VIABILITAS Lactobacillus rhamnosus SKG 34 DALAM BERBAGAI JENIS ENKAPSULAN DAN SUHU PENYAJIAN
on
VIABILITAS Lactobacillus rhamnosus SKG 34 DALAM BERBAGAI JENIS ENKAPSULAN DAN SUHU PENYAJIAN
Adiel Kunti Permatasari1, Komang Ayu Nocianitri2, Agus Slamet Duniaji2 Email: [email protected]
ABSTRACT
This research was conducted to determine the viability of Lactobacillus rhamnosus SKG 34 on various encapsulant and temperature. This research was divided into two steps. The first step, three kinds of encapsulant agent, i.e. maltodextrin, carrageenan, and alginate were used to microencapsulate Lactobacillus rhamnosus SKG 34. At this step, microcapsule yield, morphology, and viability of Lactobacillus rhamnosus SKG 34 was observed. Encapsulant with the highest population of Lactobacillus rhamnosus SKG 34 was extended into the second step. At the second step, microcapsule was treated with 7 variants of temperature, i.e. 45°C, 50°C, 55°C, 60°C, 65°C, 70°C, and 75°C. Data obtained were shown and explained with descriptive method. The result of the research showed that encapsulant variety gave different effects on microcapsule yield, morphology and viability of Lactobacillus rhamnosus SKG 34. The highest population produced by maltodextrin (1,24 x 109 ± 0,33 cfu/gr). The highest viability obtained at 45°C (3,37 x 108 ± 0,14). Lactobacillus rhamnosus SKG 34 can survive at adequate amount to give functional effect to the body with maximum temperature 55°C (4,78 x 107 ± 0,31cfu/ml).
Keywords: Microencapsulation, Lactobacillus rhamnosus SKG 34, maltodextrin, carrageenan, alginate, temperature
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya kebutuhan konsumen akan produk yang dapat memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan mendorong pengembangan probiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah cukup dapat memberikan efek menyehatkan bagi inangnya dengan cara memperbaiki komposisi mikrobiota usus (Susanti et al., 2007). Lactobacillus rhamnosus SKG 34 merupakan kandidat probiotik asli Indonesia yang diisolasi dari susu kuda liar Sumbawa.
Ketahanan (viabilitas) bakteri merupakan salah satu pertimbangan penting dalam pengembangan produk probiotik. Ketahanan probiotik dalam produk dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pH, produksi hidrogen peroksida, oksigen dan nitrogen, peningkatan asam selama penyimpanan (pada produk fermentasi), suhu penyimpanan, kompetisi dengan bakteri lain selama fermentasi serta stabilitas dalam bentuk kering maupun beku (Kailasapathy, 2002). Usaha untuk meningkatkan ketahanan bakteri probiotik dapat dilakukan melalui teknologi mikroenkapsulasi.
Mikroenkapsulasi didefinisikan sebagai proses untuk melindungi sel mikroorganisme dengan pelapisan sel menggunakan komponen hidrokoloid yang sesuai dengan tujuan melindungi sel dari lingkungan sekitar sehingga sel dapat dilepaskan dalam saluran pencernaan (Mortazavian et al., 2007). Penelitian ini menggunakan metode pengeringan freeze drying dengan enkapsulan maltodekstrin, karagenan dan alginate untuk mikroenkapsulasi bakteri Lactobacillus rhamnosus SKG 34.
Penggunaan ketiga jenis polimer karbohidrat tersebut didasarkan pada sifat dan kemampuannya dalam melindung sel selama masa penyimpanan dan saluran pencernaan (Ding dan Shah, 2009; Chibata, 1981; Rayment et al., 2009). Selain itu, ketiga jenis polimer karbohidrat tersebut mudah ditemukan di pasaran dengan harga yang relatif murah.
Sel kering yang dihasilkan dari proses mikroenkapsulasi kemudian dihitung viabilitasnya berdasarkan total populasi bakteri asam laktat (BAL). Enkapsulan dengan viabilitas tertinggi diberi perlakuan berdasarkan suhu penyajian. Suhu penyajian didefinisikan sebagai suhu air yang digunakan untuk melarutkan mikrokapsul sehingga dapat disajikan sebagai minuman. Sifat bakteri probiotik yang tidak tahan panas diduga akan mempengaruhi viabilitasnya. Melalui penelitian dapat diketahui jenis enkapsulan dan suhu penyajian yang mampu memberikan viabilitas tertinggi sehingga probiotik yang dikonsumsi dapat memberikan efek fungsional bagi tubuh.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di UPT Laboratorium Terpadu Biosains dan Bioteknologi Universitas Udayana, Jalan Raya Kampus Udayana, Bukit Jimbaran dan Laboratorium Pakan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budi Daya Laut, Gondol, Singaraja. Penelitian dilaksanakan dari dari bulan Maret – Juli 2015.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain; tabung reaksi (Iwaki pyrex), erlenmeyer (Iwaki pyrex), pipet mikro (Finpippete), gelas ukur (Iwaki pyrex), cawan petri (Iwaki pyrex), neraca analitik (Acis), laminar air flow cabinet (ESL), inkubator (Memmert), magnetic stirrer bar, jarum ose, sentrifuse (Clements), vortex (Labinco), freeze dryer (Labconco), shaker (Biosans) dan mikroskop binokuler (Olympus).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain; isolat Lactobacillus rhamnosus SKG 34 (koleksi UPT Laboratorium Terpadu Biosains dan Bioteknologi, Universitas Udayana),
maltodekstrin (Bratachem), karagenan (Bratachem), alginat (Bratachem), media MRS Broth (Pronadisa), MRS Agar (Oxoid), H2O2, 10%, kristal violet, lugol, safranin, alkohol 96%, larutan saline 0.85%, tween 80, CaCl2 (Merck), KCl (Merck), minyak jagung (Golden Bridge) dan akuades.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: tahap I (penentuan jenis enkapsulan yang mampu memberikan viabilitas Lactobacillus rhamnosus SKG 34 tertinggi selama proses mikroenkapsulasi) dan tahap II (perlakuan pada berbagai suhu penyajian). Pada tahap I digunakan tiga jenis perlakuan berdasarkan jenis enkapsulan, yaitu: maltodekstrin, karagenan, dan alginat. Hasil penelitian tahap I, yaitu enkapsulan dengan viabilitas Lactobacillus rhamnosus SKG 34 tertinggi dilanjutkan ke tahap II. Pada tahap ini digunakan tujuh perlakuan suhu penyajian, yaitu: 450C, 50oC, 550C, 60C, 650C, 70oC, dan 750C. Tiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan dibahas secara deskriptif.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah rendemen, bentuk mikrokapsul menggunakan Mikroskop Binokuler Olympus dengan perbesaran 100x, viabilitas Lactobacillus rhamnosus SKG 34 setelah mikroenkapsulasi (Fardiaz, 1993 dan Ivanova et al., 2002), dan viabilitas Lactobacillus rhamnosus SKG 34 pada berbagai suhu penyajian (Fardiaz, 1993).
Pelaksanan Penelitian
Penyegaran Isolat Lactobacillus rhamnosus SKG 34
Stok isolat yang disimpan dalam gliserol 30% pada suhu -20oC disegarkan dengan cara diambil sebanyak 100 mikron kemudian diinokulasikan pada media MRS Broth (MRS B). Isolat dalam media kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Hasil positif ditunjukkan dengan munculnya kekeruhan pada media.
Konfirmasi Isolat Lactobacillus rhamnosus SKG 34
Konfirmasi isolat Lactobacillus rhamnosus SKG 34 dilakukan melalui uji katalase (Suryani et al., 2010), cat gram (Dewi et al., 2014), dan uji gas (Suryani et al., 2010).
Pembuatan Massa Sel L. rhamnosus SKG 34
Kultur Lactobacillus rhamnosus SKG 34 ditumbuhkan pada 5 ml media MRS B dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Kultur ini kemudian diambil sebanyak 1 ml dan diinokulasikan ke dalam 10 ml media MRS B kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam.
Setelah 24 jam masa inkubasi, kultur dipindahkan dalam 1 liter media MRS B dan diinkubasi pada suhu 37T selama 24 jam. Proses pemanenan massa sel dilakukan dengan sentrifuse pada kecepatan 3500 rpm selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan proses pencucian sel dengan penambahan larutan saline 0.85%. Proses pencucian sel dilakukan sebanyak 2 kali, kemudian sel disimpan dalam larutan saline 0.85%.
Proses Mikroenkapsulasi dengan Maltodekstrin
Proses mikroenkapsulasi dengan maltodekstrin dilakukan melalui tahap pembuatan larutan enkapsulan dan pengeringan dengan freeze dryer. Adapun diagram alir proses mikroenkapsulasi
dengan maltodekstrin ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Proses Mikroenkapsulasi L. rhamnosus SKG 34 dalam Maltodekstrin (Bylaite et al., 2001 dalam Nocianitri et al., 2013)
Proses Mikroenkapsulasi dengan Karagenan
Proses mikroenkapsulasi dengan karagenan dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembuatan larutan enkapsulan dengan metode emulsi dan pengeringan dengan freeze dryer. Adapun diagram alir proses mikroenkapsulasi dengan karagenan ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Alir Proses Mikroenkapsulasi L. rhamnosus SKG 34 dalam Karagenan (Adhikari et al., 2003 yang dimodifikasi)
Proses Mikroenkapsulasi dengan Alginat
Proses mikroenkapsulasi dengan alginat dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembuatan larutan enkapsulan dengan metode emulsi dan pengeringan dengan freeze dryer. Adapun diagram alir proses mikroenkapsulasi dengan alginat ditunjukkan pada Gambar 3.
Alginat (3 gr)
Larutan Enkapsulan
230 CaCl2 0.1M
Mikrokapsnl
CaCl2 0.1 M
Supernata:
Mikrokapsul
Mikrokapsul
Akuades steril (100 ml)
50 ml Minyakjagung dan 0.5® Tween 80
Jiispensi L rhamnosiis SKG 1‘ (sepertiga dari jumlah larutan enkapsulan)
Minyak
Diaduk dengan shaker (250 rpm. 10 menit)
Diaduk dengan shaker (250 rpm. 10 memt)
Dibekukan dalam freezer (-20°C. 24 jam)
Dikeringkan dengan freeze dryer (-520C)
Disterilisasi (1210C. 15 menit)
Diaduk dengan stirer
Diaduk dengan stirer
Diaduk dengan stirer
Gambar 3. Diagram Alir Proses Mikroenkapsulasi L. rhamnosus SKG 34 dalam Alginat (Purwandhani et al., 2007 yang dimodifikasi)
Perlakuan berdasarkan Suhu Penyajian
Mikrokapsul dilarutkan dalam air hangat dengan berbagai suhu perlakuan, yaitu 45, 50, 55, 60, 65, 70 dan 750C. Jumlah mikrokapsul yang dilarutkan dihitung berdasarkan total populasi mikroba setelah proses freeze drying. Dimana jumlah sel yang masuk kedalam tubuh minimal adalah 108 cfu/g.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Tahap I
1. Rendemen
Hasil penelitian menunjukan tiap jenis enkapsulan menghasilkan jumlah rendemen yang berbeda. Adapun persentase rendemen untuk tiap enkapsulan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen pada berbagai enkapsulan
Jenis Enkapsulan |
Rendemen (%) |
Maltodekstrin |
22,72 ± 0,007 |
Karagenan |
5,73 ± 0,015 |
Alginat |
5,75 ± 0,007 |
Hasil penelitian menunjukkan enkapsulan maltodesktrin memperoleh rendemen dengan persentase rata – rata 22,72 ± 0,007. Perlakuan karagenan memperoleh rendemen persentase 5,73 ± 0,015. Alginat memperoleh rendemen 5,75 ± 0,007. Perbedaan jumlah rendemen yang diperoleh dipengaruhi oleh sifat enkapsulan.
Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang memiliki kelarutan tinggi dengan viskositas rendah (Mortazivian, 2007). Viskositas rendah menunjukkan bahwa maltodekstrin memiliki aktivitas pengikatan air yang rendah sehingga ketika dilakukan proses pengeringan dengan freeze dryer, jumlah air yang hilang cukup besar. Pada penggunaan enkapsulan maltodekstrin dengan konsentrasi 30%, hanya diperoleh persentase rendemen rata – rata 22,72 ± 0,007.
Karagenan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas atau larutan alkali pada temperatur tinggi (Fatimah, 2012). Setijawati et al., (2011) menyatakan bahwa karagenan memiliki karakteristik gel yang keras namun mudah pecah. Aktivitas pembentukan gel inilah yang diduga mempengaruhi jumlah rendemen yang diperoleh. Melalui mekanisme imobilisasi air ke dalam rantai polimer, jumlah air yang hilang selama proses pengeringan dapat berkurang. Pada penggunaan enkapsulan karagenan dengan konsentrasi 4% diperoleh persentase rendemen dengan rata – rata 5,73 ± 0,015.
Alginat merupakan polimer yang membentuk koloid hidrofilik yang diekstraksi dengan garam alkali dari bermacam – macam jenis alga laut coklat (Istiyani, 2008). Alginat dapat membentuk gel akibat bereaksi dengan kation divalen dan trivalen (Syafarini, 2009). Melalui mekanisme pembentukan gel, alginat diduga memerangkap air sehingga mempengaruhi jumlah
rendemen yang diperoleh. Penggunaan alginat pada konsentrasi 3% mampu menghasilkan persentase rendemen dengan rata – rata 5,75±0,007.
Hasil pengamatan menunjukkan tiap jenis enkapsulan memiliki bentuk mikrokapsul yang berbeda. Hasil pengamatan mikrokapsul ditunjukkan pada Gambar 4.
a b c
Gambar 4. Mikrokapsul perlakuan Maltodekstrin (a), Karagenan (b), dan Alginat (c)
Bentuk mikrokapsul dipengaruhi oleh jenis dan sifat enkapsulan. Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang tidak memiliki kemampuan membentuk gel. Setelah dikeringkan, mikrokapsul yang dihasilkan memiliki bentuk yang tidak beraturan (Gambar 4a). Hal tersebut sesuai dengan sifat maltodekstrin yang tidak membentuk gel.
Karagenan memiliki kemampuan membentuk gel. Ketika dipanaskan pada suhu 40 - 50°C dan didinginkan pada suhu ruang, karagenan akan membentuk gel. Penambahan ion monovalent seperti potassium dalam bentuk KCl akan menstabilkan bentuk butiran gel (Krasaekoopt et al., 2003). Gambar 4b menunjukkan pembentukan butiran gel karagenan tidak sempurna.
Gambar 4c menunjukkan bentuk gel alginat. Gel alginat yang berbentuk bulat dan berwarna kecoklatan telah terbentuk, namun belum terjadi pemisahan sempurna antar gel. Gel terbentuk ketika dihasilkan zona gabungan antara asam ∝ L-guluronik dari sebuah molekul alginat yang secara fisik terhubung dengan asam ∝ L-guluronik dari molekul alginat lainnya dengan penambahan ion kalsium (Draget dalam Etchepare et al., 2015). Hansen et al., (2002) menyatakan bahwa konsetrasi dan viskositas larutan enkapsulan sebelum pembentukan gel dan kecepatan agitasi merupakan parameter utama yang mempengaruhi diameter dan bentuk mikrokapsul.
Hasil penghitungan total populasi bakteri menunjukkan tiap jenis enkapsulan menghasilkan viabilitas L. rhamnosus SKG 34 yang berbeda. Adapun viabilitas L.rhamnosus SKG 34 dalam tiap enkapsulan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Viabilitas L.rhamnosus SKG 34 dalam berbagai enkapsulan
Jenis Enkapsulan |
Viabilitas L.rhamnosus (cfu/gr) |
Maltodekstrin |
1,24 x 109 ± 0,33 |
Karagenan |
1,21 x 106 ± 1,03 |
Alginat |
2,03 x 103 ± 0,13 |
Viabilitas setelah mikroenkapsulasi diduga dipengaruhi oleh pemerangkapan sel bakteri dalam enkapsulan dan proses pengeringan. Enkapsulan merupakan bahan yang berfungsi melindungi zat inti (bakteri). Apabila proses pemerangkapan bakteri dalam enkapsulan tidak sempurna, bakteri tidak akan terlindungi. Solanki et al., (2013) menyatakan bahwa proses pengeringan dengan freeze dryer berpotensi menyebabkan kerusakan sel bakteri akibat pembentukan kristal es dan osmolaritas yang tinggi.
Viabilitas L.rhamnosus SKG 34 setelah mikroenkapsulasi tertinggi dihasilkan oleh mikrokapsul dengan enkapsulan maltodekstrin dengan rata – rata total bakteri 1,24 x 109 cfu/gr. Sifat maltodekstrin yang mudah larut diduga menyebakan banyak bakteri terperangkap dalam larutan enkapsulan. Bakteri yang telah terperangkap dalam maltodekstrin telah memiliki lapisan pelindung sehingga kematian sel akibat proses pengeringan dapat diminimalisir.
Mikrokapsul dengan enkapsulan karagenan menghasilkan total bakteri dengan rata – rata 1,21 x 106 cfu/gr. Mikrokapsul dengan enkapsulan alginat menghasilkan total bakteri dengan rata – rata 2,03 x 103 cfu/gr. Diduga proses pembentukan larutan enkapsulan dan pemerangkapan bakteri dalam mikrokapsul tidak sempurna sehingga ketika dilakukan proses pengeringan jumlah bakteri yang mati cukup besar.
Penelitian Tahap 2
1. Viabilitas L. rhamnosus SKG 34 pada Berbagai Suhu Penyajian
Hasil penelitian tahap I menunjukkan bahwa enkapsulan maltodekstrin menghasilkan viabilitas L.rhamnosus SKG 34 tertinggi sehingga dilanjutkan ke tahap II. Hasil penelitian tahap II menunjukkan suhu penyajian yang digunakan memberikan hasil berbeda terhadap viabilitas bakteri. Adapun viabilitas L.rhamnosus SKG 34 dalam berbagai suhu penyajian ditunjukkan oleh Tabel 3.
Tabel 3. Viabilitas L. rhamnosus SKG 34 pada berbagai suhu penyajian
Suhu Penyajian |
Viabilitas L.rhamnosus SKG 34 (cfu/ml) |
45oC |
3,37 x 108 ± 0,14 |
50oC |
2,04 x 108 ± 0,22 |
55oC |
4,78 x 107 ± 0,31 |
60oC |
9,19 x 105 ± 0,26 |
650C |
2,18 x 104 ± 0,40 |
70oC |
4,67 x 102 ± 0,28 |
75C |
0 |
Viabilitas didefinisikan sebagai kemampuan hidup suatu bakteri (Ardityarini, 2010). Faktor yang mempengaruhi viabilitas bakteri, antara lain: suplai gizi, waktu inkubasi, suhu, pH, aktivitas air, dan ketersedian oksigen. Pada suhu penyajian 45°C, bakteri menunjukkan viabilitas tertinggi dengan populasi rata – rata 3,37 x 108 cfu/ml. Populasi bakteri terus menurun seiring dengan semakin tingginya suhu penyajian. Pada suhu penyajian 75°C, bakteri tidak mampu bertahan ditunjukkan dengan tidak adanya bakteri yang tumbuh dalam media agar. Winarwi (2006) menyatakan bahwa suhu yang terus meningkat dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri terhenti karena komponen sel menjadi tidak aktif dan sel mati.
Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang dapat tergelatinisasi. Matz (1984) menyatakan suhu gelatinisasi berkisar antara 58,8 - 70oC. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian, dimana terjadi penurunan total populasi bakteri sebanyak 1 – 2 siklus log pada suhu penyajian 55 - 75C. Penurunan total bakteri disebabkan oleh berkurangnya kemampuan maltodekstrin untuk melindungi bakteri akibat peristiwa gelatinisasi. Gelatinisasi merupakan peristiwa perkembangan granula pati sehingga granula pati tersebut tidak dapat kembali ke ukuran semula (Winarno, 2002). Proses gelatinisasi yang berlangsung terus – menerus dapat menyebabkan pecahnya granula pati sehingga maltodekstrin kehilangan kemampuan untuk melindungi bakteri.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
-
1. Jenis enkapsulan yang mampu memberikan viabilitas tertinggi adalah maltodekstrin dengan populasi L.rhamnosus SKG 34 1,24 x 109 ± 0,33 cfu/gr.
-
2. Suhu penyajian yang mampu memberikan viabilitas tertinggi diperoleh pada suhu 450C dengan populasi 3,37 x 108 ± 0,14 cfu/ml.
-
3. Pada suhu maksimal 55 0C enkapsulan maltodekstrin mampu mempertahankan viabilitas L.rhamnosus SKG 34 dalam jumlah yang dibutuhkan agar dapat memberi efek fungsional bagi tubuh (4,78 x 107 ± 0,31).
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disarankan beberapa hal, antaralain:
-
1. Dianjurkan untuk menyajikan mikrokapsul L.rhamnosus SKG 34 dengan suhu air maksimal 55C.
-
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi dan viskositas larutan enkapsulan yang mampu menghasilkan mikrokapsul dengan karakteristik bentuk yang sempurna.
-
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui masa simpan mikrokapsul L. rhamnosus SKG 34.
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari K.A., A. Mustapha, I.U. Grun. 2003. Survival and metabolic activity of microencapsulated Bifidobacterium longum in stirred yogurt. Journal of Food Science Vol 68, Issue 1: 275-280.
Ardityarini, D. 2009. Pengaruh Jenis Enkapsulan dan Penyimpanan Refrigerasi Mikrokapsul Lactobacillus achidophillus dalam Susu Achidopihlus terhadap Viabilitas, pH, Keasaman, dan Viskositas. [skripsi]. Universitas Brawijaya.
Chibata, I. 1981. Immobilized Microbial Cells with Polyacrylamide Gel and Carrageenan and Their Applications in Mobilized Cells. America Chemical Social Symp. Serie 106: 187-202.
Dewi, I.G.A.K., I.G.N.A.D. Putra, I N. Sujaya. 2014. Pengembangan Starter dari Lactobacillus spp. Isolat Susu Kuda Sumbawa untuk Pembuatan Susu Terfermentasi. [jurnal]. Universitas Udayana.
Ding, W.K., dan N.P. Shah. 2009. Effect of various Encapsulating Materials on Stability of Probiotic Bacteria. Journal of Food Science 74: 100 – 107.
Etchepare, M.A., J.S. Barin, A.J. Cichoski, E.J. Lopes, R. Wagner, L.J.M. Fries, dan C.R. Menezes. 2015. Microencapsulation of Probiotic Using Sodium Alginate. Ciência Rural Santa Maria Online ISSN 0103-8478.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Fatimah, S. 2012. Aplikasi Teknologi Ohmic dalam Ekstraksi Karaginan Murni (Refined Carrageenan) dari Rumpu Laut Eucheuma cottonii. [skripsi]. Universitas Hasanuddin.
Hansen T.L., W. P.M. Allan, Y.L. Jin, dan A.T. Paulson. 2002. Survival of free and calcium-alginate microencapsulated Bifidobacterium spp. in simulated gastro-intestinal conditions Food Microbiol. 19: 35-45.
Istiyani, K. 2008. Mikroenkapsulasi Insulin untuk Sediaan Oral menggunakan Metode Emulsifikasi dengan Penyalut Natrium Alginat dan Kitosan. [skirpsi]. Universitas Indonesia.
Ivanova, E., V. Chipeva, I. Ivanova, X. Dousset, dan D. Poncelet. 2002. Encapsulation of Lactic Acid Bacteria in Calcium Alginate Beads for Bacteriocin Production. Journal of Culture Collections Volume 3: 53-58.
Kailasapathy, K. 2002. Microencapsulation of Probiotic Bacteria: Technology and Potential Applications. Current Issues Intestinal Microbiology (2002) 3: 39-48.
Krasaekoopt W., B. Bhandari, H. Deeth. 2003. Evaluation of Encapsulation Techniques of Probiotics for Yoghurt. Int Dairy J. 13: 3-13.
Matz, S.A. 1984. Chemistry and Technology of Cereals as Food and Feed. Library of Congress Cataloging in Publication Data, USA.
Mortazavian, A., S.H. Razavi, M.R. Ehsani, dan S. Sohrabvandi. 2007. Principle and Methods of Microencapsulation of Probiotics Microorganism. Iranian Journal of Biotechnology, Vol 5.No.1.
Nocianitri, KA. I.N. Sujaya, dan N.N. Puspawati. 2013. Pengembangan Probiotik Lactobacillus sp. SKG 34 serta formulasinya dalam Bentuk Pangan Fungsional. Universitas Udayana.
Purwandhani, S.N., M. Suladra, dan E.S Rahayu. 2007. Stabilitas Thermal Agensia Probiotik L.acidophillus SNP 2 Terenkapsulasi Metode Ekstruksi dan Emulsi. Seminar Nasional Teknologi 2007.
Rayment, P., P. Wright, C. Hoad, E. Ciampi, D. Haydock, dan P Gowland. 2009. Investigation of Alginate Beads for Gastro-intestinal Functionality Part 1: In Vitro Characterization. Food Hydrocolloids 23: 816–822.
Setijawati, D., Wijana, S., Aulaniam, dan Santosa, I. 2011. Viabilitas dan Struktur Mikrokapsul Lactobacillus acidophilus dengan Bahan Penyalut Karaginan Semi Murni Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Teknologi Pangan Vol. 2 No.1 November 2011.
Solanki, H.K., D.K. Pawar, D.A. Shah, V.D. Prajapati, G.K. Jani, A.M. Mulla, dan P.M. Thakar. 2013. Development of Microencapsulation Delivery System for Long-Term Preservation of Probiotics as Biotheraupetics Agent. Biomed Research Journal Vol. 2013.
Suryani, Y., A.B. Oktavia, dan S. Umniyati. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Limbah Kotoran Ayam sebagai Agensi Probiotik dan Enzim Kolesterol Reduktase. Biologi dan Pengembangan Profesi Pendidik Biologi. Biota. 12 (3): 177 – 185.
Susanti, I., W. Retno, dan F. Illaningtyas. 2007. Uji Sifat Probiotik Bakteri Asam Laktat sebagai Kandidat Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol. XVIII No.2
Syafarini, I. 2009. Karakteristik Produk Tepung Es Krim Dengan Penambahan Hidrokoloid Karaginan dan Alginat. [skripsi]. Insititut Pertanian Bogor.
Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarwi. 2006. Uji Viabilitas Bakteri dan Aktivitas Enzim Bakteri Proteolitik pada Media Carrier Bekatul (Sebagai Acuan Bahan Ajar Pokok Bahasan Virus, Monera, dan Protista di SMA). [skripsi]. Universitas Sebelas Maret.
13
Discussion and feedback