DIRECTORY OF

OPEN ACCESS

∕JOURNALS

P-ISSN: 2548-5962

E-ISSN: 2548-981X


ORIGINAL ARlFUCLg


https://ojs.unud.ac.id/index.php/jbn



Perbandingan Jumlah Sel Mononuklear, Jumlah Sel Fibroblas, Ukuran Fibrosis,

dan Perlengketan Klinis Pada Jaringan Peridural Antara Non-Absorbable Mesh dan Absorbable Barrier Mesh Pada Tikus Wistar dengan Cedera Otak Traumatika

yang Dilakukan Decompressive Craniectomy

Ida Bagus Yudha Prasista1*, I Wayan Niryana2, Nyoman Golden2

1PPDS Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah, Bali, Indonesia

2Divisi Bedah Saraf, Departemen Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah, Bali, Indonesia

*Penulis korespondensi: [email protected].

ABSTRAK

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dua jenis mesh yaitu non-absorbable mesh dan absorbable barrier mesh terhadap sel mononuklear, fibroblas, ketebalan fibrosis dan perlengketan klinis pada jaringan peridural tikus wistar dengan traumatic brain injury. Metode: Studi ini menggunakan model hewan coba dengan desain Randomized post Test-Only Control Group. Penelitian melibatkan dua puluh sampel. Sebanyak sepuluh sampel yang menggunakan non-absorbable mesh masuk dalam kelompok kontrol dan sepuluh sampel yang menggunakan absorbable barrier mesh masuk dalam kelompok perlakuan. Untuk pemeriksaan jumlah sel mononuklear (MN), jumlah sel fibroblas dan ukuran fibrosis, serta perlengketan klinis pemeriksaan dilakukan di laboratorium setelah sebelumnya dilakukan euthanasia setelah hari ke-14. Uji T independen dan uji Mann Whitney dilakukan untuk menguji hipotesa dengan skala data numerik serta uji Fisher’s exact untuk menguji hipotesa dengan skala data kategorik. Hasil: Rerata jumlah sel mononuklear (MN) per lapang pandang (LP) pada kelompok dengan perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol (10,6±5,6 vs 13,8±5,6 per LP). Jumlah rerata sel fibroblas per LP pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (13,6±4,3 vs 20,2 ±7,3 per LP). ketebalan ukuran fibrosis juga menunjukkan perbedaan rerata yang signifikan lebih rendah pada kelompok perlakuan (183,4 ± 87,7 vs 458,5±247,1). Risiko relatif terjadinya perlengketan klinis pada non-absorbable mesh juga 3 kali lebih besar dibadingkan dengan absorbable barrier mesh. Simpulan: Penggunaan absorbable barrier mesh secara bermakna menyebabkan rerata jumlah sel fibroblas, ukuran fibrosis, dan risiko perlengketan klinis yang lebih rendah paska tindakan decompressive craniectomy.

Kata kunci: non-absorbable mesh, absorbable barrier mesh, sel mononuklear.

DOI: https://doi.org/10.24843/JBN.2020.v04.i01.p03

ABSTRACT

Aim: This study aimed to compare the mononuclear (MN) and fibroblast cell counts, fibrosis size and clinical adhesions between non-absorbable and absorbable barrier mesh following DC for traumatic brain injury of wistar mice. Methods: This research used animal models with the randomized post test only control group design. A total of 20 samples were involved. 10 samples using non-absorbable mesh were grouped in the control group and 10 samples using absorbable barrier mesh were grouped in the treatment group. After 14 days, euthanasia was performed and peridural tissue was taken to examine the mononuclear (MN) and fibroblast cells counts, size of fibrosis and clinical adhesions. The hypothesis was tested by independent T test and Mann Whitney test for numerical data scales and Fisher's exact test for categorical data scales, with significance level p <0.05. Results: The mean results of mononuclear (MN) cells in treatment group was lower than the control group (10.6±5.6 vs 13.8±5.6). The mean results of fibroblast cells in the treatment group was lower than the control group (13.6±4.3

vs 20.2±7.3). The mean size of peridural fibrosis in the treatment group was lower than the control group (183.4±87.7 µm vs 458.5±247.1 µm). The relative risk for clinical adhesions in non-absorbable mesh were 3 times greater than the absorbable barrier mesh. Conclusion: The usage of absorbable barrier mesh following the DC significantly reduce the mean cells counts of mononuclear (MN) and fibroblast cells counts, fibrosis size, and reduce risk of clinical adhesions following decompressive craniectomy.

Keywords: non-absorbable mesh, absorbable barrier mesh, mononuclear cells.

PENDAHULUAN

Tingginya angka kecelakaan lalu lintas masih merupakan masalah yang tetap menjadi perhatian di berbagai negara, baik di negara maju atau negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu dampak yang menimbulkan angka mortalitas yang tinggi adalah Cedera Otak Traumatika atau Traumatic Brain Injury (TBI). Hipertensi intrakranial merupakan pemicu tertinggi timbulnya berbagai efek samping hingga mortalitas yang diakibatkan oleh cedera otak traumatika. Salah satu upaya yang digunakan untuk mengelola tekanan intrakranial yang tinggi pada pasien dengan cedera otak traumatika adalah dengan melakukan tindakan decompressive craniectomy (DC).1 Decompressive craniectomy merupakan suatu tindakan yang sering dilakukan oleh ahli bedah saraf untuk menangani pasien dengan TIK yang menetap dan adanya pergeseran garis tengah pada pasien cedera kepala. Tindakan operasi ini juga dilakukan pada pasien stroke iskemik, stroke perdarahan dan perdarahan subarakhnoid. Tindakan DC ini bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan cara menghilangkan atau membuang tulang kranium sehingga terdapat ruang yang lebih untuk otak yang bengkak. Risiko DC tidak hanya terbatas pada operasi awal, tetapi juga mencakup komplikasi yang mungkin terjadi selama cranioplasty berikutnya pada saat pemasangan flap tulang.

Masalah yang sering muncul paska tindakan DC adalah adanya perlengketan antara jaringan duramater, otot temporal, dan

galea. Perlengketan ini menimbulkan kesulitan teknis dalam tindakan operasi cranioplasty. Jaringan lunak yang lengket membutuhkan waktu yang lama untuk dipisahkan serta adanya risiko robekan pada duramater yang lebih besar.

Menurut studi eksperimen oleh Niryana pada tahun 2017 yang membandingkan antara operasi kraniektomi dengan dan tanpa mesh, ditemukan adanya hasil rerata jumlah sel fibroblas yang berbeda antara kedua kelompok penelitian yang membuktikan jumlah per lapang pandang yang lebih rendah pada kelompok DC dengan mesh. Hal yang sama juga ditemukan pada perbedaan ketebalan fibrosis serta adanya adhesi yang lebih rendah pada kelompok dengan mesh.2

Penggunan mesh sebagai physical barrier telah lama dilakukan pada operasi hernia, baik dengan menggunakan jenis mesh nonabsorbable maupun jenis mesh absorbable barrier yang harganya relatif lebih mahal. Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian eksperimental lanjutan pada tikus wistar apakah terdapat perbedaan pada penggunaan non-absorbable mesh dengan absorbable barrier mesh sebagai anti adhesi pada tindakan DC pada tikus wistar cedera otak traumatika.

METODE

Penelitian ini merupakan experimental study dengan menggunakan hewan coba. Studi dilakukan di laboratorim farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Animal Lab Bagian Farmakologi FK

Universitas Udayana. Sampel penelitian didapatkan dari kandang hewan coba FKH Unud yang memenuhi kriteria penelitian dan dilakukan randomisasi. Sampel dikeluarkan dari penelitian apabila tikus sakit berat dan mati yang ditentukan oleh dokter hewan. Bahan penelitian adalah jaringan yang diambil secara keseluruhan luas DC, berupa jaringan peridural, meliputi fasia, otot temporalis dan kulit, difiksasi dalam larutan formaldehyde 10% dan dilakukan pemeriksaan histopatologi di Laboratorium PA FK UNUD Denpasar.

Setelah terjadi traumatic brain injury pada tikus wistar yang dibuat dengan teknik weight drop model, kemudian dilakukan teknik sesuai standar prosedur operasi. DC dilakukan dengan menggunakan bor kecil dengan kecepatan tinggi dengan ukuran 0,9cm x 0,5cm. Tikus kelompok pertama adalah kelompok kontrol dimana setelah tulang terbuang, selanjutnya lapisan duramater pada hewan coba diinsisi dan dibuka seluas area DC, selanjutnya di atas dura tersebut dipasang non-absorbable mesh (polypropylene mesh). Seluruh alat instrumen bedah dan kondisi kerja diupayakan tetap steril. Tikus kelompok kedua adalah kelompok perlakuan, prosedur yang sama dilakukan seperti kelompok kontrol, namun yang dipasang di atas duramater adalah absorbable barrier mesh (polypropylene mesh dengan tambahan bahan oxidized regenerated cellulose). Setelah terpasang mesh yang berbeda pada kedua kelompok, seluruh lapisan kulit diatasnya dijahit seperti prosedur operasi DC pada umumnya.

Setelah diobservasi selama 14 hari, kemudian dilakukan pengambilan bahan penelitian yaitu seluruh jaringan peridural pada kedua kelompok dengan cara euthanasia. Pada saat euthanasia dan mulai untuk pengambilan bahan dilihat secara langsung kejadian perlengketan pada kedua kelompok dengan mesh yang berbeda. Bahan yang telah

diambil kemudian dikirim ke laboratorium patologi untuk dilihat ketebalan ukuran fibrosis per lapang pandang, banyaknya sel mononuklear per lapang pandang, dan banyaknya sel fibroblas per lapang pandang. Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis secara statistik dengan uji T independen dan uji Mann-Whitney dilakukan untuk menguji hipotesa dengan skala data numerik serta uji Fisher’s exact untuk menguji hipotesa dengan skala data kategorik.

HASIL

Sebanyak dua puluh sampel yang telah terseleksi terlibat dalam penelitian ini. Sepuluh sampel masuk ke dalam kelompok kontrol (DC dengan nonabsorbable mesh) dan sepuluh sampel berikutnya masuk dalam kelompok perlakuan (DC dengan absorbable barrier mesh).

Tabel 1 merupakan hasil uji normalitas data yang menggunakan uju Saphiro Wilk, terlihat data berdistribusi normal pada jumlah fibroblast dan ukuran fibrosis. Uji Mann Whitney dilakukan pada jumlah sel mononuklear karena berdistribusi tidak normal. Pada data jumlah sel fibroblas, ukuran fibrosis yang berdistribusi normal dan variansnya homogen maka memenuhi syarat untuk dilakukan uji parametrik yaitu uji T independen.

Sesuai dengan Tabel 2 diperoleh hasil rerata jumlah sel mononuklear pada kelompok non-absorbable mesh dan pada kelompok absorbable barrier mesh. Dari hasil analisis, didapatkan angka signifikansi uji Mann-Whitney adalah p=0,353 sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa meskipun tidak bermaksa secara statistik, hasil rerata kadar sel mononuklear setelah hari ke-14 pada kelompok absorbable barrier mesh lebih rendah dibanding kelompok non-absorbable mesh.

Sesuai dengan Tabel 3 diperoleh hasil rerata pada jumlah sel fibroblast pada kelompok non-absorbable mesh sebanyak 20,2 ± 7,3 sel per lapang pandang, yang lebih banyak daripada jumlah rerata pada kelompok absorbable barrier mesh sejumlah 13,6 ± 4,3 sel per lapang pandang dengan nilai p<0,024. Dengan hasil ini dapat ditarik kesimpulan bahwa didapatkan jumlah sel fibroblast yang berbeda bermakna antara kedua kelompok penelitian.

Sesuai dengan hasil pada Tabel 4 ini, diperoleh rerata ukuran fibrosis pada kelompok non-absorbable mesh adalah 458,5± 247,1μm dan pada kelompok absorbable barrier mesh adalah 183,4 ± 87,7μm, dengan nilai p=0,004.

Hasil pada Tabel 4 maka dapat ditarik kesimpulan rerata ukuran fibrosis pada kelompok absorbable barrier mesh bermakna secara statistik lebih rendah dibandingkan kelompok non-absorbable mesh pada hari ke-14.

Tabel 1. Uji normalitas data pada kedua kelompok.

Kelompok

Saphiro Wilk

Statistik    p        Interpretasi

Jumlah sel mononuklear Non-absorbable Absorbable barrier

Jumlah sel fibroblas      Non-absorbable

Absorbable barrier

Ukuran fibrosis (μm)     Non-absorbable

Absorbable barrier

0,920   0,359      Normal

0,844   0,049   Tidak normal

0,936   0,511      Normal

0,872   0,105      Normal

0,882   0,138      Normal

0,861   0,077      Normal


Tabel 2. Perbedaan rerata banyaknya sel mononuklear pada kedua kelompok.

Variabel

Kelompok

Non-absorbable Absorbable barrier    p

Jumlah sel mononuklear

Rerata ± SD        13,8 ± 5,6          10,6 ± 5,6

0,353*

Median (min-max)    13,5 (7-25)         9,5 (3-21)

*hasil uji Mann-Whitney.


Tabel 3. Perbedaan rerata jumlah sel fibroblas pada kedua kelompok.

Variabel

Kelompok

p

Non-absorbable

Absorbable barrier

Rerata ± SD

20,2 ± 7,3

13,6 ± 4,3

Jumlah sel fibroblas

Median (min-max)

20,5 (11-34)

12,5 (8-22)

0,024*

*signifikan pada p<0,05; hasil uji T independen.


Tabel 4. Perbedaan rerata ukuran fibrosis pada kedua kelompok.

Variabel

Kelompok

p

Non-absorbable

Absorbable barrier

Rerata ± SD

458,5 ± 247,1

183,4 ± 87,7

Ukuran fibrosis (µm)

0,004*

Median (min-max)

508,1 (164,8-810,9)

166,3(88,5-386,9)

*signifikan pada p<0,05; hasil uji T independen.


Tabel 5. Distribusi perlengketan klinis/adhesi pada kedua kelompok.

Perlengketan klinis

p

Variabel

Ya n (%)

Tidak n (%)

RR

95%CI

Non-absorbable mesh

6 (60)

4 (40)

3

0,786-11,445

0,085*

Absorbable barrier mesh

2 (20)

8 (80)

*signifikan pada p<0,05; hasil uji Fisher exact.


Tabel 5 menunjukkan distribusi kejadian perlengketan klinis berdasarkan jenis mesh yang digunakan. Pada kelompok yang menggunakan non-absorbable mesh ada 6 atau 60% yang mengalami perlengketan, sedangkan pada kelompok absorbable barrier mesh terdapat 2 atau 20% yang mengalami perlengketan. Pada perbedaan tersebut didapatkan nilai RR=3 yang artinya risiko terjadinya perlengketan pada non-absorbable mesh 3 kali dibandingkan dengan pada absorbable barrier mesh. Uji statistik yang digunakan untuk menilai perbedaan tersebut bermakna atau tidak adalah dengan uji alternatif Fisher exact.

DISKUSI

Sesuai dengan hasil penelitian ini ditunjukkan perbedaan rerata jumlah sel mononuklear pada non-absorbable mesh adalah 13,8 dengan standar deviasi 5,6 sedangkan pada absorbable barrier mesh reratanya adalah 10,6 dengan standar deviasi 5,6. Pada analisis statistik, perbedaan antara kedua kelompok menunjukkan p=0,353. Nilai ini memiliki arti bahwa meskipun secara statistik tidak bermakna, namun terbukti ada perbedaan rerata jumlah sel mononuklear pada kelompok penelitian, dimana jumlah selnya lebih rendah pada kelompok absorbable barrier mesh.

Somin3 pada tahun 2016 dalam penelitiannya menyatakan bahwa tidak ada peningkatan jumlah sel leukosit atau kadar sel mononuklear pada kelinci percobaan yang

dilakukan operasi DC dan dilakukan pemasangan barrier polimetilmetakrilat selama 2 bulan. Sejalan dengan fase penyembuhan luka yang memasuki fase proliferasi pada hari ke 4-21 maka sel yang banyak berperan pada fase ini diantaranya adalah sel limfosit yang terdapat di jaringan untuk mengisi defek dan mulai berfungsi untuk penutupan kulit. Adanya perbedaan jumlah rerata sel mononuklear yang lebih rendah pada kelompok absorbable barrier mesh dapat menunjukkan adanya fungsi yang berbeda secara fisik dan kimia dari mesh.

Pada penelitian ini didapatkan hasil rerata jumlah sel fibroblas paska operasi DC dengan non-absorbable mesh adalah 20,2 dengan standar deviasi 7,3 sedangkan pada paska operasi DC dengan absorbable barrier mesh reratanya adalah 13,6 dengan standar deviasi 4,3. Setelah dianalisis dengan statistik, perbedaan antara kedua kelompok menunjukkan p=0,024. Nilai p yang signifikan ini menunjukkan adanya jumlah rerata sel fibroblast yang berbeda bermakna yang bermakna antara dua kelompok penelitian, dimana didapatkan angka rerata yang lebih rendah pada kelompok absorbable barrier mesh.

Selain operasi yang gentle dan kontrol perdarahan yang hati-hati sebagai pencegahan saat intraoperatif, adanya penggunaan biomaterial sangat penting sebagai barrier antara jaringan duramater dan lapisan di atas duramater. Adanya barrier ini bertindak sebagai penghalang untuk pergerakan sel

fibroblas yang mengakibatkan berkurangnya deposisi kolagen.4 Kelemahan bahan dasar non-absorbable mesh juga dinyatakan bahwa penggunaan prostese mesh yang berbahan dasar polypropylene dapat merangsang respon fibroblas dan dengan cepat merangsang reaksi inflamasi yang bervariasi.5

Ukuran ketebalan fibrosis pada penelitian ini secara obyektif dinilai oleh dokter ahli Patologi Anatomi. Ukuran ketebalan fibrosis pada paska operasi DC dengan nonabsorbable mesh adalah 458,5μm dengan standar deviasi 247,1μm, lebih tinggi dibandingkan dengan paska operasi DC menggunakan absorbable barrier mesh dimana reratanya adalah 183,4μm dengan standar deviasi 87,7μm. Nilai p yang signifikan, yaitu p=0,004 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna diantara dua kelompok penelitian. Adanya perbedaan ukuran fibrosis disebabkan oleh bahan yang berbeda pada kedua kelompok mesh. Non-absorbable mesh berbahan dasar polypropylene tanpa lapisan tambahan lain. Bahan polypropylene mesh meningkatkan reaksi inflamasi dan pertumbuhan jaringan ikat yang signifikan.6,9 Penggunaan mesh mencetuskan respon peradangan pada tubuh, pembentukan jaringan parut dan pertumbuhan jaringan. jenis Heavy weight Polypropylene mesh terkait dengan reaksi benda asing dan pembentukan jaringan parut serta sel radang dapat bertahan hingga bertahun tahun.7 Penelitian perbandingan jenis mesh dilakukan oleh Novitsky pada tahun 2007,8 menyatakan bahwa mesh tipe komposit dikembangkan untuk mengatasi adhesi viscera, dan adanya lapisan tambahan pada mesh yang bertujuan untuk menghalagi pertumbuhan jaringan viscera.

Penilaian terhadap adanya adhesi atau perlengketan klinis dilihat secara pengamatan langsung oleh operator, dilihat dan dinilai dari

JBN (Jurnal Bedah Nasional) kesulitan saat diseksi duramater terhadap jaringan diatasnya. Tabel 5 menunjukkan pengamatan hari ke-14 paska operasi DC dengan non-absorbable mesh, kejadian tidak adanya perlengketan klinis (40%) sedangkan kejadian perlengketan klinisnya adalah (60%). Pada paska operasi DC dengan absorbable barrier mesh, kejadian tidak adanya perlengketan klinis (80%) sedangkan kejadian perlengketan klinisnya adalah (20%). Berdasarkan uji Fisher exact test didapatkan nilai p=0,085, dan RR=3, sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa pada kelompok nonabsorbable mesh mempunyai risiko relatif 3 kali lebih besar untuk mengalami perlengketan klinis dibandingkan dengan absorbable barrier mesh walaupun tidak signifikan secara statistik. Banyak kerugian yang berhubungan dengan reaksi benda asing di dalam tubuh manusia yang diakibatkan oleh bahan polypropylene. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan penggunaan polypropylene mesh meningkatkan peningkatan reaksi inflamasi dan pertumbuhan jaringan ikat yang signifikan.9 Sebaliknya, adanya keuntungan yang didapat dengan menggunakan material-reduced mesh diantaranya adalah penurunan yang bermakna dari respon inflamasi dan pembentukan jaringan ikat.10

Penambahan bahan selulosa atau ORC pada mesh telah telah dilakukan pada banyak studi untuk mengetahui efektivitasnya sebagai barrier antiadhesi paska operasi. Sebuah studi metaanalisis memperlihatkan tentang penambahan bahan ORC terbukti signifikan dalam menurunkan kejadian perlengketan baik pada operasi laparoskopi maupun laparotomi.11 Adhesi bisa terbentuk pada mesh dan jaringan dibawahnya, tergantung jenis dan permukaan. Mesh komposit dapat menunda adhesi sampai 30 hari.12

SIMPULAN

Berdasarkan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jumlah rerata sel mononuklear, banyaknya rerata sel fibroblas, serta ketebalan ukuran fibrosis per lapangan pandang yang didapatkan pada jaringan peridural tikus wistar setelah 14 hari dilakukan DC berbeda pada kedua kelompok penelitian, dimana didapatkan rerata yang lebih rendah pada kelompok absorbable barrier mesh. Demikian juga dengan angka kejadian perlengketan klinis, selain kejadian adhesi yang lebih rendah pada kelompok absorbable barrier mesh, juga didapatkan risiko relative untuk kejadian perlengketan yang lebih besar pada non-absorbable mesh.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Alvis-Miranda H, Castellar-Leones S, Moscote-Salazar L. Decompressive Craniectomy and Traumatic Brain Injury: A Review. Bull Emerg Trauma. 2013;1:60-8.

  • 2.    Niryana IW. Pengaruh Decompressive Craniectomy dengan Mesh Terhadap Kadar Transforming Growth Factor Beta, Jumlah Sel Fibroblas, Ukuran Fibrosis, Dan Perlengketan Klinis pada Jaringan Peridural Tikus Wistar Cedera Otak Traumatika.    [disertasi].    Denpasar:

Universitas Udayana; 2017.

  • 3.    Kim S, Hwang Y, Kashif M, Jeong D, dkk. Evaluation of bone regeneration on polyhydroxy          ethyl-polymethyl

methacrylate membrane in a  rabbit

calvarial defect model. In   Vivo.

2016;30:587-91.

  • 4.    Bottegaro NB, Kos J, Pirkic B, dkk. Reduction of epidural fibrosis after laminectomy in rabbits by omental free

graft.       Veterinarian      Medicina.

2013;58:25-31.

  • 5.    Ansaloni L, Catena F, D’Alessandro L. Prospective randomized, double-blind, controlled trial comparing Lichtenstein’s repair of inguinal hernia with polypropylene mesh versus Surgisis gold soft tissue graft: preliminary results. Acta Biomed. 2003;74:10-4.

  • 6.    Klinge U, Klosterhalfen M, Müller U. Foreign Body Reaction to Meshes Used for the Repair of Abdominal Wall Hernias. Eur J Surg. 1999;165:665-73.

  • 7.    Agarwal BB, Agarwal KA, Sahu T, dkk. Traditional     polypropylene      and

lightweight meshes in totally extraperitoneal inguinal herniorrhaphy. Int J Surg. 2010;8:44-7.

  • 8.    Novitsky YW, Harrell AG, Cristiano JA, dkk. Comparative evaluation of adhesion formation, strength of ingrowth, and textile properties of prosthetic meshes after     long-term     intra-abdominal

implantation in a rabbit. J Surg Res. 2007;140:6-11.

  • 9.    Markar SR, Karthikesalingam A, Alam F, dkk. Partially or completely absorbable versus nonabsorbable mesh repair for inguinal hernia: a systematic review and meta-analysis. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech. 2010;20:213-9.

  • 10.    Ahmad G, Duffy JM, Farquhar C, dkk. Barrier agents for adhesion prevention after gynaecological surgery. Cochrane Database Syst Rev. 2008;16:CD000475.

  • 11.    Idrees S, Jindal S, Gupta M, dkk. Surgical meshes – The search continues. Current Medicine Research and Practice. 2018;8:177-82.

18