic Perspective and Policy. Vol. 32. No. 3
Hirschman, A. O. (1958). The Strategy of Economic Development, Yale University Press
Hoffman, A.A. (2009). Physiological climatic limits in Drosophila: patterns and implications, Working Paper in
Economics, University of Melbourne
Hoffman, E., McCabe., K, Shachat, K., Smith, V. (1992). Preferences, Property Rights, and Anonymity in Bargaining Games. Working Paper in Economics, University of Arizona
Johnston, B.F., and J.W. Mellor. (1961). “The Role of Agriculture in Economic
Jorgenson, D. G. (1961). ’The Development of a Dual Economy’, Economic Journal
Kochar, A. (1995). Explaining Household Vulnerability to Idiosyncratic Income Shocks. The American Economic Review Vol. 85 No. 2
Kochar, A,. (1999). Smoothing Consumption By Smoothing Income: Hours-Of-Work Responses to Idiosyncratic Agricultural Shocks in Rural India. The Review of Economics and Statistics Vol. 81, No. 1
Lanjouw, J.O., & Lanjouw, P (1995). Rural Non Farm Employment, A Survey. World Development Report, World Bank Lassa, J. (no date). Politik Ketahanan Pangan Indonesia 19502005. Diakses online tgl. 10 April 2011
Lewis, W.A. (1954). ‘Economic Development with Unlimited Supplies of Labour’, Journal of Economics Perspective, Vol. 41
M. Keskinen, S. Chinvanno, M. Kummu, P. Nuorteva, A. Snid-vongs, O. Varis and K. Va¨ stila¨ (2010) Climate change and water resources in the Lower Mekong River Basin: putting adaptation into the context . Journal of Water and Climate Change. Manchester School of Economics, Vol. 20.
Murdoch, J,. (1999). Between the State and the Market: Can Informal Insurance Patch the Safety Net? The World Bank Observer Vol. 14.
Nkamleu, G.B.,.(2008). Modelling Farmers’ Decisions on Integrated Soil Nutrient Management in Sub Saharan Afrika: A Multinomial Logit Analysis in Cameroon. International Institute of Tropical Agriculture
Paxson, Christina H., (1992). Using Weather Variability to Estimate the Response of Saving to Transitory Income in Thailand. American Economic Review. Vol. 82
Pelling, M. and C. High. 2005. Understanding adaptation: What can social capital offer assessments of adaptive capacity? Global Environmental Change, Vol. 15, Issue No. 4
Pitt and Rosenzweig, (1986). Agricultural Prices, Food Consumption, and the Health and Productivity of Indonesian Farmers, in Singh, I., L. Squire, J. Strauss (eds) (1986). Press, New Haven, Connecticut. In Developing Countries, Washington D.C.
Rosenzweig, M.R. & Wolpin, K.,I. (1993). Credit Market Constraints, Consumption Smoothing, and the Accumulation of DurableProduction Assets in Low-Income Countries: Investments in Bullocks in India. Journal of Political Economy, Vol. 101, No. 2 (Apr., 1993).
Schipper, L. and M. Pelling. 2006. Disaster risk, climate change and international development: Scope for, and challenges to, integration. Disasters, Volume 30, pp. 19–38.
Scitovsky, T. (1954). ’Two Concepts of External Economies’, Journal of Political Economy, Vol. 25.
Seo S.N., & Mendelsohn R., (2005). Climate Change Impacts On latin American Farmland Values: The Role of Farm Type.
Setiawan, I Wayan. (2004). Dampak Globalisasi Terhadap Pertanian Indoneisa. Paper Presentasi dalam Seminar Interaktif Globalisasi Pertanian Indonesia, Bogor, 10 April 2004
Smyth, Ines (1988) “Differentiation Among Petty Commodity Producers: The Effects of a Development Project on Handicrafts Production in a Sundanese Village (West
Java - Indonesia),” Institute of Social Studies Working Paper No. 40. The Hague.
Townsend, Robert, M., (1994). Risk and Insurance in Village India. Econometrica Vol. 62
White, B. (1991) ‘Economic Diversification and Agrarian Change in Rural Java, 1900-1990,” in Alexander, P. et. at. (eds.) In the Shadow of Agriculture: Non-Farm Activities in the Javanese Economy, Past and Present. Amsterdam: Royal Tropical Institute
Yang, D. (2006). International Migration, Remittances, and Household Investment: Evidence from Phillipines Migrants’ Exchange Rate Schock. NBER Working Paper No. 12325
Yang, D. & Choi, H. (2007). Are Remittances Insurances? Evidence from Rainfall Shocks in the Phillipines. The World Bank Economic Review Vol. 21, No. 2.
139
Discussion and feedback