Analisis Indeks Pembangunan Manusia Pada 5 Wilayah Hasil Pemekaran Di Jawa Barat
on
JEKT ♦ 8 [1] : 72 - 82
ISSN : 2301 - 8968
Analisis Indeks Pembangunan Manusia Pada 5 Wilayah Hasil Pemekaran di Jawa Barat
Peggy Hariwan*)
Departemen Administrasi Bisnis Fakultas Komunikasi dan Bisnis Universitas Telkom
Ayu Swaningrum
Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur indeks pembangunan manusia pada lima wilayah hasil pemekaran di Jawa Barat yaitu kota Cimahi, Depok, Banjar, Bekasi dan Tasikmalaya. Evaluasi dilakukan terhadap lima kota ini dengan menggunakan regresi panel data variabel dependen indeks pembangunan manusia. Penelitian yang diuji menggunakan data tahun 2003 sampai dengan 2012. Dari hasil pengujian variabel ditemukan angka PDRB per kapita dan variabel tenaga kerja berpengaruh positif terhadap IPM. Kebijakan pemekaran wilayah di lima kota tersebut dirasakan sudah cukup tepat dengan indikator indeks pembangunan manusia yang semakin meningkat karena peningkatan PDRB per kapita dan tingkat pengkaryaan. Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan beberapa variabel lain untuk kebijakan daerah pemekaran khususnya untuk pengembangan ekonomi.
Kata kunci : pemekaran wilayah, indeks pembangunan manusia, panel data
Analysis Of Human Development Index In Five Cities Of Expansion Program In West Java
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the human development index of the five expansion regions in West Java such as Cimahi, Depok, Banjar, Bekasi and Tasikmalaya. The evaluation of the five cities is using data panel regression to the dependent variable of human development index. The study is tested with using data on 2003 to 2012. The findings of this study are GDP per capita and labor has a significant influence on Human Development Index. The policy of expansion region in 5 cities have already accomodated by indicators of Human Development Index which has increased due to the increasing in GDP per capita and the level of employment. This study is expected to develop some of other variables for the expansion of regional policy in particularly for economic development.
Keywords: regional growth, human development index, the data panel
PENDAHULUAN
Pemberlakuan Undang Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah menyebabkan terjadinya pemekaran wilayah administratif sehingga menjadi kecenderungan baru dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Tahun 2004, pemerintahan provinsi bertambah dari 26 menjadi 33 (26,9 ), pemerintah kabupaten/kota m e n in gkat 45 ,2 , dari 303 menjadi 440. Angka-angka tersebut nampaknya akan meningkat terus di tahun-tahun mendatang. Pada saat laporan ini dibuat di awal 2007, usulan
pembentukan 114 kabupaten/kota serta 21 propinsi baru telah berada di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan di antara para pakar muncul akibat fenomena tersebut. Mereka memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Fitrani et al. (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and
Tabel 1. Jumlah Penduduk Jawa Barat dan Lima Wilayah Pemekaran
Wilayah |
Banjar |
Tasikmalaya |
Depok |
Bekasi |
Cimahi |
Jawa Barat |
2003 |
17.300 |
52.700 |
65.000 |
58.100 |
45.500 | |
2004 |
15.300 |
57.700 |
60.500 |
78.100 |
44.500 |
465.4200 |
2005 |
13.000 |
52.900 |
39.600 |
71.500 |
50.800 |
513.7600 |
2006 |
13.000 |
59.500 |
35.300 |
104.400 |
42.200 |
571.2500 |
2007 |
12.900 |
54.500 |
35.900 |
106.900 |
43.700 |
545.7900 |
2008 |
15.700 |
154.500 |
41.700 |
142.300 |
52.300 |
524.9500 |
2009 |
15.700 |
140.100 |
47.100 |
134.200 |
46.400 |
485.2520 |
2010 |
14.630 |
140.110 |
47.130 |
134.170 |
46.440 |
477.3720 |
2011 |
14.700 |
149.800 |
48.900 |
145.900 |
39.500 |
465.0810 |
2012 |
14.700 |
149.800 |
48.900 |
145.900 |
39.500 |
447.7530 |
Sumber : Biro Pusat Statistik, 2003-2012 | ||||||
Tabel 2. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat dan lima wilayah pemekaran | ||||||
Tahun |
Bekasi |
Depok |
Cimahi |
Tasikmalaya |
Banjar |
Jawa Barat |
2004 |
1.941.065 |
1.320.773 |
504.772 |
575.732 |
164.495 |
38.610.875 |
2005 |
1.997.525 |
1.378.937 |
548.450 |
582.911 |
163.538 |
38.965.440 |
2006 |
2.071.427 |
1.431.186 |
572.463 |
585.669 |
164.927 |
39.648.623 |
2007 |
2.147.080 |
1.484.735 |
597.254 |
588.171 |
166.252 |
40.329.051 |
2008 |
2.219.708 |
1.536.282 |
621.498 |
589.147 |
167.151 |
40.918.290 |
2009 |
2.293.770 |
1.588.910 |
646.438 |
589.862 |
167.980 |
41.501.564 |
2010 |
2.334.871 |
1.738.570 |
541.177 |
635.464 |
175.157 |
43.053.732 |
2011 |
2.376.794 |
1.769.787 |
550.894 |
646.874 |
178.302 |
43.826.775 |
2012 |
2.448.291 |
1.835.957 |
560.659 |
653.085 |
180.030 |
44.548.431 |
Sumber : Biro Pusat Statistik, 2004-2012
political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa, karena adanya tuntutan untuk menunjukkan kemampuan menggali potensi wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi. Euforia demokrasi dan partai-partai politik yang memang terus tumbuh, dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan ”aspirasinya” mendorong terjadinya pemekaran.
Di sisi lain, banyak pula argumen yang diajukan untuk mendukung pemekaran, yaitu antara lain adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat, serta memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan pemerataan pembangunan. Alasan lainnya adalah diupayakannya pengembangan demokrasi lokal melalui pembagian kekuasaan pada tingkat yang lebih kecil (Ida, 2002). Terlepas dari masalah pro dan kontra, perangkat hukum dan perundangan yang ada, yaitu Peraturan Pemerintah No. 129/2000 tentang
Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, memang masih dianggap memiliki banyak kekurangan. Hal inilah yang mengakibatkan mudahnya satu proposal pemekaran wilayah pemerintahan diloloskan.
Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang didalamnya terdapat daerah yang melakukan pemekaran. Berikut profile lima (5) wilyah pemekaran di Jawa Barat.
Propinsi Jawa Barat sebagai propinsi yang besar jumlah penduduknya, menurut data Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK) tahun 2011 jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 46.497.175 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut, tercatat sampai tahun 2012 sebanyak 4.421,484 orang adalah penduduk miskin. Angka penurunan yang dicapai 2,.27 . masih jauh dari angka yang dicanangkan presiden melalui Perpres no. 15 tahun 2010 sebesar 8 sampai pada tahun 2014. Lima kota yang menjadi obyek penelitian merupakan daerah pemekaran wilayah di Jawa Barat yang memberikan sumbangsih jumlah penduduk dan kemiskinan terhadap wilayah Jawa Barat seperti dijelaskan pada Tabel 2.
Di tahun 2012, kontribusi jumlah penduduk lima wilayah pemekaran sebesar 13 terhadap jumlah penduduk Jawa Barat. Sedang kontribusi jumlah angka kemiskinan lima wilayah pemekaran terhadap
jumlah angka kemiskinan di Jawa Barat sebesar 9 .
Untuk mencapai target ini, telah disusun empat strategi dasar untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan yaitu: (i) Menyempurnakan program perlindungan sosial; (ii) Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; (iii) Pemberdayaan masyarakat, dan (iv) Pembangunan yang inklusif. Empat target dasar percepatan penanggulangan kemiskinan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut ke dalam beberapa program yang terintegrasi seperti: (i) Program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial; (ii) Program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat; dan (iii) Program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil.
Ketiga program yang telah dicanangkan ini melibatkan beberapa instansi baik di tingkat pusat maupun daerah. Masalah mulai muncul saat mengintegrasikan keseluruhan program yang banyak melibatkan instansi atau lembaga tersebut. Masalah yang dimaksud berkaitan dengan koordinasi antar instansi,terutama menyangkut masalah keterlibatan instansi pusat. Tidak kurang dari 19 instansi kementerian/lembaga yang terlibat dalam program penanggulangan kemiskinan ini.
Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136 kabupaten/kota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Salah satu input dalam evaluasi ini adalah indeks pembangunan manusia.
Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau dikenal Human Development Indeks (HDI) merupakan salah satu program UNDP untuk pe nan ggulangan kem is kinan yang diarahkan pada tiga (3) standar indeks yang tersusun secara sistematis yaitu pendidikan, kesehatan dan daya beli. Penulis mencoba mengobservasi angka IPM lima (5) wilayah pemekaran di Jawa Barat dengan variable makro ekonomi yakni jumlah penduduk miskin, produk domestik bruto per kapita dan banyaknya tenaga kerja.
Landasan Teori Mengenai Pemekaran Wilayah
Sejak kebijakan ekonomi daerah di Indonesia dicanangkan banyak daerah-daerah yang cenderung untuk melaksanakan pemekaran wilayah. Peluang secara normatif untuk melakukan pemekaran wilayah atau suatu daerah baru dapat dilaksanakan sepanjang mengikuti prosedur dan mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka memberikan payung hukum terhadap kebijakan pemekaran wilayah, maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan sebagai penjabaran atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pada tahun 2000 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000tentang pengaturan Persyaratan Pembentukan dan Kriterian Pe m ekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Pembentukan suatu daerah otonomi baru dimungkinkan jika memenuhi syarat-syarat kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Dalam rangka pemekaran wilayah tentunya perlu mempertimbangan beberapa aspek sepertifungsi wilayah, kriteria fisik/lingkungan, ekonomi, dan sosial. Pertimbangan pemekaran wilayah tersebut untuk menghindari agar tidak terjadi disparitas pada wilayah yangdimekarkan maupun wilayah hasil pemekaran. Adapun manfaat dasar pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut;
-
1) Pertimbangan fungsi wilayah digunakan untuk mengetahui tingkat keseimbangan antara pusat-pusat pelayanan yang ada dan distribusi penduduk di dalam masing-masing kecamatan pada wilayah administrasi suatu Kabupaten/Kota.
-
2) Pertimbangan kriteria fisik/lingkungan diperlukan untuk menilai potensi lahan dan ketersediaan sumber daya lahan dalam kaitannya terhadap pembagian wilayah pemekaran yang bertujuan agar masing-masing wilayah hasil pemekaran dapat tumbuhdan berkembang.
-
3) Pertimbangan kriteria ekonomi diperlukan untuk men getahui potensi masin g-masing wilayah pemekaran. Wilayah induk maupun wilayah-wilayah hasil pemekaran diharapkan mampu be rpe ran sebagai pusat pe ngge rak pertumbuhan ekonomi bagi daerah sekitarnya, guna meningkatkan kegiatan ekonomi baru, dan pendapatan yanglebih baik bagi masyarakat untuk memperbaiki kesejahteraannya.
-
4) Pertimbangan kriteria sosial diperlukan untuk mengetahui tentang kendali antar kecamatan, interaksi, dan aktivitas masyarakat. Bertujuan agar kecamatan yang jauhdari jangkauan fasilitas pemerintah dan pusat pemerintahan dapat diatasi dengan adanya wilayah administratif baru.
Menurut Undang-undang Tata Ruang Nomor 24 Tahun 1992, wilayah adalah ruang kesatuan geografis beserta unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut
Glasson (1974) dalam Tarigan (2005)bahwa wilayah dapat dibedakan berdasarkan cara pendang terkait dengan kondisinya atau berdasarkan fungsinya, yaitu:
-
1) Wilayah Subjektif, yakni wilayah merupakan alat untuk mengidentifikasikan suatu lokasi yang berdasarkan kriteria tertentu atau tujuan tertentu, 2) Wilayah Objektif, maksudnya wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/ gejala alam di setiap wilayah.
Blair (1991) menyebutkan bahwa dalam menganalisis wilayah dikenal tiga tipe, yaitu:
-
1) Wilayah fungsional, adanya saling berinteraksi antar komponen-komponen di dalam dan di luar wilayahnya, wujud wilayah sering dinamakan wilayah nodal yang didasari susunan (sistem) yang hirarki dari suatu hubungan diantara simpul-simpul perdagangan,
-
2) Wilayah homogen, maksudnya adanya kemiripan relatif dalam wilayah,
-
3) Wilayah administratif maksudnya wilayah ini dibentuk untuk kepentingan wilayah pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain.
Sementara itu tujuan wilayah menurut Sihotang (1997) adalah sebagai suatu usaha untuk menentukan batas-batas daerah yang biasanya lebih besar daripada daerah struktur pemerintahan lokal, dengan maksud lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah dan perencanaan lokal dan nasional. Pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan antar wilayah. Dalam konteks nasional adanya kesenjangan pertumbuhan antara wilayah menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan.
Menurut Poernomisidi (1979), bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan karena adanya modal yang bertumpu pada pengambangan sumber daya manusia dan sumber daya alam, berlangsung secara kontinyu sehingga menimbulkan arus barang. Arus barang sebagai salah satu gejala ekonomi merupakan wujud fisik perdagangan antar daerah, antar pulau dan antarnegara.Dalam konteks pengembangan wilayah, pendekatan berdasarkan konsep ekonomi paling banyak digunakan baik secara ekonomis maupun praktis. Tujuan dari konsep ini adalah pembangunan pada sektor-sektor utama pada lokasi-lokasi tertentu, sehingga akan menyebarkan kemajuan ke seluruh wilayah. Parr (1999) menyebutkan ada beberapa konsep pengembangan wilayah, yaitu:
-
1) Membangkitkan kembali daerah terbelakang (depressed area), sebagai daerah yang memiliki
karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapatan perkapita rendah, rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk, dan rendahnya tingkat pelayanan fasilitas dan utilitas yang ada.
-
2) Mendorong dekonsentrasi wilayah, konsep ini untuk menekan tingkat konsentrasi wilayah dan bertujuan untuk membentuk struktur ruang yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan yang berarti untuk menekan perannya terlalu besar.
-
3) Memodifikasi sistem kota-kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju pusat-pusat pertumbuhan, yaitu dengan adanya pengaturan sistem perkotaan telah memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik dan diharapkan akan mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.
-
4) Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah, hal ini muncul dikarenakan akibat kurang memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya dengan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan, serta yang berhubungan dengan belum dimanfaatkannya sumber daya alam pada beberapa daerah.
Pemekaran wilayah pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan meningkatkan serta mempercepat pelayanan, ke hidupan de mokrasi, perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, keamanan dan ketertiban, dan hubunganyang serasi antar daerah dan pusat. Pada hakekatnya tujuan pemekaran wilayah sebagai upaya peningkatan sumberdaya secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antar sektor, memperkuat integrasi nasional yang secarakeseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup (PP No. 129 Tahun 2000).
Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, pada pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dan ayat (4) yaitu Pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintah. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Maksud dari syarat admnistratif ada persetujuan dari DPRD masingmasingdaerah serta rekomendasi Menteri dalam Negeri, syarat teknis maksudnya meliputi faktor kamampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang menungkinkan
Tabel 3. Syarat (Kriteria) Pembentukan/Pemekaran Wilayah
No. |
Syarat/Kriteria |
Indikator |
1. |
Kemampuan ekonomi |
|
2. |
Potensi daerah |
|
3. |
Sosial budaya |
|
4. |
Sosial politik |
|
5. |
Jumlah penduduk |
14. Jumlah penduduk |
6. |
Luas daerah |
15. Luas daerah |
7. |
Lain-lain |
|
Sumber : PP. No. 129 Tahun 2000
terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan propinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000, pada BAB III menuangkan syarat-syaratpembentukan, dari pasal 3 sampai dengan pasal 12 dan BAB IV menuangkan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah pada pasal 13. Pengukuran krit e ria krite ria pemekaran wilayah terse but dapat dilakukan dengan cara: (i) kemampuan ekonomi, maksudnya cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu daerahpropinsi atau kabupaten/kota, (ii) potensi daerah, maksudnya tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap pemerintahan daerah dan kesejahteraan masyarakat, (iii) sosial budaya, maksudnya berkaitan dengan struktur sosial danpola budaya masyarakat, (iv) sosial politik, maksudnya kondisi sosial politik masyarakat, (v) jumlah penduduk, maksudnya jumlah penduduk suatu daerah, (vi) luas daerah, maksudnya luas tertentu tertentu suatu daerah, (vii) pertimbangan lain, maksudnya pertimbangan untukterselenggaranya otonomi daerah (Tabel 3).
Pemekaran atau ciptaan daerah baru adalah satu fenomena kontroversial dalam pengembangan desen-tralisai baru-baru ini di Indonesia. Jumlah administrasi sub-nasional di negara ini telah meningkat secara signifikan dalam tahun-tahun belakangan ini. Hanya ada 341 kabupaten (kota) dan distrik-distrik (kabupaten) dalam 1999. Namun, seperti yang
menunjukkan dalam Tabel 1, jumlah daerah-daerah dalam 2007 telah meningkat atas hinggalebih dari 450. Kebanyakan dari daerah baru dibuat di luar Jawa. Proses ini telah memacu perubahan-perubahan teritorial dalam negara kepulauan ini yang ketidaksamaan regional adalah isu genting sampai hari-hari sekarang (Garcia and Soelistianingsih 1998, Tadjoed-dinet al. 2001, Suryadarma et al. 2006). Lebih-lebih lagi dalam Indonesia Human DevelopmentReport 2004, proses tersebut desentralisasi juga sudah diharapkan untuk naik prospek ketidaksamaan regional naik (BPS-BAPPENAS-UNDP 2004, melihat juga Hill and Shiraisi2007).
Bukti indikatif menunjukkan adanya dampak-dampak negatif di laporan tentang desentralisasi di Indonesia yang dihasilkan oleh USAID-DRSP (2006) ditunjukkan beberapa konsekuensi negatif pemekaran. Pertama, administrasi tidak efisien sebagai biaya-biaya perkapita pemerintah meningkat tinggi. Kedua, mengurangi kapasitas cukup mengeluarkan-fungsi penugasan secara keseluruhan kepada semua distrik / kota-kota. Ketiga, pemekaranmeningkat potensi konflik antara kelompok. Semua akibat-akibat negatif ini bisa menghalangi suatu pengurangan ketidaksamaan regional. Dengan kata lain, ada sebuah kontroversi di dampak pemekaran di ketidaksamaan regional. Lebih-lebih lagi laporan ini juga menyebutkan yang dampak-dampak pemekaran tidak dipelajari dengan baik.
Resosudarmo and Vidyattama (2006) berpendapat bahwa variasi pendapatan atau Gross Regional Domestic Product (GRDP) luas digunakan sebagai satu ukuran ketidaksamaan regional di Indonesia. Namun, penelitian menggunakan variasi dalam
Human Development Index (HDI) telah diterima secara luas sebagai ukuran perkembangan manusia. HDI adalah pencapaian-pencapaian keseluruhan dalam sebuah negara atau wilayah dalam tiga dimensi dasar perkembangan manusia: usia lanjut (diukur oleh harapan hidup), pengetahuan (diukur oleh pencapaian pendidikan), dansatu standar kehidupan layak (diukur oleh pendapatan biasa) (BPS-BAPPENAS-UNDP2004). Dalam studinya di perencanaan daerah dan perkembangan manusia di Indone sia, H e ikki la (1999) menggunakan HDI. Tadjoeddin et al. (2001) juga menggunakan elemen-elemen HDI sebagai indikator-indikator kesejahteraan sosial dalam masalah regional di Indonesia. Sementara itu, Haddad and Nedović-Budić (2006) menggunakan HDI dalam studi mereka di ketidaksamaan kota di antara distrik-distrik kotapraja São Paulo. Dibandingkan dengan negara Asia lainnya, ketidaksamaan regional dalam HDI di Indonesia lebih kecil daripada Cina tetapi lebih besar dari Malaysia. Dalam 2003, koefisien variasi HDI di Malaysia dan Cina adalah 0.050 dan 0.088 masing-masing. Sementara itu,variasi ini di Indonesia dalam 2002 adalah 0.053 dan berkurang 0.051 tahun 2004.
Teori lingkaran kemiskinan (vicious circke of poverty dari Nurkse 1953 mengatakan lingkaran kemiskinan adalah suatu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi suatu keadaaan dimana suatu negara akan tetap miskin dan akan banyak mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik. Adanya keterbelakangan, dan ketertinggalan SDM (yang tercermin oleh rendahnya IPM), ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima (yang tercermin oleh rendahnya PDRB per kapita). Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada rendahnya akum ulasi m odal sehingga proses penciptaan lapangan kerja rendah (tercermin oleh tingginya jumlah pengangguran).
Kualitas sumber daya manusia juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya penduduk miskin. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari indeks kualitas hidup/indeks pembangunan manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) akan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja dari penduduk. Produktivitas yang rendah berakibat pada rendahnya perolehan pendapatan.Sehingga den gan rendahnya pendapatan m e nyebabkan tingginya jumlah penduduk miskin. Berikut adalah perkembangan dan pertumbuhan kualitas sumber
daya manusia pada lima wilayah pemekaran yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Menurut Kanbur et al. (2006), ada sebuah kenaikan dalam ketidaksamaan dalam beberapa negara-negara Asia yang mungkin terkait dengan reformasi ekonomi Indonesia juga telah mengadopsi banyak reformasi setelah dipukul krisis ekonomi. Salah satu reformasi penting di Indonesia adalah desentralisasi yang telah membuka peluang untuk pemekaran sebuah wilayah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Arsyad:2004)
Angka PDRB per kapita merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah. PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode (HadiSasana, 2001).Sedangkan yang dimaksud dengan PDRB per kapita adalah PDRB dibagi dengan jumlah penduduk.PDRB per kapita sering digunakan sebagai indikator pembangunan.Semakin tinggi PDRB per kapita suatu daerah, maka semakin besar pula potensi sumber penerimaan daerah tersebut dikarenakan semakin besar pendapatan masyarakat daerah tersebut (Thamrin, 2001).
Penyebab kemiskinan adalah lingkaran kemiskinan yang tidak berujung pangkal. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (IPM) menyebabkan rendahnya produktivitas kerja.Rendahnya produktivitas berakibat rendahnya pendapatan yang diterima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, sehingga akumulasi modal rendah dan berdampak pada terbatasnya lapangan kerja dan berarti meningkatnya jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran yang semakin meningkat menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin.
Menurut Badan Pusat Statistik (2010), penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Penetapan perhitungan garis kemiskinan dalam masyarakat adalah masyarakat yang berpenghasilan dibawah Rp 7.057 per orang per hari. Penetapan angka Rp 7.057 per orang per hari tersebut berasal dari perhitungan garis kemiskinan yang mencakup kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan minimum
makanan disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan (luas lantai bangunan, penggunaan air bersih, dan fasilitas tempat pembuangan air besar); pendidikan (angka melek huruf, wajib belajar 9 tahun, dan angka putus sekolah); dan kesehatan (rendahnya konsumsi makanan bergizi, kurangnya sarana kesehatan serta keadaan sanitasi dan lingkungan yang tidak memadai).
Sedangkan ukuran menurut World Bank menetapkan standar kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita.Penduduk yang pendapatan per kapitanya kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan perkapita nasional, maka termasuk dalam kategori miskin. Dalam konteks tersebut, maka ukuran kemiskinan menurut World Bank adalah USD $2 per orang per hari.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaandan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan me rangsang pe ningkatan ke giatan ekonomi. Dalam Arsyad(2004) ada beberapa teori yang mendeskripsikan tentang pertumbuhan daerah, adalah sebagai berikut:
Teori Ekonomi Neo Klasik
Peranan teori ekonomi Neo Klasik tidak terlalu besar dalam menganalisis pembangunan daerah (regional) karena teori ini tidak memiliki dimensi spasial yang signifikan. Namun demikian, teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan (equilibrium dan mobilitas faktor produksi. Artinya, sistem pe re konomian akan me ncapai ke s e imbangan alamiahnya jika modal bisa mengalir tanparetriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah. (Arsyad:2004)
Teori Basis Ekonomi Economic Base Theory)
Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung akan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya
lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah danpenciptaan peluang kerja (job creation . Strategi pembangunan daerah yang muncul yang didasarkan pada teori ini adalah penekanan terhadap arti penting bantuan (aid kepada dunia usaha yang mempunyai pasar secara nasional maupun internasional. Implementasi kebijakannya mencakup pengurangan hambatan/batasan terhadap perusahaan-perusahaan yang berorientasi yang ada dan akan didirikan di daerah tersebut (Arsyad:2004)
Teori Lokasi
Para akonomi regional sering mengatakan bahaw ada tiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah yaitu: lokasi, lokasi, lokasi. Pernyataan tersebut sangat masuk akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri. Perusahaan cenderung untuk meminimumkan peluangnya untuk mendekati pasar. Model pengembangan industry kuno menyatakan bahwa lokasi yang terbaik adalah biaya yang termurah antara bahan baku dengan pasar
Teori Tempat sentral
Teori tempat sentral (central place theory menganggap bahwa hirarki tempat (hierarchyofplaces . Setiap tempat didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya (industry dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Teori tempat sentra lini bisa diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah, baik di daerah perkotaan maupun didaerah perkotaan. (Arsyad:2004)
Teori Kausasi Kumulatif
Kondisi daerah-daerah sekitar kota yang semakin buruk m enunjukkan kon se p dasar dari teorikausasi Kumulatif (cumulative causation ini. Kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperburuk kesenjangan antara daerah-daerah tersebut (maju versus terbelakang). Daerahyang maju mengalami akumulasi keunggulan kompettif dibanding daerah-daerah lainnya halini yang disebut Myrdal dalam Arsyad(2004) sebagai backwash effect.
DATA DAN METODOLOGI
Data dan Sumber Data
Data dan sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder dari tahun 2003 hingga 2012, yaitu data-data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau literatur yang dipublikasikan diantaranya: (i)
Tabel 4. Data IPM.
Tahun |
IPM_Banjar |
IPM_Bekasi |
IPM_Cimahi |
IPM_Depok |
IPM_Tasik |
2003 |
68.50000 |
73.49000 |
71.98000 |
76.13000 |
69.78000 |
2004 |
68.88000 |
74.95000 |
73.83000 |
76.85000 |
71.05000 |
2005 |
69.48000 |
75.48000 |
75.16000 |
77.81000 |
71.62000 |
2006 |
69.63000 |
74.82000 |
73.35000 |
77.67000 |
72.26000 |
2007 |
70.17000 |
75.31000 |
74.42000 |
77.89000 |
72.74000 |
2008 |
70.62000 |
75.73000 |
74.79000 |
78.36000 |
73.35000 |
2009 |
70.90000 |
75.99000 |
75.12000 |
78.61000 |
73.89000 |
2010 |
71.38000 |
76.36000 |
75.51000 |
79.09000 |
74.40000 |
2011 |
71.82000 |
76.68000 |
76.01000 |
79.36000 |
74.85000 |
2012 |
72.10000 |
77.17000 |
76.28000 |
79.91000 |
75.35000 |
Sumber : BPS, 2003-2012
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan proses serta kriteria/syarat pemekaran wilayah; dan (ii) Sumber data lainnya adalah dari Kota Dalam Angka serta Jawa Barat Dalam Angka5 wilayah di Jawa Barat
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif panel data. Panel data merupakan gabungan antara observasi data runtut waktu (time series dan cross section. Penelitian ini menggunakan panel data dengan random effects dengan menggunakan dasar uji haussman.
Kerangka Konseptual Evaluasi Pemekaran Daerah
Studi ini akan melakukan evaluasi berdasarkan tujuan pemekaran yang telahdiuraikan sebelumnya. Dalam PP 39/2006, definisi evaluasi adalah rangkaian ke giatan m em bandingkan realisasi m asukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadaprencana dan standard. Landasan evaluasi pemekaran daerah didasarkan atas tujuanpemekaran daerah itu sendiri, yang tertuang dalam PP 129/2000. Dalam Bab II pasal 2 disebutkan tujuan pemekaran daerah yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: (i) peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (ii) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; (iii) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (iv) percepatan pengelolaan potensi daerah; (v) peningkatan keamanan dan ketertiban; dan (vi) peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Ada dua hal penting yang berkaitan dengan pe n ingkatan ke s ejaht e raan m asyarakat,yaitu pertama, bagaimana pemerintah melaksanakannya, dan kedua, bagaimana dampaknya di masyarakat setelah pemekaran tersebut berjalan selama lima tahun. Untuk hal yang pertama, aspek yang dikaji adalah sejauh mana ‘input’ yang diperoleh pemerintah
daerah pemekaran dapat digunakan semaksimal m ungkin untuk m e ningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, aspek yang dievaluasi adalah keuangan pemerintah daerah dan aparatur pemerintah daerah. Kedua aspek tersebut sangat dominan pengelolaannya oleh pemerintah daerah. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui enam cara di atas akan sulit direalisasikan tanpa adanya ke uangan dan aparatur yang melaksanakannya. Hal yang kedua ialah melihat kondisi yang langsung dite rima oleh dae rah danmasyarakat, baik sebagai dampak langsung pemekaran daerah itu sendiri maupun disebabkan karena adanya perubahan sistem pemerintahan daerah. Oleh karena itu evaluasi ‘output’ akan difokuskan ke pada aspe k kepentingan utama masyarakat dalam mempertahankan hidupnya, yakni sisi ekonomi. Apabila kondisi ekonomi masyarakat semakin membaik, maka secaratidak langsung hal ini berpengaruh kepada akses masyarakat terhadap pe layan an publik, baik pe ndidikan m aupun kesehatan. Di sisi lain, pelayanan publik juga mencerminkan sejauhmana pemerintah daerah mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta kondisiumum daerah itu sendiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Indeks Pembangunan Manusia
Kualitas penduduk pada lima wilayah hasil pemekaran yakni Kota Banjar, Bekasi, Cimahi, Depok dan Tasikmalaya yang diukur melalui indeks pembangunan manusia menunjukkan angka yang semakin meningkat seperti pada Tabel 4. Hal ini didorong oleh variabel makroekonomi seperti PDRB per kapita dan banyaknya tenaga kerja yang bekerja.
Secara ekonometrika, hubungan antara variabel makroekonomi dengan pembangunan manusia Propinsi Jawa Barat dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan berikut ini :
IPMit = αi + β1.MISKINit + β2.PDRBKABit + β3.PEKERJAit + uit
Dimana :
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
MISKIN : Jumlah Penduduk Miskin (orang)
PDRBKAP : Produk Domestik Bruto Per Kapita (rupiah) PEKERJA : Banyaknya Tenaga Kerja (orang)
Definisi Operasional
-
1) IPM = merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar pembangunan manusia, yaitu :
-
a. Lama hidup, yang diukur dengan angka harapan ketika lahir;
-
b. Pendidikan, yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek hurufpenduduk usia 15 tahun ke atas;
-
c. Standar hidup, yang diukur dengan konsumsi per kapita.
-
2) MISKIN = Penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non makanan yang mendasar.
-
3) PEKERJA = Banyaknya pekerja di 5 kota yang diukur dengan penduduk usia 15 tahun ke atas yang memiliki pekerjaan
-
4) PDRBKAP = merupakan gambaran besaran perekonomian per penduduk di 5 kota.
Hasil Regresi
Penelitian ini menggunakan uji Random Effect disebabkan ketika menggunakan uji Hausman didapatkan nilai chi square hitung lebih kecil dari uji chi square tabel. Pada persamaan uji panel data yang menggunakan random effect didapatkan nilai R squared sebesar 0,55 dan artinya seluruh variabel independen signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen sehingga disimpulkan tidak terdapat mul-tikolinearitas. Penelitian terhadap lima (5) wilayah dikarenakan lima wilayah itu merupakan wilayah pemekaran yang tersedia datanya di kantor BPS pusat Jawa Barat pada rentang time series penelitian. Interpretasi Hasil Regresi
-
1) Intersep Kota Banjar
Nilai intersep untuk Kota Banjar pada hasil persamaan regresi menunjukan nilai yang negatif, yaitu sebesar -0,299779. Tanpa adanya perubahan pada variabel-variabel bebas yaitu PDRB per kapita, kemiskinan dan tenaga kerja, indeks pembangunan manusia akan mengalami penurunan sebesar 0,299779 .
-
2) Intersep Kota Bekasi
Nilai intersep untuk Kota Bekasi pada hasil persamaan regresi menunjukan nilai yang negatif, yaitu sebesar -2.050594. Hal ini menunjukan bahwa tanpa adanya perubahan pada variabel-variabel bebas yaitu PDRB per kapita, kemiskinan dan tenaga kerja, maka indeks pembangunan manusia akan mengalami penurunan sebesar 2,050594 . Dapat dikatakan bahwa Kota Bekasi diantara 4 kota lainnya merupakan kota yang paling bergantung pada nilai PDRB per kapita dan tingkat pengkaryaan (tenaga kerja) serta kemiskinan karena jika variabel independen tidak diikutsertakan, nilai indeks pembangunan manusianya menjadi sangat rendah.
-
3) Intersep Kota Cimahi
Nilai intersep untuk Kota Cimahi pada hasil persamaan regresi menunjukan nilai yang negatif, yaitu sebesar 0,674484. Hal ini menunjukan bahwa tanpa adanya perubahan pada variabel-variabel bebas yaitu PDRB per kapita, kemiskinan dan tenaga kerja, maka indeks pembangunan manusia akan mengalami penurunan sebesar 0,674484 .
-
4) Intersep Kota Depok
Nilai intersep untuk Kota Depok pada hasil persamaan regresi menunjukan nilai yang positif, yaitu sebesar3.966894. Hal ini menunjukan bahwa tanpa adanya perubahan pada variabel-variabel bebas yaitu PDRB per kapita, kemiskinan dan tenaga kerja, maka indeks pembangunan manusia akan meningkat sebesar 3,966894 .
-
5) Intersep Kota Tasikmalaya
Nilai intersep untuk Kota Tasikmalaya pada hasil persamaan regresi menunjukan nilai yang negatif, yaitu sebesar 0,942037. Hal ini menunjukan bahwa tanpa adanya perubahan pada variabel-variabel bebas yaitu PDRB per kapita, kemiskinan dan tenaga kerja, makapenurunan dalam indeks pembangunan manusia akan terjadi sebesar 0,942037 .
-
6) Nilai Koefisien Kemiskinan
Nilai koefisien positif pada variabel kemiskinan s e be sar 1.5 0E-05 artinya bahwa bi la te rjadi peningkatan sebesar seratus ribu orang miskin maka akan meningkatkan indeks pembangunan manusia sebesar 1,5; dan hubungan ini signifikan secara statistik. Penemuan empiris ini bertolak belakang dengan teori yang ada, hal ini bisa disebabkan beberapa hal diantaranya adalah bahwa tingkat kemiskinan dari tahun 2003 hingga 2012 meningkat dan di sisi lain PDRB per kapita pun meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan PDRB per kapita tiap tahunnya tidak diimbangi
Tabel 5. Hasil Regresi.
Variable |
Coefficient |
Std. Error |
t-Statistic |
Prob. |
C |
68.17241 |
1.727411 |
39.46507 |
0.0000 |
MISKIN? |
1.50E-05 |
5.71E-06 |
2.628393 |
0.0116 |
PDRBKAP? |
5.07E-07 |
1.58E-07 |
3.206143 |
0.0024 |
PEKERJA? |
5.58E-06 |
1.92E-06 |
2.908601 |
0.0056 |
R-squared |
0.401677 | |||
DW-Stat |
0.153214 | |||
F-Stat |
18.76830 |
Sumber : Hasil olah data
dengan distribusi pendapatan yang semakin merata di masyarakat.
H al in i se nada de ngan pe n elitian K urnia Lismawatie (2007) yang berkesimpulan bahwa pada kenyataannya, besaran nilai IPM tidak selalu menjamin bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat akan tinggi atau tingkat kemiskinan masyarakat akan menurun, hal ini disebabkan karena perhitungan nilai IPM didasarkan pada nilai agregat yang menggunakan prinsip nilai rata-rata sehingga terjadi ketidakakuratan. Penanggulangan kemiskinan yang ada saat ini belum menyentuh segi pendidikan dan kesehatan sehingga masih diperlukan kebijakan yang komprehensif dan terus menerus (konsisten) untuk memerangi kemiskinan dalam berbagai dimensi, termasuk dimensi kesehatan dengan kebijakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi orang miskin, dan dimensi pendidikan yang terukur dalam nilai indeks pembangunan manusia.
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan dimana batasan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis ke-miskinan.Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan masih lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran kemiskinan harus dilihat dari beragam dimensi sehingga dapat berpengaruh terhadap kualitas masyarakat yang dilihat dari nilai indeks pembangunan manusia (IPM).
-
7) Nilai Koefisien Tenaga Kerja
Nilai koefisien positif pada variabel tenaga kerja sebesar 5.58E-06 artinya bahwa bila terjadi peningkatan tenaga kerja sebesar 1.000.000 orang maka akan meningkatkan indeks pembangunan manusia sebesar 5,58, dan hubungan ini signifikan secara statistik. Salah satu komponen penyusun indeks pembangunan manusia adalah indeks standar hidup layak, sehingga bila tingkat pengkaryaan atau banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam pasar tenaga kerja meningkat maka daya beli masyarakat
pun meningkat, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan standar kehidupan yang layak.
Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya menargetkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga diharapkan untuk memperhatikan dan melaksanakan pembangunan dengan berbasis manusia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terukur dari nilai indeks pembangunan manusia (Chriswardani Suryawati, 2005).
-
8) Nilai Koefisien PDRB Per Kapita
Nilai koefisien positif pada variabel PDRB per kapita sebesar 5.07E-07artinya bahwa bila terjadi tambahan pendapatan pada setiap penduduk sebesar Rp. 1.000.000 maka akan meningkatkan indeks pembangunan manusia sebesar 0.507, dan hubungan ini signifikan secara statistik. Pendapatan penduduk rata-rata dijadikan tujuan akhir dari sebuah pembangunan, padahal pendapatan tersebut hanyalah salah satu media atau alat, karena yang lebih penting lagi adalah bagaimana pendapatan tersebut digunakan untuk memperbaiki kapabilitas manusianya dan bagaimana rakyat menggunakan kapabilitasnya tersebut. Peningkatan PDRB per kapita ini mencerminkan kemampuan individu untuk meningkatkan standar hidupnya serta kualitas kesehatan dan pendidikannya, sehingga dapat dikatakan bahwa indikator indeks pembangunan manusia jauh lebih representatif dalam menggambarkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang semata hanya melihat pembangunan dari segi material.
Dalam Todaro (2003), HDI juga menyampaikan bahwa pembangunan yang dimaksudkan adalah pembangunan manusia dalam arti luas, bukan hanya dalam bentuk pendapatan yang lebih tinggi. Indikator kesenjangan pembangunan dan pemeringkatan yang baik harus memasukkan variabel kesehatan dan pendidikan dalam pengukuran kesejahteraan yang tertimbang, dan bukan hanya melihat tingkat pendapatan saja. HDI merupakan perangkat yang sangat bermanfaat untuk mengukur tingkat
kesejahteraan antar negara maupun antar daerah (Hadi Sasana, 2009). Pendapatan per kapita yang tinggi akan membentuk kualitas manusia yang tinggi pula.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil olah data menggunakan metode panel didapatkan kesimpulan bahwa pendapatan penduduk rata-rata dan banyaknya tenaga kerja yang semakin tinggi akan membuat nilai indeks pembangunan manusia ini meningkat dan ini signifikan positif secara statistik. Namun yang menjadi perhatian lebih adalah adanya signifikansi yang positif antara kemiskinan dan indeks pembangunan manusia. Salah satu yang menjadi penyebab mengapa tingginya indeks pembangunan manusia tidak mencerminkan pengurangan kemiskinan adalah adanya ketidakmerataan distribusi pendapatan pada 5 wilayah hasil pemekaran serta ukuran kemiskinan yang belum bersifat multidimensional.
SARAN
Pemerintah harus memberi peraturan yang lebih ketat untuk persyaratan pemekaran wilayah di Indonesia agar kesejahteraan masyarakat setelah pemekaran memiliki kondisi yang lebih baik secara ekonomi.
REFERENSI
Arsyad Lincolin (2004). Ekonomi Pembangunan. Bagian Penerbitan STIE – YKPN. Yogyakarta.
BAPPENAS dan UNDP.Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah2001 – 2007. Buildingand Reinventing Decentralised Government. Juli 2008
Blair, J. P. 1991. Urban and Regional Economics. Irwin, Hometown. 585p.
Buku Pegangan 2009.Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah.Bagian
IV. Bab VI. 2009
DRSP-USAID. 2006. Stock Taking On Indonesia’s Recent Decentralization Reforms. Jakarta: DRSP-USAID. Agustus.
Fitrani, dkk. 2005. Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in A Decentralizing Indonesia. Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol. 41, No.1.
Glasson,J.1974. Pengantar Perencanaan Regional Terjemahan Paul Sitohang,Jakarta:LPFE- Universitas Indonesia.
Hadi Sasana, 2001. Pengaruh Hubungan Fiskal Pemerintah Pusat-Daerah Terhadap Produk Domestik Regional
Bruto Kabupaten Klaten. Tesis S-2 PMS UGM Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Heikkila, E.J. From HDI to hdi; Regional Development Studies. UNCRD. 5. 41-62; 1999.
Hill, H and Shiraisi, T (2007).Indonesia After the Asian Crisis. Asian Economic Policy Review. Vol.2. No.1. June 2007
Ida, Laode. 2002. Desentralisasi dan Demokrasi. Jakarta: Jurnal Demokrasi dan HAM 2, No 2, Juni-September
Jawa Barat Dalam Angka 2003 hingga 2012
Kota Banjar Dalam Angka 2003 hingga 2012
Kota Bekasi Dalam Angka 2003 hingga 2012
Kota Cimahi Dalam Angka 2003 hingga 2012
Kota Depok Dalam Angka 2003 hingga 2012
Kota Tasikmalaya Dalam Angka 2003 hingga 2012
Lembaga Administrasi Negara,Executive Summary Kajian Evaluasi Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan dan Penghapusan Daerah, http://www.lan.go.id/ kajian/Abstrak Kajian Evaluasi Pemekaran Daerah. pdf, 3 April 2013.
Mônica A. Haddad & Zorica Nedović-Budić.Using Spatial Statistics to Analyze Intra-urban Inequalities and Public Intervention in São Paulo.Journal of Human Development. Brazil.Published online: 22 Jan 2007.
Nurkse, Ragnar. Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries. New York: Oxford University Press 1953.
Parr, John B.Growth Pole Strategies in Regional Economic Planning : A Retrospective View. Carfax Publishing 1999.
Peraturan Pemerintah No. 39/2006
Peraturan Pemerintah No. 129/2000
Purnomosidi, Hadjisarosa. 1978. Pengenalan Masalah Pengembangan Wilyah. Jakarta: Penerbit PU
Resosudarmo, B.P. and Y. Vidyattama (2006), “Regional Income Disparity in Indonesia: A Panel Data Analysis”, ASEAN Economic Bulletin, 23(1): 31-44.
Sihotang (1997) dalam Malik (2006) ‘’Himpunan Undang-Undang Dasar, Undang- Undang, dan Peraturan Perundangan’’ Tentang Pemerintah Daerah di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta
Simanjuntak, Thamrin, 2001. Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah , Bunga Rampai Manajemen Keuangan daerah. UPP AMP YKPN, Yogyakarta
Situs resmi Badan Pusat Statistik : www.bps.go.id
Situs resmi Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat : www. jabar.bps.go.id
Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.
Undang Undang No. 22/1999
Undang-undang Tata Ruang Nomor 24 Tahun 1992
USAID Democratic Reform Support Program. 2006. Membedah Reformasi Desentralisasi di Indonesia. Ringkasan Laporan. Jakarta: USAID-DRSP
[UNDP] United Nations Development Programme. 2004. Human Development Report. http://hdr.undp.org/ statistics/understanding/resources.ctm. [ 30 Agustus 2007].
World Bank,1990 Indonesia:Strategy for a Sustained Reduction in Poverty A WorldBtmk Country Study Report No 10009 Diakses dari :http://www- wdsworldbank · org/extemal/ default/WDSContentServer/WDSP/IB/1999/09/1 0/00017883 0_98101910591948/Rendered/PDF/ multi_pagepdf
82
Discussion and feedback