TREND PRODUKTIFITAS INDUSTRI PRODUK ESKPOR INDONESIA
on
Trend Produktifitas Industri Produk Eskpor Indonesia
JEKT^10 [1] : 47-57
plSSΝ : 2301 - 8968 elSSΝ : 2303 -0186
Ni Putu Wiwin Setyari* Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
ABSTRAK
Teori perdagangan internasional yang berbicara mengenai keunggulan komparatif dari Heckscher-Ohlin (H-O) model menunjukkan jika sebuah negara akan berspesialisasi dalam produk yang menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara melimpah. Dengan kata lain, negara berkembang yang notebene relatif lebih kaya akan tenaga kerja daripada modal akan berspesialisasi dalam produk-produk yang bersifat padat karya dan akan menjadi net eksportir dari produk tersebut dalam transaksi internasional. Demikian sebaliknya terjadi di negara maju atau negara industri yang lebih kaya akan modal, akan menjadi net eksportir produk-produk yang bersifat padat modal. Perdagangan internasional akan meningkatkan produktifitas rata-rata seluruh industri tapi industri dengan keunggulan komparatif akan menikmati peningkatan produktifitas yang lebih besar.
Perubahan produktifitas merupakan penyebab sekaligus konsekuensi evolusi kekuatan dinamis dalam perekonomian, perkembangan teknik, akumulasi modal manusia dan modal fisik, perusahaan dan pengaturan institusi. Karena itu penting jika kemudian trend produktifitas industri diidentifikasi untuk melihat dinamisme tersebut. Paper ini mencoba menunjukkan trend produktifitas produk eskpor, baik yang bersifat padat modal dan padat karya dari Indonesia. Hasil estimasi dengan menguji perbedaan rata-rata, median dan varian kedua kelompok industri menunjukkan jika produktifitas industri padat karya memang lebih tinggi daripada industri padat modal. Namun, pertumbuhan beberapa indikator perkembangan industri menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan diantara keduanya.
Kata Kunci: Total Factor Productivity, Investment/Capital, Neoclassical Models of Trade, Empirical Studies of Trade
Industry Productivity Trend of Indonesian Export Product
ABSTRACT
International trade theory which talking about comparative advantage from Heckscher-Ohlin (HO) models indicates if a country will specialize in products that use its abundance resources. In other words, developing countries are relatively rich in labor rather than capital would specialize in products that are labor intensive and will become a net exporter on these products in international transactions. The opposite occurs in developed countries or industrial countries which richer on capital will become a net exporter of the products that are capital intensive. International trade will increase the average productivity of the entire industry but the industry which has comparative advantage will enjoy greater productivity improvement.
Changes in productivity is the cause and consequence of the evolution of a dynamic force in the economy, the development of techniques, the accumulation of human capital and physical capital, firm and institutional settings. It is therefore essential if the industry productivity trends are identified to see such dynamism. This paper attempts to show the trend of productivity the entire Indonesian export products. The result indicates if the productivity of products in labor-intensive industry are higher than capital-intensive industry. However, the growth of industrial development indicators showed no significant difference between the two.
Keywords: Total Factor Productivity, Investment/Capital, Neoclassical Models of Trade, Empirical Studies of Trade.
PENDAHULUAN
Produktifitas atau efisiensi menjadi topik yang menarik. Ketertarikan masing-masing bidang terhadap produktifitas sangat tergantung pada kepentingan yang akan diangkat, namun ada benang merah diantara seluruh studi yaitu mendokumentasikan perbedaan produktifitas antar produser, bahkan antar industri. Hanya saja, pengukuran dan interpretasi perilaku pada level ekonomi mikro dan ekonomi makro membutuhkan penjelasan dari berbagai faktor kompleks yang menjadi tantangan tersendiri untuk para peneliti, pihak perusahaan maupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Perubahan produktifitas merupakan penyebab sekaligus konsekuensi evolusi kekuatan dinamis dalam perekonomian, perkembangan teknik, akumulasi modal manusia dan modal fisik, perusahaan dan pengaturan institusi (Nadiri, 1970). Berkembangnya data aktivitas detail dalam produksi ke dalam studi ekonomi memungkinkan peneliti untuk mempelajari tentang bagaimana perusahaan merubah input menjadi output. Perusahaan menggunakan kombinasi input yang berbeda dalam memproduksi satu unit output karena mereka menggunakan teknologi yang berbeda, yang kemudian dikatakan sebagai perbedaan produktifitas, atau karena mereka menghadapi perbedaan harga faktor, yang menyebabkan perusahaan mengambil titik batas produksi yang berbeda (Van Biesebroeck, 2004). Mengukur produktifitas pada dasarnya melibatkan perbedaan komposisi dalam kombinasi input output ke dalam pergerakan garis batas produksi dan pergeseran garis batas itu sendiri.
Produktifitas faktor total (Total Factor Productivity/TFP) seringkali merujuk pada residual atau indeks perkembangan teknik yang didefinisikan sebagai kombinasi output per tenaga kerja dan modal (Nadiri, 1970). Studi mengenai TFP dengan data antar negara yang mengestimasi pertumbuhan TFP hampir seluruhnya memberikan hasil yang berbeda. Salah satu alasan dari perbedaan tersebut adalah para peneliti menggunakan estimasi input kapital kasar berdasarkan pada data nasiona yang terkadang tidak dapat dijelaskan atau disesuaikan (Van der Eng, 2009). Karenanya perlu dipertimbangkan penggunaan data antar negara dalam studi bidang ini.
Pada tataran perekonomian makro, TFP telah terbukti memberikan dorongan serta pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menggunakan data time series (Van Der Eng, 2008; 2009). Hasil estimasi menunjukkan jika pertumbuhan ekonomi disebabkan karena adanya pertumbuhan stok kapital dan faktor input, bukan karena adanya perubahan teknologi atau efisiensi. Hasil ini mendukung tesis yang dikemukakan oleh beberapa studi terhadap fenomena pertumbuhan negara-negara Asia, salah satunya Indonesia, yang sering dikatakan sebagai sebuah keajaiban (Young, 1993; Krugman, 1994). Penjelasan lain dari pertumbuhan negara-negara Asia yang menakjubkan adalah karena negara-negara di wilayah ini cenderung lebih liberal (Sickles & Cigerli, 2009).
Jika dilihat dari konteks mikro, banyak studi empiris yang juga telah menjelaskan tentang faktor perkembangan industri Indonesia, khususnya industri manufaktur, diantaranya adalah Ikhsan-Modjo (2006) dan Sari (2004)) yang hampir selaras dengan hasil penelitian lainnya yang menyatakan jika output industri manufaktur Indonesia lebih disokong oleh akumulasi stok kapital dan input produksi lainnya, dibandingkan dengan TFP. Hasil estimasi sebelumnya juga menunjukkan jika terjadi trend penurunan dalam pertumbuhan TFP industri manufaktur Indonesia.
Paper ini mencoba untuk mengidentifikasi trend produktifitas setiap sektor, khususnya produk ekspor, yang diproduksi di Indonesia. Beberapa studi yang menguji produktifitas industri manufaktur Indonesia sejauh ini hanya menguji sektor manufaktur secara umum, tanpa memilih kelompok industri secara spesifik. Paper ini akan secara spesifik memilih industri yang menghasilkan produk ekspor sebagai bahan kajian dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mewajibkan seluruh negara-negara ASEAN untuk bersiap menghadapi pasar bebas, baik aliran barang maupun aliran modal. Mengidentifikasikan produk ekspor yang potensial untuk dikembangkan penting untuk dilakukan agar pemerintah dapat memberikan kebijakan yang tepat pada sektor yang tepat. Hasil dari model yang dikembangkan oleh Bernard et al. (2007) memprediksikan jika perdagangan internasional meningkatkan produktifitas rata-rata seluruh industri tapi industri dengan keunggulan komparatif akan menikmati peningkatan produktifitas yang lebih besar. Hasil estimasi TFP yang dilakukan oleh Ikhsan-Modjo (2006) menunjukkan jika tekanan kompetisi internasional dan penyebaran
pengetahuan pada era liberalisasi telah memberikan peningkatan pada level teknologi yang digunakan di sektor manufaktur Indonesia. Akses yang lebih besar ke pasar global memungkinkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk mengeksploitas skala ekonomis mereka. Manfaat positif dari perdagangan internasional sebagian besar akan terkandung di dalam industri produk ekspor. Susunan paper ini terdiri atas pendahuluan pada bagian pertama, penjelasan mengenai metodologi pada bagian kedua. Diskusi hasil disajikan pada bagian ketiga, sedangkan kesimpulan di bagian empat.
METODOLOGI
Data yang digunakan dalam paper ini adalah data output dan input industri yang masuk dalam kategori industri sedang dan besar di Indonesia pada leve perusahaan. Industri skala sedang adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99 orang, sedangkan industri skala besar adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih. Industri ini menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) adalah klasifikasi lapangan usaha yang berdasar kepada International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC). ISIC ini mengalami beberapa perubahan. Pada tahun 1990-1997 BPS menggunakan ISIC revisi 2 yang merupakan pengembangan dari ISIC pertama tahun 1968. ISIC ini disesuaikan dengan kondisi di Indonesia menjadi KLUI (Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia), dan dari tahun 1998 sampai 2009 menggunakan ISIC revisi 3 yang dikenal dengan KBLI. Mulai tahun 2010 digunakan KBLI 2009 yang disusun berdasarkan ISIC revisi 4 sesuai standar UN (BPS, 2010).
Masing-masing perusahaan memiliki nomer identitas yang diikuti perkembangannya setiap tahun atau data panel. Nomer identitas perusahaan berkode unik sesuai dengan KBLI pada klasifikasi lima digit yang kemudian akan dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok industri pada klasifikasi industri tiga digit. Sebelum dilakukan analisis, akan dilakukan pembersihan data terlebih dahulu. Perusahaan yang tidak memiliki data variabel yang dibutuhkan secara lengkap akan dihapus dari sampel. Karena terdapat perubahan klasifikasi maka masing-masing perusahaan akan dilacak melalui nomer
identitas dan disesuaikan dengan kode ISIC revisi 3 karena data dengan kode ISIC revisi 3 adalah yang terbanyak.
Analisis akan dilakukan melalui dua tahap analisis. Pertama mencari intensitas kapital yang digunakan oleh masing-masing industri yang ada di Indonesia. Perusahaan-perusahaan akan dimasukkan ke dalam kelompok sesuai kode ISIC pada level tiga digit. Tahap yang kedua adalah membandingkan intensitas kapital masing-masing industri dengan intensitas kapital rata-rata seluruh industri. Jika intensitas kapital industri i lebih besar daripada intensitas kapital rata-rata, maka industri i dikategorikan sebagai industri yang bersifat padat modal. Sebaliknya, jika intensitas kapital industri i lebih rendah daripada intensitas kapital rata-rata seluruh industri, maka industri i dikatakan bersifat padat karya (Ohno & Imaoka, 1987; Das & Kalita, 2009). Kemudian setiap produk akan dicari produktifitasnya. Asumsi yang digunakan disini adalah mengambil bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut (Van Beveren, 2008):
Yi = Ai Kβ Lβ Mfn (1)
dimana Yi menunjukkan output akhir perusahaan i. Ki, Li, dan Mi adalah nilai input kapital, tenaga kerja dan material (bahan baku dan penolong total) perusahaan i, sedangkan Ai merupakan level efisien Hicksian. Jika Yi, Ki, Li, dan Mit bisa diobservasi, nilai Ai sendiri tidak dapat diketahui nilainya. Persamaan diatas bisa dipecahkan ke dalam fungsi linier dengan menggunakan natural logarithma menjadi:
yi = ai+βkk + β li+βmmi + ε (2)
dimana αi menunjukkan efisiensi rata-rata antar perusahaan dalam sebuah industri sepanjang waktu, sedangkan εi merupakan deviasi rata-rata antar perusahaan dan antar waktu yang mungkin bisa terobservasi (paling tidak terprediksi) dan yang tidak terobservasi. Persamaan di atas kemudian dijadikan dasar untuk menghitung produktifitas perusahaan. Nilai estimasi efisiensi dan produktifitas industri i dapat dihitung dengan cara exp(α). Perkembangan produktifitas setiap industri i setiap tahunnya akan menggambarkan jenis-jenis produk ekspor yang memiliki produktifitas tinggi. Jika digabungkan dengan nilai RSCA masing-masing industri, maka akan dapat dikelompokkan jenis industri yang memiliki produktifitas tinggi dan
Tabel 1. Golongan Pokok Industri Indonesia yang Bersifat Padat Karya
Kode Produksi |
Sifat Industri |
Deskripsi Produk |
151 |
padat karya |
Pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak |
153 |
padat karya |
Penggilingan padi-padian, tepung, dan makanan ternak |
154 |
padat karya |
Makanan lainnya |
160 |
padat karya |
Pengolahan tembakau |
171 |
padat karya |
Pemintalan, pertenunan, pengolahan akhir tekstil |
172 |
padat karya |
Barang jadi tekstil dan permadani |
173 |
padat karya |
Perajutan |
174 |
padat karya |
Kapuk |
181 |
padat karya |
Pakaian jadi, kecuali untuk pakaian jadi berbulu |
191 |
padat karya |
Kulit dan barang dari kulit |
192 |
padat karya |
Alas kaki |
201 |
padat karya |
Penggergajian dan pengawetan kayu |
202 |
padat karya |
Barang-barang dari kayu, dan barang-barang anyaman |
210 |
padat karya |
Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya |
222 |
padat karya |
Percetakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pencetakan |
232 |
padat karya |
Pengilangan minyak bumi/gas bumi, dan barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi |
241 |
padat karya |
Bahan kimia industri |
242 |
padat karya |
Barang-barang kimia lainnya |
243 |
padat karya |
Serat buatan |
251 |
padat karya |
Karet dan barang dari karet |
252 |
padat karya |
Barang dari plastik |
261 |
padat karya |
Gelas dan barang dari gelas |
262 |
padat karya |
Barang-barang dari porselin |
263 |
padat karya |
Pengolahan tanah liat |
264 |
padat karya |
Semen, kapur dan gips |
265 |
padat karya |
Barang-barang dari batu |
266 |
padat karya |
Barang-barang dari asbes |
269 |
padat karya |
Barang-barang galian bukan logam lainnya |
271 |
padat karya |
Logam dasar besi dan baja |
272 |
padat karya |
Logam dasar bukan besi |
273 |
padat karya |
Pengecoran logam |
281 |
padat karya |
Barang-barang logam siap pasang untuk bangunan, pembuatan tangki, dan generator uap |
289 |
padat karya |
Barang logam lainnya, dan kegiatan jasa pembuatan barang-barang dari logam |
293 |
padat karya |
Peralatan rumah tangga |
311 |
padat karya |
Motor listrik, generator, dan transformator |
313 |
padat karya |
Kabel listrik dan telepon |
314 |
padat karya |
Akumulator listrik dan batu baterai |
315 |
padat karya |
Bola lampu pijar dan lampu penerangan |
319 |
padat karya |
Peralatan listrik yang tidak termasuk dalam kelompok manapun |
321 |
padat karya |
Tabung dan katup elektronik dan komponen elektronik lainnya |
322 |
padat karya |
Alat komunikasi |
323 |
padat karya |
Radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar, dan sejenisnya |
331 |
padat karya |
Peralatan kedokterandan bagian lainnya, kecuali alat-alat optik |
332 |
padat karya |
Instrumen optik dan peralatan fotografi |
333 |
padat karya |
Jam, lonceng, dan sejenisnya |
351 |
padat karya |
Pembuatan dan perbaikan kapal dan perahu |
359 |
padat karya |
Alat angkut lainnya |
361 |
padat karya |
Furnitur |
369 |
padat karya |
Pengolahan lainnya |
Sumber: BPS, data diolah
Tabel 2. Golongan Pokok Industri Indonesia yang Bersifat Padat Moda
Kode Produksi |
Sifat Industri |
Deskripsi Produk |
152 |
padat modal |
Susu dan makanan dari susu |
155 |
padat modal |
Minuman |
182 |
padat modal |
Pakaian jadi/barang jadi berbulu |
221 |
padat modal |
Penerbitan |
231 |
padat modal |
Barang-barang dari batu bara |
291 |
padat modal |
Mesin-mesin umum |
292 |
padat modal |
Mesin-mesin untuk keperluan khusus |
300 |
padat modal |
Mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data |
312 |
padat modal |
Peralatan pengontrol dan pendistribusian listrik |
341 |
padat modal |
Kendaraan bermotor roda empat atau lebih |
342 |
padat modal |
karoseri kendaraan bermotor roda empat atau lebih |
343 |
padat modal |
Perlengkapan dan komponen kendaraan bermotor roda empat atau lebih |
353 |
padat modal |
Pesawat terbang |
Sumber: BPS, data diolah
keunggulan komparatif dalam pasar internasiona sehingga dapat digunakan sebagai dasar penentuan arah pengembangan selanjutnya. Uji beda dua rata-rata akan digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan antara industri padat karya dan padat modal baik dari sisi produktifitas, tenaga kerja, maupun nilai tambah output. Hasil uji ini akan menunjukkan apakah industri padat karya dan padat modal mengalami perbedaan dalam perkembangannya secara signifikan.
PEMBAHASAN
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, jumlah penduduk Indonesia adalah yang terbesar dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1.48% per tahunnya. Indonesia adalah negara yang sangat terbuka dan aktif dalam perdagangan internasional. Salah satu ukuran indikator integrasi sebuah Negara dalam perdagangan internasional ada ratio ekspor dan impor barang dan jasa dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ratio perdagangan (ekspor bersih) terhadap PDB Indonesia mencapai 57.76% rata-rata pertahunnya. Perdagangan tertinggi terjadi di tahun 1998 yang mencapai hampir 96.18% (dari
PDB) dan terendah terjadi di tahun 2009 yang hanya 45.51% dari total PDB. Keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional semakin dalam dengan disepakatinya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memungkinkan semakin bebasnya aliran barang dan modal ke Indonesia, khususnya dari wilayah ASEAN.
Berdasarkan ISIC Rev. 3, ada 67 golongan pokok industri yang termasuk dalam klasifikasi tiga dijit, teridentifikasi 62 industri untuk dibedakan golongannya. Dua industri lainnya tidak termasuk karena Indonesia sendiri tidak memiliki jenis industri tersebut, yaitu:1) Reproduksi media rekaman -Recording reproduction (kode produk 223), dan 2) Pengolahan bahan bakar nuklir - Nuclear fuel (kode produk 233). Sedangkan dua industri, yaitu berkode 371 (Daur ulang barang-barang logam - Recycling of metals) dan 372 (Daur ulang barang-barang bukan logam - Recycling of goods other than metal) tidak dapat diindetifikasi karena adanya perbedaan versi ISIC selama periode 1990 – 2012. Sebelum tahun 1998, Indonesia menggolongkan industri berdasarkan ISIC Rev. 2, yang didalamnya belum masukgolonganprodukdaurulang.Sedangkansetelah tahun 1998, Indonesia menggunakan penggolongan
berdasarkan ISIC Rev. 3, yang baru memasukkan jenis produk daur ulang. Pelacakan berdasarkan nomer indentitas perusahaan tidak memberikan hasil yang signifikan.
Namun, dari keseluruhan industri yang ada, tidak seluruhnya merupakan produk ekspor. Berdasarkan data UNComtrade, terdapat tujuh industri yang tidak memiliki data ekspor, yaitu: 1) Kapuk – kapok (kode produksi 174), 2) Barang-barang dari porselin - Goods made from porcelain (kode produk 262), 3) Pengolahan tanah liat - Clay products (kode produk 263), 4) Semen, kapur dan gips - Cements, lime plaster and gips (kode produk 264), 5) Barang-barang dari batu - Goods made from stones (kode produk 265), 6) Barang-barang dari asbes - Goods made from asbestos (kode produk 266), dan 7) Pengecoran logam - Metal smelting (kode produk 273). Tabel 1 dan Tabel 2 menampilkan hasil identifikasi terhadap sifat industri produk.
Hasil penggolongan menunjukkan dari 62 industri Indonesia, 13 diantara bersifat padat modal. Hasil ini mengkonfirmasi asumsi awal jika industri Indonesia cenderung bersifat padat karya dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dimiliki Indonesia yang relatif lebih besar dibandingkan akumulasi modal. Industri barang-barang dari batu bara menunjukkan penggunaan intensitas kapital yang paling tinggi, sedangkan industri produk barang-barang dari kayu, dan barang-barang anyaman merupakan industri dengan intensitas kapital paling rendah.
Identifikasi terhadap nilai keunggulan komparatif produk ekspor Indonesia menunjukkan jika seluruh produk yang memiliki keunggulan komparatif merupakan produk dari industri yang bersifat padat karya. Sedangkan produk-produk yang bersifat padat modal seluruhnya masuk dalam kategori produk yang memiliki keunggulan komparatif rendah atau bahkan tidak memiliki keunggulan komparatif. Data trend ekspor industri Indonesia selama periode 1990 – 2012 mengindikasikan jika dari seluruh produk ekspor yang dimiliki Indonesia, Pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak (kode produk 151) adalah produk dengan nilai ekspor kumulatif terbesar sedangkan Barang-barang dari batu bara (kode produk 231) adalah golongan produk dengan nilai ekspor terendah. Seluruh golongan produk mencatatkan pertumbuhan rata-rata yang positif selama periode tersebut. Lima produk yang memperlihatkan pertumbuhan ekspor rata-rata tertinggi adalah: 1) Barang-barang dari batu bara (kode produk 231)
dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 748.127% per tahun; 2) Karoseri kendaraan bermotor roda empat atau lebih (kode produk 342) dengan rata-rata 278.597% per tahun; 3) Mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data (kode produk 300) dengan rata-rata 200.307% per tahun; 4) Peralatan pengontrol dan pendistribusian listrik (kode produk 312) dengan rata-rata sebesar 186.141% per tahun; 5) Pakaian jadi/barang jadi berbulu (kode produk 182) dengan rata-rata sebesar 80.430% per tahun. Seluruh produk tersebut merupakan produk dalam kategori padat modal dan tidak memiliki keunggulan komparatif dalam pasar internasional.
Lima golongan produk yang mencatatkan nilai ekspor terbesar adalah: 1) Pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak (kode produk 151); 2) Pakaian jadi, kecuali untuk pakaian jadi berbulu (kode produk 181); 3) Barang-barang dari kayu, dan barang-barang anyaman (kode produk 202); 4) Logam dasar bukan besi (kode produk 272); dan 5) Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya (kode produk 210). Kelima produk tersebut merupakan produk yang bersifat padat karya dan relatif memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Namun, pertumbuhan ekspor produk-produk tersebut tidaklah terlalu tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor produk-produk padat modal. Jika dikembangkan menjadi sepuluh industri dengan nilai ekspor terbesar, maka susunan berikutnya adalah: 1) Pemintalan, pertenunan, pengolahan akhir tekstil (kode produk 171); 2) Alas kaki (kode produk 192); 3) Pengilangan minyak bumi/gas bumi, dan barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi (kode produk 232); 4) Bahan kimia industri (kode produk 241); 5) Radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar, dan sejenisnya (kode produk 323). Kelima produk terakhir tidak seluruhnya memiliki keunggulan komparatif.
Sesuai dengan hipotesis awal, telah ditunjukkan jika Indonesia sebagai negara dengan kekayaan dengan jumlah tenaga kerja melimpah memiliki struktur industri yang bersifat padat tenaga kerja. Sekalipun terlihat kecenderungan jika terjadi pergeseran dan perubahan struktur industri.
Lin berpendapat jika peningkatan kapasitas industri dan kemajuan teknologi memerlukan faktor yang disebut facilitating state, yaitu sebuah negara yang memfasilitasi kemampuan sektor swasta untuk mengeksploitasi keunggulan komparatif area negaranya. Kuncinya adalah memanfaatkan
keunggulan komparatif yang dimiliki saat ini, bukan faktor yang pernah atau mungkin dimiliki (Lin & Chang, 2009).
Di beberapa negara sedang berkembang terkonsentrasi pada aktifitas produksi yang bersifat padat karya dan atau padat sumber daya dan jasa. Sekalipun aliran modal internasional meningkat, kapital berbiaya rendah tetaplah relatif langka, sementara tenaga kerja dan sumber daya alam relatif melimpah dan berbiaya rendah. Fokus pada aktifitas produksi yang bersifat padat karya dan sumber daya tersebut akan memungkinkan perusahaan di negara-negara berkembang untuk menjadi kompetitif di pasar domestik dan internasional. Negara harus menyediakan koordinasi kebijakan untuk menghilangkan berbagai halangan untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan tersebut dan industri terkaitnya, dan memberikan bantuan yang dibutuhkan unuk mengatasi eksternalitas yang dihadapi, berupa eksternalitas informasi dan masalah koordinasi, sehingga membiarkan mereka tumbuh dan maju karena keunggulan komparatifnya.
Seiring dengan pertumbuhan kompetitif industri dan perusahaan, mereka akan memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dan memberikan keuntungan yang lebih besar dalam bentuk laba dan gaji. Jika keuntungan ini diinvestasikan kembali akan menghasilkan nilai pengembalian yang lebih tinggi. Strategi ini memungkinkan perekonomian untuk mengakumulasi modal fisik dan manusia, meningkatkan struktur sumber daya seperti halnya merubah struktur industri dan membuat perusahaan domestik lebih kompetitif sepanjang waktu dalam produk-produk yang bersifat lebih padat modal dan ketrampilan.
Pendapat berbeda dikatakan oleh Chang (Lin & Chang, 2009), bahwa keunggulan komparatif tidak lebih daripada garis dasar, dan sebuah negara harus mengabaikan keunggulan komparatifnya dalam upaya memajukan industri yang dimiliki. Hal ini lebih disebabkan karena asumsi yang mendasari teori H-O-S yang menunjukkan tentang keunggulan komparatif dianggap tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam realita. Teori tersebut bisa saja diaplikasikan dalam jangka pendek, namun tidak demikian untuk jangka menengah dan panjang. Asumsi-asumsi yang digunakan menjauhkan sebuah negara dari hal penting yang memungkinkan mereka berkembang, yaitu perbedaan kemampuan mereka untuk meningkatkan dan memanfaatkan teknologi, atau disebut kemampuan teknologi. Menurutnya,
melalui proses akumulasi faktor dan membangun kapasitas teknologi menjadikan setiap negara yang terbelakang untuk mengakumulasikan kemampuannya dalam industri baru serta memasuki industri baru sebelum mereka memiliki sumber daya yang tepat.
Perbedaan mendasar dari keduanya terletak pada isu keterbatasan mobilitas faktor serta kemampuan teknologi yang diabaikan dalam teori neoklasik. Ketika disadari jika banyak kemampuan teknologi diperoleh dalam sebuah industri spesifik melalui pengalaman produksi aktual, maka dipandang penting untuk mengabaikan keunggulan komparatif jika sebuah negara akan memasuki industri baru dan meningkatkan struktur industrinya.
Porter (1990) menunjukkan jika teori klasik haruslah mulai bergeser dan tidak hanya menekankan pada keunggulan komparatif sebagai titik tolak namun juga keunggulan kompetitif. Teori tersebut haruslah mempertimbangkan jika dalam persaingan internasional, perusahaan bersaing dengan strategi global yang tidak hanya melibatkan perdagangan tapi juga investasi internasional. Teori baru tersebut harus dapat menjelaskan mengapa perusahaan lain dapat memproduksi barang lebih baik, tidak hanya mengandalkan keunggulan komparatif tapi juga keunggulan kompetitif, yang meliputi segmentasi pasar, diferensiasi produk, kualitas, fitur dan inovasi produk baru.
Bagaimana kemudian menggabungkan antara keunggulan komparatif dengan keunggulan kompetitif dapat disederhanakan sebagai berikut (Lin & Chang, 2009), jika strategi sebuah negara mengabaikan keunggulan komparatif, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorong kompetisi, karena perusahaan-perusahaan yang tidak tepat yang akan dilindungi. Sentra industri jika sulit untuk dibangun dan dipertahankan karena tidak ada perusahaan yang akan masuk industri ini, kecuali pemerintah memberikan subsidi dan proteksi. Namun, jika sebuah negara mengikuti keunggulan komparatifnya, pasar domestik yang besar tidak lagi dibutuhkan, karena perusahaan-perusahaan akan mampu bersaing dalam pasar global.
Hasil perhitungan produktifitas menunjukkan jika produktifitas industri padat modal di Indonesia cukup tinggi dengan rata-rata pertumbuhan yang sangat besar. Produktifitas rata-rata terbesar dimiliki oleh industri Peralatan pengontrol dan pendistribusian listrik (kode produk 312), namun pertumbuhan produktifitas rata-rata tertinggi dimiliki oleh industri
Gambar 1. Trend Produktifitas Industri Padat Karya dan Padat Modal Indonesia, 1990 - 2012
HHHHHHHHHHCNCNCNNfNCNCNtNfNNfNNCN
■ Rata-rata produIctifitas padat karya
Rata-rata p rod uktifitas padat mode
Sumber: BPS, hasil perhitungan penulis
kendaraan bermotor roda empat atau lebih (kode produk 341).
Hasil perhitungan produktifitas juga menunjukkan jika rata-rata produktifitas produk-produk industri padat karya lebih besar dibandingkan dengan industri padat modal. Rata-rata produktifitas tertinggi dimiliki oleh produk pengolahan tanah liat (kode produk 263), namun pertumbuhan produktifitas rata-rata tertinggi dimiliki oleh produk jam, lonceng, dan sejenisnya (kode produk 333). Ada tiga kelompok produk yang mengalami rata-rata pertumbuhan negatif, yaitu pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak (kode produk 151), penggilingan padi-padian, tepung, dan makanan ternak (kode produk 153), dan pengolahan tembakau (kode produk 160). Perbedaan produktifitas industri padat karya dan padat modal ditunjukkan oleh Grafik 1. Perbedaan produktifitas diantara kedua jenis industri ini menunjukkan trend yang meningkat.
Untuk melihat perbedaan produktifitas dan beberapa indikator perkembangan kedua kelompok industri secara jelas, digunakan uji beda dua rata-rata terhadap nilai rata-rata, median dan variance dari kedua kelompok. Hasil pengujian seperti terlihat pada Tabel 3.
Hasil pengujian persamaan kedua kelompok dari nilai mean, median dan variance menunjukkan secara konsisten jika terjadi perbedaan yang signifikan diantara produktifitas kedua kelompok, namun dari
sisi pertumbuhan, tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan jika produktifitas industri padat karya memang lebih tinggi daripada industri padat modal, namun pertumbuhan produktifitas industri padat modal tidak ada bedanya dengan pertumbuhan industri padat karya secara. Indikator perkembangan yang lain juga menunjukkan jika pertumbuhan output dan pertumbuhan nilai tambah kedua kelompok industri tidak berbeda secara signifikan. Hal ini mengindikasikan jika selama periode penelitian, kedua kelompok industri mengalami perkembangan yang sama, dalam artian industri padat karya tidak lebih berkembang dibandingkan dengan industri padat modal. Perbedaan signifikan tampak pada pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Pertumbuhan penyerapan angkatan kerja di kelompok industri padat modal lebih tinggi dibandingkan dengan penyerapan angkatan kerja di kelompok industri padat karya. Variance pertumbuhan penyerapan angkatan kerja juga menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana kelompok industri padat karya menunjukkan variance yang lebih tinggi dibandingkan dengan industri padat modal.
Tabel 3. Hasil Pengujian Kesamaan Beberapa Indikator Perkembangan Industri Indonesia | |||||
Jenis Pengujian |
Produktifitas |
Pertumbuhan Produktifitas |
Pertumbuhan Output |
Pertumbuhan Nilai Tambah |
Pertumbuhan Jumlah Tenaga Kerja |
Uji Beda Dua |
0.0002 |
0.6835 |
0.8321 |
0.7531 |
0.043 |
Rata-Rata Kesimpulan |
Rata-rata |
Tidak ada |
Tidak ada |
Tidak ada |
Rata-rata |
produktifitas |
perbedaan |
perbedaan |
perbedaan |
pertumbuhan | |
industri |
pertumbuhan |
pertumbuhan |
pertumbuhan |
penggunaan | |
padat karya |
produktifitas |
rata-rata output |
rata-rata nilai |
tenaga kerja | |
lebih besar |
rata-rata |
kedua kelompok |
tambah kedua |
industri | |
dibandingkan |
kedua |
industri secara |
kelompok |
padat modal | |
dengan rata- |
kelompok |
signifikan |
industri secara |
lebih besar | |
rata industri |
industri secara |
signifikan |
dibandingkan | ||
padat modal |
signifikan |
dengan rata-rata industri padat karya | |||
Uji Beda Dua Median |
0.0001 |
0.872 |
0.8522 |
0.7365 |
0.5976 |
Kesimpulan |
nilai median |
Tidak ada |
Tidak ada |
Tidak ada |
Tidak ada |
produktifitas |
perbedaan |
perbedaan |
perbedaan |
perbedaan | |
industri |
median |
median |
median |
median | |
padat karya |
pertumbuhan |
pertumbuhan |
pertumbuhan |
pertumbuhan | |
lebih besar |
produktifitas |
output |
nilai tambah |
penggunaan | |
dibandingkan |
dari kedua |
dari kedua |
dari kedua |
jumlah tenaga | |
dengan |
kelompok |
kelompok |
kelompok |
kerja | |
median |
industri secara |
industri secara |
industri secara |
dari kedua | |
produktifitas |
signifikan |
signifikan |
signifikan |
kelompok | |
industri padat |
industri secara | ||||
modal |
signifikan | ||||
Uji Beda Dua Median |
0.0007 |
0.000 |
0.000 |
0.6837 |
0.000 |
Kesimpulan |
Perbedaan |
Perbedaan |
Perbedaan |
Tidak ada |
Perbedaan |
produktifitas |
pertumbuhan |
pertumbuhan |
perbedaan |
pertumbuhan | |
antar produk |
produktifitas |
output antar |
varian antar |
jumlah | |
dalam industri |
antar produk |
produk dalam |
produk dalam |
tenaga kerja | |
padat modal |
dalam industri |
industri |
kelompok industri padat modal dengan |
antar produk | |
lebih besar |
padat karya |
padat karya |
di industri | ||
dibandingkan |
lebih besar |
lebih besar |
padat karya | ||
dengan |
dibandingkan |
dibandingkan |
lebih besar | ||
perbedaan |
dengan |
dengan |
padat karya |
dibandingkan | |
produktifitas |
perbedaan |
perbedaan |
dengan | ||
antar produk |
pertumbuhan |
pertumbuhan |
perbedaan | ||
industri padat |
produktifitas |
output antar |
pertumbuhan | ||
karya |
antar produk |
produk industri |
jumlah tenaga | ||
industri padat |
padat modal |
kerja antar | |||
modal |
produk di industri padat modal | ||||
Sumber: hasil perhitungan penulis |
Jika dikelompokkan berdasarkan produk yang memiliki keunggulan komparatif dan produktifitas, maka akan terlihat kelompok produk yang sangat potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan perhitungan pertumbuhan keunggulan komparatif terlihat adanya kecenderungan beberapa produk yang keunggulan komparatifnya dalam perdagangannya menurun, yaitu barang-barang dari kayu, dan barang-barang anyaman (kode produk 202), pakaian jadi, kecuali untuk pakaian jadi berbulu (kode produk 181), Alas kaki (kode produk 192), perajutan (kode produk 173), dan furnitur (kode produk 361). Sedangkan beberapa produk yang terlihat mengalami peningkatan dalam keunggulan komparatifnya adalah pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak (kode produk 151), akumulator listrik dan batu baterai (kode produk 314), serat buatan (kode produk 243), kertas, barang dari kertas dan sejenisnya (kode produk 210), radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar, dan sejenisnya (kode produk 323), dan pengolahan tembakau (kode produk 160). Sedangkan produk lainnya terlihat stabil.
Disisi lain, trend produktifitas masing-masing produk menunjukkan jika sebagian besar produktifitas produk-produk yang masuk ke dalam kelompok produk dengan keunggulan komparatif tidak menunjukkan peningkatan dan cenderung stabil. Beberapa produk yang menunjukkan trend peningkatkan produktifitas adalah pakaian jadi, kecuali untuk pakaian jadi berbulu (kode produk 181), Furnitur (kode produk 361), dan perajutan (kode produk 173). Produk pengolahan tembakau (kode produk 160) dan pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak (kode produk 151) menunjukkan kecenderungan untuk turun. Berdasarkan kategori kelompok yang memiliki keunggulan komparatif, relatif sulit untuk memilih produk yang potensial karena saat suatu produk mengalami trend peningkatan dalam keunggulan komparatifnya, di sisi lain terjadi penurunan trend dalam produktifitasnya. Namun, ada beberapa produk yang tetap menunjukkan peningkatan di kedua kategori sekalipun peningkatannya tidak terlalu tinggi, seperti kertas, barang dari kertas dan sejenisnya (kode produk 210), penggergajian dan pengawetan kayu (kode produk 201), dan radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar, dan sejenisnya (kode produk 323).
Jika kriteria yang sama juga digunakan untuk produk-produk yang sebelumnya tidak masuk dalam kategori memiliki keunggulan komparatif, maka akan tampak jika tren produktifitas produk-produk tersebut tidak terlalu berbeda dengan kelompok produk yang memiliki keunggulan komparatif. Teori memprediksi jika perdagangan dibuka, maka produk yang memiliki keunggulan komparatif seharusnya mendapatkan manfaat terbesar, dalam hal ini berupa peningkatan produktifitas (Bernard et al., 2007). Hal itu ditunjukkan dengan nilai perhitungan produktifitas industri padat karya, yang notabene memiliki keunggulan komparatif dibandingkan industri padat modal, memang lebih tinggi. Namun, perlu dicermati karena pertumbuhan produktifitas dan keunggulan komparatif industri padat moda mulai menunjukkan peningkatan yang relative lebih tinggi.
KESIMPULAN
Prediksi teori perdagangan internasional baru memungkinkan berpindahnya aliran modal antar negara. Arah aliran modal tersebut akan tergantung pada komposisi produksi atau struktur industri suatu negara. Negara yang cenderung memiliki struktur industri yang bersifat padat modal akan menarik lebih banyak modal dari luar yang ditunjukkan dengan membesarnya defisit neraca transaksi berjalan.
Sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar, struktur industri Indonesia akan cenderung bersifat padat karya. Jika dikaitkan dengan aliran modal internasional, maka struktur industri Indonesia yang bersifat padat karya akan mendorong aliran modal keluar sehingga menyebabkan adanya surplus dalam neraca transaksi berjalan. Hal ini juga ditunjukkan dengan trend neraca transaksi berjalan yang cenderung surplus. Hasil penggolongan menunjukkan dari 62 industri Indonesia (dibedakan berdasarkan ISIC Rev. 3 pada level 3 digit), 13 diantara bersifat padat modal. Hasil ini mengkonfirmasi asumsi awal jika industri Indonesia cenderung bersifat padat karya dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dimiliki Indonesia yang relatif lebih besar dibandingkan akumulasi modal. Hasil perhitungan produktifitas jelas menunjukkan jika rata-rata produktifitas produk-produk industri padat karya lebih besar dibandingkan dengan industri padat modal. Hasil pengujian persamaan kedua kelompok dari nilai rata-rata, median dan
variance menunjukkan secara konsisten jika terjadi perbedaan yang signifikan diantara produktifitas kedua kelompok, namun dari sisi pertumbuhan, tidak ada perbedaan yang signifikan. Indikator perkembangan yang lain juga menunjukkan jika pertumbuhan output, pertumbuhan nilai tambah, dan pertumbuhan penggunaan tenaga kerja kedua kelompok industri tidak berbeda secara signifikan. Hampir seluruh indikator menunjukkan perkembangan industri padat karya lebih tinggi dibandingkan dengan industri padat modal. Karena hal itulah, maka trend neraca transaksi berjalan Indonesia digambarkan menjadi cenderung surplus.
REFERENSI
Bernard, Andrew B., J. Bradford Jensen, Stephen
J. Redding, and Peter K. Schott (2007). “Firms in International Trade.” Journal of Economic Perspectives, Vol. 21(3): 105 – 130.
BPS (2010). Pedoman Pencacahan Survei Industri Besar dan Sedang 2010. Jakarta
Das, Kusum Deb and Gunajit Kalita (2009).
“Do Labor Intensive Industries Generate Employment? Evidence from Firm Level Survey in India.”Working Paper No. 237, Indian Council for Research on International Economic Relations.
Ikhsan-Modjo, Mohammad (2006). “Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing: A Stochastic Frontier Approach.” ABERU, Discussion Paper 28, Monash University.
Krugman, Paul R. (1994). “The Myth of Asia’s Miracle.” Foreign Affairs,Vol. 73 (6): 62 – 78. Lin, Justin and Ha-Joon Chang (2009). “Should Industrial Policy in Developing Countries Confirm to Comparative Advantage or Defy it? A Debate Between Justin Lin and Ha-Joon Chang.” Development Policy Review, 2009, Vol. 27 (5): 483 - 502.
Nadiri, M. Ishaq (1970). “Some Approaches to the Theory and Measurement of Total Factor Productivity: A Survey.” Journal of Economic Literature, Vol. 8 (4): 1137 – 1177.
Porter, Michael E. (1990). “The Competitive Advantage of Nations.” Harvard Business Review, March-April 1990.
Sickles, Robin C. and Burcu Cigerli (2009).
“Krugman and Young Revisited: A Survey of the Sources of Productivity Growth in a World with Less Constraints.”Seoul Journal of Economics, Vol. 22 (1): 29 -54.
Sari, Dyah Wulan (2004). “The Source of Growth of Indonesia’s Manufacturing Industry.” Paper for the16th MEA Convention, December 9, 2004 and the 29th Conference of the Federation of ASEAN Economic Associations (FAEA), December 10-11, 2004, Institute Integrity of Malaysia, Persiaran Duta, Off Jalan Duta, Kuala Lumpur, Malaysia.
Van der Eng, Pierre (2008). “The Sources of Long Term Economic Growth in Indonesia, 18802007.” Working Paper No: 499, School of Management, Marketing and International Business College of Business and Economics, The Australian National University.
----------------------(2009). “Total Factor
Productivity and Economic Growth in Indonesia.”Working Paper No. 2009/01, School of Management, Marketing and International Business College of Business and Economics, The Australian National University.
Van Biesebroeck, Johannes (2004). “Robustness of Productivity Estimates.” Working Paper No. 10303, National Bureau of Economic Research.
Van Beveren, Iike (2008). “Total Factor
Productivity Estimation: A Practical Review.” Discussion Paper Series No.182, LICOS.
Young, Alwyn (1993). “Lessons From the East Asian NICS: A Contratrian View.” Working Paper No 4482, National Bureau of Economic Research
Ohno, Koichi and Hideki Imaoka (1987). “The Experience of Dual-Industrial Growth: Korea and Taiwan.” The Developing Economies,Vol. XXV(4): 310 - 324.
57
Discussion and feedback