Dampak Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)Terhadap Tingkat Putus Sekolah Di Indonesia: Analisis DID
on
JEKT ♦ 6 [1] : 7 - 15
ISSN : 2301 - 8968
Dampak Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Terhadap Tingkat Putus Sekolah di Indonesia: Analisis DID
Bayu Kharisma*)
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak bantuan BOS terhadap tingkat putus sekolah selama kenaikan harga BBM dengan menggunakan pendekatan difference in difference (DID). Program BOS adalah lanjutan dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada bidang pendidikan pada kurun 1998-2003, sekaligus juga sebagai program kompensasi pengurangan subsidi BBM yang dilaksanakan kurun 2003-2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak bantuan BOS terhadap siswa usia 7-15 tahun terhadap tingkat putus selama periode penelitian lebih rendah daripada yang tidak menerima bantuan BOS, namun tidak signifikan secara statistik. Sementara itu, jika yang dihitung hanya dibatasi pada pengaruh siswa usia 16-20 tahun yang sebelumnya telah menerima manfaat BOS maka terlihat bahwa program BOS memiliki pengaruh positif terhadap tingkat putus sekolah. Namun, anak yang berusia 16-20 tahun yang sebelumnya tidak menerima manfaat program BOS justru berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, manfaat program BOS setelah kenaikan BBM di Indonesia selama periode penelitian masih belum efektif dalam menurunkan tingkat putus sekolah.
Kata kunci: program BOS, tingkat putus sekolah, kenaikan harga BBM di Indonesia, difference-indifference
The Impact Of The School Operational Assistance (BOS) Program On The Dropout Rate In Indonesia: A DID Analysis
ABSTRACT
This study aims to analyze the impact of school operational assistance (BOS) program on the dropout rate of school during the post-rising fuel prices using difference in difference (DID) approach. BOS program is a further development of the social safety net programs (JPS) education of the government in the period of 1998-2003 and a reduction in fuel subsidy compensation program implemented over 2003-2005. The results showed that the impact of BOS on the dropout rate of students aged 7-15 years, during the period investigated in this study was lower than those who did not receive BOS fund, but it was not statistically significant. Meanwhile, if the account of the research is to be limited to the influence of students aged 16-20 years who had previously received the benefit of BOS, it shows that BOS program had a positive influence to the dropout rates of school. However, children aged 16-20 years who had not previously received benefits BOS program have negatively affect to the dropout rates of school. Based on this fact, the benefit of the BOS proram following the fuel price hike in Indonesia during the research period did not seem to be particularly effective in reducing the dropout rates of school.
Keywords : school operational assistance (BOS program, dropout rate of school, rise of fuel price in Indonesia, difference-in-difference
PENDAHULUAN
Adanya kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 yang mencapai tingkat tertinggi selama kurun waktu 25 tahun terakhir, yaitu sekitar $70 per barel
telah memaksa pemerintah melakukan pengurangan subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak 2 kali pada bulan Maret dan Oktober (Bank Indonesia, 2005). Konsekuensi logis sebagai akibat dari pengurangan subsidi BBM tersebut maka harga
*). Email: bayu_kharisma@yahoo.com
BBM dalam negeri mengalami kenaikan. Upaya untuk mengurangi dampak buruk dari kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah telah merealokasi anggarannya kepada 4 (empat) program yang dirancang untuk mengurangi beban masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Keempat program tersebut adalah untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur perdesaan, dan bantuan langsung tunai.
Salah satu program di bidang pendidikan adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS mulai dilaksanakan pada Juli 2005 yang diberikan kepada sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP dengan tujuan untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat sebagai akibat adanya kenaikan harga BBM. Program BOS ini memiliki perbedaan dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) pada bidang pendidikan sebelumnya, dimana program tersebut adalah program yang berbentuk beasiswa (Bantuan Khusus Murid – BKM) kepada siswa yang dianggap miskin. Sedangkan, BOS adalah program yang diberikan kepada sekolah. Pengalokasian besaran dana BOS didasarkan dengan jumlah murid, dengan perhitungan, untuk siswa tingkat SD diberikan sebesar Rp 235.000 per siswa per tahun dan Rp 324.500 per siswa per tahun untuk tingkat SMP. Untuk periode Juli sampai Desember 2005 alokasi APBN untuk dana BOS meningkat sekitar 8 (delapan) kali lipat dibanding anggaran BKM untuk SD dan SMP periode Januari-Juni 2005 yaitu sebesar Rp. 5,136 triliun, atau (SMERU, 2006).
Program BOS merupakan pengembangan lebih lanjut dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS) bidang pendidikan pada kurun 1998-2003, yang juga sekaligus sebagai program kompensasi pengurangan subsidi BBM yang dilaksanakan kurun 2003-2005. Program BOS dimaksudkan sebagai subsidi biaya operasional sekolah kepada semua peserta didik wajib belajar dan disalurkan langsung melalui satuan pendidikan sehingga diharapkan satuan pendidikan tidak lagi memungut biaya operasional sekolah kepada peserta didik, terutama siswa dari masyarakat miskin.
D ana B OS bertujuan mem bebas k an biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu untuk meringankan beban bagi siswa dan menurunkan keterbatasan akses terhadap pendidikan dasar yang diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah dalam rangka mendukung pencapaian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang tertuang pada UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam konteks ini, pada prinsipnya Program BOS dicanangkan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat, khususnya siswa dari keluarga
kurang mampu untuk mengakses pendidikan yang berkualitas dan mampu untuk mengentaskan wajib belajar sembilan tahun.
Berlawanan dengan harapan yang ada, kenyataannya bahwa angka putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar (dalam hal ini SD dan SMP) masih tinggi meskipun program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah dilaksanakan, khususnya pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Angka Putus Sekolah (%) Periode 2002/2003 – 2006/2007
Jenjang Tahun
Pendidikan 2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007 SD+MI 2,94 2,92 2,75 2,90 2,21
SMP+MTs 2,84 2,48 2,49 1,78 2,52
Sumber : Badan Peneli0an dan Pengembangan Pusat Sta0s0k Pendidikan Departemen
Pendidikan Nasional, 2007
Tabel 1 m enunjukkan bahwa angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan dasar SD setelah dilaksanakan program BOS pada tahun 2005 mengalami penurunan dari 2,90 persen menjadi 2,21 persen. Namun disisi lain, angka putus sekolah untuk jenjang SMP justru mengalami kenaikan dari 1,78 persen menjadi 2,52 persen pada tahun ajaran 2006/2007. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih belum memenuhi apa yang diharapkan.
A da beber ap a kem ungk inan f ak tor yang menyebabkan terjadinya isu adanya kenaikan angka putus sekolah tersebut, antara lain adalah faktor ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya tingkat pendapatan keluarga, masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya masalah kenakalan siswa dan adanya daya tarik untuk bekerja. Selain itu, dana BOS yang seharusnya secara konsep digunakan untuk meringankan beban siswa miskin yang terdapat di sekolah pada kenyataannya belum dapat mencakup secara keseluruhan jumlah siswa miskin dalam sekolah tersebut. Dalam hal ini banyak terjadi penyelewengan perihal pemanfaatan dana yang telah dialokasikan, hal tersebut mengakibatkan penyaluran dana BOS belum sesuai dengan yang diharapkan.
Penelitian mengenai dampak program pemerintah mengenai subsidi bidang pendidikan terhadap tingkat putus sekolah dan partisipasi sekolah memiliki hasil yang beragam. Cameron (2002) dalam studinya mengenai peran program beasiswa jaringan sosial (social safety net scholarships terhadap tingkat putus sekolah selama krisis di Indonesia tahun 1998 menunjukkan bahwa program JPS pendidikan cukup efektif dalam mengurangi putus sekolah pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) tapi tidak
memberikan dampak yang signifikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara itu, Borraz dan Gonzalez (2009) melakukan penelitian tentang program transfer tunai bersyarat (conditional cash transfer) untuk sektor pendidikan dasar terhadap tingkat partisipasi sekolah dan putus sekolah di Uruguay, dimana hasil penelitiannya program pemerintah tersebut tidak memiliki dampak pada tingkat partisipasi sekolah dan putus sekolah, tetapi mengurangi pekerja anak perempuan. Sementara itu, Duffo (2001) melakukan penelitian tentang dampak program INPRES terhadap capaian tingkat pendidikan dan pendapatan di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Program INPRES untuk pembangunan sekolah dasar di Indonesia mengarah pada suatu peningkatan dalam pencapaian pendidikan di Indonesia. Pada intinya, program tersebut telah mendorong suatu proporsi populasi yang signifikan untuk menyelesaikan tahun pendidikan dasar. Peningkatan ini diterjemahkan menjadi suatu peningkatan pada gaji untuk tiap sekolah tambahan yang dibangun per 1000 anak. Selanjutnya, Robert Sparrow (2004) menganalisis dampak dari program beasiswa di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1998 untuk melihat akses pendidikan bagi orang miskin selama krisis ekonomi. Program tersebut telah meningkatkan jumlah yang bersekolah, terutama untuk anak-anak usia sekolah dasar dari rumah tangga pedesaan miskin. Selain itu, beasiswa telah membantu konsumsi rumah tangga selama krisis, menghilangkan tekanan pada investasi pendidikan rumah tangga dan penggunaan tenaga kerja anak.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan studi yang telah dilakukan, namun secara umum bahwa dengan adanya program pemerintah di bidang pendidikan diharapkan mempunyai dampak yang krusial dalam meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan tingkat putus sekolah. Dalam beberapa kasus, program tersebut dapat meningkatkan jumlah anak yang bersekolah, menurunkan tingkat pekerja anak, meningkatkan pengeluaran bahan makanan (food expenditure), memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan (Ponce dan Bedi, 2010). Berdasarkan permasalahan mengenai tingkat putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar setelah program BOS dilaksanakan dan studi empiris yang telah dilakukan sebelumnya maka tulisan ini ditujukan untuk menganalisis dampak pelaksanan Program BOS terhadap tingkat putus sekolah di Indonesiaselama kenaikan harga BBM di Indonesia.
Gambaran Umum Program BOS
Latar belakang munculnya Program BOS adalah adanya kebijakan Pemerintah untuk merelokasi anggaran dalam rangka mengurangi beban masyarakat yang terbebani oleh pengurangan subsidi untuk BBM. Ada 4 (empat) sektor alokasi anggaran subsidi bahan bakar minyak antara lain untuk: bidang pendidikan, kesehatan, bantuan infrastruktur pedesaan dan Subsidi Langsung Tunai ( SLT).
Dalam bidang pendidikan, konsep Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) untuk SD dan SMP yang semula program Bantuan Khusus Murid (BKM) dan penyalurannya langsung diberikan kepada siswa/murid miskin yang telah diseleksi oleh sekolah sesuai alokasi anggaran yang diterima. Selanjutnya, program tersebut telah diubah menjadi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan, dimana besarnya dana untuk tiap tiap sekolah ditetapkan berdasarkan jumlah murid.
Program BOS mulai dilaksanakan pada bulan Juli 2005 dan dana yang disalurkan melalui program ini ditransfer secara langsung dari pemerintah pusat ke rekening bank masing-masing sekolah. Dana tersebut dimaksudkan untuk menekan atau menghapuskan biasa SPP, sambil tetap mempertahankan kualitas pendidikan. Menurut pedoman program BOS tahun 2005, biaya operasional dapat mencakup biaya pendaftaran siswa baru, buku pelajaran dan buku bacaan, alat tulis, ujian, pengembangan dan pelatihan guru, perawatan sekolah, biaya transportasi untuk siswa miskin, gaji guru honorer, serta biaya listrik, air dan telepon. Program BOS bukan hanya semata-mata mengejar adanya pemerataan perluasan akses, namun program BOS juga menyasar adanya peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta untuk tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Adapun sasaran atau target Program BOS itu sendiri adalah semua lembaga Sekolah setingkat SD, SMP, baik negeri maupun Swasta di seluruh Provinsi di Indonesia.
Melalui program BOS maka setiap pelaksana program pendidikan harus memperhatikan hal-hal berikut (Buku Panduan pelaksanaan program BOS, 2005) :76
-
1) BOS harus menjadi sarana penting mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun;
-
2) Melalui BOS tidak boleh ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran/ pungutan yang dilakukan oleh sekolah/madrasah/ ponpes;
-
3) Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah se-
tingkat SMP. Tidak boleh ada tamatan SD/MI/se-tara tidak dapat melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB dengan alasan mahalnya biaya masuk sekolah;
-
4) Kepala sekolah/madrasah/ponpes mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus dan berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah.
DATA DAN METODOLOGI
Tulisan ini menggunakan teknik estimasi differencein-difference (DID) untuk menganalisis dampak pelaksanaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terhadap tingkat putus di Indonesia, yaitu.
Yijt = a0 + a1BOSij + gtt+dBOSij*t + X’ijtb + vijt (1)
dimana Yijt adalah variabel yang menggambarkan jumlah putus sekolah individu i dalam rumah tangga j pada tahun t, dimana individu ini merujuk pada siswa yang putus sekolah usia 7-15 tahun (usia SD dan SMP), BOS adalah dummy variabel, yaitu 1 = invididu i dalam rumah tangga j yang menerima program BOS pada tahun t, 0 = individu i dalam rumah tangga j yang tidak menerima program BOS pada tahun t. Sementara itu, t adalah dummy variabel periode waktu dimana 1= tahun 2007 dan 0 = tahun 2000. Selanjutnya, Xij berturut-turut adalah variabel-variabel karateristik rumah tangga dan individu, sedangkan vijt ialah error term untuk individu i pada rumah tangga j pada tahun t.
Parameter pada persamaan (1) yang menjadi perhatian (interest parameter) adalah δ, yaitu estimator difference in difference yang mengukur dampak program BOS terhadap kelompok treatment. Dalam tulisan ini, variabel program menggunakan binary, dimana kelompok treatment adalah individu i yang bersekolah pada usia 7-15 tahun dan menerima manfaat program BOS. Sementara itu, kelompok kontrol adalah individu i yang tidak bersekolah pada usia 7-15 tahun dan tidak menerima manfaat program BOS. Dengan demikian, δ mengukur perubahan penerima manfaat program BOS diantara usia 7-15 tahun yang berada pada treatment relatif terhadap individu yang berada pada kelompok kontrol. Sementara itu, untuk menghindari terjadinya bias, pada tulisan ini akan memasukkan semua informasi yang digunakan dalam perhitungan, khususnya bagi siswa yang sebelumnya pernah menerima manfaat BOS namun saat periode penelitian sudah menginjak
usia antara 16-20 tahun atau bukan usia SD dan SMP.
Persamaan (1) di atas, mungkin dapat menyebabkan bias apabila ada beberapa karateristik rumah tangga yang unobserved dan time invariant yang dapat mempengaruhi outcome. Selain itu, bias dapat terjadi karena masalah endogeneity yang muncul dari keputusan rumah tangga untuk mengikuti program atau tidak (self selection bias). Dengan demikian, untuk mengontrol penempatan program yang tidak secara acak (non random) dan unobserved charateristics dari rumah tangga dan individu dalam partisipasi program maka diantisipasi oleh metode fixed effects pada tingkat rumah tangga sehingga masalah bias dapat diatasi. Dengan demikian, dengan menggunakan fixed eeffects rumah tangga sehingga persamaan (1) menjadi sebagai berikut :
Yijt = a0+ a1BOSij+ gtt+ dBOSij*t + X’ijtb + aj + vijt (2)
Data dalam tulisan ini menggunakan data hasil survey IFLS yang dikumpulkan oleh RAND Corporation. Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah panel data dari IFLS-3 dan IFLS-4 (The Indonesia Family Life Survey) tahun 2000 dan 2007 untuk menangkap periode sebelum dan sesudah diberlakukan program bantuan BOS terhadap tingkat putus sekolah pada saat terjadi kenaikan harga BBM di Indonesia tahun 2005. IFLS merupakan survey longitudinal dibidang sosial ekonomi dan kesehatan, dimana survey dilakukan dengan mengumpulkan data individu, termasuk rumah tangga dan komunitas masyarakat terkecil ditempat mereka tinggal dan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang digunakan. IFLS wave pertama (IFLS1) dilakukan pada tahun 1993 dengan mencakup responden kurang lebih sebanyak 7.244 rumah tangga. IFLS wave kedua (IFLS2) dilakukan pada tahun 1997 dan pada tahun 1998 dilakukan survey kembali (IFLS2+) dengan dengan 25 persen sampel yang bertujuan untuk mengukur dampak jangka pendek krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Selanjutnya, IFLS3 dengan sampel penuh (full sampel) yang dilakukan pada tahun 2000. Sementara itu, IFLS4 dilaksanakan pada akhir 2007 sampai dengan awal 2008 dengan responden yang sama di tahun 1993. Sebanyak 13.535 rumah tangga dan 44.103 individu (Strauss et al, 2009).
Penggunaan data tersebut diharapkan memberikan informasi mengenai karateristik sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkat putus sekolah pada usia tingkat SD dan SMP, antara lain yaitu jumlah anggota rumah tangga, usia kepala rumah tangga, status pekerjaan rumah tangga selama 1 tahun terakhir, status perkawinan rumah tangga, jenis kelamin kepala
rumah tangga, pengeluaran per kapita, jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalam rumah tangga 1 tahun terakhir, status pekerjaan kepala rumah tangga, jumlah anak yang sekolah, usia anak sekolah dan jenis kelamin anak sekolah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data
Sebelum mengestimasi persamaan (1) dan (2) akan dibahas terlebih dahulu deskriptif statistik tentang jumlah putus sekolah usia 7-15 tahun. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan antara rata-rata jumlah putus sekolah tahun 2000 dan 2007, dimana secara statistik rata-rata jumlah putus sekolah pada tahun 2007 sebesar 0,1444 atau lebih tinggi 0,0325 dibandingkan rata-rata jumlah putus sekolah pada tahun 2000. Sementara itu, jumlah penerima BOS usia 7-15 pada tahun 2007 mempunyai rata-rata secara statistik sebesar 1,3301 atau lebih tinggi sebesar 0,0521 dibandingkan rata-rata jumlah penerima BOS usia 7-15 pada tahun 2000. Sedangkan, jumlah anak usia 16-20 tahun yang sebelumnya telah menerima manfaat BOS memiliki rata-rata lebih tinggi pada tahun 2007 daripada tahun 2000 yang mencapai rata-rata 0,0361.
Berdasarkan karateristik rumah tangga yang secara statistik memiliki rata-rata lebih tinggi pada tahun 2007 dibandingkan pada tahun 2000 adalah jumlah anggota rumah tangga, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalam rumah tangga. Sementara itu, dari karateristik individu, jumlah anak yang sekolah dan usia anak sekolah pada tahun 2007 memiliki rata-rata secara statistik lebih tinggi dibandingkan tahun 2000. Dengan demikian, berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa jumlah putus sekolah usia 7-15 tahun selama tahun 2000 dan 2007 mengalami peningkatan. Namun, deskripsi data tersebut belum bisa dijadikan kesimpulan apapun berkaitan dengan banyaknya jumlah penerima bantuan program BOS dengan tingkat putus sekolah yang terjadi. Hal ini disebabkan jumlah penerima manfaat bantuan program BOS saja belum cukup untuk menjelaskan rendahnya tingkat putus sekolah tanpa mempertimbangkan variabel penting lainnya.
Estimasi Difference In Difference Mengenai Dampak Program BOS Terhadap Jumlah Tingkat Putus Sekolah Usia 7-15 Tahun
Tabel 3 menunjukkan tingkat putus sekolah sebelum dan sesudah adanya program BOS. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa perbedaan dalam
Tabel 2. Sta0s0ka Deskrip0f
Keterangan |
Mean 2000 (Std. Dev.) |
Mean 2007 (Std. Dev.) |
Jumlah anak putus sekolah usia 7‐15 |
0.1119 |
0.1444 |
Tahun |
(0.4365) |
(0.4485) |
Observasi |
11429 |
23826 |
Jumlah penerima BOS usia 7‐15 tahun |
1.2781 |
1.3301 |
Observasi |
(0.9317) |
(1.0111) |
11429 |
23826 | |
Jumlah anak usia 16‐20 tahun yang |
0.2951 |
0.3312 |
sebelumnya telah menerima BOS |
(0.5486) |
(0.6371) |
Observasi |
11429 |
23826 |
Jumlah Anggota Rumah Tangga |
5.0447 |
5.3263 |
(1.9543) |
(2.0916) | |
Observasi |
11429 |
23826 |
Usia Kepala Rumah Tangga |
44.1721 |
44.4599 |
(12.4087) |
(12.5455) | |
Observasi |
11429 |
23826 |
Status Perkawinan Kepala Rumah Tangga |
0.8535 |
0.8530 |
(Menikah = 1) |
(0.3536) |
(0.3541) |
Observasi |
11429 |
23826 |
Jenis Kelamin Kepala Keluarga (Laki‐ |
0.8487 |
0.8535 |
laki=1) |
(0.3583) |
(0.3536) |
Observasi |
11429 |
23826 |
Pengeluaran Perkapita |
505770 |
359544 |
(481030.5) |
(411432.7) | |
Observasi |
11429 |
23826 |
Jumlah Anggota Rumah Tangga yang |
2.0856 |
2.1506 |
Bekerja dalam Rumah Tangga |
(1.2248) |
(1.2726) |
Observasi |
11429 |
23826 |
Status Pekerjaan Rumah Tangga (Bekerja |
0.8914 |
0.8909 |
= 1) |
(0.3111) |
(0.3118) |
Observasi |
11429 |
23826 |
Pendidikan Kepala Rumah Tangga |
7.4716 |
6.9791 |
(4.5388) |
(4.5743) | |
Observasi |
11429 |
23826 |
Jumlah Anak yang Bersekolah |
1.5732 |
1.6614 |
(1.0360) |
(1.1370) | |
Observasi |
11429 |
23826 |
Usia Anak Sekolah |
13.1660 |
13.4742 |
(4.0888) |
(4.0679) | |
Observasi |
11429 |
23826 |
Sumber : IFLS 3 dan IFLS 4
perubahan tingkat putus sekolah antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (treatment tidak signifikan secara statistik. Analisis ini mengindikasikan bahwa siswa yang berusia 7-15 tahun dan menerima manfaat program BOS berpengaruh terhadap penurunan tingkat putus sekolah dari 1,001 menjadi 0,053 poin atau mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,948 poin. Sementara itu, anak yang berusia 7-15 tahun dan tidak menerima manfaat program BOS relatif lebih efektif dalam menurunkan tingkat putus sekolah dari 1,024 menjadi 0,072 poin atau mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,952 poin. Hasil difference in difference menunjukkan bahwa dampak bantuan BOS terhadap siswa usia 7-15 tahun yang menerima manfaat bantuan tersebut terhadap tingkat putus sekolah adalah 0,004 poin lebih rendah daripada anak yang tidak menerima bantuan BOS. Meskipun demikian, hasil tersebut tidak signifikan secara statistik. Namun, hasil estimasi difference in difference tersebut masih belum tepat karena tidak memasukkan semua informasi yang digunakan dalam perhitungan, khususnya bagi anak yang sebelumnya pernah menerima manfaat BOS namun saat ini sudah
menginjak usia antara 16-20 tahun.
Apabila hanya memperhitungkan pengaruh siswa usia 16-20 tahun yang sebelumnya telah menerima manfaat BOS maka hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan dalam perubahan tingkat putus sekolah antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (treatment) berpengaruh signifikan secara statistik pada tingkat 99 persen. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa siswa berusia 16-20 tahun yang sebelumnya telah menerima manfaat program BOS berpengaruh terhadap peningkatan tingkat putus sekolah dari 0,008 menjadi 0,027 poin atau mengalami kenaikan tingkat putus sekolah rata-rata sebesar 0,019 poin. Sedangkan anak yang berusia 1620 tahun yang sebelumnya tidak menerima manfaat program BOS justru berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah dari 0,168 menjadi 0,033 poin atau mengalami penurunan tingkat putus sekolah rata-rata sebesar 0,135 poin. Sementara itu, hasil estimasi difference in difference menunjukkan bahwa dampak bantuan BOS pada siswa usia 16-20 yang sebelumnya telah menerima terhadap tingkat putus sekolah adalah 0,154 poin lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menerima bantuan BOS.
Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengenai hasil ini. Pertama, manfaat program BOS sejak awal pelaksanaannya bagi pencegahan putus sekolah (DO) masih rendah, khususnya pada usia 13-15 tahun atau setara dengan tingkat SMP. Hal itu dikarenakan kebanyakan orang tua yang mempunyai anak yang terkena putus sekolah (DO) (beberapa di antaranya baru putus sekolah pada TA 2005/2006) tidak mengetahui adanya Program BOS di sekolah anaknya. Selain itu, pihak sekolah juga kurang menyadari bahwa Program BOS antara lain ditujukan untuk mencegah putus sekolah, namun hal tersebut kurang ditekankan dalam sosialisasi maupundalam perjanjian penerimaan bantuan. Oleh sebab itu, sekolah cenderung tidak melakukan upaya-upaya khusus untuk mencegah tingkat putus sekolah. Kedua, masalah putus sekolah di tingkat SMP juga tidaksemata-mata disebabkan ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga karena faktor-faktor lain seperti kenakalan siswa dan adanya daya tarik untuk bekerja (SMERU, 2006). Ketiga, selama awal pelaksanaan program BOS, tingkat penyaluran dananya disinyalir bermasalah, antara lain adanya penggelembungan jumlah siswa, pengajuan tanpa izin dan penggunaan dana tak sesuai peruntukan, tidak efektifnya sosialisasi yang dilakukan DEPDIKNAS. Hanya ada 3 (tiga) provinsi yang relatif baik dalam permasalahan tersebut yaitu Jambi, Gorontalo dan Kalimantan Timur (BAPPENAS,2008). Keempat, dampak program BOS akan efektif terhadap penurunan
tingkat putus sekolah dalam jangka panjang. Kelima, terdapat banyak faktor mengapa anak yang berusia pendidikan dasar tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya di Indonesia. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal utama meskipun kesemuanya tampak saling terkait saling berkaitan satu sama lain, yaitu : (1) Institusional, yaitu yang terdapat di lingkungan sekolah dan mencakup para guru, kurikulum, kesesuaian atau relevansi dan mutu, pengelolaan dan pencapaian yang rendah; (2) Kontekstual, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan bagaimana dan dimana tempat tinggal anak tersebut termasuk lokasi dan latar belakang keluarga serta kemampuan ekonomi rumah tangga; (3) Individual, yaitu yang berkaitan dengan kaum muda itu sendiri dan mencakup kinerja akademis, jenis kelamin dan usia (USAID, 2006).
Tabel 3. Hasil Evaluasi Dampak dengan DID
Model |
Tingkat Putus Sekolah Usia 7 ‐ 15 | ||
Before (2000) |
A<er (2007) |
A<er -Before | |
a. Usia 7‐15 Tahun | |||
Usia 7-15 Tahun yang 0dak bersekolah dan 0dak menerima manfaat BOS (Control) |
1.024 |
0.072 |
‐0.952 |
Usia 7‐15 Tahun yang bersekolah dan menerima manfaat BOS ( Treatment) |
1.001 |
0.053 |
‐0.948 |
Difference |
‐0.023 |
‐0.019 |
0.004 |
b. Usia 16‐20 Tahun | |||
Usia 16-20 Tahun yang 0dak bersekolah dan 0dak menerima manfaat BOS (Control) |
0.168 |
0.033 |
‐0.135 |
Usia 16‐20 Tahun yang sebelumnya bersekolah dan menerima manfaat BOS ( Treatment) |
0.008 |
0.027 |
0.019 |
Difference |
‐0.16 |
‐0.006 |
0.154*** |
Keterangan :
*Signikan pada 0ngkat 10 persen.
**Signifikan pada 0ngkat 5 persen.
***Signifikan pada 0ngkat 1 persen.
Estimasi Dampak Penerima Bantuan BOS Terhadap Jumlah Tingkat Putus Sekolah Usia 7-15 Tahun Dengan Memperhitungkan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dan Individu
Pada Tabel 4 menunjukkan hasil dampak program BOS terhadap jumlah tingkat putus sekolah usia 7–15 tahun dengan memperhitungkan beberapa karakteristik rumah tangga dan individu, dimana teknik estimasi menggunakan fixed ejfect pada tingkat rumah tangga untuk mengontrol pengaruh time invariant dan faktor-faktor unobserved yang dapat mempengaruhi outcome. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa siswa dengan usia 7-15 tahun yang bersekolah dan menerima manfaat bantuan BOS berdampak pada peningkatan tingkat putus sekolah sebesar 0,0253 poin. Namun koefisien tersebut tidak signifikan secara statistik. Sementara itu, jika dilihat dari karateristik rumah tangga maka jumlah anggota
rumah tangga berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah sebesar 0,0391 dan signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99 persen. Artinya, apabila terjadi kenaikan jumlah anggota rumah tangga sebesar 1 poin maka akan meningkatkan tingkat putus sekolah sebesar 0,0391 poin asumsi ceteris paribus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang menunjukan bahwa banyaknya jumlah anggota keluarga cenderung dapat menyebabkan tingginya tingkat putus sekolah. Hal ini dikarenakan bahwa dengan banyaknya jumlah keluarga mengakibatkan kepala keluarga menjadi sibuk untuk mencukupi keperluan keluarga dan juga menyebabkan kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya dan harus bekerja demi kelangsungan hidup keluarganya sehingga menimbulkan kerentanan terhadap tingkat putus sekolah (Cameron, 2002).
Karakteristik anak yang secara statistik signifikan berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah adalah jumlah anak yang bersekolah sebesar 0,0272 pada tingkat kepercayaan 99 persen. Artinya, apabila terjadi peningkatan jumlah anak bersekolah sebesar 1 poin maka akan menurunkan tingkat putus sekolah sebesar 0,0272 poin asumsi ceteris paribus. Hasil ini konsisten dengan hasil studi sebelumnya (Dehejia et al. (2006)) yang menyatakan bahwa faktor-faktor orang tua, seperti tingkat kemampuan, kesadaran dan perhatian orang tua yang tinggi dalam menempatkan nilai terhadap pendidikan formal cenderung tidak akan mengirimkan anak-anaknya untuk bekerja, namun berusaha untuk mempertahankan agar anaknya tetap bersekolah. Dengan demikian, banyaknya anak yang bersekolah maka secara tidak langsung akan meningkatkan partisipasi sekolah dan menurunkan tingkat putus sekolah. Sementara itu, variabel jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalam rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga apabila laki-laki, status pekerjaan rumah tangga jika bekerja, pengeluaran perkapita dan pendidikan kepala rumah tangga berturut-turut berpengaruh positif terhadap penurunan tingkat putus sekolah masing-masing sebesar 0,0035 poin, 0,0033 poin, 0,0071 poin, 0,0035 persen dan 0,0005 poin. Sedangkan variabel usia kepala rumah tangga, status perkawinan kepala rumah tangga menikah berpengaruh negatif terhadap penurunan tingkat putus sekolah sebesar 0,0009 poin dan 0,0239 poin. Namun semua koefisien variabel tersebut tidak memperlihatkan hasil yang siginifikan secara statistik.
Tabel 4. Hasil Regresi Penerima BOS Usia 7‐15 Tahun Dengan Memperhi‐ tungkan Karateris0k Rumah Tangga dan Individu
Model |
POOLED OLS |
FIXED EFFECT |
Terima Bos Usia 7‐15 |
‐1.0439*** |
‐0.9410*** |
(0.0319) |
(0.0595) | |
Tahun (2007=1) |
‐0.0278 |
‐0.0222 |
(0.0411) |
(0.0747) | |
DID |
0.02556 |
0.0253 |
(0.0413) |
(0.0763) | |
Jumlah Anggota Rumah Tangga |
0.0408*** |
0.0391*** |
(0.0047) |
(0.0080) | |
Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Bekerja |
‐0.0075 |
0.0035 |
dalam Satu Rumah Tangga |
(0.0064) |
(0.0114) |
Usia Kepala Rumah Tangga |
‐0.0009*** |
‐0.0009 |
(0.0003) |
(0.0007) | |
Jenis Kelamin Kepala Keluarga (Laki‐laki=1) |
‐0.0298* |
0.0033 |
(0.0169) |
(0.0340) | |
Status Pekerjaan Rumah Tangga (Bekerja = 1) |
0.0364** |
0.0071 |
(0.0145) |
(0.0270) | |
Log(Pengeluaran Perkapita) |
‐0.0144** |
0.0035 |
(0.0064) |
(0.0140) | |
Pendidikan Kepala Rumah Tangga |
‐0.0066*** |
0.0005 |
(0.0009 |
(0.0038) | |
Status Perkawinan Kepala Rumah Tangga |
0.0072 |
‐0.0239 |
(Menikah = 1) |
(0.0168) |
(0.0351) |
Jumlah Anak yang Bersekolah |
‐0.0394*** |
‐0.0272*** |
(0.0060) |
(0.0096) | |
Usia Anak Sekolah |
‐0.0026** |
‐0.0016 |
(0.0013) |
(0.0021) | |
_cons |
1.2511*** |
0.8631*** |
(0.0831) |
(0.1826) | |
R‐squared |
0.5296 |
0.4850 |
Keterangan :
Standard Error dalam model adalah Robust Standard Error
*Signikan pada 0ngkat 10 persen.
**Signifikan pada 0ngkat 5 persen.
***Signifikan pada 0ngkat 1 persen.
Estimasi Dampak Penerima Bantuan BOS Terhadap Jumlah Tingkat Putus Sekolah Usia 16-20 Tahun Dengan Memperhitungkan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dan Individu
Tabel 5 memperlihatkan hasil estimasi dengan memperhitungkan siswa yang sebelumnya pernah menerima manfaat BOS namun saat ini sudah menginjak usia antara 16-20 tahun. Koefisien dampak program BOS terhadap tingkat putus sekolah memperlihatkan hasil yang signifikan secara statistik. Hasil ini konsisten dengan perhitungan difference in difference, dimana dampak program BOS pada siswa yang sebelumnya pernah menerima bantuan dan sekarang telah berusia 16-20 tahun berpengaruh positif terhadap tingkat putus sebesar 0,1637 poin dan signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Karateristik rumah tangga yang berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah adalah status pekerjaan kepala rumah tangga jika bekerja yang mencapai 0,1263 dan signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 95 . Artinya, jika terjadi peningkatan sebesar 1 poin status pekerjaan rumah
tangga jika bekerja maka akan menurunkan tingkat putus sekolah sebesar 0,1263 poin dengan asumsi cateris paribus. Hasil ini memperlihatkan bahwa tingkat putus sekolah banyak disebabkan tidak hanya karena ketidakmampuan secara ekonomi, termasuk jika kepala rumah tangga tidak bekerja. Hal ini akan mengakibatkan anak-anak mereka dilibatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga merasa terbebani dengan masalah ekonomi ini. Dalam jangka panjang, dapat menyebabkan anak usia sekolah terpaksa putus sekolah dan masuk ke pasar kerja dalam usia muda guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya (ILO, 2006). Sebaliknya, jika kepala rumah tangga bekerja maka akan cenderung untuk tidak melibatkan anak mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan berusaha menjaga anak-anaknya agar tetap bersekolah. Oleh karena itu, kondisi tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan tingkat putus sekolah. Sementara itu, karateristik anak yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat putus sekolah adalah jumlah anak yang sekolah. Jumlah anak yang bersekolah berpengaruh negatif terhadap tingkat penurunan putus sekolah sebesar 0,0372 poin pada tingkat kepercayaan 90 . Artinya, jika terjadi peningkatan 1 poin jumlah usia sekolah maka akan menurunkan tingkat putus sekolah sebesar 0,0372 poin dengan asumsi cateris paribus. Sementara itu, variabel-variabel lainnya yaitu jumlah anggota rumah tangga,jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalamrumah tangga, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala keluarga, pengeluaran perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, status perkawinan kepala rumah tangga dan usia anak sekolah tidak signifikan secara statistik.
SIMPULAN
Dampak bantuan BOS terhadap siswa usia 7-15 tahun terhadap tingkat putus selama periode penelitian lebih rendah daripada yang tidak menerima bantuan BOS, namun tidak signifikan secara statistik. Sementara itu, jika hanya memperhitungkan pengaruh siswa usia 16-20 tahun yang sebelumnya telah menerima manfaat BOS terhadap tingkat putus sekolah hasilnya menunjukkan bahwa dampak program BOS justru berpengaruh positif terhadap tingkat putus sekolah. Namun, anak yang berusia 16-20 tahun yang sebelumnya tidak menerima manfaat program BOS justru berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, manfaat program BOS selama pasca kenaikan BBM di Indonesia selama periode penelitian masih dirasakan
Tabel 5. Hasil Regresi Penerima BOS Usia 16‐20 Tahun Dengan Memper‐ hitungkan Karateris0k Rumah Tangga dan Individu
Model |
POOLED OLS |
FIXED EFFECT |
Terima Bos usia 16‐20 |
‐0.0910*** |
‐0.0583 |
(0.0184) |
(0.0486) | |
Tahun (2007=1) |
‐0.0282 |
‐0.2124*** |
(0.0194) |
(0.0618) | |
DID |
0.0650 |
0.1637*** |
(0.0195) |
(0.0591) | |
Jumlah Anggota Rumah Tangga |
0.0336*** |
0.0224 |
(0.0061) |
(0.0152) | |
Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Bekerja |
‐0.0028 |
0.0230 |
dalam Satu Rumah Tangga |
(0.0072) |
(0.0229) |
Usia Kepala Rumah Tangga |
‐0.0012*** |
‐0.0026 |
(0.0004) |
(0.0023) | |
Jenis Kelamin Kepala Keluarga (Laki‐laki=1) |
0.0123 |
0.0577 |
(0.0220) |
(0.0913) | |
Status Pekerjaan Rumah Tangga (Bekerja = 1) |
0.0235 |
‐0.1263** |
(0.0169) |
(0.0617) | |
Log (Pengeluaran Perkapita) |
‐0.0113 |
0.0155 |
(0.0080) |
(0.0302) | |
Pendidikan Kepala Rumah Tangga |
‐0.0066*** |
‐0.0132 |
(0.0013) |
(0.0095) | |
Status Perkawinan Kepala Rumah Tangga |
‐0.0392* |
‐0.0246 |
(Menikah = 1) |
(0.0228) |
(0.0739) |
Jumlah Anak yang Bersekolah |
‐0.0169** |
‐0.0372* |
(0.0075) |
(0.0217) | |
Usia Anak Sekolah |
‐0.0119*** |
0.0165 |
(0.0044) |
(0.0141) | |
_cons |
0.4117*** |
‐0.1601 |
(0.1227) |
(0.5240) | |
R‐squared |
0.0879 |
0.1220 |
Keterangan :
Standard Error dalam model adalah Robust Standard Error
*Signikan pada 0ngkat 10 persen.
**Signifikan pada 0ngkat 5 persen.
***Signifikan pada 0ngkat 1 persen.
belum efektif dalam menurunkan tingkat putus pada tingkat pendidikan dasar. Sementara itu, faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat putus sekolahdalam tulisan ini selama periode penelitian, antara lain yaitu: status kepala rumah tangga apabila bekerja, jumlah anggota rumah tangga dan jumlah anak yang bersekolah. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan suatu evaluasi awal mengenai dampak program BOS tingkat putus sekolah anak. Meskipun demikian, masih banyak terdapat keterbatasan pada tulisan ini, terutama berkaitan dengan metodologi dan masih banyaknya faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh pada tingkat putus sekolah. Misalnya, pengaruh faktor geografis, akses individu ke sekolah, jenis kelamin, mutu sekolah, kualitas guru dan pengajaran, sekolah negeri dan swasta, kurikulum dan lainnya.
SARAN
Selama periode penelitian menunjukkan bahwa dampak BOS terhadap tingkat putus sekolah masih relatif rendah atau belum efektif. Beberapa hal yang paling mendesak yang sekiranya perlu diperbaiki ke depan adalah melakukan sosialisasi yang dilakukan
pihak sekolah dan pihak terkait lainnya untuk menekankan bahwa BOS bertujuan antara lain untuk mencegah tingkat putus sekolah. Selain itu, besaran dana itu sendiri yang dirasakan selama ini belum mencukupi serta mekanisme pelaksanaannya belum optimal. Oleh karena itu, adanya penghematan anggaran karena pemangkasan subsidi BBM maka besaran BOS masih sangat berpeluang untuk ditingkatkan. Selain itu, perlunya partisipasi semua pihak untuk mengawal pelaksanaan program BOS, mulai dari sosialisasi sampai pada tingkat pengawasan.
REFERENSI
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Statistik Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2008). “Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun 2007/2008”. Depdiknas, Jakarta.
Bank Indonesia. (2005). “Laporan Perekonomian Indonesia 2005”. Bank Indonesia.
Cameron, Lisa. (2002). “Can a public scholarship program successfully reduce school drop-outs in a time of economic crisis? Evidence from Indonesia”. Dept of Economics. University of Melbourne.
Cameron and Trivedi. (2009). “Microeconometrics Using Stata”. Revised Edition. A Stata Press Publication. StataCorp LP.
Dehejia, R et al. (2006). “Child Labor and Agricultural Shocks”.
Journal Development Econonomics 81:80–96
Dufllo, Esther. (2001). “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment”. The American Economic Review.
ILO. (2006). “Pasar Tenaga Kerja Orang Muda Indonesia dan Dampak Putus Sekolah Dini serta Pekerja Anak”. Organisasi Perburuhan Internasional . Jakarta. 2006.
Poncea J and Bedi S A. (2010). “The impact of a cash transfer program on cognitive achievement: The Bono de Desar-rollo Humano of Ecuador”. Economics of Education Review 29 (2010) 116–125.Elsevier.
SMERU. (2006). “Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan: Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2005”. Jakarta
Sparrow, Robert. (2004) “Protecting Education for the Poor in Times of Crisis: An Evaluation of a Scholarship Program in Indonesia”. SMERU Working Paper. October 2004
Strauss, John et.al (2009). “The Fourth Wave of The Indonesia Family Life Survey : Overview and Field Report. Volume 1”. RAND Labor and Population Working Paper Series.
USAID. (2006). “Apa yang sedang dikerjakan di Tingkat Nasional untuk Memastikan Semua Kaum Muda Indonesia yang Menyelesaikan Pendidikan Dasar?. Laporan Penelitian Tingkat Putus Sekolah di Tingkat Nasional.USAID: Decentralizaed Basic Education 3 : Life Skills for Youth
15
Discussion and feedback