Fungsi dan Makna Simbolis Pohon Beringin dalam Kehidupan Masyarakat Bali

Avatar of jurnal
Pohon Beringin

Abstract

Balinese people seem to realize that their existence in this world has a high dependence on nature as a buffer of life. One of the natural elements, especially trees that are very functional in the life of Balinese people, is banyan (beringin). Beringin, which is referred to as the waringin, wandira, and grodha agung, is preserved in almost all customary villages in Bali. Recognizing the importance of banyan trees in Balinese life, this study aims to analyze two problems related to banyan trees from the perspective of their functions and meanings. Qualitative methods are applied and data is analyzed by discourse theory. The results show that banyan trees are used as a means of yadnya ceremonies in Bali and are useful for curing various diseases, both caused by naturalistic (sakala) and personalistic causes (niskala). Symbolically the use of banyan in a pitra yadnya ceremony in Bali is interpreted as a means of purification to improve the quality of the ancestral spirit in the process of unification with the gods.

Keywords: banyan tree, ceremony facility, treatment, purification

Abstrak

Masyarakat Bali tampak menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Salah satu unsur alam khususnya pohon yang sangat fungsional dalam kehidupan masyarakat Bali adalah beringin. Beringin yang disebut dengan istilah waringin, wandira, dan grodha agung dijaga kelangsungan hidupnya hampir di seluruh Desa Pakraman di Bali. Menyadari pentingnya pohon beringin dalam kehidupan masyarakat Bali,penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dua masalah yang berkaitan dengan pohon beringin dari perspektif fungsi dan maknanya. Metode kualitatif diterapkan dan data dianalisis dengan teori wacana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon beringin digunakan sebagai sarana upacara yadnya di Bali dan bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, baik yang disebabkan oleh kausa naturalistik (sakala) maupun personalistik (niskala). Secara simbolis pemanfaatan beringin dalam upacara pitra yadnya di Bali dimaknai sebagai sarana penyucian untuk meningkatkan kualitas roh leluhur dalam proses pemanunggalan dengan para dewa.

Kata kunci: pohon beringin, sarana upacara, pengobatan, penyucian

Pendahuluan

Di tengah-tengah krisis lingkungan yang mengancam umat manusia di berbagai belahan dunia, filosofi Vasudhaiva Kutumbakam (kita semua bersaudara) yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di bumi ini tampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Oleh sebab itulah dalam bait-bait puja Tri Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia.

Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat kaitannya dengan ritual di Bali.

Berdasarkan lontar Sundarigama, upacara khusus yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan terhadap alam khususnya tumbuhan disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Panguduh.

Pada hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara karena beliaulahDewa yang menumbuh suburkan segala yang tumbuh seperti pepohonan (Tim Penyusun, 2007: 25).

Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengan tumbuhan karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian bahkan urip ‘jiwa’ dari tumbuhan. Bagian-bagian tumbuhan itulah yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan), pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya.

Salah satu unsur alam khususnya pohon yang fungsional dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat Bali adalah beringin (Ficus Benjamina). Beringin yang dalam pustaka lontar Dasa Nama[1] disebut dengan istilah waringin, wandira, grodha agung, murcitabra, gugro, dan tandaka dijaga kelangsungan hidupnya hampir di seluruh Desa Pakraman di Bali.

Pohon beringin tersebut secara umum memang tumbuh di kawasan-kawasan yang diyakini memiliki nilai kesucian oleh masyarakat Bali seperti lingkungan pura dan kuburan. Karena tumbuh di lingkungan seperti itu, pohon beringin juga identik dengan pohon yang sakral. Tidak sembarang orang dapat menebang pohon beringin, terlebih pada hari-hari yang tidak sesuai dengan dewasa ayu atau hari baik serta sarana upacara yang tertentu pula.

Penebangan pohon beringin di Rumah Jabatan Guberur Bali (Jayasabha) oleh petugas kebersihan di tempat itu pada bulan November tahun 2016 lalu menimbulkan polemik. Polemik tersebut muncul karena masyarakat sekitar tidak bisa lagi memanfaatkan beringin yang tumbuh di Jayasabha sebagai bagian dari sarana ritual atma wedhana setelah pohonnya ditebang (bagian dari upacara kematian) (diunduh dari berita on line Republika, Rabu 23 November 2016).

Masyarakat yang secara turun temurun menggunakan pohon beringin di Jayasabha untuk ritual nganggetdon bingin ‘memetik daun beringin’ tidak lagi bisa memanfaatkan pohon tersebut untuk upacara yadnya.

Oleh karena itu, sejumlah warga masyarakat sempat melakukan protes yang diekspresikan di media sosial. Protes tersebut berbuntut pada pelaporan ke pihak berwajib akibat ketersinggungan pihak lain.

Kasus di atas menunjukkan interaksi, interelasi, dan interde­pendensi masyarakat Bali dengan pohon beringin yang tinggi teru­tama untuk kebutuhan upacara yadnya. Di samping itu, penelusuran yang dilakukan terhadap sejumlah pustaka lontar Bali menunjukkan bahwa beringin juga berfungsi untuk mengobati sejumlah penyakit.

Dalam buku yang ditulis oleh Nala (1992: 226) berjudul Usada Bali fungsi, pohon beringin hanya disinggung sebagai obat untuk men­gobati penyakit wandu atau lemah syahwat/impotensia. Padahal se­jumlah pustaka lain juga menjelaskan khasiat pohon beringin.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa penelitian terhadap pohon ber­ingin dari aspek fungsi dan maknanya belum banyak dilakukan. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, tulisan ini berkonsentrasi untuk membahas tiga hal yaitu

  1. perlindungan pohon beringin pada prasasti-prasasti Bali Kuno,
  2. mendalami fungsi pohon beringin sebagai sarana upacara dan pengobatan, serta
  3. membedah makna simbolis pohon beringin yang banyak digunakan sebagai sarana upacara.

Sumber data yang digunakan untuk melakukan penelitian terhadap perlindungan pohon beringin dari aspek historis adalah prasasti-prasasti Bali pada masa Bali Kuno abad IX-XI (Ardika dan Sutjiati Beratha, 1998). Sementara itu, untuk mendalami fungsi pohon beringin sebagai sarana upacara dan pengobatan digunakan sejumlah pustaka lontar seperti Sundarigama (makna filosofis pelaksanaan upacara di Bali), Dasa Nama (sejenis kamus sinonim), Usada Taru Pramana (sistem pengetahuan tentang pengobatan berbasis tanaman obat), Dharma Usada (sistem pengetahuan tentang berbagai cara mengobati penyakit termasuk etika seorang pengobat tradisional), Usada Cukil Daki (sistem pengetahuan tentang penyakit dalam), Usada Kacacar (sistem pengetahuan tentang cara mengobati sakit kecacar), dan Usada Rare (sistem pengetahuan tentang jenis penyakit yang diderita anak-anak dan cara mengobatinya).

Informasi tekstual itu juga dilengkapi dengan melakukan wawancara mendalam dengan seorang pendeta yang biasanya bertugas menyelesaikan (puput) upacara.[2] Pendeta yang dipilih untuk diwawancarai dalam penelitian adalah Ida Padanda Wayahan Tianyar. Beliau berasal dari Desa Sibetan Karangasem yang banyak bergelut dengan dunia pernaskahan dan telah menerjemahan karya sastra kakawin di Bali, seperti Kakawin Ramayana, Kakawin Bharata Yuddha, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Sutasoma. Dengan latar belakang tersebut, Ida Padanda Wayahan Tianyar diyakini dapat membantu memberikan informasi mengenai fungsi dan makna pohon beringin dalam kehidupan masyarakat Bali.

Di sisi lain, untuk menggali makna simbolis dari pohon beringin digunakan referensi berupa lontar Siwagama yang banyak membahas aspek tatwa, susila, dan acara dalam kehidupan beragama Hindu di Bali. Secara keseluruhan landasan teoretis yang digunakan untuk membahas ketiga masalah tersebut adalah teori semiotik. Teori semiotik yang diterapkan secara lebih khusus adalah teori semiotik yang dikembangkan oleh Peirce (1986) yang populer dengan sebutan semiotik pragmatis.

Dalam pandangan kaum pragmatisme, pemerolehan makna dari suatu tanda tersebut mengalami proses. Pertama-tama tanda berwujud hal yang konkret (dapat ditangkap oleh indra manusia) disebut dengan representamen. Kedua, tanda tersebut diasumsikan mewakili sesuatu dalam kognisi manusia, disebut dengan object. Hubungan antara proses pertama dan ke dua ini disebut dengan proses semiosis.

Kedua proses di atas dilanjutkan dengan proses yang ke tiga yaitu penafsiran, disebut dengan interpretan. Secara garis besar cara untuk memperoleh makna dari suatu tanda didapatkan dengan tiga tahapan proses semiosis, dari yang konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat.

Karena mengaitkan tiga segi dalam pemerolehan makna yaitu representamen, object, dan interpretan yang terjadi dalam proses semiosis, maka teori semiotik ini disebut bersifat trikotomis (Christomy, 2011: 128). Pemilihan teori tersebut relevan denganobjek kajian penelitian ini yang bersumber dari teks-teks yang termuat dalam pustaka lontar.

Perlindungan Beringin dalam Teks-Teks Prasasti Bali Kuno

Teks-teks prasasti yang terbit pada masa Bali Kuno sekitar abad IX-XI seperti Prasasti Tengkulak, Dausa Pura Bukit Indrakila, dan Prasasti Cintamani menunjukkan bahwa pohon beringin telah disebut-sebut sebagai salah satu tanaman yang dilindungi pada masa itu.

Prasasti-prasasti itu menunjukkan adanya sejumlah pohon yang disebut dengan kayu larangan. Kayu Larangan merupakan istilah untuk menyebutkan sejumlah pohoh yang dilarang untuk ditebang, kecuali dengan alasan-asalan tertentu. Pohon-pohon tersebut terutama adalah jenis pohon kemiri ‘kemiri’, bodhi ‘pohon bodi’, sekar kuniη zsekar kuning’, wariηin ‘beringin’, puntaya ‘puntaya’, mendeη zmendeng’, kamalagi zpohon asam’, jeruk zjeruk’, wunut ‘pohon bunut’, dan ano ‘pohon enau’.

Prasasti Tengkulak yang diterbitkan oleh Raja Marakata berangka tahun 945 Saka atau 1023 Masehi menyatakan sejumlah kayu yang termasuk kayu larangan dalam konteks berikut ini.

Dadya ngrugakna kamiri, boddhi, waringin, skar kuning, mende, jirek, kumukus, kapulaga, hano, wungkudu, sakwehning kayu larangan yan katngahana kalinya angebi sawah umah pahoman makading tirisan (Prasasti Tengkulak A: 945 Saka).

Terjemahan.

Diperbolehkan menebang pohon kemiri, bodi, beringi, sekar kuning, mende, jirek, kumukus, kapulaga, enau, wungkudu, semua jenis kayu larangan, jika (tumbuh) di tengah kalinya menutupi sawah, rumah/tempat persajian, terutama pohon kelapa.

Prasasti di atas menyebutkan kebijakan untuk menebang kayu larangan apabila tumbuh serta menghalangi sungai, rumah, dan tempat persajian. Dari konteks tersebut dapat diasumsikan bahwa jika tidak menghalangi sejumlah kawasan itu, dapat dipastikan tanaman-tanaman yang termasuk dalam kayu larangan tidak dapat ditebang secara sembarangan.

Untuk memastikan kayu larangantetap lestari, dalam artian tidak ditebang secara liar oleh masyarakat maka raja menunjuk pejabat yang bernama Hulu Kayu. Pejabat Hulu Kayu yang mengurus bidang kehutanan pada masa Bali Kuno tersirat dalam Prasasti Bebetin. Lebih lanjut prasasti Bebetin menguraikan bahwa, apabila Hulu Kayu menugaskan seorang pesuruh ke tempat suatu tempat, maka masyarakat membayar 4 masaka mas kepadanya setiap tahun.

Mereka juga dikenai pajak pasuk halas 6 masaka mas. Leksikon pasuk alas barangkali juga merefleksikan bentuk pajak yang dikenakan kepada penduduk yang hendak pergi ke hutan atau membangun tempat tinggal di hutan.

Goris (1974: 21) menyatakan bahwa Hulu Kayu dapat disamakan dengan penyuluh kehutanan. Goris (1974: 21) juga menjelaskan bahwa pembentukan jabatan Hulu Kayu disebabkan oleh adanya suatu masalah hukum pada wilayah atau dharma kerajaan dan tanah perburuan.

Seringkali tanah yang belum dibuka khususnya yang terletak di antara dua desa, atau tanah yang di atasnya didirikan biara menimbulkan kesulitan-kesulitan pada saat jumlah penduduk bertambah. Hal ini misalnya terjadi pada masa pemerintahan Dharmawangsa Udayana pada tahun 1025 Masehi tatkala raja menjual tanah perburuan kepada Desa Buahan.

Penjualan tanah tersebut dilatarbelakangi oleh keluhan warga yang tidak mempunyai cukup tanah untuk pertanian, padang rumput untuk sapi-sapi mereka, dan kayu untuk pertukangan. Dengan demikian, raja memberikan kebijakan pada masyarakat dengan menjual sebidang tanah perburuan (Goris, 1971: 22).

Melalui jabatan Hulu Kayu dan Kayu Larangan tersebut dapat diketahui sistem yang diterapkan pada masa Bali Kuno untuk mengatur regulasi pemanfaatan hutan, khususnya pohon- pohon tertentu seperti beringin. Dengan merefleksi pada aturan dan petugas khusus tersebut, dapat dimaknai pula adanya kearifan ekologis yang telah dirancang oleh raja dalam melakukan perlindungan terhadap pohon beringin secara khusus dan hutan dalam konteks lebih umum.

Prasasti-prasasti pada masa Bali Kuno tidak menjelaskan dengan lebih rinci mengenai alasan yang menyebabkan pohon beringin dimasukkan dalam jenis pohonlarangan. Akan tetapi, penjelasan mengenai fungsi pohon beringin sebagai sarana upacara dan pusparagam pengobatan di bawah ini akan meyakinkan kita bahwa pohon beringin baik di hulu masa lalu, maupun hilir masa kini memang sudah sepantasnya dimasukkan dalam kayu larangan.

Fungsi Beringin dalam Upacara Yadnya

Di antara klasifikasi upacara yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu, Yadnya di Bali biasanya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri atas Bhuta, Manusa, Pitra, Resi, dan Dewa Yadnya. Yadnya yang berpusat pada lima unsur alam [Panca Maha Bhuta] disebut dengan Bhuta Yadnya. Yadnya ini mendahului yadnya lainnya.

Secara tradisi, Manusa Yadnya ditafsirkan kewajiban orang tua mengupacarai anaknya dari lahir hingga potong gigi dan kawin, demikian pula kewajiban anak adalah mengupacarai orang tua ketika mereka meninggal. Kepada Resi bentuk yadnyanya adalah punia. Upacara kepada Dewa disebut dengan Dewa Yadnya. Kelima yadnya ini berangkat dari konsep Tri Rna [Tiga Hutang] (Palguna, 2008: 89-90).

Beringin memiliki peran vital dalam upacara Pitra Yadnya khususnya upacara Ngaben. Peran vital tersebut secara lebih spesifik dilakukan pada saat rangkaian upacara yang disebut dengan mamukur. Memukur adalah penyucian atma agar terlepas dari badan halusnya (suksma sarira) berupa sifat- sifat manusia dan keinginannya sehingga bisa menyatu dengan Sang Pencipta menjadi dewa pitara (roh suci)[3].

Untuk kelengkapan upacara Mukur yang nantinya digunakan dalam upacara pengajuman, maka dilakukan ngangget daun bingin sebagai sarana untuk mewujudkan prakerti sang pitara dalam bentuk puspa lingga. Adapun sarana upakara yang diperlukan dalam ngangget daun bingin berupa daksina gede, suci, pras pangambeyan, soroan, caru eka sata, sodan, prayascita, durmanggala, pangulapan, eteh- eteh madatengan, mamendak, salaran, canang oyodan, dan segehan.

Sedangkan perlengkapan untuk nganget terdiri dari galah yang terbuat dari bambu gading berisi pisau, tikar plasa yang di atasnya berisi kain putih (kasa), serta bokoran untuk tempat daun bingin (Tim Penyusun, 2000: 133).

Sebelum upacara ngangget don bingin (memetik daun beringin) dilakukan, pertama-tama seorang pendeta bertugas untuk menghaturkan sesajen atau banten (ngwekasang banten). Sesajen yang dihaturkan pada pohon beringin (pelinggihnya) berupa suci asoroh memakai ulam bebek, pras, sodan, daksina, dan rantasan (Tim Penyusun, 2000: 133).

Setelah seluruh banten dipersembahkan kepada Dewa Sangkara yang diyakini sebagai dewa tumbuhan, masyarakat melakukan persembahyangan berupa panca sembah (lima sembah). Usai melaksanakan persembahyangan, penggaitan daun beringin biasanya diawali oleh seorang pendeta, kemudian dilanjutkan dengan masyarakat lainnya. Penggaitan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali mengikuti arah putaran jarum jam yang disebut dengan Murwa Daksina (ke arah kanan).

Daun beringin yang sudah digait tidak boleh jatuh, oleh sebab itulah masyarakat Bali menggunakan kain kafan sebagai wadah ketika daun beringin mulai digait. Setelah daun yang digait sesuai dengan kebutuhan, daun-daun beringin tersebut ditempatkan di Bale Peyadnyan. Daun inilah yang nantinya akan digunakan sebagai wujud prakerti sang pitara dalam bentuk puspa lingga.[4] Makna dari penggunaan daun beringin sebagai puspa lingga akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini mengenai makna simbolis daun beringin.

Fungsi Beringin sebagai Sarana Pengobatan

Penelusuran terhadap pustaka-pustaka lontar yang termasuk dalam Usada Bali (naskah tentang pengobatan) menunjukkan bahwa pohon beringin memiliki manfaat yang sangat beraneka ragam da­lam penyembuhan penyakit. Usada Taru Pramana merupakan salah satu naskah lontar yang memuat informasi mengenai pohon ber-ingin sebagai sarana pengobatan.

Menariknya, teks usada ini secara naratif berkisah mengenai seorang dukun bernama Prabhu Mpu Kuturan yang kehilangan kemampuan mengobati setelah sekian lama membantu masyarakat menyembuhkan berbagai penyakit. Menyadari hal itu, Ia kemudian melakukan tapa brata di kuburan untuk mengembalikan kemampuannya. Setelah genap sebulan tu­juh hari, turunlah Bhatari dari kayangan. Beliau berkenan memberi anugerah kepada Prabu Mpu Kuturan sehingga ia memiliki keahl­ian untuk memanggil pepohonan untuk ditanyai khasiatnya.

Ada sekitar 160 jenis tetumbuhan yang ditanyai oleh Prabu Mpu Kuturan. Tumbuhan yang ditanya untuk pertama kalinya adalah beringin. Selengkapnya, penjelasan mengenai khaziat pohon beringin berdasarkan lontar Usada Taru Pramana sebagai berikut.

Titiang I taru bingin maka pasilihan Ida Sang Hyang Surya Candra. Inggih sekar titiang tis, daun titiang panes, angurip wong lara pamalinan. Kantin ti­tiang mesui. Ika anggen sembar. Malih bangsing titiang tis angurip wong lara rasa, makanti ring bawang adas. Babakan titiang panes, gempong titiang du- malada” (Usada Taru Pramana koleksi Pusat Kajian Lontar Unud, hlm. 2 a).

Terjemahan.

Hamba pohon beringin sebagai ganti beliau Sang Hyang Surya Candra. Ya bunga hamba sejuk, daun hamba panas menyembuhkan orang sakit pamalinan (pantangan). Teman (campuran) hamba mesui. Itu dipakai sembur. Lagi akar hawa hamba sejuk mengobati orang sakit kencing nanah, campur dengan bawang dan adas, kulit hamba panas, daun hamba yang muda sedang-sedang.

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa bagian- bagian dari pohon beringin memiliki kandungan tertentu. Bunga beringin mengandung zat yang sejuk, daunnya mengandung zat yang panas, akar hawanya mengandung zat yang sejuk, kulitnya mengandung zat yang panas, dan daun mudanya mengandung zat yang sedang-sedang.

Pustaka lontar Usada Taru Pramana menunjukkan bahwa pohon beringin dapat menyembuhkan sakit pamalinan (pantangan) dan seseorang yang menderita sakit kencing nanah. Untuk menyembuhkan orang yang terkena pamalinan(pantangan) beringin dicampur dengan mesui, sedangkan untuk mengobati orang yang sakit kencing bernanah, beringin dicampur dengan bawang dan adas.

Di samping mengobati dua penyakit yang telah dipaparkan di atas, penelusuran lebih lanjut terhadap teks-teks lontar usada Bali menunjukkan fungsi bagian-bagian beringin yang lainnya. Untuk memudahkan penyajian, bagian-bagian pohon beringin seperti sulur, daun, dan buah yang berfungsi untuk mengobati berbagai penyakit dijelaskan di bawah ini.

Sulur (Bangsing)

Beringin adalah tanaman jenis pohon, berakar tunggang, dan bisa tumbuh tinggi menjulang hingga ketinggian kira-kira 20­25 m. Batang beringin berbentuk bulat dan tegak, permukaannya kasar, percabangannya simpodial dan berwarna cokelat kehitaman.

Keunikan dari pohon beringin adalah, pada bagian batang akan tumbuh akar gantung yang berwarna kecokelatan yang berfungsi untuk respirasi. Akar ini tumbuh menggantung dari batang ke arah tanah, dan ketika akar sudah masuk ke dalam tanah, akar ini akan berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi. Akar ini disebut dengan sulur atau bangsing dalam bahasa Bali.

word image 3469 1

Foto 1. Sulur Beringin

Adapun khasiat sulur beringin sebagai ramuan pengobatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Manfaat Sulur Beringin sebagai Ramuan Obat

No.
Bagian Pohon Ber­ingin
Manfaat
Ramuan
Sumber Lontar
1.
Sulur
a) Mengobati seseorang yang kandungan spremanya sedikit dan encer

(Ta, kamd asat, kama buru, kdma ehceh, smard mdti)

Sarananya pucuk daun beringin, akar kendal betuka, kelapa muda (kelong- kang) yang baru ada sedikit daging­nya, tumbung kelapa panggang, ketan gajih buah demila yang telah tua, sari kuning telur, dipipis dengan batu Jawa, digambari penis, vagina,

Mantranya, “ Ong Batara Semara, puku- lun aminta pamredi semara, paminta pasta akas mageng, Ang Ung Mang “ (Ya Dewa Semara, hamba mohon penyubur asmara, memohon bentuk yang besar dan lincah).

(sa, suluring waringin, wding kendal befauka, kuwud sumambuh, tombong pang­gang, ktan gajih, woh dlima wayah, sari- kuning, pinipis dening watu jawa, rajah paufaa, bhaga, ma, Ong Bhatara smara, pukulun aminta pamaedhi smara, paminta paufaa akas mageng, Ang Ung Mang)

Sarananya bangsing beringin, akar kenanga, air basuhan ketan gajih, asam, diminum setelah ditumbuk dan disaring.

(sa, bangsing bingin, akah kananggd, yeh ktan gajih, lunak, tahapdkna)

pijer, bawang dipendam, diminum setelah ditumbuk dan disaring. Bila ia masih sakit, sarana, batok hitam, diisi air, pucuk beringin 7 pucuk, diikat dengan benang hitam, lalu dicelupkan di air.

(sa, bangsing bingin, sane nguda, ktan gajih, pijer, bawang matambus, tahapakna, yanya kari agring, ua, sibuh cmeng misi toya, muncuk bingin pitung muncuk, talenin lawe ireng, lebokakna ring toya)

Usada Cukil Daki, koleksi Pusat Ka­jian Lontar Unud, hala­man 36 a
b) Mengobati mual-mual dan tidak nafsu ma­kan

(Ta, yania dlu-dlu, mwang tan kawasa amangan)

Sarananya bangsing beringin yang muda, ketan gajih,

Mantranya; Ong Ang Ung Mang, Ong ring ιoep, siratin wwang agring, ueuanya dyusakna, haywa nginum, padha maping 7, siratang lawan dyusakna

(Ya Tuhan, ya di dalam pikiran) diper- cikan pada orang yang sakit, sisanya dipakai mandi, jangan diminum, hanya dipercikan dan dipakai mandi masing-masing tujuh kali).

c) Mengobati Cacar Kambing (sakit takut di­mandikan takut melihat air, me­mejamkan mata karena tidak berani mem­buka matanya)

(Ta, yan dinyusan wwang agring jejeh, tan wani mulating toya, tur ngidem, socanya tan wani mulat, puwuh kambing. nga. muwah yan- ya ciplak-ciplak. puwuh kambing. nga)

Sarananya rumput blulang, kbenben, semua ambil akarnya, bangsing ber­ingin, ketan gajih, pijer, bawang dipen­dem, diminum setelah ditumbuk dan disaring

(sa padhang blulang, kbenben, sami akah- nya, bangsing bingin, ktan gajih, pijer, bawang tambus, tahapakna)

Usada Ka- cacar Koleksi

Pusat Ka­jian Lontar Universitas Udayana, halaman 27 a

d) Mengobati Pas- pasan

(Malih, sa, kapas- pasan)

Sarananya akar glagah, akar kemiri, bangsing beringin, akar tampak liman, kundhang kasih, sembung bangke, kulit pohon pule, slasih merik, miana cemeng, asam, ketan gajih, cendana, jeruk ling- lang, kelapa muda, lalu dikukus set­elah masak diminum setelah disaring, sebagai obat semburnya, sarana, buah baligo harum, diparut, kuskus, lalu diperas sampai keluar airnya, dipakai pengompres seluruh tubuhnya.

(sa. akah glagah. akah tingkih. bangsing bingin, akah tampak liman, kundhang kasih, sembung bangke, babakan pule, slasih mrik, myana cmeng, lunak, ktan gajih, candhana, juwuk linglang, kuwud sumambuh, tum, wus rateng, tahapakna, maka sembarnya, sa, woh bligo arum, pinarud, kuskus, pres apangpesu toya, anggen nyembar awaknya kabeh)

Usada Ka- cacar Koleksi Pusat Ka­jian Lontar Universitas Udayana, halaman 29 a
e) Mengobati cacar Bangke (sakit tak sadarkan diri)

(Ta, yan hana mwang agring, tan eling ring awaknya, puwuh bangke, nga)

Sarananya silodhaka, maduklupa, bangsing beringin, air siput, diteteskan pada matanya.

(sa, silodhaka, madhuklupa, bangsing bingin, yeh kakul, puhakna socanya)

Usada Ka- cacar Koleksi Pusat Ka­jian Lontar Universitas Udayana, halaman 32 a
f) Mengobati mata kutikan

(Ta, mata kutikan)

Sarananya adalah sulur beringin, akar silagui, bawang, adas, dilumatkan un­tuk menggosok pasien.

(sa, sulur waringin, wwading silagwi, bawang ngadas, pinipis, arapakna)

Usada Ka- cacar Koleksi Pusat Ka­jian Lontar Universitas Udayana, halaman 16 a
g) Mengobati De­sentri

(Ta, rare pjen)

Sarananya adalah sulur beringin, buah sirih, minyak dagdagan, sarinya di­minum

(sa, sulur waringin, bwah base, akah pucuk putih, we lengis dagdagan, patinya inum)

Usada Kuranta Bo­long koleksi Pusat Kajian Lontar Unud halaman 67 a
h) Mengobati anak mimisan

(Ta, rare mtu rah saking irungnya)

Usada Kuran- ta Bolong koleksi Pusat Kajian Lontar Unud halaman 54 a
1.
Sulur
i) Mengobati sakit lelengedan

(Tamba Ielengedan)

Sarananya sulur beringin, tebu hitam, gula, santan kane, diramu untuk di­minum

(sarana, suluring waringin, tbu cmeng, gula, santen kane, inum)

Usada Rare koleksi Pusat Kajian Lon­tar Unud, halaman 12 a

Sumber: Hasil dari Analisis Data

Daun Beringin

Daun beringin berbentuk jorong (ovalis), dengan pangkal daun berbentuk tumpul dan bagian tepi daun yang merata dan halus. Pertemuan kedua sisi tepi daun beringin lebih tinggi/panjang sehingga ujung daun terlihat sempit, panjang dan runcing.

Daging daun beringin bersifat perkamen, yaitu tipis tetapi cukup kaku. Susunan pertulangan daun beringin yaitu menyirip dengan tulang paling besar atau ibu tulang berada di tengah, lalu ibu tulang kemudian membentuk tulang-tulang cabang. Warna daun beringin ini hijau tua.

word image 3469 2

Foto 2. Daun Beringin

Adapun khasiat daun beringin sebagai ramuan pengobatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Manfaat Daun Beringin sebagai Ramuan Obat

No.
Bagian Pohon Beringin
Manfaat
Ramuan
Sumber Lontar
1.
Daun
  1. Mengobati sakit bengkak tanpa sebab
  2. Mengobati bengkak pada kelamin

(Ta, yania beseh ring prasa, yan ring purus)

Sarananya daun beringin yang jatuh berjumlah 7 helai, isen 7 iris, ketumbat 7 buah, diuapkan pada bagian yang bengkak.

(sa ulungan don bingin, 7, bidang, isen, 7, iris, katumbah, 7, bsik, Sembarakna).

Sarananya daun beringin, tombong, dicampur adas, dibedakkan setelah ditumbuk.

(sa, rwan bingin, tombong, ra, adas, arapakna)

Dharma

Usada, koleksi Pusat Kajian Lontar Unud, halaman 14 b

Usada Kacacar Koleksi Pusat Kajian Lontar Universitas

Udayana, halaman 72 a

Sumber: Hasil dari Analisis Data

Ni Luh Sutjiati Beratha, I Made Rajeg, Ni Wayan Sukarini

Hlm. 33-52

Buah

Buah tanaman beringin adalah buah buni, berbentuk bulat dengan ukuran panjang kira-kira 0,5-1 cm. Ketika masih muda, buah beringin berwarna hijau lalu berubah menjadi merah setelah tua. Bijinya berbentuk bulat, keras dan berwarna putih.

word image 3469 3

Foto 3. Buah beringin (diunduh dari laman https://www.google.com/)

Berkaitan dengan manfaat buah beringin sebagai ramuan pengobatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Manfaat Buah Beringin sebagai Ramuan Obat

No.
Bagian Pohon Beringin
Manfaat
Ramuan
Sumber Lontar
1.
Buah
Untuk memulihkan tenaga orang yang mengalami tanda-tanda akan meninggal dunia

(Muah tenger wwang mati, bwat kalih dasa dina, yan hana wwang katon putrenin matania kalih, kadi kunang- kunang, pakadepdep latinia masawang gsit, sdengnia ngucap mtua widuh, awaknia katon pakacedel lambania, iku tngeringpati)

Buah majagau tua yang telah lepas dari pohonnya, buah beringin tua yang telah lepas dari pohonnya, daun bengkel tua yang telah gugur dari pohonnya, kemenyan, gamongan kecil, kencur, musi, sembur dadanya.

(yan arep, nguripa, ta, ulungan majagawu, ulungan bingin, ulungan bengkel, mnan, gamongan alit, cekuh, musi, sembar dadania)

Usada Cukil Daki, Koleksi Pusat Kajian Lontar Unud, No. 8 a

Berdasarkan uraian di atas, bagian-bagian pohon beringin yang dimanfaatkan sebagai sarana pengobatan adalah sulur, daun, dan buah. Sulur beringin dapat digunakan untuk mengobati seseorang yang kandungan spremanya sedikit dan encer, mual- mual dan tidak nafsu makan, cacar kambing, paspasan, cacar bangke, mata kutikan, desentri, mimisan, dan lengedan.

Sementara itu, daun beringin dapat dimanfaatkan untuk mengobati sakit bengkak yang tanpa sebab dan bengkak pada alat kelamin. Buah beringin juga dapat dimanfaatkan untuk memulihkan tenaga seseorang yang diperkirakan akan meninggal dunia. Mengacu pada sejumlah manfaat pengobatan yang dapat dimanfaatkan dari pohon beringin, maka sangat masuk akal apabila pohon ini dilindungi eksistensinya.

Makna Simbolis Pohon Beringin

Rimbunnya dedaunan, batangnya yang kokoh memberikan kesejukan dan keteduhan bagi orang yang berada di bawahnya. Pohon ini diyakini sebagai tumbuhan sorga, tempat anjangsana para pitara serta dewa-dewa. Dalam upacara keagamaan pun ini selalu digunakan, itulah keagungan dari pohon beringin.

Pohon beringin sering dikatakan sebagai tumbuhan sorga. Bijinya yang kecil dapat tumbuh menjadi tumbuhan besar yang memberikan kesejukan sekaligus peneduh bagi yang berteduh di bawahnya. Akarnya yang kuat melambangkan kekokohan yang tak tergoyahkan.

Di balik semua itu, bagi masyarakat Hindu pohon beringin mempunyai arti penting, sama halnya dengan pohon kura bagi umat Islam, atau pohon bodi bagi umat Budha (Miarta Putra, 2009:34). Pentingnya pohon beringin bagi umat Hindu karena daunnya sering digunakan sebagai sarana upacara. Daun beringin secara filsafati bagi umat Hindu sebagai lambang kesucian, lambang agni, dan sebagai alas untuk kesucian, baik dalam upacara Dewa Yajnya, Pitra Yadnya, maupun pelaksanaan yajnya lainnya.

Keyakinan masyarakat Bali tersebut bukanlah suatu hal yang tidak beralasan, tanpa landasan sastra yang jelas. Secara mitologi,

pohon beringin merupakan salah satu pohon yang mendapatkan panugrahan. Hal ini dikisahkan dalam pustaka lontar Siwagama yang ditulis oleh Ida Padanda Made Sidemen pada tahun 1860 Saka atau 1938 Masehi. Dalam bab pertama pustaka tersebut dikisahkan perjalanan Bhagawan Salukat yang sedang melakukan rangkaian Tirta Yatra. Suatu ketika, beliau tiba di pesisir Negara Daha. Saat itulah Bhagawan Salukat menemukan sebatang pohon waringin pandak (beringin).

Pohon beringin tersebut bisa berkata-kata seraya memohon kepada Bhagawan Salukat. “Yang Mulia Bhagawan Salukat leburlah dosa hamba, sebatang tanaman yang tumbuh di tempat-tempat suci, setiap waktu kurus dan selalu menjadi makanan hewan,” kata pohon beringin dengan kerendahan hati kepada Bhagawan Salukat. Bhagawan Salukat yang sudah mengerti akan hakikat hidup, serta dengan kemurahan hati dianugerahilah pohon beringin tersebut. “ih kamu pohon beringin, kini wajib kamu menjadi pendamai (membuat sentosa) dunia, melebur dosa, wajib menjadi pelindung para Dewa tumbuh di setiap tempat suci,” kata Bhagawan Salukat memberikan anugerah kepada pohon beringin.

Berdasarkan pustaka Siwagama tersebut, fungsionalnya pohon beringin dalam konteks upacara yadnya dapat dipahami. Ida Padanda Wayahan Tianyar seorang pendeta yang nyastra juga menyatakan bahwa pohon beringin yang dijadikan sarana upacara terutama dalam prosesi upacara Mukur bermakna wahana penyucian bagi arwah pitara agar menjadi Dewa Hyang. Dengan fungsionalnya pohon beringin dalam kehidupan masyarakat Bali terutama sebagai sarana upacara dan pengobatan, maka pohon beringin perlu dilindungi eksistensinya, baik hari ini maupun di masa depan.

Simpulan dan Saran

Pohon beringin merupakan salah satu pohon yang fungsional dalam kehidupan masyarakat Bali. Berdasarkan data prasasti yang terbit sekitar abad IX-XI ditemukan bahwa pohon beringin termasuk dalam jenis pohon larangan yang tidak dapat ditebang

Hlm. 33-52 Fungsi dan Makna Simbolis Pohon Beringin dalam Kehidupan ….

sembarangan. Ini artinya, sejak masa Bali Kuno telah ada kearifan ekologis untuk melindungi eksistensi pohon beringin.

Fungsi pohon beringin yang vital dalam upacara agama dan aneka sarana pengobatan seperti kencing bernanah, pemalinan, bengkak tanpa sebab, tidak enak makan dan yang lainnya memberi keterangan yang lebih jelas alasan dibalik dilindunginya pohon beringin. Sementara itu, penggunaan pohon beringin dalam berbagai jenis upacara bermakna simbol penyucian agar para leluhur dapat meningkat kualitasnya menjadi Dewa Hyang.

DAFTAR PUSTAKA

Anom, Ida Bagus. 2011. Indik Taru. Denpasar: CV Kayu Mas Agung.

Ardika, I Wayan dan Sutjiati Beratha N.L. 1996. “Perajin pada Masa Bali Kuna Abad IX-XI Masehi”. Laporan Penelitian Dibiayai oleh Toyota Foundation. Denpasar: Fakutas Sastra Unud.

Ardika, I Wayan dan Sutjiati Beratha N.L. 1996. “Perajin pada Masa Bali Kuna Abad XI-XII Masehi”. Laporan Penelitian Dibiayai oleh Toyota Foundation. Denpasar: Fakutas Sastra Unud.

Christomy, T. 2010. Peircean dan Kajian Budaya (dalam Semiotika Budaya). Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Goris, Roeloef. 1954. Prasasti Bali: Inscripties voor Anak Wungsu Vol. I dan Vol. II. Bandung: Masa Baru.

Goris, Roeloef. 1971. Karya Pungutan. Singaraja: Lembaga Bahasa Nasional Tjabang Singaradja.

Nala, Ngurah. 1992. Usada Bali. Denpasar: Upada Sastra

Nala, Ngurah. 2005. Akasara dalam Usada. Denpasar: Upada Paramita

Miarta Putra, Nyoman. 2009. Mitos Tanaman Upakara. Denpasar: Pustaka Manik Geni.

Palguna, I.B.M.Darma 2008. Leksikon Hindu. Mataram: Sadampatyaksara.

Ni Luh Sutjiati Beratha, I Made Rajeg, Ni Wayan Sukarini Hlm. 33-52

Republika, Rabu, 23 November 2016: 5

Peirce, C.S. 1986. The Semiotic Challenge. New York: Hill and Wang.

Tim Penyusun. 2007. Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama.

Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.

Tim Penyusun. 2000. Upacara Manusia Bali dari Kelahiran sampai Kematian.

Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Daftar Pustaka Lontar

  1. Usada Taru Pramana
  2. Dharma Usada
  3. Usada Cukil Daki
  4. Usada Kacacar
  5. Usada Kuranta Bolong
  6. Usada Rare
  7. Siwa Tatwa
  8. Yama Tatwa
  1. Naskah teks Dasa Nama yang dijadikan referensi dalam tulisan ini disimpan di Unit Pelayanan Teknis Lontar Universitas Udayana. Teks Dasa Nama menjadi satu naskah dengan teks yang berjudul Pasangkalan (Teks yang berisi tuntunan untuk mengetahui jumlah angka/perhitungan yang di kandung di dalam kata-kata). Naskah lontar tersebut secara lebih spesifik disimpan di dalam Krop 8 Nomor Rt. 97. Panjang naskah 44,5 dengan lebar 3 cm. Tebal naskah adalah 24 lembar.
  2. Informasi selengkapnya mengenai informan dapat dibaca pada lampiran artikel ini.
  3. Pendapat dari Ida Padanda Wayahan Sidemen, yang diwawancarai pada pada hari Sabtu tanggal 21 April 2018 bertempat di Gria Mandara Wati, Banjar Punia, Kecamatan Sidemen, Karangasem.
  4. Tatanan upacara Ngangget Don Bingin ini didapatkan dari wawancara dengan Ida pedanda Wayahan Tianyar pada hari Sabtu tanggal 21 April 2018 bertempat di Gria Mandara Wati, Banjar Punia, Kecamatan Sidemen, Karangasem.

 

Last Updated on 31 Agustus 2022

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous Post
selada 1

Analisa Nilai Tambah Produk Hortikultura Selada (Lactuca sativa l) di Pasar Modern dengan Proses Penanganan Pascapanen

Next Post
Cacl2 1

Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Kalsium Klorida (Cacl2) dan Suhu Penyimpanan terhadap Fisikokimia Buah Salak Bali (Salacca zalacca)