Keseimbangan dinamis adalah pemeliharaan kesetimbangan tubuh ketika dalam posisi bergerak. Gangguan keseimbangan merupakan masalah umum pada lansia. Masalah yang akan timbul pada gangguan keseimbangan yaitu peningkatan risiko jatuh pada lansia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pelatihan 12 balance exercise lebih efektif dalam meningkatkan keseimbangan dinamis daripada balance strategy exercise.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Pre and Post Test Control Group Design. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah simple random sampling.
Sampel penelitian berjumlah 28 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberikan pelatihan balance strategy exercise dan kelompok perlakuan yang diberikan pelatihan 12 balance exercise.
Masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur keseimbangan dinamis lansia menggunakan skor Berg Balance Scale (BBS) sebelum dan setelah pelatihan pada setiap kelompok. Uji normalitas data diuji dengan menggunakan Saphiro-Wilk Test dan uji homogenitas dengan Levene’s Test.
Hasil uji paired sample t-test didapatkan perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol dengan nilai p=0,002 dan menunjukkan adanya peningkatan keseimbangan dinamis pada kelompok kontrol sebesar 1,143, begitupula pada kelompok perlakuan didapatkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,000 dan menunjukkan adanya peningkatan keseimbangan dinamis pada kelompok perlakuan sebesar 3,000.
Uji beda selisih dengan independent t-test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dimana p=0,000 dengan persentase sebesar 2,58% pada kelompok kontrol dan 6,78% pada kelompok perlakuan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelatihan 12 balance exercise lebih efektif dalam meningkatkan keseimbangan dinamis daripada balance strategy exercise pada lansia.
Latar Belakang
Permasalahan utama yang sering dialami oleh lansia di seluruh dunia adalah jatuh. Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas 65 tahun mengalami jatuh. Angka ini cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur tulang panggul pada lansia. Sebanyak 38% lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur tulang panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas.1
Studi epidemiologi membuktikan bahwa faktor risiko jatuh pada lansia meliputi faktor intrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (environmental). Faktor intrinsik terdiri dari: permasalahan keseimbangan dan berjalan, kelemahan otot, riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan penglihatan, radang sendi, depresi, permasalahan kognitif, serta usia lebih dari 80 tahun.
Faktor ekstrinsik meliputi: penggunaan alas kaki yang tidak tepat, permukaan lantai yang licin atau kasar, pencahayaan yang kurang, serta banyaknya hambatan yang terdapat pada lingkungan.2
Studi observasional analitik di Semarang yang dilakukan Farabi (2007) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara keseimbangan dengan frekuensi jatuh pada lansia. Penelitian ini menggunakan alat ukur Time Up and Go Test (TUGT). TUGT merupakan standar pengukuran keseimbangan dinamis.
Peneliti sebelumnya menyimpulkan bahwa semakin tinggi skor TUGT maka frekuensi kejadian jatuh semakin meningkat.3 Oleh karena itu, fokus utama dalam menangani permasalahan jatuh pada lansia adalah dengan memperbaiki dan menjaga keseimbangan tubuh.
Keseimbangan diartikan sebagai kemampuan untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support).
Dalam mempertahankan keseimbangan diperlukan integrasi sistem sensoris meliputi: visual, vestibular, dan somatosensoris yang memberi informasi ke sistem saraf pusat sebagai pemrosesan dan diteruskan ke sistem neuromuskular sebagai efektor yang mengadaptasi secara cepat perubahan posisi tubuh dan postur.4
Systematical review yang dikemukakan oleh Horak (2006) dan metaanalisis Sibley et al (2015) menyimpulkan bahwa terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem kontrol postural, meliputi:
- Kendala biomekanik, terkait kekuatan otot dan limit of stability yaitu kemampuan seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol keseimbangan tanpa mengubah bidang tumpu,
- Strategi gerakan berupa feedback berupa respon protektif atau respon korektif dan feedforward berupa respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan posisi tertentu,
- Strategi sensoris meliputi: sensory integration dan sensory re-weighting, yaitu kemampuan untuk meningkatkan bobot sensorik bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga stabilitas,
- Orientasi ruang, yaitu kemampuan untuk mengarahkan bagian tubuh sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem visual, dan referensi internal,
- Kontrol dinamik, dan
- Proses kognitif terkait perhatian dan proses pembelajaran
Ada banyak macam latihan keseimbangan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan lansia, salah satunya Balance Strategy Exercise. Balance Strategy Exercise terdiri dari tiga tahapan, yaitu: ankle strategy exercise, hip strategy exercise,serta stepping strategy exercise.
Ankle strategy exercise melatih penggunaan aktivasi otot-otot plantar fleksor dan dorsofleksor sendi pergelangan kaki untuk menggerakkan pusat massa tubuh.
Hip strategy exercise melatih penggunaan aktivasi otot fleksor hip dan otot trunkus (batang tubuh) untuk menggerakkan pusat massa tubuh secara cepat. Stepping strategy exercise yaitu latihan melangkah ke depan atau ke belakang untuk menggerakkan bidang tumpu agar pusat massa tubuh tetap berada di dalam bidang tumpu.
Balance strategy exercise berfungsi menjaga sendi-sendi dan postur tubuh tetap baik. Gerakan-gerakan ini berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot pada anggota gerak tubuh bagian bawah serta memantapkan kontrol postural yang pada akhirnya dapat meningkatkan keseimbangan postural pada lansia.7
Penelitian yang dilakukan oleh Jun Hyun pada 26 lansia yang memiliki riwayat jatuh dengan memberikan Ankle Strategy Exercise selama 3 kali dalam seminggu selama delapan minggu membuktikan bahwa pemberian Ankle Strategy Exercise mampu meningkatkan keseimbangan dinamis lansia setelah dievaluasi menggunakan Berg Balance Scale.
Hal ini dikarenakan, ankle strategy exercise mampu memperbaiki kecepatan berjalan, panjang langkah, serta waktu yang dibutuhkan ketika berjalan.8
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Wolf et al, terhadap 49 lansia yang berusia lebih dari dari 75 tahun membuktikan bahwa pemberian 12 balance exercise 3 kali seminggu selama 4-6 minggu mampu meningkatkan keseimbangan dinamis setelah dievaluasi dengan menggunakan Berg Balance Scale.
Gerakan 12 balance exercise meliputi: single limb stance, eye tracking, clock reach, tandem stance, single limb stance with arm, balancing wand, knee marching, body circles, hel to toe, grapevine, stepping exercises, dan dynamic walking.
Pada pelatihan Balance Strategy Exercise manfaat yang akan diperoleh berupa peningkatan functional stability limit, perbaikan sistem motoris, perbaikan kontrol postural, serta peningkatan stabilitas dinamik.
Sebaliknya, pelatihan 12 Balance Exercise mampu memberikan ke seluruh manfaat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh Sibley, hanya saja pelatihan ini memiliki risiko lebih tinggi daripada balance strategy exercise, sehingga dibutuhkan pemantauan mendalam pada lansia selama sesi latihan.
Kedua jenis terapi latihan tersebut efektif dalam meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia. Penelitian serupa yang membandingkan efektivitas antara kedua jenis pelatihan tersebut belum pernah dilakukan di Bali maupun di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terkait perbedaan efektivitas terhadap ke dua jenis pelatihan keseimbangan tersebut.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan Randomized Pre Test and Post Test Control Group Design, dimana pembagian sampel menjadi dua kelompok dilakukan secara acak atau random. Penelitian dilakukan di Banjar Bumi Shanti, Desa Dauh Puri Kelod, Kecamatan Denpasar Barat pada bulan April-Mei 2015.
Populasi dan Sampel
Populasi target pada penelitian ini adalah semua lanjut usia di Provinsi Bali. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua lanjut usia yang berusia 60 – 74 tahun di Banjar Bumi Shanti, Desa Dauh Puri Kelod, Kecamatan Denpasar Barat yaitu sebanyak 60 orang.
Besar sampel ditentukan berdasarkan hasil penelitian Wolf, et al tahun 2010 dimana pelatihan 12 balance exercise 3 kali seminggu selama 4 minggu mampu meningkatkan skor Berg Balance Scale dengan rerata 42,5 dan pada penelitian ini diharapkan peningkatan lebih tinggi 10% dari penelitian Wolf, et al sehingga |i2 menjadi 46,75. Jumlah sampel minimal dalam penelitian ini ditentukan dengan perhitungan rumus Pocock (2008).10
Dari hasil perhitungan sampel, sampel yang digunakan berjumlah 11 sampel. Untuk mengantisipasi subjek drop out, maka jumlah sampel ditambah 20% menjadi 14 sampel. Maka terdapat 14 sampel untuk setiap kelompok sehingga jumlah keseluruhan sampel pada kedua kelompok sebesar 28 responden.
Sampel penelitian berasal dari populasi penelitian dan setelah memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi:
- Lanjut usia yang berumur 60-74 tahun,
- Lansia dengan tingkat aktivitas fisik sedang yang diukur dengan menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ),
- Lansia mandiri, tanpa keterbatasan fungsional yang diukur dengan menggunakan index barthel,
- Indeks Massa Tubuh kategori normal dan overweight. Kriteria eksklusi: Lansia dengan penyakit Parkinson, tumor pada tulang atau otot, osteoartritis, Hernia Nukleus Pulposus (HNP), fraktur ekstremitas bawah, dan gangguan pendengaran yang didiagnosis melalui keterangan dokter.
Kriteria drop out:
- Sampel tersebut mengundurkan diri,
- Sampel memburuk setelah diberikan pelatihan,
- Jika selama pengambilan data pasien tiba-tiba jatuh sakit atau cedera karena suatu hal.
Instrumen Penelitian
Alat ukur keseimbangan yang digunakan adalah kuesioner Berg Balance Scale (BBS). BBS menggunakan 14 item pengukuran dengan skala 0 sampai 4. Nilai 0 diberikan apabila pasien tidak mampu melakukan tugas yang diberikan dan nilai 4 diberikan apabila pasien mampu melengkapi tugas sesuai kriteria yang diberikan. Nilai maksimum untuk pengukuran ini adalah 56.
Lima penelitian menginvestigasi hubungan BBS dengan populasi pada lansia. Empat penelitian
menggunakannya pada komunitas lansia sedangkan 1 penelitian pada nursing home care. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa range sensitivitas antara 53% – 88,2%, spesifisitas antara 53% – 96%, dan cutoff scores antara 46 -54. Peneliti juga menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki skor BBS dibawah 46 kemungkinan memiliki resiko yang besar untuk mengalami jatuh.11
Analisis data menggunakan SPSS 1.6, dimana uji statistik yang dilakukan meliputi: Uji Statistik Deskriptif, Uji Normalitas dengan Saphiro Wilk Test, Uji Homogenitas dengan Levene’s test, dan Uji hipotesis menggunakan uji parametrik yaitu paired sample t-test dan independent sample t-test.
HASIL PENELITIAN
Berikut ini dipaparkan deskripsi data berupa karakteristik sampel penelitian yang terdiri dari jenis kelamin, umur, dan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Jenis Kelamin |
Jumlah |
P1 Persentase |
Jumlah |
P2 Persentase |
Laki-Laki |
2 |
14,3% |
2 |
14,3% |
Perempuan |
12 |
85,7% |
12 |
85,7% |
Tabel 1. Distribusi Data Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terdapat kesamaan pada jenis kelamin. Sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 2 orang (14,3%) sedangkan perempuan sebanyak 12 orang (85,7%).
Karakteristik
|
P1 | P2 | ||
X | SB | X | SB | |
Umur (Th) | 66,6 | 5,18 | 68,3 | 3,93 |
IMT | 23,1 | 1,33 | 23,0 | 0,88 |
Tabel 2. Distribusi Data Sampel Berdasarkan Umur dan IMT
Data pada Tabel 2 menunjukkan subjek penelitian pada kelompok kontrol memiliki rerata umur 66,5±5,18 tahun dan pada kelompok perlakuan memiliki rerata umur 68,3±3,93 tahun. IMT pada kelompok kontrol didapatkan rerata 23,1±1,33 dan pada kelompok perlakuan 23,0±0,88.
Klp
Data |
Uji Normalitas dengan Shapiro Wilk Test | Uji Homoge nitas (Levene’s Test) | |||||
P1 | P2 | ||||||
X | SB | p | X | SB | p | ||
Pre Test | 44,29 | 5,58 | 0,334 | 44,21 | 5,46 | 0,100 | 0,967 |
Post test | 45,43 | 5,44 | 0,759 | 47,21 | 4,70 | 0,087 | 0,635 |
Hasil uji normalitas dengan Shapiro Wilk test dan uji homogenitas dengan Levene’s test pada Tabel 3, menunjukkan data keseimbangan dinamis sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berdistribusi normal dan homogen sehingga pengujian hipotesis menggunakan uji statistik parametrik.

Berdasarkan Tabel 4, didapatkan hasil uji paired sample t-test untuk beda rerata peningkatan nilai keseimbangan dinamis dengan p=0,002 pada kelompok kontrol dan p=0,000 pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan nilai keseimbangan dinamis yang signifikan pada kedua kelompok pelatihan.

Data pada Tabel 5 memperlihatkan hasil perhitungan beda rerata peningkatan nilai keseimbangan dinamis yaitu p=0,000. Hasil ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan di antara kedua pelatihan.


Data pada Tabel 6 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa persentase peningkatan rerata nilai keseimbangan dinamis pada kelompok perlakuan lebih besar daripada kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelatihan 12 Balance Exercise lebih meningkatkan keseimbangan dinamis daripada pelatihan Balance Strategy Exercise.
PEMBAHASAN
Karakteristik Sampel
Berdasarkan hasil penelitian ini, karakteristik jenis kelamin sampel pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan terdapat kesamaan. Jumlah sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 2 orang (14,3%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 orang (85,7%).
Dilihat dari karakteristik umur sampel, kelompok kontrol memiliki rerata umur (66,6±5,18) tahun dan kelompok perlakuan memiliki rerata umur (68,3±3,93) tahun.
Penelitian Barnedh (2006) menyatakan bahwa usia berhubungan secara bermakna dengan gangguan keseimbangan dimana proporsi pada kelompok usia lebih dari 80 tahun yang mengalami gangguan keseimbangan sebesar 70%, usia 70 sampai 79 tahun sebesar 63% dan usia 60 sampai 69 tahun sebesar 23%.12
Kejadian jatuh lebih banyak pada perempuan dikarenakan perempuan mengalami menopause yaitu terjadinya penurunan hormon estrogen. Penurunan hormone estrogen akan menurunkan kemampuan tubuh menyerap kalsium sehingga memicu terjadinya osteoporosis.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Steffen, Hacker dan Mollinger (2002) didapatkan nilai keseimbangan lansia perempuan lebih rendah dibandingkan dengan lansia laki-laki.13
Peningkatan Keseimbangan Dinamis pada Kelompok Pelatihan Balance Strategy Exercise
Nilai keseimbangan dinamis pada kelompok pelatihan balance strategy exercise saat pre test didapatkan rerata nilai BBS sebesar 44,28 dan post test mengalami peningkatan rerata menjadi 45,43 dengan selisih 1,143.
Peningkatan nilai keseimbangan telah diuji secara statistik dengan uji paired sample t-test menunjukkan bahwa data memiliki nilai p<0,05 yang berarti bahwa peningkatan nilai keseimbangan dinamis pada kelompok pelatihan balance strategy exercise secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna
Pelatihan balance strategy exercise mengaktifkan sistem gerakan volunter dan respon postural otomatis tubuh. Ketika melakukan pelatihan ankle, hip, dan stepping strategy exercise, maka tubuh mengirimkan informasi sensoris melalui mekanoreseptor terkait perubahan sensasi posisi tubuh dari persendian ke sistem saraf bermielin besar.
Informasi ini diteruskan ke dalam sistem kolumna dorsalis lemniskus medialis dan berakhir pada girus postsentralis dari korteks serebri (area somatosensorik I) untuk kemudian diolah di dalam korteks serebri.14
Korteks serebri (area korteks motorik primer, area premotorik, dan area motorik pelengkap) akan mengolah informasi sensoris untuk menghasilkan sinyal motorik.
Penjalaran sinyal motorik ini akan diteruskan ke serabut piramidal melalui traktus kortikospinal lateralis medula spinalis dan berakhir pada interneuron di region intermediet dari substansia grisea medula, beberapa berakhir di neuron penyiar radiks dorsalis, dan berakhir secara langsung di neuron-neuron motorik anterior. Neuron motorik anterior mengadakan potensial aksi pada terminal saraf.14
Potensial aksi akan membuka banyak kanal kalsium dalam membran saraf terminal, akibatnya konsentrasi ion kalsium di dalam membran terminal meningkat.
Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di dalam membran terminal akan meningkatkan laju penggabungan vesikel asetilkolin dan menimbulkan eksositosis asetilkolin ke dalam ruang sinaps. Kanal asetilkolin yang terbuka memungkinkan ion positif yang penting seperti natrium (Na+), kalium (K+), dan kalsium (Ca2+) dapat bergerak mudah melewatinya.
Peristiwa ini akan menciptakan suatu perubahan potensial positif setempat di dalam membran serabut otot yang disebut potensial end plate dan akan menimbulkan suatu potensial aksi yang menyebar di sepanjang membran otot.
Potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium dan ion-ion ini akan menimbulkan kekuatan tarik-menarik antara filamen aktin dan miosin dan menghasilkan proses kontraksi otot.14
Sistem somatosensoris juga akan memberikan feedback ke korteks motorik melalui sistem sensorik radiks dorsalis dengan mengatur ketepatan kontraksi otot. Sinyal somatosensorik ini timbul di kumparan otot, organ tendon otot, dan reseptor taktil kulit yang menutupi otot dan akan menimbulkan positive feedback enhancement dengan lebih merangsang kontraksi otot.15
Neuron berada pada keadaan terfasilitasi pada awal pelatihan, yaitu besarnya potensial membran mendekati nilai ambang untuk peletupan daripada keadaan normal tetapi belum cukup mencapai batas peletupan.
Pelatihan balance strategy exercise yang dilakukan dengan frekuensi tiga kali seminggu selama lima minggu memberikan efek berupa adaptasi neural. Adaptasi neural meliputi sumasi spasial dan sumasi temporal pada sistem saraf.
Sumasi spasial diartikan sebagai penjumlahan potensial postsinaps yang simultan dengan cara mengaktivasi ujung-ujung saraf multipel pada daerah membran neuron yang luas sedangkan sumasi temporal peningkatan tempo peletupan ujung saraf presinaptik sehingga dapat meningkatkan potensial efektif postsinaps yang terjadi.
Adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu keadaan peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-sama. Dengan meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan terjadi peningkatan kekuatan otot.15
Pelatihan balance strategy exercise, terutama ankle dan hip strategy exercise akan memperbaiki kendala biomekanik (biomechanical constraints) berupa peningkatan kekuatan pada otot gastrocnemius, hamstring, otot-otot ekstensor batang tubuh, tibilias anterior, quadriceps, dan otot abdominal.
Otot-otot ini akan menyokong tubuh dan menyangga limit of stability sehingga terjadi kestabilan tubuh untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior dan mediolateral.6
Respon postural otomatis tubuh dicapai ketika melakukan pelatihan stepping strategy exercise. Pada pelatihan ini, percepatan linear tubuh akan dideteksi oleh organ sensoris makula utrikulus yang berperan penting menentukan orientasi kepala ketika kepala dalam posisi tegak.
Di dalam makula utrikulus terdapat beribu-ribu sel rambut dimana pangkalnya bersinaps dengan ujung-ujung sensorik saraf vestibular. Ketika terjadi percepatan linear pada pelatihan stepping strategy exercise, pelekatan filamentosa akan menarik stereosilia ke arah kinosilium atau mendorong ke luar badan sel, sehingga ion positif mengalir ke dalam sel dari cairan endolimfatik di sekelilingnya dan menimbulkan depolarisasi membran reseptor.
Sinyal-sinyal yang sesuai dikirimkan melalui nervus vestibularis ke nuklei vestibular untuk diolah di batang otak. Pada sistem ini, batang otak menjalarkan sinyal eksitasi yang kuat ke otot-otot antigravitasi melalui traktus vestibulospinalis medialis dan lateralis dalam kolumna anterior medula spinalis.
Tubuh akan merespon pengaktifan otot-otot antigravitasi dengan melakukan feedback gerakan berupa koreksi atau proteksi terhadap tubuh akibat suatu gangguan atau perubahan landasan tumpu.15
Pelatihan stepping strategy exercise juga akan meningkatkan kontrol dinamik yang berkaitan dengan gait and locomotion. Lansia mengalami peningkatan perubahan posisi ketika berjalan dengan landasan tumpu yang lebih lebar, fase menumpu yang berlangsung singkat oleh adanya kekuatan otot yang menurun, serta fase mengayun yang memendek.
Kontrol dinamik didapatkan dengan mengaktifkan dan meningkatkan kekuatan otot-otot yang digunakan saat melangkah, meliputi: otot-otot otot-otot panggul (ekstensor, fleksor, abduktor, adduktor, dan rotator), otot-otot lutut (ekstensor dan fleksor), kaki dan pergelangan kaki, serta otot-otot postural tubuh (m. erector spinae dan m. rectus abdominis).
Pelatihan stepping strategy exercise memberikan manfaat berupa adaptasi pada peningkatan panjang langkah serta penurunan lebar langkah dan peningkatan kecepatan berjalan.16
Peningkatan kontrol dinamik pada pelatihan balance strategy exercise sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hyun (2014).8 Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelatihan balance strategy exercise mampu memperbaiki panjang langkah lansia pada satu siklus gait (stride length), meningkatkan panjang langkah kaki yang berbeda (step length), serta mempersingkat waktu dalam melangkah.
kesetimbangan dinamis Pelatihan 12 Balance Exercise
Nilai keseimbangan dinamis pada kelompok pelatihan 12 balance exercise saat pre test didapatkan rerata nilai BBS sebesar 44,21 dan post test mengalami peningkatan rerata menjadi 47,21 dengan selisih 3,000.
Peningkatan nilai keseimbangan telah diuji secara statistik dengan uji paired sample t-test menunjukkan bahwa data memiliki nilai p<0,05 yang berarti bahwa peningkatan nilai keseimbangan dinamis pada kelompok pelatihan 12 balance exercise secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Pelatihan 12 balance exercise mengaktifkan sistem gerakan volunter, respon postural otomatis, serta gerak refleks tubuh. Pada saat melakukan pelatihan single limb stance, tandem stance, dan body circles, tubuh akan meresponnya dengan melakukan gerakan volunter.
Mekanisme yang terjadi hampir sama dengan pelatihan balance strategy exercise. Sewaktu melakukan pelatihan tersebut, tubuh akan meresponnya dengan mengirimkan sinyal melalui mekanoreseptor untuk diteruskan ke girus postsentralis dari korteks serebri dan diolah untuk menghasilkan sinyal motorik ke serabut piramidal dan berakhir di neuron-neuron motorik anterior.
Neuron motorik anterior meneruskan potensial aksi sampai akson terminal, sehingga menghasilkan potensial end plate dan menimbulkan suatu potensial aksi yang menyebar di sepanjang membran otot dan terjadilah peristiwa kontraksi otot.14
Pelatihan single limb stance, tandem stance, dan body circles dalam 12 balance exercise yang dilakukan dengan frekuensi tiga kali seminggu selama lima minggu, dapat memberikan efek berupa adaptasi neural berupa sumasi spasial dan sumasi temporal pada sistem saraf.
Adaptasi neural akan menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu keadaan peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-sama. Peningkatan jumlah unit motorik ini akan meningkatkan kekuatan otot.14
Pelatihan single limb stance, tandem stance, dan body circles meningkatkan kekuatan pada otot gastrocnemius, hamstring, otot-otot ekstensor batang tubuh, tibilias anterior, quadriceps, dan otot abdominal dimana otot-otot ini akan menyokong tubuh dan menyangga limit of stability sehingga terjadi kestabilan tubuh untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior dan mediolateral.6
Respon postural otomatis tubuh dicapai ketika melakukan pelatihan clock reach, single limb stance with arm, balancing wand, dan heel to toe.
Pada pelatihan ini, percepatan linear tubuh akan dideteksi oleh organ sensoris makula utrikulus yang berperan penting menentukan orientasi kepala ketika kepala dalam posisi tegak. Sinyal-sinyal yang sesuai dikirimkan melalui nervus vestibularis ke nuklei vestibular untuk diolah di batang otak.
Pada sistem ini, batang otak menjalarkan sinyal eksitasi yang kuat ke otot-otot antigravitasi melalui traktus vestibulospinalis medialis dan lateralis dalam kolumna anterior medula spinalis. Tubuh akan meresponnya dengan melakukan feedback gerakan berupa koreksi atau proteksi terhadap tubuh akibat suatu gangguan atau perubahan landasan tumpu.15
Pelatihan knee marching, heel to toe, dan grapevine dalam 12 balance exercise juga mengaktifkan otot-otot yang berperan dalam gerakan melangkah pada lansia.
Pelatihan ini berhubungan erat dengan konsep gait and locomotion serta bertujuan untuk meningkatkan kontrol dinamik. Pelatihan yang dilakukan selama tiga kali dalam lima minggu memberikan efek berupa peningkatan kekuatan otot pada otot-otot yang digunakan untuk melangkah, diantaranya otot-otot panggul (ekstensor, fleksor, abduktor, adduktor, dan rotator), otot-otot lutut (ekstensor dan fleksor), kaki dan pergelangan kaki, serta otot-otot postural tubuh (m. erector spinae dan m. rectus abdominis).17
Pelatihan eye tracking, dynamic walking dan stepping exercise pada 12 balance exercise akan membentuk sistem integrasi sensoris dan pengaktifan sistem feedforward pada strategi gerakan dengan menggunakan respon postural otomatis dimana efek dari pelatihan ini tidak dimiliki oleh Balance Strategy Exercise.
Pelatihan dynamic walking akan memberikan informasi kepada kanalis semisirkularis terkait perubahan posisi kepala. Pada kanalis semisirkularis cairan akan mengalir dari kanalis menuju ampula yang selanjutnya membelokkan kupula ke salah satu sisi.
Peristiwa ini menyebabkan terjadinya depolarisasi sel-sel rambut dan sinyal-sinyal yang sesuai dikirimkan melalui nervus vestibularis untuk memberitahu sistem saraf pusat mengenai perubahan perpuataran kepala dan kecepatan perubahan kepala.15
Sinyal diteruskan ke traktus vestibuloserebelar dan dijalarkan menuju lobus flokulonodular dan nukleus fastigial serebelum untuk dibawa ke region pontin batang otak.
Sinyal akan diolah menjadi sinyal motorik melalui traktus retikulospinal pontin dan traktus vestibulospinalis medialis dan lateralis dalam kolumna anterior medula spinalis dengan mengaktifkan otot-otot antigravitasi, yaitu: otot kolumna vertebra dan otot ekstensor batang tubuh.15
Sistem vestibuloserebelum berguna untuk mengatur keseimbangan antara kontraksi otot agonis dan otot antagonis pada punggung, pinggul, dan bahu sewaktu posisi tubuh berubah cepat seperti yang diperlukan oleh apparatus vestibular.
Salah satu masalah utama dalam pengaturan keseimbangan adalah jumlah waktu yang diperlukan untuk menjalarkan sinyal posisi dan kecepatan sinyal gerakan dari berbagai bagian tubuh ke otak. Oleh karena itu, sangat penting untuk otak mengetahui kapan harus menghentikan gerakan dan membentuk urutan gerakan selanjutnya.
Pelatihan stepping exercise dalam 12 balance exercise, akan mengaktifkan fungsi vestibuloserebelum yang berperan menghitung kecepatan gerakan selanjutnya dan pada arah apa berbagai bagian tubuh akan berada selama beberapa milidetik yang akan datang.
Hasil penghitungan ini adalah kunci untuk kemajuan otak bagi urutan gerak selanjutnya. Selama pengaturan keseimbangan diperkirakan bahwa informasi yang berasal dari bagian perifer tubuh maupun apparatus vestibular digunakan oleh sirkuit pengaturan umpan balik yang khusus guna menyediakan koreksi antisipasi sinyal motorik.
Koreksi antisipasi mengaktifkan feedforward mechanism untuk koreksi sikap yang diperlukan dalam menjaga keseimbangan sewaktu ada gerakan yang sangat cepat, termasuk perubahan arah gerakan yang cepat.15
Integrasi sensoris pada pelatihan 12 balance exercise dicapai melalui pelatihan eye tracking, dynamic walking, dan stepping exercise. Pada saat melakukan pelatihan eye tracking dan stepping exercise akan mengaktifkan vestibuloocular reflex.7
Pelatihan dynamic walking juga menimbulkan eksitasi pada apparatus vestibular dalam hal ini kanalis semisirkularis. Pelatihan stepping exercise memberikan tambahan informasi pada somatosensoris tubuh, sehingga tercapailah konsep integrasi sensoris dalam hal menjaga keseimbangan dinamis, yaitu: integrasi antara sistem visual, vestibular, dan somatosensoris.18
Pengoptimalan fungsi integrasi sensoris dan juga sensory reweighting pada pelatihan dengan menggunakan tantangan saat dynamic walking memberikan adaptasi pada sistem sensoris untuk membagi informasi tersebut.
Mekanisme yang terjadi dengan meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi postural.19
Pelatihan 12 balance exercise meningkatkan keseimbangan dinamis lansia di Banjar Bumi Shanti, melalui mekanisme peningkatan kekuatan otot postural yang menciptakan perbaikan pada limit of stability, respon otomatis postural melalui mekanisme feedback gerakan yaitu protektif dan korektif, meningkatkan kontrol dinamik, mengaktifkan sistem feedforward pada strategi gerakan, serta tercapai integrasi sensoris berupa sensory strategies dan sensory re-weighting.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wolf et al. (2001) yang menyatakan bahwa pelatihan 12 Balance Exercise dengan frekuensi 3 kali seminggu selama 5 minggu efektif dalam meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia setelah dievaluasi dengan menggunakan berg balance scale.
Hal ini dikarenakan pelatihan 12 balance exercise mampu mengoptimalkan interaksi sensoris antara sistem visual, vestibular, dan somatosensoris pada lansia usia 65 – 90 tahun.18
Pelatihan 12 Balance Exercise Lebih Meningkatkan Keseimbangan Dinamis daripada Balance Strategy Exercise
Rerata selisih nilai sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok kontrol dengan pelatihan balance strategy exercise yaitu 45,43 dan rerata selisih nilai sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok perlakuan dengan pelatihan 12 balance exercise yaitu 47,21.
Uji beda independent sample t-test menunjukkan selisih p=0,000 dimana p<0,05, maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan terhadap peningkatan keseimbangan dinamis lansia.
Persentase peningkatan rerata perubahan nilai keseimbangan dinamis pada kelompok perlakuan yaitu 6,78 % lebih besar daripada kelompok kontrol yaitu 2,58 %. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelatihan 12 balance exercise lebih baik daripada balance strategy exercise dalam meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia.
Pelatihan balance strategy exercise dan pelatihan 12 balance exercise memiliki kesamaan mekanisme dalam meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia dengan mempertahankan limit of stability, mengaktifkan sistem feedback pada movement strategies, serta meningkatkan dynamic stability.
Pelatihan 12 balance exercise memiliki kelebihan dalam meningkatkan keseimbangan dinamis sehingga menjadikan pelatihan ini lebih efektif daripada balance strategy exercise. Pelatihan 12 balance exercise mengaktifkan mekanisme feedforward pada strategi gerakan serta meningkatkan strategi sensoris berupa integrasi sensoris dan sensory re-weighting.14
Sistem vestibuloserebelum berguna untuk mengatur keseimbangan antara kontraksi otot agonis dan otot antagonis pada punggung, panggul, dan bahu sewaktu posisi tubuh berubah cepat seperti yang diperlukan oleh apparatus vestibular.
Pada pelatihan stepping exercise dalam 12 balance exercise akan mengaktifkan fungsi vestibuloserebelum yang berperan menghitung kecepatan gerakan selanjutnya dan pada arah apa berbagai bagian tubuh akan berada selama beberapa milidetik yang akan datang.
Hasil penghitungan ini adalah kunci untuk kemajuan otak bagi urutan gerak selanjutnya. Selama pengaturan keseimbangan diperkirakan bahwa informasi yang berasal dari bagian perifer tubuh maupun apparatus vestibular digunakan oleh sirkuit pengaturan umpan balik yang khusus guna menyediakan koreksi antisipasi sinyal motorik.
Koreksi antisipasi mengaktifkan feedforward mechanism untuk koreksi sikap yang diperlukan dalam menjaga keseimbangan sewaktu ada gerakan yang sangat cepat, termasuk perubahan arah gerakan yang cepat.15
Integrasi sensoris pada pelatihan 12 balance exercise dicapai melalui pelatihan eye tracking, dynamic walking, dan stepping exercise. Pada saat melakukan pelatihan eye tracking dan stepping exercise akan mengaktifkan vestibuloocular reflex.
Pelatihan stepping exercise juga menimbulkan eksitasi pada apparatus vestibular dalam hal ini kanalis semisirkularis, dan dynamic walking memberikan tambahan informasi pada somatosensoris tubuh, sehingga tercapailah konsep integrasi sensoris dalam hal menjaga keseimbangan dinamis, yaitu: integrasi antara sistem visual, vestibular, dan somatosensoris.18
Pengoptimalan fungsi integrasi sensoris dan juga sensory re-weighting pada pelatihan dengan menggunakan tantangan saat dynamic walking memberikan adaptasi pada sistem sensoris untuk membagi informasi tersebut dengan meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi postural.19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: (1). Pelatihan balance strategy exercise tiga kali dalam seminggu selama lima minggu meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia di Banjar Bumi Shanti yang dilihat dari rerata skor BBS 44,28 menjadi 45,43 atau sebesar 2,58%. (2).
Pelatihan 12 balance exercise tiga kali dalam seminggu selama lima minggu meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia di Banjar Bumi Shanti yang dilihat dari rerata skor BBS 44,21 menjadi 47,21 atau sebesar 6,78%. (3). Pelatihan 12 balance exercise tiga kali seminggu selama lima minggu lebih meningkatakan keseimbangan dinamis daripada pelatihan balance strategy exercise pada lansia di Banjar Bumi Shanti.
Saran
Saran yang direkomendasikan adalah pelatihan balance strategy exercise dan 12 balance exercise dapat dilakukan secara teratur dan terjadwal karena baru pertama kali dilakukan di Banjar Bumi Shanti, Desa Dauh Puri Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Selain itu, untuk menyempurnakan penelitian ini, maka penelitian-penelitian lanjutan pada masa yang akan datang menggunakan metode yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
1. British Columbia. 2004. Prevention of Falls and Injuries among the Elderly. Canada: Ministry of Health Planning, p 20 – 29
2. Rubenstein, L. dan Josephson, K. The epidemiology of falls and syncope. Clin Geriatr Med 2002;18:141-58.
3. Farabi, A. 2007. Hubungan Tes “Time Up and Go” dengan Frekuensi Jatuh Pasien Lanjut Usia. Semarang: Universitas Diponegoro
4. Colby, L. dan Kisner, C. 2007. Therapeutic Exercise. Philadelphia: davis Company, p 251 – 261
5. Horak, F.B. 2006. Postural Orientation and Equilibrium: What do We Need to Know About Neural Control of Balance to Prevent Falls?. Age and Ageing. 2: p 7-11
6. Sibley, K., Beauchamp, M., Ooteghem, K., Straus, S., dan Jaglal, S. 2015. Using the System Framework for Postural Control to Analyze the Components of Balance Evaluated in Standardized Balance Measures: A Scoping Review. American Congress of Rehabilitation Medicine. 96: p 122-132
7. Guccione, A. 2001. Geriatric Physical Therapy. USA: Harcourt Health Sciences Company, p 280 -285
8. Hyun, J. dan Kim, N. 2014. The Effects of Balance Training and Ankle Training on The Gait of Elderly People Who Have Fallen. PhysTherSci. 27: p 139 – 142
9. Wolf, B., Feys, H., Weerdt, W., Meer, J., Noom, M., dan Aufdemkampe, G. 2001. Effect of A Physical Therapeutic Intervention for Balance Problems in The Elderly: A Single-Blind, Randomized, Controlled Multicentre Trial. Netherlands: Department of Physical Therapy, Stichting Zorgcentrum Texel
10. Poccok, S. 2008. Clinical trials, John Wiley&Sons Ltd, England 15. Guyton, A. dan Hall, J. 2008. Fisiologi Kedokteran. Singapore: Elsevier
11. Thorbahn, B. dan Newton, R. 1996. Use the Berg Balance Test to Predict Falls in Elderly Person. Phys Ther. 76: p 576 – 785
12. Barnedh, I. 2006. Penilaian Keseimbangan Menggunakan Skala Keseimbangan Berg Pada Lansia di Kelompok Lansia Puskesmas Tebet. Jakarta: Universitas Indonesia
13. Steffen, T., Hacker, T.,dan Mollinger, L. 2002. Age and Gender-related Test Performance in Community-Dwelling Elderly People: Six Minute Walk Test, Berg Balance Scale, Timed Up & Go Test, and Gait Speeds. Journal Physical Therapy. Vol 82, 2
14. Squire, L., Berg, D., Bloom, F., Lac, S., Ghosh, A., dan Spitzer, N. 2008. Fundamental Neuroscience. Elsevier: USA
15. Guyton, A. dan Hall, J. 2008. Fisiologi Kedokteran. Singapore: Elsevier
16. Neumann, D. 2000. Kinesiology of the Musculoskeletal System: Foundation for Physical Rehabilitation. Mosby: USA
17. Willems, D.A. dan Vandervoort, A.A. 1996. Balance as a Contributing Factor to Gait Speed in Rehabilitation of the Elderly. Physiother Can 48: p 179 – 84
18. Hu dan Wollacott. 1994. Multisensory Training of Standing Balance in Older Adults: Postural Stability and One Leg Stance Balance. J. Gerontol. 49(2): p 52 -61
19. Peterka, R.J. 2002. Sensorimotor integration in human postural control. J Neurophys. 88: p 109-118.
Last Updated on 19 Agustus 2022