KEDUDUKAN VANUATU DALAM MEMBERIKAN INTERVENSITERHADAP SENGKETA KEMERDEKAAN INDONESIA MELALUI ORGANISASI PAPUA MERDEKA

  • Grace Hexa Christine Tampubolon Fakultas Hukum Universitas Udayana
  • Made Maharta Yasa

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang pengaturan intervensi dalam hukum internasional serta mengetahui dan menganalisis tentang kedudukan Vanuatu dalam memberikan intervensi terhadap Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM). Artikel ini tergolong metode penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa tidak terdapat pengaturan terkait intervensi dalam hukum internasional karena alasan prinsip Non-Intervention yang diatur dalam the Charter of United Nation (C.UN). Namun prinsip tersebut telah mengalami pergeseran dengan ditenggarai oleh dukungan Chapter VII (39-51) C.UN maka dibentuk ICIS- Kanada dengan maksud “the responsibilty to protect”.

Adapun kedudukan Vanuatu dalam memberikan intervensi terhadap Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai cacat hukum, mengingat tidak terdapat pengaturan hukum internasional yang mengakui adanya potensi untuk melaksanakan intervensi dari gerakan separatisme seperti  halnya OPM.

Kata Kunci: Vanuatu, Intervensi, Sengketa Kemerdekaan

ABSTRACT

This article aims to identify and analyze intervention arrangements in international law as well as to find out and analyze Vanuatu’s position in intervening against Indonesia through the Free Papua Organization (OPM). This article is classified as a normative legal research method that uses a statutory approach and a conceptual approach. Based on the results of the analysis, it is known that there are no regulations related to intervention in international law due to the principle of Non-Intervention which is regulated in the Charter of United Nation (C.UN). However, this principle has shifted with the support of Chapter VII (39-51) C.UN, so that ICIS-Canada was formed with the intention of “the responsibilty to protect”. As for Vanuatu’s position in intervening against Indonesia through the Free Papua Organization (OPM), it is considered legally flawed, considering that there are no international legal arrangements that recognize the potential to carry out interventions from separatist movements such as OPM.Keywords: Vanuatu, Intervention, Independence, Dispute

Downloads

Download data is not yet available.
Published
2021-05-28
How to Cite
TAMPUBOLON, Grace Hexa Christine; YASA, Made Maharta. KEDUDUKAN VANUATU DALAM MEMBERIKAN INTERVENSITERHADAP SENGKETA KEMERDEKAAN INDONESIA MELALUI ORGANISASI PAPUA MERDEKA. Kertha Desa, [S.l.], v. 9, n. 4, p. 1-11, may 2021. Available at: <https://jurnal.harianregional.com/index.php/kerthadesa/article/view/70791>. Date accessed: 29 july 2023.
Citation Formats
  • ABNT
  • APA
  • BibTeX
  • CBE
  • EndNote – EndNote format (Macintosh & Windows)
  • MLA
  • ProCite – RIS format (Macintosh & Windows)
  • RefWorks
  • Reference Manager – RIS format (Windows only)
  • Turabian
Issue
Vol 9 No 4 (2021)
Section
Articles

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Mempertahankan hubungan diplomatik antar negara bukan merupakan sebuah kewajiban semata, akan tetapi merupakan sebuah bentuk pewartaan akan eksistensi dari sebuah negara.1 Dalam kajian akademik, penilaian terhadap hubungan diplomatik telah memasuki era kontemporer yang memungkinkan setiap negara untuk dapat melakukan hubungan internasional.2 Secara konstitusional, Pasal 11 ayat (2) UUD NRI 1945 menjadi landasan pelaksanaan hubungan diplomatik dengan presiden sebagai pemegang fungsinya. Atribusi atas kewenangan tersebut telah memberikan landasan bahwa

“Presiden membuat perjanjian internasional, menyatakan perjanjian damai…”.

Meskipun disisi lain Presiden berperan sebagai lembaga eksekutif akan tetapi secara teoritik turut melaksanakan tugas layaknya diplomatif, eksekutif, yudikatif, legislatif dan militeris.3 Berkenaan dengan itu, Sen melalui a diplomat’s handbook of international law and practice telah mengungkapkan bahwa setiap negara merdeka memiliki “right of legation” serta turut berperan sebagai dokumen penting dalam urusan pemerintahan.4

Lebih lanjut, Sen menjelaskan bahwa setiap negara harus melangkah untuk mempertahankan hubungan diplomatik.5 Akan tetapi terdapat kelemahan pada karya ini, dimana hanya semata-mata menentukan dasar mengikatnya sebuah perjanjian internasional hanya jika memenuhi kualifikasi sebagai negara atau state actor yang memiliki full capacity of law. Pemerintah Indonesia sendiri telah mengupayakan berbagai solusi dalam hal mengembangkan hubungan diplomatik yang tidak hanya pada sektor pangan melainkan juga pada sektor pertahanan. United Nation merupakan salah satu wadah terselenggaranya hubungan diplomatik yang baik sesuai dengan panggilannya.

Chapter of United Nation and the Statue of International Court of Justice yang ditetapkan di San Francisco 1945 dalam 54 (lima puluh empat) halaman tersebut harus dihormati dan dipandang sebagai etika bagi masyarakat internasional.6 United Nations General Assembly 71th di New York, Amerika Serikat bukan merupakan awal mula perdebatan Vanuatu, Tuvalu, dan Kepulauan Salomon tentang kedudukan dari West Papua (Papua Barat) dengan Pemerintah NKR Indonesia.7

Perdebatan antara Indonesia dan ke-3 negara tersebut ditenggarai oleh motiv hak asasi manusia, ketimpangan pembangunan dan sentralitas pembangunan di Indonesia yang tidak turut mengagendakan Papua Barat, serta masalah kesejahteraan sosial di Papua.8 Perdebatan tersebut kemudian ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia melalui Nara Masista yang mendalilkan bahwa pendapat ke-3 negara tersebut tidak sejalan dengan agenda Sustainable Development Goal’s disamping beberapa kritik tegas yang diberikan oleh karena fakta palsu atas Papua Barat yang telah dilontarkan.9

Di tahun 2019, United Nation General Assembly’s 74th Session kembali menyuarakan status dari Papua Barat.10 Salomon Island dalam Dokumen PBB yang teregistrasi A74/PV.9 (p.59) dan berstatus sebagai Pasific Island Forum menyatakan peningkatan eskalasi pelanggaran HAM di Papua Barat, Tuvalu yang menilai bahwa United Nations perlu terlibat dalam masalah Papua Barat (Doc. A74/PV.11 (p.23). Pada 17 September 2019 Vanuatu yang tergabung dengan Kepulauan Salomon dalam “Pernyataan Bersama Vanuatu dan Kepulauan Solomon tentang situasi HAM di Papua Barat” pada 17 September 2019 pada Sidang Reguler ke-42 UNHRC mengungkapkan bahwa disamping kekecewaan terhadap penegakan HAM di Papua yang buruk, juga menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia seolah-olah menunda pelaksanaan eksekusi waktu pelaksanaan survey Eskalasi peningkatan HAM di Papua, Isu Rasial dan kebebasan HAM Papua Barat untuk berekspresi.11

Menyikapi persoalan demikian, Pemerintah Indonesia dengan tegas membantah pendapat ke-3 negara dengan asumsi adanya tindakan provokatif terhadap iklim sosial di Papua Barat. Baber dan Moiwend telah melalui University of Sydney Press telah menjelaskan tentang debat mengenai Papua Barat melalui sub “recent international context of the sovregeinty debate” telah memberikan peringatan kepada pemerintah Indonesia bahwa negara-negara akan ditantang oleh Indonesia dalam pengembangan Papua Barat yakni Amerika Serikat, Australia dan Belanda.12 Disamping itu, J. Saltford menjelaskan bahwa sengketa Papua Barat merupakan sebuah hasil perpanjangan dari sengketa Irian sejak tahun 1949.13 Menyikapi persoalan ini, beberapa ahli berspekulasi bahwa telah terdapat campur tangan dari ke-3 negara khususnya Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua Barat melalui kelompok separatisme yang dikenal dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).14

Mengenai state of the art. Bahwa di dalam proses penulisan artikel ini, ditemukan 1 buah artikel jurnal yang memiliki kemiripan dalam konteks isu hukum yang dibahas, yaitu Umal yang ditulis Bimbi Rianda, YusWari O Djemat, Angga NUrdin Rahmat dengan judul “Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Dukungan Republik Vanuatu atas Kemerdekaan Papua Barat Tahun 2015-2016”. Jurnal tersebtu lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai politik luar negeri Indonesia terhadap dukungan Republik Vanuatu untuk kemerdekaan Papua Barat 2015-2016.

Adapun unsur novelty yang sekaligus menjadi pembeda dari tulisan ini, yaitu pebahasan yang lebi terfokus pada pengaturan hukum tentang intervensi dalam konteks hukum internasional dan sekaligus membahas tentang kedudukan Vanuatu dalam memberikan intervensi terhadap Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka. Dengan demikian, maka artikel ini diberi judul: “Kedudukan Vanuatu dalam Memberikan Intervensi Terhadap Sengketa Kemerdekaan Indonesia Melalui Organisasi Papua Merdeka”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan 2 permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah pengaturan intervensi dalam hukum internasional?
  2. Bagaimanakah kedudukan Vanuatu dalam memberikan intervensi terhadap Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka?

1.3. Tujuan Penulisan

Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan artikel ini, antara lain:

  1. Untuk mengetahui dan menganlisis tentang pengaturan intervensi dalam hukum internasional.
  2. Untuk mengetahui dan menganlisis tentang kedudukan Vanuatu dalam memberikan intervensi terhadap Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka.

2. Metode Penelitian

Artikel ini tergolong penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum dalam artikel ini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang- undangan, bahan hukum sekunder adalah literatur atau karya ilmiah terpublikasi, berepurtasi di Indonesia, dan bahan hukum tersier berupa berita-berita yang bersumber dari media online. zSeluruh bahan hukum dikumpulkan dengan teknik studi dokumen dan selanjutnya dianlisis dengan teknik kualitatif.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Pengaturan Intervensi dalam Hukum Internasional

Dalam kedudukannya bahwa hukum internasional merupakan sebuah produk ekstra-juris, maka jelas adanya bahwa terdapat perbedaan sifat mengikatnya hukum internasional yang lazimnya diistilahkan dengan co-operatif.15 Jurnal Kertha Negara yang disusun oleh Manubulu dan K. Pradnya Sudibya menjelaskan bahwa terdapat perbedaan atas konotasi “sifat pelaksanaan” dari sebuah produk hukum pada setiap jenjangnya.16 Pengistilahan akan bentuk baku dari “intervensi” sendiri tidak secara mutakhir ditetapkan dalam aturan hukum nasional di Indonesia, bahkan jika menilik dari kasus withdrawal of United States of America17 dari Joint Comprehensive Plan of Action yang dibentuk dengan keanggotaan U.S.A, U.K, Rusia Federation, China Republic, dan German, bersamaan dengan Iran tentang pembatasan aktifitas Nuklir sejatinya menunjukan bahwa diperlukan kejelasan atas mengikatnya produk hukum internasional itu sendiri.

Disamping itu, sengketa yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia dikarenakan adanya “persinggungan zona ekonomi ekslusif (ZEE)” yang berimplikasi pada Ligitan dan Simpadan turut menjadi argumentasi hukum yang mendorong perlunya kejelasan atas status hukum internasional.18 Ini dikarenakan oleh sikap Pemerintah Indonesia yang memberikan ijin pada perusahaan swasta pertambangan minyak Amerika bernama UNOC untuk tetap melaksanakan aktifitas pertambangan di wilayah yang telah dimenangkan oleh Malaysia pada skala International Court of Justice.19

Berkenaan dengan intervensi, the Charter of United Nation telah menetapkan kandungan “nonintervention” sebagai jus cogen. Pemaknaan ini didorong oleh pertimbangan akan “the state teritorial integrity of a state principles”.20 Lebih lanjut Article 2 verse 4 Charter of United Nation (selanjutnya disebut C.UN) menjadi landasan non intervention yang dilaksanakan oleh setiap negara.21 Akan tetapi prinsip ini telah bergeser semisalpun kedudukannya sebagai jus cogen, ini dikecualikan pada persoalan-persoalan yang relevan dengan pelanggaran HAM.22 Jika dimaknai secara mendalam, penjatuhan intervensi menjadi wajar apabila dilaksanakan dengan alasan “the others state” tidak dapat menjamin atau mempertahankan keselamatan dan keamanan dari warga negara dari tindak kriminal.

Ditenggarai oleh alasan ini, maka dibentuk International Commission on Intervention and State Soverignty (ICIS) tahun 2001 di Kanada. Di tahun yang sama, ICIS menetapkan sebuah laporan yang menjadi acuan dalam memaknai frasa “the responsibility to protect” yang diatur dalam Chapter VII C.UN.23 Halaman ke 8 dari Report tersebut telah menjelaskan “scope of the consept” yang mengacu pada “the meaning of intervention” dalam butir [1.37] yang memaknai pemberian intervensi yang mencakup penggunaan fasilitas militer, serta [1.38] bahwa intervensi ditenggarai oleh alasan “for the purpose which are claimed to be humanitarian or protective”.24 Penjelasan terkait Humanitarian Intervention sendiri diuraikan dalam butir [1.39-1.41].

Memaknai legal standing tersebut maka tulisan ini mencapai tingkat kejelasan akan landasan intervensi. Sementara itu, Jyoti Rattan dalam Journal of Sage menjelaskan bahwa terdapat beberapa bentuk intervensi yang dapat dilaksanakan dalam rangka “the responsibility to protect” diantaranya i. Intervensi Langsung (Direct intervention) yang terdiri dari (1) Military Intervention atau (2) Intervention by Forcible atau dictatorial means.25 Serta ii. Indirect Intervention atau Intervensi tidak langsung yang meliputi (1) Subversive intervention yang mengacu pada tindakan negara lain untuk memberikan efek terhadap negara lain, (2) Ecconomic intervention/Coercion melalui penjatuhan sanksi embargo, boikot perdagangan atau shipping, serta menolak akses darat dan laut, (3) Diplomatic Intervention yang dapat ditempuh dalam berbagai formasi termasuk dengan menyatakan permusuhan dengan negara lain.26

Disisi lain, intervensi sendiri dapat diberikan dari United Nation ataupun State melalui i. Collective intervention yang terdiri dari collective intervention on humanitarian ground, unilateral intervention on humanitarian ground, collective intervention on ground of civil war, collective intervention on ground of catasthropes; ii. State intervention melalui ground intervention of self-defense, atau anticipatory or pre-empative self defense.27 Serta iii. Traditional intervention melalui intervention to eliminate exciting government in a state: Bush Doctrine.28

Dalam kaitannya dengan itu, pokok bahasan ini kemudian mengarah pada kedudukan dari Organisasi Papua Merdeka yang merupakan kelompok separatisme dalam perannya sebagai Non-State Actor’s (NSAs). ICIS tidak secara spesifik menjelaskan peran dari NSAs untuk disertakan dalam melakukan intervensi terhadap sebuah negara. Meskipun demikian, sumber yang menjelaskan keterlibatan NSAs dalam memberikan intervensi terhadap negara seperti halnya kasus Houthis, Yamen dalam statusnya sebagai larger parts of Yamen mendeklarasikan intervensi terhadap Saudi-Led sangat terbatas.29 Bahkan jika meninjau lebih dalam, analisis NSAs dalam memberikan intervensi tersebut hanya dalam kondisi ketika negara absent dalam memberikan intervensi, bukan diletakan pada status dari NSAs dalam memberikan intervensi secara internasional.30 Federica P dalam Leiden Journal of International Law juga telah menjelaskan bahwa melakukan intervensi terhadan NSAs merupakan “precluding wrongfulness of self-defense”.31

Dengan demikian, maka analisis ini berujung pada sebuah simpulan bahwa pada faktanya telah bergesernya dinamika non-intervention yang diatur dalam Article 4(2) C.UN, dengan ditenggarai oleh dukungan Chapter VII (39-51) C.UN maka dibentuk ICIS-Kanada dengan maksud “the responsibilty to protect” akan tetapi tidak terdapat pengaturan yang mengatur NSAs untuk dapat terlibat dalam memberikan intervensi atau menjadi wadah intervensi itu sendiri.

3.2 Kedudukan Vanuatu Dalam Memberikan IntervensiTerhadap Indonesia Melalui Organisasi Papua Merdeka

Sejalan dengan pemahaman yang diuraikan dalam analisis sebelumnya, pemberian intervensi dimungkinkan untuk dilaksanakan oleh Negara ataupun Organisasi Internasional layaknya PBB dalam sebuah pola koalisi. Kedudukan dari Vanuatu sendiri ialah sebagai Negara (state actor) yang secara teoritik memegang peranan “full capacity of law”.32 Jika sebelumnya telah diuraikan keabsahan dari pemberian intervensi, maka pada sub ini hendak menguraikan terkait arah dari intervensi yang diberikan oleh Asian Pasific Forum melalui Vanuatu yang tidak hanya diberikan kepada Pemerintah Indonesia melainkan turut melibatkan Gerakan Separatisme yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai wadah intervensi.

Pada faktanya, Vanuatu memberikan 3 (tiga) alasan pokok yang mendorong perlunya untuk memperhatikan kondisi di Papua Barat, salah satunya ialah adanya latarbekalang keturunan yang sama yakni Melanesia dengan masyarakat Papua Barat. Akan tetapi wadah intervensi tersebut bukan merupakan pilihan yang tepat, ini dikarenakan OPM dalam citra Indonesia bukan merupakan organisasi yang beradab.

Persoalannya, OPM sering memicu peperangan di wilayah perbatasan Indonesia dengan menggunakan senjata dan kekerasan yang tidak hanya dilakukan terhadap TNI akan tetapi masyarakat secara umum. Meskipun terdapat penurunan eskalasi kekerasan oleh OPM akan tetapi tindakan tersebut dinilai cukup meresahkan warga. Pada 29 Juli 2020, OPM juga melakukan penembakan diikuti dengan mutilasi Jenazah di kampung Megataga.33

Hal yang tidak dapat dikesampingkan dalam kondisi ialah kedudukan OPM sebagai sebuah organisasi ataupun kelompok masyarakat yang tergabung berdasarkan latarbelakang visi maupun misi yang sama. Dalam ketentuan intervensi sebagaimana diuraikan dalam pembahasan ini, pemberian intervensi dapat saja diberikan namun tidak menjadikan organisasi sebagai wadah melainkan langsung kepada negara yang merupakan otoritas pemegang fungsi kritis pemerintahan dalam sebuah wilayah.

Layaknya kasus di Papua Barat, seharusnya Pemerintah Indonesia menjadi tokoh yang diintervensi langsung oleh negara tersebut dan bukan melalui organisasi. Pada faktanya, uraian persoalan ini merupakan sebuah penjelmaan dari prinsip missing link yang memungkinkan Pengadilan untuk menolak sebuah gugatan atas dasar kesalahan dalam penetapan aktor perkara.

Sehubungan dengan itu, journal of intervention and statebuilding memberikan jawaban bahwa “legal, institutional and political parameters delimit the capacity of IGOs to conduct post-war peacebuildings in a comprehensive manner”.34 Akan tetapi, jurnal tersebut menjelaskan konteks ketika OPM merupakan sebuah organisasi internasional yang hendak mengintervensi pemerintah Indonesia.

Di sisi lain, OPM sendiri merupakan sebuah organisasi pembebasan yang dibentuk di Indonesia dengan maksud untuk melindungi dan melepaskan sebagian wilayah Papua melalui tindakan anarkis seperti halnya pembunuhan, mutilasi, penyekapan, penyerangan dengan target yang tidak jelas. Jika meninjau dari persoalan ini maka layak bagi Pasific Forum yang seharusnya memberikan intervensi, bukan OPM.

Secara hukum, penilaian atas tindakan pasific forum melalui Pendanaan, suplay dll terhadap aktifitas gerakan separatif merupakan sebuah tindakan yang perlu dipertimbangkan kembali. Pada akhirnya, analisis ini bermuara pada simpulan bahwa adanya tindakan yang tidak tepat sasaran dalam melaksanakan intervensi yang dilakukan oleh Asia Pasific Forum melalui OPM yang kedudukannya hanya sebagai sebuah gerakan separatisme di Indonesia.

4. Kesimpulan

Berdasarkan urian dalam sub hasil dan pembahasan, diketahui bahwa tidak terdapat pengaturan terkait intervensi dalam hukum internasional karena alasan prinsip Non-Intervention yang diatur dalam the Charter of United Nation (C.UN). Namun prinsip tersebut telah mengalami pergeseran dengan ditenggarai oleh dukungan Chapter VII (39-51) C.UN maka dibentuk ICIS- Kanada dengan maksud “the responsibilty to protect”. Adapun kedudukan Vanuatu dalam memberikan intervensi terhadap Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai cacat hukum, mengingat tidak terdapat pengaturan hukum internasional yang mengakui adanya potensi untuk melaksanakan intervensi dari gerakan separatisme seperti halnya OPM.

Bertolak dari hasil temuan dalam peneltian, maka diharapkan agar dibuat peraturan-peraturan internasional yang mendasari adanya pemberian intervensi terhadap sebuah negara dengan tetap mengakui kedaulatan dari negara lain. Selain itu, diharapkan agar Asia Pasific Forum untuk melaksanakan re-konsiderasi terhadap keputusan memberikan intervensi terhadap pemerintah Indonesia melalui OPM.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
ICJS, The Responsibility to Protect, Report of The International Commission on Intervention and State SOvereignty (Canada, 2001).

King, Peter, Jim Elmslie, and Camellia Webb-Gannon. Comprehending West Papua. (Sydney: University of Sydney, 2011).

Meijer, J. F. J. Saltford, The United Nations and the Indonesian takeover of West Papua, 19621969. The anatomy of betrayal.BMGN – Low Countries Historical Review, First Publ (London: RoutledgeCurzon is an imprint ofthe Taylor & Francis Group, 2003 (2005).

Jurnal
Brosnan, Liz, and Eilionoir Flynn. “Freedom to Negotiate: A Proposal Extricating Capacity from Consent.” Int’l JL Context 13 (2017).

Fadhilah, Muhammad. “Inkonsistensi Kebijakan Luar Negeri Melanesia Spearhead Group (MSG) dalam Isu Papua Barat: Studi Kasus Fiji dan Papua Nugini.” Indonesian Perspective 4, no.1(2019).

Hematang, Felani Angela Rosalia, Rodon Pedrason, and Bambang Wahyudi. “Diplomasi Pertahanan Indonesia Di Negara Kawasan Pasifik Selatan Terkait Internasionalisasi Separatisme Papua Guna Menjaga Kedaulatan Indonesia.” Diplomasi Pertahanan 5, no. 2 (2019).

Manubulu, Isakh Benyamin, and Komang Pradnya Sudibya. “Analisis Kontekstualitas Komunikasi Politik Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia Tahun 2019 Dari Perspektif Hukum Tata Negara.” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum (2018).

Nainggolan, Poltok Portogi. “Aktivitas Internasional Gerakan Separatisme Papua International Activities of Papua Separatist Movement.” Jurnal Kajian 19, no. 3 (2014)

Nurika, Rizki Rahmadini. “Peran Globalisasi di Balik Munculnya Tantangan Baru Bagi Diplomasi di Era Kontemporer.” Jurnal Sosial Politik 3, no.1(2017).

Paddeu, Federica I. “Use of force against non-state actors and the circumstance precluding wrongfulness of self-defence.” LJIL 30 (2017).
Purnami, Ni Putu Intan, Putu Tuni Cakabawa Landra, and AA Sri Utari. “Tinjauan Hukum Laut Internasional Mengenai Tanggungjawab Terkait Pencemaran Lingkungan Akibat Tumpahan Minyak Di Wilayah Tumpang Tindih Zona Ekonomi Eksklusif Antara Indonesia Dan Malaysia Yang Terletak Di Perairan Selat Malaka.” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum:1-15.

Rattan, Jyoti. “Changing Dimensions of Intervention Under International Law: A Critical Analysis.” SAGE Open 9, no. 2 (2019).

Sabir, Ahmad. “Diplomasi Publik Indonesia terhadap Vanuatu dalam Upaya Membendung Gerakan Separatisme Papua.” Jurnal Hubungan Internasional11, no.1(2018)
Tzimas, Themis. “Self-Defense by Non-State Actors in States of Fragmented Authority.” Journal of Conflict and Security Law 24, no. 2 (2019).

Warnecke, Andrea. “Can Intergovernmental Organizations Be Peacebuilders in IntraState War?.” Journal of Intervention and StatebUiIding 14, no. 5 (2020).
Wicaksana, I and I. Gede Wahyu. “Teori Hubungan Internasional Relevan! Kritik terhadap Kritik.” Global & Strategis 7, no. 2 (2013)

JH A. Irawan, and Giandi Kartasasmita. “Diplomasi Komersial Indonesia ke Belanda Masa Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-
2014).” Research Report-Humanities and Social Science 2 (2015).
Internet

Perdebatan awal yang terlaksana antara ke-3 negara dengan Indonesia telah berawal dari tahun 2013 melalui UN General Assembly’s 68st tanggal 28 September 2013 di New York yang dapat diakses dari
https://gadebate.un.org/en/68/vanuatu18th Meeting, 36th ReguIar SeSSiOn Human Rights Council delivered by Mr. Barrett Salato.
International Debate on West Papua’
<https://www.humanrightspapua.org/resources/210-international-debate-on-west-papua> [accessed 4 August 2020].1Diserang Soal Papua Di PBB, Diplomat Muda Indonesia Balas Para Pemimpin Negara Pasifik Halaman All -Kompas.Com’ <https://internasional.kompas.com/read/2016/09/28/21331181/diserang.soa l.papua.di.pbb.diplomat.muda.indonesia.balas.para.pemimpin.negara.pasifik?p age=all> [accessed 4 August 2020].

‘Consequences of the U.S. Withdrawal from the JCPOA’, Belfer Center for Science and International Affairs <https://www.belfercenter.org/event/consequences-us-withdrawal-jcpoa> [accessed 20 July 2020].
‘Intervention – Research Guide International Law | Peace Palace Library’ <//www.peacepalacelibrary. nl/research-guides/war-and-peace/intervention/> [accessed 5 August 2020].
‘Beredar Isu OPM Bunuh 17 Aparat Keamanan Indonesia, Polda Papua: Itu Hoaks -Kumparan.Com’ <https://kumparan.com/bumi-papua/beredar-isu-opm- bunuh-17-aparat-keamanan-indonesia-polda-papua-itu-hoaks-1syqIzua3zw> [accessed 13 August 2020].

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sumber lainnya

International Court of Justice, and United Nations. Department of Public Information. Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice. No. 67. Department of Public Information, 1948.ARTER OF THE UNITED NATIONS (SAN FRANCISCO: www.un.org, 1945).
Sen, B. “Establishment and Conduct of Diplomatic Relations.” In A Diplomat’s Handbook of International Law and Practice, Springer, Dordrecht, 1965.

Terakhir Di Perbaharui Pada

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.