Λ


DIRECTORY OF

OPEN ACCESS

J JOURNALS

ORIGINAL ARTICLE


P-ISSN: 2548-5962


E-ISSN: 2548-981X

https://ojs.unud.ac.id/index.php/jbn


Infiltrasi Neutrofil Pada Penyembuhan Luka Insisi Gingiva Tikus Wistar Setelah

Pemberian Vitamin D

Hervina1*, Dwis Syahriel1, I Gusti Ngurah Gede Swarga Prawira2

  • 1    Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.

  • 2    Program Profesi Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.

*Penulis korespondensi: [email protected].

ABSTRAK

Latar belakang: Prevalensi periodontitis di Indonesia sebesar 74,1% lebih tinggi dibandingkan negara-negara lainnya di dunia. Perawatan periodontitis seperti tindakan bedah periodontal meliputi tindakan insisi akan menimbulkan luka pada gingiva. Penyembuhan luka pada rongga mulut harus diperhatikan agar tidak terjadi infeksi. Vitamin D memiliki efek antiinflamasi sebagai imunomodulator dalam mekanisme penyembuhan luka. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efek antiinflamasi vitamin D terhadap infiltrasi neutrofil pada luka insisi gingiva tikus wistar. Metode: Rancangan post test only control group design pada 24 sampel yang dilakukan insisi pada gingiva labial insisivus rahang bawah, dibagi menjadi 6 kelompok: kontrol yaitu tanpa pemberian perawatan observasi hari ke-1 (K1) dan hari ke-3 (K2); perlakuan 1 (pemberian vitamin D 1000 IU per-oral/perhari) observasi hari ke-1 (P1) dan hari ke-3 (P2), perlakuan 2 (pemberian vitamin D 1000 IU per-oral/hari dan Povidone iodin 1% secara topikal ) observasi hari ke-1 (P3) dan hari ke-3 (P4). Pembuatan preparat dari jaringan gingiva area insisi dengan pewarnaan HE dan perhitungan jumlah sel neutrofil menggunakan mikroskop pembesaran 400 kali. Analisis data dengan Uji One Way Anova kemudian dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference. Hasil: Terdapat perbedaan rerata jumlah neutrofil pada keenam kelompok nilai F = 12,03 dan p = 0,000. Perbedaan terdapat pada P1-K1 (p=0,000), P1-P3 (p=0,021), P1-P2 (p=0,047), P3-K1 (p=0,01), P2-K2 (p=0,002), P2-K4 (p=0,047). Simpulan: Infiltrasi neutrofil pada penyembuhan luka insisi gingiva tikus lebih tinggi pada pemberian vitamin D pada hari ke-1 dibanding kontrol, dan infiltrasi neutrofil hari ke-3 lebih rendah dibanding hari ke-1 setelah pemberian vitamin D.

Kata kunci: penyembuhan luka, neutrofil, vitamin D.

DOI: https://doi.org/10.24843/JBN.2021.v05.i02.p02

ABSTRACT

Background: The prevalence of periodontitis in Indonesia 74,5%, higher than other countries. Periodontitis treatment such as periodontal surgery including incision will cause injury to the gingiva. Healing wounds in oral cavity must be considered so that infection does not occur. Vitamin D has an anti-inflammatory effect as an immunomodulator in wound healing. The aim of this study was to prove the anti-inflammatory effect of vitamin D on neutrophil infiltration in the gingival incision wound of wistar rats. Methods: Post test only control group design on 24 samples performed incisions on the mandibular incisor labial gingiva, divided into 6 groups: control group without treatment and observation on day-1 (K1), day-3 (K2); treatment 1 (1000IU vitamin D orally/day) observation on day-1 (P1), day-3 (P2); treatment 2 (1000IU vitamin D orally/day and Povidone iodin 1% topical) observation on day-1(P3), day-3 (P4). Preparation of the gingival tissue incision with HE staining, and counting of neutrophil cells using 400 times magnification microscope. Data analysis using One Way Anova and LSD. Results: The mean of neutrophil cells in the six groups were significantly different (F=12,03; p=0,000). The differences were in P1-K1 (p=0,000), P1-P3 (p=0,021), P1-P2 (p=0,047), P3-K1 (p=0,01), P2-K2 (p=0,002), P2-K4 (p=0,047). Conclusion: Neutrophil infiltration in the healing of gingival incision wounds in rats was higher on vitamin D administration on day 1 than control, and neutrophil infiltration on day 3 was lower than on day 1 after vitamin D administration.

Keywords: wound healing, neutrophil, vitamin D.

39 | JBN (Jurnal Bedah Nasional)

PENDAHULUAN

Periodontitis atau keradangan pada jaringan periodontal merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering dialami oleh semua kelompok umur pada masyarakat Indonesia. Periodontitis menjadi permasalahan baik di negara maju maupun berkembang. Periodontitis merupakan penyakit multifaktorial yang berhubungan dengan bakteri patogen dan respon imun inang terhadap bakteri.

Prevalensi periodontitis di Amerika Serikat mencapai 47% pada dewasa di atas usia 30 tahun dengan 38% dari jumlah tersebut adalah periodontitis sedang dan parah. Intensitas penyakit periodontal di Asia dan Afrika lebih tinggi daripada di Eropa, Amerika dan Australia.1 Berdasarkan hasil riset kesehatan

dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit gigi dan mulut masyarakat Indonesia sebesar 57,6%, dan prevalensi periodontitis sebesar 74,1%.2

Perawatan periodontal dibedakan menjadi dua yaitu perawatan non bedah dan perawatan bedah periodontal. Tindakan bedah periodontal lebih memungkinkan dalam memberi akses untuk melakukan debridemen

dan sering diindikasikan untuk perbaikan gigi pra-prostetik, bedah plastik, dan tindakan rekonstruktif oral. Perawatan bedah periodontal meliputi gingivektomi, gingivoplasti, flap periodontal, crown lenghtening maupun implant kedokteran gigi membutuhkan tindakan insisi yang selanjutnya menimbulkan luka pada jaringan gingiva.3-5

Proses penyembuhan luka pada rongga mulut merupakan proses yang unik di mana

proses tersebut terjadi pada lingkungan rongga mulut yang dipenuhi saliva yang mengandung sejumlah besar mikroorganisme. Penyembuhan luka dapat berhasil dengan baik apabila setiap fase penyembuhan yang terdiri dari fase hemostasis, inflamasi, proliferasi,

dan remodeling dilalui dengan baik. Fase inflamasi dari penyembuhan luka merupakan fase yang penting karena pada fase ini terjadi infiltrasi neutrofil ke arah luka yang berfungsi menghilangkan mikroorganisme dan mencegah kontaminasi mikroorganisme menjadi kolonisasi dan selanjutnya menjadi infeksi.6,7

Infeksi pada luka akan menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan dan komplikasi paska bedah periodontal seperti rasa sakit, bengkak, kemerahan, perdarahan dan panas yang dapat menimbulkan deman hingga diatas 38oC. Kontrol dan tindakan paska bedah periodontal yang dapat mempercepat penyembuhan sehingga mencegah komplikasi perlu mendapat perhatian.3,4

Vitamin D merupakan hormon secosteroid yang disintesis melalui reaksi fotokimia dari radiasi sinar ultraviolet pada sel kulit dan melalui konsumsi makanan. Defisiensi vitamin D dapat menyebabkan turunnya densitas mineral tulang, osteoporosis, meningkatnya penyakit periodontal, dan resorpsi tulang rahang. Vitamin D memiliki efek imunomodulator, antiinflamasi, antiproliferasi, dan apoptosis sel, sehingga terpenuhinya kebutuhan vitamin D dapat menurunkan resiko terjadinya gingivitis dan periodontitis kronis.8,9

Penelitian sebelumnya menunjukkan penyembuhan paska perawatan bedah periodontal lebih lambat apabila kadar vitamin D yang rendah dalam darah. Individu yang mendapat lebih dari 800 IU vitamin D per hari memiliki resiko terjadinya periodontitis kronis lebih rendah dibandingkan individu yang mendapat kurang dari 400 IU vitamin D per hari. Penilaian tersebut dilihat dari kedalaman poket, perlekatan gingiva, dan resorpsi tulang alveolar. Dosis vitamin D sebesar 500-2000 IU per hari dinyatakan aman dan efektif pada perawatan inflamasi gingiva.9

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek antiinflamasi vitamin D terhadap infiltrasi neutrofil pada luka insisi gingiva tikus wistar.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental rancangan post test only control group design. Prosedur penelitian telah mendapat kelaikan etik oleh komisi etik penelitian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar no. K.913/A.17.01/FKG-Unmas/XII/2020.

Perlakuan terhadap hewan coba dan pemeriksaan histologis dilakukan di Laboratorium Biomedik Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan surat persetujuan pelaksanaan penelitian no. 822/UN14.2.2.VII.6/LT/2020.

Sampel yang digunakan sebanyak 24 ekor tikus, tikus dianestesi terlebih dahulu dengan kombinasi ketamin dan xylazine. Dosis ketamine 40 mg/Kg BB diberikan secara intramuskuler dan xylazine 5 mg/kg BB secara subkutan. Selanjutnya dilakukan insisi dengan scalpel no 12 pada bagian gingiva di bawah gigi insisivus secara horizontal sepanjang + 2 mm, kemudian sampel dibagi menjadi 6 kelompok yaitu: kelompok kontrol yaitu tanpa pemberian perawatan observasi hari ke-1 (K1) dan hari ke-3 (K2); kelompok perlakuan 1 (pemberian vitamin D 1000 IU per-oral/perhari) observasi hari ke-1 (P1) dan hari ke-3 (P2), kelompok perlakuan 2 (pemberian vitamin D 1000 IU per-oral/hari dan Povidone iodin 1% secara topikal ) observasi hari ke-1 (P3) dan hari ke-3 (P4).

Vitamin D yang digunakan adalah vitamin D-3 sediaan softgel, pemberian dilakuan dengan teknik sondasi satu kali sehari pada siang hari. Pemberian Povidon iodine 1% pada kelompok P3 dan P4 dilakukan secara topikal dengan menggunakan cotton pellet di oleskan pada area luka insisi.

Dekapitasi hewan coba dilakukan dengan euthanasia menggunakan ketamin dosis lethal. Pengambilan jaringan periodontal dilakukan pada gingiva bagian labial insisivus pada daerah insisi. Jaringan selanjutnya difiksasi dengan buffer formalin 10% dan dibuat sediaan miskroskopik. Pemotongan spesimen dengan mikrotom ketebalan 5 mikron, diwarnai dengan Hematoksilin Eosin (HE).

Perhitungan jumlah sel neutrofil dengan menggunakan mikroskop pembesaran 400 kali. Setiap preparat terdiri dari 3 potongan jaringan yang diletakkan satu tetes minyak emersi. Perhitungan jumlah neutrofil pada tiap potongan jaringan dimulai dari pojok kiri bawah kemudian digeser ke kanan dan ditarik ke atas demikian seterusnya hingga terbaca dari semua lapang pandang. Rerata jumlah neutrofil dihitung dari 3 potongan jaringan tersebut.

Uji normalitas dengan Uji Shapiro-Wilk dan uji homogenitas dengan Lavene’s menunjukkan data terdistribusi normal dan homogen (p>0,05). Analisis data dilakukan dengan uji komparasi efek perlakuan dengan Uji One Way Anova kemudian dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD).

HASIL

Analisis kemaknaan dengan One Way Anova data jumlah neutrofil menunjukkan bahwa nilai F = 12,03 dan nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan rerata jumlah neutrofil pada keenam kelompok (p < 0,05) (Tabel 1). Untuk mengetahui pada kelompok mana terdapat perbedaan maka dilakukan Uji Post-Hoc dengan LSD pada kelompok-kelompok yang relevan (Tabel 2).

Pada penelitian ini, terdapat perbedaan bermakna jumlah sel neutrofil pada hari ke-1 pada luka insisi gingiva tikus antara kelompok yang diberikan vitamin D (P1) dan kontrol tanpa diberikan perlakuan (K1), dimana

jumlah neutrofil pada kelompok P1 lebih banyak (Gambar 1).

Tabel 1. Hasil Uji One Way Anova Perbedaan

Jumlah Neutrofil Antar Kelompok

Kelompok

N

Rerata

SB     F     p

K1

4

13,00

3,36

K2

4

18,25

4,78

P1

4

51,00

10 23

10,23   12,03   0,000

5,85

P2

4

38,75

P3

4

36,5

3,87

P4

4

26,5

14,47

Tabel 2. Beda Nyata Terkecil Rerata Jumlah Neutrofil Antar Dua Kelompok

Kelompok

Beda Rerata

p

P1 dan K1

38,00

0,000*

P1 dan P3

14,50

0,021*

P1 dan P2

12,25

0,047*

P3 dan K1

23,50

0,01*

P3 dan P4

10,00

0,100

P2 dan K2

20,50

0,002*

P2 dan P4

12,25

0,047*

P4 dan K2

8,25

0,169

K2 dan K1

5,25

0,374

*Berbeda bermakna

Gambar 1. Grafik Perbedaan Jumlah Neutrofil Antar Dua Kelompok

DISKUSI

Fase penyembuhan luka terdiri dari empat fase penting yaitu fase hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodeling. Infiltrasi neutrofil terjadi pada fase inflamasi yaitu selama 72 jam setelah terjadinya luka. Infiltrasi neutrofil pada daerah luka berfungsi untuk menghilangkan debris dan mencegah terjadinya infeksi. Infiltrasi neutrofil pada

tahap awal terjadinya luka sangat diperlukan untuk memfagositosis mikroorganisme patogen dan memproduksi protease. Walaupun peran neutrofil sangat penting pada sistem pertahanan inang terhadap inflamasi, namun keberadaan neutrofil yang berkepanjangan pada area luka dapat menyebabkan terhambatnya penyembuhan terjadinya luka dan membentuk luka kronis.10-12

Pada penelitian ini, terdapat perbedaan bermakna jumlah sel neutrofil pada hari ke-1 pada luka insisi gingiva tikus antara kelompok yang diberikan vitamin D (P1) dan kontrol tanpa diberikan perlakuan (K1), dimana jumlah neutrofil pada kelompok P1 lebih banyak (Gambar 1). Sesuai dengan penelitian Tamara, dkk (2019), menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil pada hari pertama merupakan bentuk pertahanan tubuh terhadap patogen yang menyebabkan inflamasi dan merupakan penanda inflamasi yang baru dimulai. Sel neutrofil bekerja dengan memfagosit benda asing saat inflamasi akut terjadi sehingga jumlahnya meningkat pada hari pertama.13

Infiltrasi sel neutrofil lebih banyak pada kelompok P1 dibandingkan K1 disebabkan karena vitamin D memiliki peran sebagai imunomodulator yang memodulasi sistem kekebalan bawaan (innate) sebagai pertahanan pertama dalam melawan infeksi.14,15 Vitamin D juga merangsang aktifitas seluler mengakibatkan peningkatan aktivitas kemotaksis neutrofil pada saat terjadi inflamasi sehingga menyebabkan jumlah sel neutrofil meningkat di dalam jaringan. Aktivitas kemotaksis neutrofil diinduksi oleh Cathelicidin yang merupakan peptida antibakteri yang diinduksi oleh vitamin D. Studi terdahulu menunjukkan terapi vitamin D pada keratinosit, monosit dan neutrofil mengindukasi transkripsi dari peptida ini.16-18

1,25(OH)2D yang merupakan bentuk aktif vitamin D, memiliki fungsi sebagai sistem imun terhadap terjadinya infeksi, sistem imun innate (bawaan), dan sistem pertahanan awal terhadap patogen. Pemicu sistem imun innate ini merupakan respon dari pathogenassociates molecular patterns (PAMP) melalui protein Toll-like reseptors (TLR). Salah satu akibat dari respon imun ini adalah terekspresinya enzim CYP27B yang berperan dalam hidroksilasi 25(OH)D. Hasil akhir respon imun ini adalah diproduksinya peptida antibakteri, cathelicidin dan β-defensins. Selain itu 1,25(OH)2D memiliki efek dalam memodulasi mediator inflamasi melalui sel monosit dan dendritik, dimana 1,25(OH)2D menghambat pembentukan sitokin pro-inflamasi IL-1α, IL-6 dan TNF α pada monosit yang distimulasi oleh lipopolisakarida (LPS), dan menghambat prpduksi IL-12 dan IL-17 pada sel dendritik.19,20

Infiltrasi sel neutrofil pada hari ke-1 paling banyak pada kelompok dengan pemberian vitamin D (P1) dan menunjukkan hasil berbeda bermakna dengan kontrol (K1) maupun dengan pemberian vitamin D dan Povidone iodin 1% (P3). Namun perbandingan jumlah neutrofil pada hari ke-1 dan ke-3 pada pemberian vitamin D (P1 dan P2) menunjukkan berubahan yang signifikan dimana jumlah neutrofil pada hari ke-3 lebih rendah dari pada hari ke-1. Sedangkan pada kelompok kontrol pada hari ke-1 dan ke-3 (K1 dan K2) tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dan jumlah sel neutrofil cenderung meningkat dimana hal tersebut menunjukkan masih berlangsungnya keradangan. Pada kelompok P3 dan P4 menunjukkan perubahan yang tidak signifikan walaupun pada hari ke-3 jumlah neutrofil lebih rendah daripada hari pertama.

Sesuai dengan pernyataan Leoni, dkk

(2015), neutrofil merupakan respon awal yang menginfiltrasi daerah luka pada 12 jam pertama dan pada hari ke-3 akan di fagositosis oleh makrofag atau fibroblast.21 Walaupun neutrofil berperan penting dalam mencegah infeksi pada terjadinya luka, namun keberadaan neutrofil yang berkepanjangan pada area luka dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan, inflamasi yang berkepanjangan dan luka kronis. Neutrofil memiliki peran ganda pada penyembuhan luka, selain berperan dalam fagositosis mikroorganisme patogen, namun protease dan substansi antimikrobia yang dihasilkan neutrofil tidak spesifik terhadap patogen tertentu sehingga keberadaan neutrofil yang berkepanjangan akan merusak jaringan dan menghambat penyembuhan.10

Pada penelitian ini kelompok dengan pemberian vitamin D pada hari ke-3 jumlah neutrofil lebih rendah secara signifikan dibanding hari ke-1, menunjukkan proses penyembuhan luka ke arah yang baik karena proses inflamasi akan segera memasuki fase proliferasi. Hal ini sesuai dengan Jagelaviciene, dkk (2018) yang menyatakan penyembuhan paska perawatan bedah periodontal lebih lambat apabila kadar vitamin D yang rendah dalam darah. Alshouibi, dkk (2013) menemukan individu yang mendapat lebih dari 800 IU vitamin D per hari memiliki resiko terjadinya periodontitis kronis lebih rendah dibandingkan individu yang mendapat kurang dari 400 IU vitamin D per hari. Penilaian tersebut dilihat dari kedalaman poket, perlekatan gingiva, dan resorpsi tulang alveolar. Hiremath, dkk (2013) menemukan dosis vitamin D sebesar 500-2000 IU per hari dinyatakan aman dan efektif pada perawatan inflamasi gingiva.9

Berbeda dengan penelitian Burkiewicz, dkk (2012), yang mengobservasi kadar vitamin D pada penyembuhan ulser kaki. Terdapat korelasi antara kadar vitamin D

dengan terjadinya ulser pada kaki dimana pada penderita dengan ulser ditemukan kadar vitamin D yang lebih rendah dibanding tanpa ulser, namun tidak terdapat perbedaan dalam penyembuhan ulser (luas ulser dan rasa sakit) antara kelompok yang diberi terapi vitamin D dan yang diberi plasebo.22

Penelitian mengenai efek vitamin D masih bervariasi sehingga perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme antiinflamasi dan antibakteri vitamin D.

SIMPULAN

Infiltrasi neutrofil pada penyembuhan luka insisi gingiva tikus lebih tinggi pada pemberian vitamin D pada hari ke-1 dibanding kontrol, dan infiltrasi neutrofil pada luka insisi gingiva tikus hari ke-3 lebih rendah dibanding hari ke-1 setelah pemberian vitamin D.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat pada pelaksanaan penelitian ini mulai dari perlakuan hewan coba sampai analisis data dan penyusunan laporan.

PERNYATAAN

Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan dalam laporan ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Arina  YMD. Is  There Association

Between the Chronic Periodontitis and the Low  of Bone  Mineral Density?

Procceding B FORKINAS VI th FKG UNEJ 14 -15 th. 2016; 2016:158-69.

  • 2.    Kesehatan Kementrian. Hasil Utama Riskesdas 2018 [serial online] 2018. Diunduh                           dari:

https://www.kemkes.go.id/resources/dow nload/info-

terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil Riskesdas 2018.pdf

  • 3.    Powell CA, Mealey BL, Deas DE,

McDonnell HT, Moritz AJ. Post-surgical infections: prevalence associated with various periodontal surgical procedures. J Periodontol. 2005;76:329-33.

  • 4.    Pippi R. Post-Surgical Clinical Monitoring of Soft Tissue Wound Healing in Periodontal and Implant Surgery. Int J Med Sci. 2017;14:721-8.

  • 5.    Niemiec BA. Periodontal therapy. Top Companion Anim Med. 2008;23:81-90.

  • 6.    Shah R, Domah F, Shah N, dkk. Surgical Wound Healing in the Oral Cavity: a Review. Dent Update. 2020;47:135-43.

  • 7.    Suchetha A, Tanwar E, Darshan BM, dkk. Post-operative complications after periodontal surgery. Int J Appl Dent Sci. 2018;4:152-6.

  • 8.    Rajashree D, Reddy PV, Sandeep N, dkk. Low serum 1,25(OH) 2 D levels: A risk factor for periodontitis. J NTR Univ Health Sci. 2016;5:286-90.

  • 9.  Jagelavičienė   E, Vaitkevičienė I,

Šilingaitė D,  dkk. The Relationship

between Vitamin D and Periodontal Pathology.     Medicina     (Kaunas).

2018;54:45.

  • 10.    Wilgus  TA, Roy S, McDaniel  JC.

Neutrophils and Wound Repair: Positive Actions and Negative Reactions. Adv Wound Care (New Rochelle). 2013;2:379-88.

  • 11.    Ellis S, Lin EJ, Tartar D. Immunology of Wound Healing. Curr Dermatol Rep. 2018;7:350-8.

  • 12.    Wang J. Neutrophils in tissue injury and repair. Cell Tissue Res. 2018;371:531-9.

  • 13.    Tamara A, Oktiani BW, Taufiqurrahman I. Pengaruh Ekstrak Flavonoid Propolis Kelulut (G.thoracica) Terhadap Jumlah Sel Netrofil pada Periodontitis (Studi In Vivo Pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Jantan). Dentin. 2019;3:10-6.

  • 14.    Bikle DD. Vitamin D and bone. Curr Osteoporos Rep. 2012;10:151-9.

  • 15.    Antonoglou GN, Knuuttila M, Niemelä O, dkk. Serum parathyroid hormone and active vitamin D in chronic periodontitis. J Clin Periodontol. 2015;42:726-32.

  • 16.    Sassi F, Tamone C, D'Amelio P. Vitamin D:     Nutrient,     Hormone,     and

Immunomodulator.           Nutrients.

2018;10:1656.

  • 17.    Radović J, Marković D, Veličkov A, dkk. Vitamin D Immunomodulatory Effect. Acta Medica Medianae. 2012;51:58-64.

  • 18.    Mousa A, Misso M, Teede H, Scragg R, de Courten B. Effect of vitamin D supplementation on inflammation: protocol for a systematic review. BMJ Open. 2016;6:e010804.

  • 19.    Khammissa RAG, Fourie J, Motswaledi MH, dkk. The Biological Activities of Vitamin D and Its Receptor in Relation to Calcium and Bone Homeostasis, Cancer, Immune and Cardiovascular Systems, Skin Biology, and Oral Health. Biomed

Res Int. 2018;2018:9276380.

  • 20.    Dragonas P, El-Sioufi I, Bobetsis YA, dkk. Association of Vitamin D With Periodontal Disease: A Narrative Review. Oral Health Prev Dent. 2020;18:103-14.

  • 21.    Leoni G, Neumann PA, Sumagin R, dkk. Wound repair: role of immune-epithelial interactions.     Mucosal     Immunol.

2015;8:959-68.

  • 22.    Burkiewicz CJ, Guadagnin FA, Skare TL, do Nascimento MM, Servin SC, de Souza GD. Vitamin D and skin repair: a prospective, double-blind and placebo controlled study in the healing of leg ulcers. Rev Col Bras Cir. 2012;39:401-7.

45