Pengaruh Penambahan Angkak Terhadap Karakteristik Sosis Ikan Lele (clarias gariepinus) Selama Penyimpanan
on
Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan,
Zenny Elfryani Purba, dkk. /Itepa 11 (2) 2022 188-201
ISSN : 2527-8010 (Online)
Pengaruh Penambahan Angkak Terhadap Karakteristik Sosis Ikan Lele (clarias gariepinus) Selama Penyimpanan
The Effect of Angkak Concentration on The Characteristics of Catfish Sausage (clarias gariepinus) During Storage
Zenny Elfryani Purba1, I Gusti Ayu Ekawati1*, I Dewa Gde Mayun Permana1
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana Kampus Bukit, Jimbaran
*Penulis Korespondensi : I Gusti Ayu Ekawati, Email: [email protected]
Abstract
The objective of this study was to know the effect of angkak concentration and storage time on the characteristics of catfish sausage. This research used a Completely Randomized Design with two factors namely the concentration of the angkak (0 %, 1% and 2%) and the length of storage time (0, 7, 14, and 21 days). All of the treatments were repeated two times to obtain 24 units of experiments. The data obtained were analyzed by analysis of variance (ANOVA) and if the treatment had a significant effect, then it was followed by The Duncan Multiple Range Test. The results showed that the concentration of 2% with long storage 7 produce catfish sausage that is still feasible with the criteria: antioxidant capacity 252,80 mg GAEAC/ kg; brightness (L *) 31,03; redness (a *) 20,72; yellowish (b*) 18,81; moisture content 58,95; number of TBA 0,40 mg malonaldehyde / kg; the color slightly liked; flavor, textur, taste and overall acceptance neutral and color red and texture slightly chewy.
Keywords: angkak, catfish sausage, storage time
PENDAHULUAN
Angkak merupakan pewarna alami yang telah dikenal luas dan digunakan sejak ratusan tahun lalu. Angkak diperoleh dari hasil fermentasi oleh kapang Monascus purpureus yang ditumbuhkan pada medium beras. Angkak memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan jamur, karena adanya senyawa Monascidin A. yaitu senyawa yang bersifat antibiotik, yang mampu menghambat bakteri Bacillus, Pseudomonas dan Streptococcus (Steinkraus,.1983 dalam Sumaryati dan Sudiyono 2015). Hasil penelitian Cheng et al., (2010) menunjukkan bahwa Monascus sp memproduksi
sejumlah metabolit sekunder, antara lain: pigmen, monakolin K, asam γ-aminobutirat (GABA), asam dimerumat, dan citrinin. Menurut Pratiwi (2006) komponen utama dari pigmen yang dihasilkan monascus purpureus adalah rubropunktamin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin (kuning) dan rubropunktamin (ungu).
Angkak sangat aman digunakan karena tidak mengganggu kesehatan, mudah diproduksi, harga relative murah (Fabre et al., 2003). Pada umumnya angkak digunakan untuk mewarnai berbagai produk makanan seperti produk ikan, daging, anggur, dan minuman beralkohol (Trisnadjaja, 2006). Selain itu
produk olahan seperti sosis juga menambahkan angkak sebagai pewarna alami karena sosis memiliki warna putih (pucat) dan dapat berfungsi sebagai antioksidan. Hasil penelitian (Pandiangan et al., 2019) angkak dimanfaatkan sebagai pewarna alami dan antioksidan pada sosis ikan kembung.
Produk olahan seperti sosis sering dijumpai menggunakan bahan-bahan pengawet dan bahan pewarna buatan untuk meningkatkan daya jual. Bahan pewarna ini pada umumnya dibuat dari bahan-bahan kimia yang bersifat sintetis. Salah satu bahan yang umumnya ditambahkan pada sosis adalah nitrit. Nitrit merupakan zat tambahan pangan yang sering digunakan sebagai pengawet pada pengolahan daging. Pengawet nitrit juga berfungsi sebagai bahan pembentuk factor-faktor sensori yaitu warna, aroma dan citarasa (Cahayadi 2006). Namun konsumsi nitrit yang berlebihan akan berdampak buruk bagi kesehatan tubuh manusia. Hal tersebut disebabkan turunan senyawa nitrosamine bersifat karsinogenik bagi tubuh (Cahayadi 2006). Salah satu upaya mencegah dampak buruk penggunaan nitrit menggantikan dengan angkak.
Sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam selongsong yang berbentuk bulat panjang yang terbuat dari usus hewan atau pembungkus buatan. Umumnya bahan baku dalam pembuatan sosis dibuat dari daging sapi, ayam, babi, kelinci, tempe dan telur. Pembuatan sosis ikan disamping untuk meningkatkan daya simpannya juga sebagai salah satu upaya penganekaragaman produk olahan ikan.
Salah satu jenis ikan yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sosis yaitu ikan lele. Pemanfaatan ikan lele sebagai bahan baku sosis karena kandungan gizi yang tinggi. Pada 100 g daging ikan lele mengandung 240 kalori yaitu 56% lemak, 29% protein dan 15% karbohidrat (Chamidah 2000). Selain itu ikan lele mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi, pertumbuhan yang cepat dan proporsi daging yang dapat dimakan lebih banyak.
Selama penyimpanan sosis sering mengalami kerusakan, ciri-ciri kerusakan pada sosis yaitu perubahan warna, tekstur dan aroma. Salah satu kerusakan pada sosis yaitu ketengikan. Penambahan antioksidan pada sosis dapat memperlambat proses ketengikan produk selama penyimpanan. Angkak mengandung asam dimerumat yang dihasilkan oleh proses fermentasi beras dari kapang Monascus sp dan berperan sebagai antioksidan (Aniya et al., 2000). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan suatu penelitian tentang pengaruh penambahan angkak terhadap karakteristik sosis ikan lele selama penyimpanan.
METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Analisis Pangan serta Laboratorium Rekayasa Proses dan Pengendalian Mutu Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2020.
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan utama yaitu angkak yang diperoleh dari (Toko saudara) Denpasar dan ikan lele yang diperoleh dari (taman pancing yuni) Jimbaran dengan kriteria umur 3-4 bulan dengan panjang 2527 cm. Bahan tambahan yang digunakan adalah tapioka (Rose brand), air es, bawang putih, bawang merah, garam, minyak goreng (bimoli), susu skim (Diamond), merica, jahe, pala, diperoleh dari (Toko kurnia) Jimbaran, selongsong (kollagen), Sodium Tripolyphosphate (STPP), karagenan, methanol (Merck), DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) (TCI), asam galat (Merck), aquades steril, HCl 4 M (Merck), dan pereaksi TBA (0,2883 g/100 ml asam asetat glasial 90%) (Merck).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, talenan, baskom, panci, blender (Miyako), timbangan analitik, kompor gas, mangkok, sendok, penggaris, sausage filler, tabung reaksi (Iwaki), desikator, oven, gelas ukur (Iwaki), gelas beker (Iwaki), vortex (Barnstead Thermolyn Maxi Mix II), botol kaca gelap, pipet volume (Pyrex),pipet mikro (accumax pro), spektrofotometer (Genesys 10S UV-VIS), kuvet, spatula, labu takar, karet penghisap (Katup Aspirate (A), Katup suction (S), Katup Exhause (E)), pipet tetes (bahan plastik, ukuran 3 ml dan 5 ml), waterbath (pemanasan suhu rendah 30-100oC), destilator, labu destilasi, dan colorimeter (PCE-CSM 1).
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
pola faktorial (2 faktor). Faktor pertama adalah konsentrasi angkak 0%, 1% dan 2%. Faktor kedua adalah lama penyimpanan pada hari ke-0, 7, 14, dan 21. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 kali sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui nila rata-rata yang berbeda (Stell dan Torrie, 1993).
Pelaksanaan Penelitian
Proses pembuatan sosis ikan lele
Persiapan bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu ikan lele, angkak, tapioka, bawang putih, bawang merah, garam, merica, STPP, karagenan, garam, susu skim, pala, jahe, minyak dan air es. Pembuatan sosis ikan lele dilakukan dengan menggunakan formula sosis dengan penambahan pewarna angkak mengacu pada hasil penelitian (Pandiangan et al., 2019) dengan modifikasi yang dapat dilihat pada Tabel 1. Ikan lele yang telah dibersihkan dari kulit dan tulang fillet) dihaluskan dan dicampur dengan tapioka terlebih dahulu hingga merata. Setelah dicampur, ditambahkan garam, susu skim, karagenan, dan STPP pada adonan, kemudian ditambahkan es dan bumbu-bumbu (merica, jahe, bawang putih, bawang merah, pala) yang telah ditumis dengan minyak dan dicampur hingga merata. Kemudian ditambahkan bubuk angkak sesuai dengan perlakuan. Pengadonan dilakukan selama 15 menit agar homogen. Adonan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam selongsong kollagen dan dibuat dalam ukuran 10 cm supaya seragam. Adonan
direbus pada suhu 80°C selama 20 menit. Setelah selesai direbus sosis didinginkan dengan cara dimasukkan kedalam air dingin selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan penyimpanan sosis ikan lele dengan penambahan angkak sesuai perlakuan pada chiller dengan suhu (-4o - 5oC).
Parameter yang diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kapasitas antioksidan (Kubo et al., 2002),
stabilitas warna (Feng et al., 2013), kadar air (Sudarmadji et al., 1997), Bilangan Tiobarbiturat Acid (TBA) (Apriyantono et al., 1989) serta sifat sensoris yang meliputi uji skoring (warna dan tekstur) dan uji hedonik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan dari sosis ikan lele yang dihasilkan berdasarkan Soekarto (1985).
Tabel 1. Formulasi sosis ikan lele dengan penambahan angkak per 100 gr
No. |
Komposisi (g) |
Perlakuan | ||
A1 |
A2 |
A3 | ||
1 |
Angkak |
0 |
1 |
2 |
2 |
Ikan lele segar |
45 |
45 |
45 |
3 |
Tapioka |
19,86 |
19,86 |
19,86 |
4 |
Es |
15 |
15 |
15 |
5 |
STPP |
0,135 |
0,135 |
0,135 |
6 |
Minyak |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7 |
Garam |
1 |
1 |
1 |
8 |
Susu skim |
2 |
2 |
2 |
9 |
Karagenan |
2 |
2 |
2 |
10 |
Merica |
0,4 |
0,4 |
0,4 |
11 |
Jahe |
0,55 |
0,55 |
0,55 |
12 |
Bawang putih |
2,4 |
2,4 |
2,4 |
13 |
Bawang merah |
3,7 |
3,7 |
3,7 |
14 |
Pala |
0,5 |
0,5 |
0,5 |
Sumber: Pandianganet al., 2019) dengan modifikasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kapasitas antioksidan (mg GAEAC/kg)
Hasil analisis kapasitas antioksidan antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan konsentrasi angkak dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap kapasitas antioksidan sedangkan pengaruh masing-masing perlakuan yaitu konsentrasi angkak dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kapasitas antioksidan. Nilai rata-rata kapasitas antioksidan berkisar antara 138,70 mg GAEAC/kg – 234,71 mg GAEAC/kg. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan kapasitas antioksidan sosis ikan lele mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya penambahan angkak. Semakin besar konsentrasi angkak yang ditambahkan maka semakin besar nilai kapasitas antioksidan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena salah satu metabolit sekunder dari kapang Monascus sp yaitu asam dimerumat
merupakan salah satu sumber antioksidan. Dari hasil penelitian Aniya et al., menyatakan bahwa asam dimerumat menunjukkan adanya aktivitas penangkapan terhadap senyawa radikal DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhidrazyl).
Tabel 2. Hasil analisis kapasitas antioksidan antara perlakuan konsentrasi angakak dengan lama
penyimpanan sosis ikan lele
Konsentrasi angkak |
Lama penyimpanan |
Rata-rata | |||
0 |
7 |
14 |
21 | ||
0% |
200,08 |
158,21 |
113,90 |
82,64 |
138,70 c |
1% |
269.43 |
232,33 |
189,26 |
160,75 |
212,94 b |
2% |
287,57 |
252,80 |
210,22 |
188,26 |
234,71 a |
Rata-rata |
252,36 a |
214,45 b |
171,13 c |
143,88 d |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05)
sekunder antara lain: pigmen, monacolin K, asam γ-aminobutirat (GABA), asam dimerumat, dan citrinin (Cheng et al). Tabel 2 menunjukkan kapasitas antioksidan mengalami penurunan selama penyimpanan. Nilai rata-rata kapasitas antioksidan berkisar antara 143,88 mg GAEAC/kg - 252,36 mg GAEAC/kg. Penurunan kapasitas antioksidan selama penyimpanan disebabkan karena terjadinya degradasi. Penurunan yang terjadi diakibatkan karena terjadinya kerusakan dari senyawa antioksidan yang terdapat pada angkak. Kerusakan senyawa antioksidan oleh oksigen berpengaruh terhadap kemampuan suatu senyawa untuk menghambat reaksi rantai radikal. Kelemahan dari antioksidan diantaranya sifatnya yang mudah rusak apabila terpapar oksigen, cahaya, suhu tinggi dan pengeringan.
Stabilitas Warna (Nilai L* (Lightness)
Hasil analisis nilai kecerahan (L*) antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele dilihat pada Tabel 3.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi dan waktu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai L* sedangkan pengaruh masing-masing perlakuan konsentasi angkak dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai L*. Nilai L* merupakan suatu nilai yang menyatakan terang gelapnya suatu produk. Nilai L* memiliki rentang 100 (cerah) hingga 0 (gelap). Nilai rata-rata kecerahan sosis ikan lele berkisar antara 29,2935,94. Nilai L* pada sampel sosis ikan lele menunjukkan tingkat kecerahan yang tinggi.
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan nilai kecerahan sosis ikan lele mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya penambahan angkak.
Derajat kecerahan angkak diduga berkaitan dengan derajat kemerahan. Semakin tinggi derajat kemerahan pada angkak maka derajat kecerahannya
akan mengalami penuruan (Romulo et al., 2012) yang berarti semakin merah warna sosis maka semakin rendah kecerahan sosis tersebut.
Tabel 3. Hasil analisis nilai kecerahan (L*) antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele
Konsentrasi angkak |
Lama penyimpanan |
Rata-rata | |||
0 |
7 |
14 |
21 | ||
0% |
39,57 |
38,58 |
34,10 |
31,52 |
35,94 a |
1% |
34,61 |
33,58 |
30,93 |
27,31 |
31,60 b |
2% |
31,90 |
31,03 |
28,43 |
25,81 |
29,29 c |
Rata-rata |
35,36 a |
34,40 a |
31,15 b |
28,21 c |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 3 menunjukkan nilai kecerahan warna sosis ikan lele mengalami penurunan selama penyimpanan. Nilai rata-rata berkisar antara 28,21 – 35,36. Menurut Pratiwi (2006) komponen utama yang dihasilkan monascus purpureus adalah rubropunktamin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin (kuning) dan rubropunktamin (ungu). Penurunan tingkat kecerahan sosis selama penyimpanan disebabkan karena terjadinya dekomposisi, serta perubahan struktur pigmen sehingga terjadi pemudaran (Jennie et al., 1997).
Nilai L* cenderung kurang stabil selama penyimpanan. Pewarna alami angkak memiliki kekurangan kurang stabil terhadap pengeruh lingkungan terutama karena oksidator (Hesseltine, 1965 Steinkraus, 1983 dalam Nurika, 2012).
Nilai kemerahan a*
Hasil analisis nilai kemerahan (a*) antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis nilai kemerahan (a*) antara perlakuan konsnetrasi angkak dengan lama
penyimpanan sosis ikan lele
Konsentrasi angkak |
Lama penyimpanan |
Rata-rata | |||
0 |
7 |
14 |
21 | ||
0% |
16,47 |
14,90 |
14,04 |
12,44 |
14,46 c |
1% |
20,69 |
19,63 |
15,57 |
14,10 |
17,49 b |
2% |
22,23 |
20,72 |
17,83 |
15,84 |
19,15 a |
Rata-rata |
19,79 a |
18,41 b |
15,81 c |
14,12 d |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi dan waktu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai a* sedangkan pengaruh masing-masing perlakuan konsentasi angkak dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilaii a*. Nilai rata-rata a* berkisar antara 14,46 - 19,15. Nilai a* rentan positif menunjukkan warna merah sedangkan nilai a rentan negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a* memiliki kisaran -100 sampai +100. Semakin tinggi nilai a* maka semakin merah warna yang dihasilkan produk. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan nilai kemerahan a* sosis ikan lele mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya penambahan angkak hal ini disebakan karena angkak memiliki pigmen merah yang berasal dari fermentasi ragi dengan genus Monascus. Terdapat 2 jenis pigmen merah yang terbentuk selama proses fermentasi oleh ragi genus Monascus, yaitu: rubropunctamin (C21H23NO4) dan monascorubramin (C23H27NO4) (Pattanagul et al., 2007).
Tabel 4 menunjukkan nilai kemerahan a* mengalami penurunan selama penyimpanan. Nilai rata-rata a* berkisar antara 14,12 – 19,79. Hal ini disebabkan karena adanya oksidator yaitu oksigen ketika penyimpanan sosis. Adanya oksigen yang kontak dengan produk menyebabkan adanya penurunan intensitas pigmen merah. Penurunan intensitas warna merah ini terjadi karena gugus kromotor dari pewarna diserang oleh oksidator, sehingga gugus kromotor yang memberi warna menjadi tidak memberi warna (Nurika, 2012). Nilai
a* cenderung kurang stabil selama penyimpanan. Pewarna alami angkak memiliki kekurangan kurang stabil adanya oksidator (Hesseltine, 1965 Steinkraus, 1983 dalam Nurika, 2012). Angkak memiliki warna yang konsisten tetapi kurang stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia. Pigmen alami mempunyai kestabilan yang berbeda terhadap berbagai kondisi pengolahan (Winarno, 1995).
Nilai kekuningan b*
Hasil analisis nilai kekuningan (b*) antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi dan waktu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai b* sedangkan pengaruh masing-masing perlakuan konsentasi angkak dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai b*. Nilai rata-rata berkisar antara 17,84 – 19,39. Nilai b* merupakan pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999). Nilai b* memiliki rentan nilai -100 sampai +100. Semakin tinggi nilai b* maka semakin kuning prosuk yang dianalisis. Berdasarkan Tabel 5 nilai rata-rata dari b* mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya penambahan angkak. Semakin tinggi penambahan angkak maka tingkat kekuningan suatu produk semakin rendah. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi derajat kemerahan pada angkak maka derajat kekuningan akan mengalami penuruan (Romulo et al., 2012). Pada fermentasi, ragi Monascus tidak hanya memproduksi pigmen merah, tetapi juga pigmen kuning. Ada dua jenis pigmen kuning yang
dihasilkan, yaitu: monascin (C21H26O5) dan ankaflavin (C23H30O5) (Pattanagul et al., 2007).
Tabel 5 menunjukkan terjadi penurunan nila b* selama penyimpanan. Nilai rata-rata a* berkisar antara 16,54 – 20,00. Penurunan nilai b* disebabkan karena adanya oksidator yaitu oksigen ketika penyimpanan. Nilai b* memiliki kestabilan yang kurang selama penyimpanan. Adanya oksigen yang kontak dengan produk menyebabkan adanya penurunan intensitas pigmen merah. Penurunan intensitas warna merah ini terjadi karena gugus
kromotor dari pewarna diserang oleh oksidator, sehingga gugus kromotor yang memberi warna menjadi tidak memberi warna (Nurika, 2012). Nilai a* cenderung kurang stabil selama penyimpanan. Tingkat kestabilan masing-masing jenis pewarna berbeda-beda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Seperti halnya pigmen ekstrak angkak yang dipengaruhi oleh salah satunya jenis media beras yang digunakan untuk fermentasi.
Tabel 5. Hasil analisis nilai kekuningan (b*) antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele
Konsentrasi |
Lama |
penyimpanan |
Rata-rata | ||
angkak |
0 |
7 |
14 |
21 | |
0% |
21,02 |
20,51 |
18,19 |
17,85 |
19,39 a |
1% |
19,76 |
19,22 |
18,00 |
16,25 |
18,31 b |
2% |
19,24 |
18,81 |
17,81 |
15,52 |
17,84 b |
Rata-rata |
20,00 a |
19,51 a |
17,99 b |
16,54 c | |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang (P>0,05). |
sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata | ||||
Tabel 6. Hasil analisis kadar air antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele | |||||
Konsentrasi angkak |
0 |
Lama penyimpanan 7 14 |
21 | ||
0 1 2 |
63,78 a (a) 62,17 b (a) 61,01 c (a) |
59,72 a (b) 59,48 a (b) 58,95 a (b) |
58,95 a (c) 58,30 a (c) 57,22 a (c) |
58,73 a (d) 58,26 b (c) 57,15 c (c) |
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Huruf tanpa kurung dibaca
horizontal (baris) dan huruf dalam kurung dibaca arah vertikal (kolom)
Kadar air
Hasil analisis kadar air antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis
ikan lele dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kadar air sosis ikan lele dengan penambahan angkak selama penyimpanan. Hasil analisis kadar air sosis ikan lele pada Tabel 6 menunjukkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan angkak 0% dengan lama penyimpanan 0 hari, yaitu 63,78% dan nilai terendah pada perlakuan penambahan angkak 2% dengan lama penyimpanan 21 hari, yaitu 57,15%. Semakin tinggi konsentrasi angkak yang ditambahkan dan semakin lama penyimpanan menyebabkan kadar air semakin rendah. Penambahan angkak tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar air sosis selama penyimpanan. Kondisi ini diduga karena kandungan air dalam angkak yang relatif rendah yaitu 9,90% (Kumari et al. 2009).
Lama penyimpanan menyebabkan nilai kadar air semakin turun. Pertambahan waktu penyimpanan mengakibatkan terjadinya kerusakan protein yang terhidrolisis (Mujiono, 2009). Kadar protein hidrofilik yang rusak mengakibatkan kemampuan
untuk mengikat air berkurang, sehingga kadar air mengalami penurunan (Siskos et al., 2007). Penurunan kadar air selama penyimpanan diduga karena terjadinya penguapan dari produk karena pengaruh dari suhu dan kelembapan sekitar yang lebih rendah daripada kelembapan produk. Winarno (1980), menyatakan bahwa kadar air suatu produk dipengaruhi oleh kelembapan udara sekelilingnya. Jika kelembapan ruang lebih tinggi, produk akan menyerap air, dan bila kelembapan ruang penyimpanan rendah produk akan menguapkan airnya. Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini telah memenuhi standar SNI 01-3820-1995 tentang sosis yaitu memiliki standar kadar air maksimal 64,00%.
Bilangan Tiobarbiturat Acid (TBA)
Hasil analisis bilangan TBA antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis bilangan TBA antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan
sosis ikan lele | ||||
Konsentrasi angkak |
0 |
Lama penyimpanan |
21 | |
7 |
14 | |||
0% |
0,37 a (d) |
0,45 a (c) |
0,54 a (b) |
0,75 a (a) |
1% |
0,36 ab (c) |
0,42 b (c) |
0,50 a (b) |
0,64 b (a) |
2% |
0,34 b (d) |
0,40 b (c) |
0,43 b (b) |
0,47 c (a) |
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Huruf tanpa kurung dibaca
horizontal (baris) dan huruf dalam kurung dibaca arah vertikal (kolom).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap bilangan TBA sosis ikan lele dengan penambahan angkak selama penyimpanan. Hasil analisis bilangan TBA pada Tabel 7 menunjukkan
nilai TBA tertinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi angkak 0% dengan lama penyimpanan 21 hari, yaitu 0,75 dan nilai terendah pada perlakuan konsentrasi angkak 2% dengan lama penyimpanan 0 hari yaitu 0,34. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah kandungan angkak dan semakin lama penyimpanan angka TBA semakin tinggi. Kondisi ini disebabkan karena angkak memiliki antioksidan yang berasal dari salah satu metabolit sekundernya yakni asam dimerumat.
Lama penyimpanan menyebabkan peningkatan nilai TBA sosis ikan lele. Bahan baku pembuatan sosis ikan lele mengandung 56 % lemak pada 100 g daging ikan lele (Chamidah 2000). Peningkatan nilai TBA sosis ikan lele disebabkan karena terjadinya kerusakan lemak yang menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik akibat
terjadinya reaksi oksidasi yang dapat berlangsung secara oto-oksidasi dan pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida (Winarno 1992). Peningkatan nilai TBA sosis ikan lele selama penyimpanan berkorelasi dengan kadar antioksidan, yaitu semakin tinggi kadar antioksidan, semakin kecil nilai TBA dari produk tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian antioksidan efektif dalam hal mencegah proses oksidasi lemak yang dapat menimbulkan ketengikan selama penyimpanan.
Evaluasi sensoris
Hasil analisis sidik ragam dari uji hedonik antara perlakuan konsnetrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele dapat dilihat pada Tabel 8 dan uji skoring dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 8. Nilai rata-rata uji hedonik (kesukaan) terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan penerimaan
keseluruhan antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan sosis ikan lele
Konsentrasi/ Waktu |
Warna |
Aroma |
Tekstur |
Rasa |
Penerimaan keseluruan |
0% (0 hari) |
4,10 d |
5,25 a |
4,90 cd |
5,35 b |
4,75 b |
1% (0 hari) |
6,25 a |
5,50 a |
6,05 a |
5,95 a |
6,05 a |
2% (0 hari) |
6,00 a |
5,20 a |
5,35 b |
5,85 a |
5,75 a |
0% (7 hari) |
3,60 e |
4,05 b |
4,15 e |
4,25 d |
4,05 c |
1% (7 hari) |
5,40 b |
4,40 b |
5,20 bc |
4,90 bc |
5,25 b |
2% (7 hari) |
5,20 bc |
4,45 b |
4,65 d |
4,65 cd |
4,90 b |
0% (14 hari) |
2,60 f |
1,70 cd |
2,25 f |
- |
1,50 e |
1% (14 hari) |
4,35 d |
1,80 cd |
2,50 f |
- |
2,65 de |
2% (14 hari) |
4,80 c |
2,05 c |
2,55 e |
- |
3,10 d |
0% (21 hari) |
1,95 g |
1,10 f |
1,85 g |
- |
1,05 e |
1% (21 hari) |
2,85 f |
1,30 f |
2,20 fg |
- |
1,40 e |
2% (21 hari) |
4,20 d |
1,40 de |
2,25 eg |
- |
2,50 e |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Kriteria hedonik: 1 (sangat tidak suka); 2 (tidak suka); 3 (agak tidak suka); 4 (biasa); 5 (agak suka); 6 (suka); 7 (sangat suka).
Tabel 9. Nilai rata-rata uji skoring warna dan tekstur antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama
penyimpanan sosis ikan lele
Konsentrasi / waktu |
Warna |
Tekstur |
0% (0 hari) |
1,00 f |
4,40 a |
1% (0 hari) |
2,70 c |
4,45 a |
2% (0 hari) |
4,60 a |
4,35 a |
0% (7 hari) |
1,00 f |
3,45 b |
1% (7 hari) |
2,35 d |
3,30 b |
2% (7 hari) |
3,55 b |
3,35 b |
0% (14 hari) |
1,00 f |
2,20 c |
1% (14 hari) |
2,20 de |
2,20 c |
2% (14 hari) |
3,35 b |
2,20 c |
0% (21 hari) |
1,00 f |
1,70 d |
1% (21 hari) |
2,00 e |
1,85 d |
2% (21 hari) |
2,90 c |
1,95 cd |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Kriteria skoring tekstur: 1 (sangat tidak kenyal); 2 (tidak kenyal); 3 (agak kenyal); 4 (kenyal); 5 (sangat kenyal)
Kriteria skoring warna: 1 (putih keabu-abuan); 2 (merah pudar); 3 (merah); 4 (merah agak cerah); 5 (merah cerah)
Warna
Hasil sidik ragam pada uji hedonik pada Tabel 8 menunjukkan bahwa penambahan angkak dengan konsentrasi yang berbeda dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna dari sosis ikan lele. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna yang dihasilkan berkisar antara 1,95 (sangat tidak suka)- 6,25(suka) dan nilai rata-rata skoring berkisar 1,00 (putih keabu-abuan)- 4,60 (merah agak cerah). Nilai tertinggi yang diperoleh pada uji hedonik yaitu 6,25 (suka) pada konsentrasi penambahan angkak sebesar 1% dengan lama penyimpanan 0 hari dan nilai tertinggi pada uji skoring yaitu 4,60 (merah agak cerah) pada konsentrasi penambahan angkak 2% dengan lama penyimpanan 0 hari. Panelis memilih sosis dengan penambahan angkak sebesar 1% sebagai warna yang paling disukai. Konsentrasi tersebut dipilih sebagai warna yang terbaik oleh panelis karena warna merah
yang dihasilkan lebih terlihat menarik dan mirip dengan warna sosis yang dijual dipasaran.
Aroma
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi yang berbeda dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kesukaan panelis pada aroma sosis ikan lele dengan penambahan angkak. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma yang dihasilkan berkisar antara 1,10 (sangat tidak suka)- 5,50 (agak suka). Nilai tertinggi yang diperoleh pada uji hedonik yaitu 5,50 (agak suka) pada konsentrasi 1% dengan penyimpanan 0 hari. Hal ini disebabkan karena angkak tidak memiliki aroma tertentu sehingga tidak mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma sosis ikan lele.
Penyimpanan sosis ikan lele dengan penambahan angkak antara hari ke-0 hingga ke-21 menunjukkan penurunan nilai aroma. Sosis ikan lele
mengalami perubahan aroma sejak penyimpanan hari ke-14 yaitu aroma yang agak tengik dan aroma tengik ini kurang disukai oleh panelis. Aroma agak tengik ini kemungkinan disebabkan oleh kerusakan lemak yang terjadi pada sosis ikan. Aroma tengik pada sosis ikan lele berhubungan dengan peningkatan nilai TBA sosis ikan lele. Semakin tinggi nilai TBA maka semakin tengik produk yang dihasilkan.
Tekstur
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan angkak dengan konsentrasi yang berbeda dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tekstur sosis ikan lele dengan penambahan agkak. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur yang dihasilkan berkisar antara 1,85 (sangat tidak suka)- 6,05(suka) dan nilai rata-rata skoring berkisar 1,70 (sangat tidak kenyal)- 4,45 (kenyal). Nilai tertinggi dari uji hedonik yaitu 6,05 (suka) dengan konsenrasi angkak 1% dengan lama penyimpanan 0 hari dan nilai tertinggi pada uji skoring yaitu 4,45 (kenyal) dengan konsentrasi angkak 1% pada penyimpanan 0 hari.
Penyimpanan sosis ikan lele dengan penambahan angkak antara hari ke-0 hingga ke-21 menunjukkan penurunan nila tekstur. Nilai tekstur sosis ikan lele dengan penambahan angkak lebih tinggi daripada sosis ikan lele dengan perlakuan kontrol. Penurunan nilai tekstur diduga karena komponen-komponen penyusun jaringan pengikat dalam sosis ikan lele sudah ada yang dirombak akibat aktifitas mikroba sehingga mempengaruhi
tekstur sosis ikan menjadi agak lembek. Menurut Hadiwiyoto (1993), kerusakan komponen-komponen daging terutama protein, dapat menyebabkan terlepasnya ikatan-ikatan airnya sehingga daging akan kehilangan kemampuannya untuk menahan air.
Rasa
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan angkak dengan konsentrasi yang berbeda dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rasa sosis ikan lele dengan penambahan agkak. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa berkisar antara 4,25 (biasa)- 5,95 (agak suka). Penyimpanan 7 hari sosis ikan lele dengan penambahan angkak mengurangi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa sosis yang dihasilkan. Nilai tertinggi yang diperoleh yaitu 5,95 (agak suka) pada konsentrasi penambahan angkak sebesar 1% pada penyimpanan 0 hari. Pengujian rasa dilakukan hanya pada 0 dan 7 hari karena pada penyimpanan hari ke 14 sosis ikan lele mengalami kerusakan berupa ketengikan dan perubahan tekstur (tidak kenyal) dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pengujian rasa.
Penerimaan Keseluruhan
Hasil sidik ragam pada Tabel 8 menunjukkan bahwa penambahan angkak dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penerimaan keseluruhan sosis ikan lele. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap penerimaan keseluruhan berkisar antara 1,05 (sangat tidak suka)- 6,05 (suka). Nilai tertinggi yang diperoleh pada uji hedonik ini yaitu sebesar 6,05 (suka) pada konsentrasi penambahan
angkak sebesar 1% pada penyimpanan 0 hari. Penerimaan keseluruhan tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor seperti warna, aroma, tekstur, rasa dari produk pada masing-masing perlakuan dan bersifat subjektif.
KESIMPULAN
Interaksi antara perlakuan konsentrasi angkak dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap, kadar air dan bilangan TBA. Perlakuan konsentrasi angkak dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap kapasitas antioksidan, stabilitas warna dan sifat sensoris (warna, aroma, tekstur, dan rasa) sosis ikan lele selama penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi angkak 2% dengan penyimpanan 7 hari menghasilkan sosis ikan lele yang masih layak dengan kriteria kapasitas antioksidan 252, 80 mg GAEAC/kg; kecerahan (L*) 31,03; kemerahan (a*) 20,72; kekuningan (b*) 18,81; kadar air 58,95% bilangan TBA 0,40 mg malonaldehid/kg; warna, agak disukai; aroma, tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan biasa; serta warna merah dan tekstur agak kenyal.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Y. Sedarnawati, dan S. Budianto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor
Cahyadi, S., 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Diterjemahkan oleh: Purnomo. H dan Adiono. UI Press. Jakarta.
Chamidah, A. 2000. Evaluasi karakteristik fisik dan kimia sosis lele dumbo clarias gariepinus) selama penyimpananan enam hari dengan
penambahan dan tanpa penambahan kultur starter Lactobacillus casei. 3:253-260.
Chairote, E., G. Chairote and S. Lumyong, 2009, red yeast rice prepared from thai glutinous rice and the antioxidant activities, Chiang Mai Journal of Science vol. 36 1): 42-49
Cheng, and Johns MR. 2010. Effect of pH and Nitrogen Source on Pigment Production by Monascus purpureus. Appl. Microbiol Biotechnol.
Fabre, C.E., G. Goma and P.J. Blanc. 2003. Production and food applications of the red pigments of monascus ruber. Journal Food Sciense 58 5): 1099-1102
Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry 3 rd Edition. Marcel Dekker Inc. New York
Feng C, Sun D, Martin J.F.G, Zhang Z. 2013. Effect of different cooling methods on shelf-life of cooked jumbo plain sausages. Food SciTech54:426-433.
Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil olahan susu, ikan, daging dan telur. Edisi II Cetakan Pertama. Liberty, Yogyakarta.
Hee, H.N. and M. Kottelat. 2007. The Identity of Clarias batrachus Linnaeus, 1758) with The Designation of a Neotype Teleostei: Clariidae) Zoological Journal of The Linnean Society 153: 725-732
Hesseltine, C.W. 1965. A Millinium of Fungi, Food and Fermentation. Mycologia
Hutching, J.B. 1999. Food Color and Appearance 2nd ed. A Chapman and Hall Food Science Book, an Aspen Publ. Gaithersburg, Maryland.
Jenny, Sr. 2006. Dietary energy density is associated with energy intake and weight status in us adult. The American Journal of clinical nutrition vol 83. From ajcn. Nutrition.
Org/content/83/6/1362.uhart.
Kubo, I., P. Masuoka, H. Haraguchi. 2002. Antioxidant activity of dodecyl gallate. J. Agric. Food Chem.50: 3533-3539
Kumari, H.P. Mohan, K.A. Naidu, S. Vishwanatha, K. Narasimhamurthy and G. Vijayalakshmi. 2009. Safety evaluation of Monascus purpureus red mould rice inalbino rats. Food and Chemical Toxicology 47: 1739-1746.
Muchtadi, Tien R, Ayustaningwarno dan Fitriyono. 2010. Teknologi proses pengolahan pangan. Alfa beta. Bandung.
Mudjiono. 2009. Telaah Komunitas Moluska di Rataan Terumbu Perairan Kepulauan Natuna Besar Kabupaten Natuna. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 35 No. 2
Pandiangan, J.F.E., I.N.K Putra., I.D.P.K Pratiwi. 2019. Pemamfaatan angakak sebagai pewarna alami dan antioksidan pada sosis ikan kembung Rastrelligerkanagurta L.).Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan ITEPA). V0l 8, No 2 197206)
Pattanagul, P, R. Pinthong, A. Phianmongkhol, and N. Leksawadi.2007. Review of Angkak Production
Monascus Purpureus). Chiang Mai J.Sci 34 3): 319-328
Pratiwi. 2006. Angkak. Institut pertanian Bogor. Bogor.
Romulo, A.C., Pallupi. 2012. Man, Agriculture and the the tropical forest: change and develovment in the philiphine upland. Bangkok: Winrock Internasional.
Siskos, I., A. Zotos, S. Melidou, and R. Tsikritzi. 2007. The effect of liquid smoking of trout Salmo gairdnerii) on sensory, microbiological and chemical changes during chiled storage. Food Chemistry 101 2):458-464.
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Pertanian. Bharata Karya Aksara. Jakarta
Steinkraus, K. H. 1983. Hand Book of Indigenous Fermented Food. John Wiley and Sons. New York. Vol 29. 815-936
Steel R G.D; Torrie J H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Halaman 408-410
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerubit Liberty: Yogyakarta.
Trisnadjadja, D., K. Irawan dan Bustanussalam. 2012. Pengkajian Aktivitas Antioksidan Dari Beras Merah Hasil Fermentasi Angkak). Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI: Bogor.
Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi.Gramedia Pustaka.Jakarta.
201
Discussion and feedback