UJI ERITEMA DAN EDEMA SECARA IN VIVO PADA NATRIUM LAURIL SULFAT 10%

Avatar of jurnal
NATRIUM LAURIL

Surfaktan merupakan suatu molekul dengan rantai hidrokarbon panjang dengan gugus ujung bersifat polar atau ionik. Surfaktan berfungsi untuk mengangkat dan mengikat kotoran dari suatu permukaan dengan cara menurunkan tegangan antar muka. Bahan surfaktan sintetik yang sering digunakan sebagai bahan baku sediaan dipasaran adalah natrium lauril sulfat.

Penggunaan surfaktan sebagai bahan baku sediaan harus diperhatikan, penggunaan bahan yang tidak sesuai akan dapat menyebabkan efek samping seperti iritasi pada kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh surfaktan sintetik yaitu natrium lauril sulfat 10% sebagai bahan baku sediaan terhadap efek iritasi pada kulit.

Pengujian iritasi dilakukan secara in vivo dengan menggunakan enam kelinci albino galur New Zeland dewasa berkelamin jantan. Pencukuran bulu kelinci dilakukan 24 jam sebelum diberikan bahan uji. Bahan uji diberikan dengan cara patch test tertutup. Pengamatan dilakukan pada jam ke 24, 48 dan 72 setelah pemberian bahan uji. Area uji diperiksa dan diamati perubahannya sebagai reaksi kulit terhadap bahan uji dan dinilai indeks iritasi kulit dengan cara memberi skor 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan reaksi kulit yang dilihat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa natrium lauril sulfat dengan konsentrasi 10% memberikan efek iritasi kulit pada jam ke 24, 48 dan 72.

Kata Kunci : surfaktan, uji iritasi, natrium lauril sulfat, in vivo.

1. PENDAHULUAN

Surfaktan merupakan suatu molekul dengan rantai hidrokarbon panjang dengan gugus ujung bersifat polar atau ionik. Bagian rantai hidrokarbon dari molekul ini bersifat hidrofobik dan larut dalam cairan non polar, sedangkan gugus ujung polar/ionik bersifat hidrofilik dan larut dalam air (Tang, 2011).

Surfaktan berfungsi untuk mengangkat atau mengikat kotoran dari suatu permukaan dengan cara menurunkan tegangan antar muka sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Selain itu surfaktan juga dapat mendispersikan serta menstabilkan dua atau lebih cairan yang tidak bercampur satu sama lain (Showell, 2006).

Bahan surfaktan sintetik yang sering digunakan sebagai bahan baku sediaan adalah natrium lauril sulfat (NLS). NLS merupakan golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang mengandung muatan ion negatif. Jenis surfaktan ini merupakan surfaktan yang paling banyak dipakai dalam industri (Permono, 2002).

Pemanfaatan natrium lauril sulfat dalam formulasi sediaan farmasi sudah sangat luas digunakan pada sediaan nonparenteral dan preparat kosmetik. NLS memiliki efek toksisitas sedang berupa efek akut seperti iritasi kulit, iritasi mata, iritasi membrane mukosa, dan iritasi pada lambung jika tidak sengaja tertelan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dari kebanyakan surfaktan untuk dapat merusak membrane mukosa (Behn, 2005).

Uji keamanan merupakan salah satu persyaratan sebelum suatu bahan baku dapat dijual ke masyarakat umum atau kepasaran. Uji keamanan dilakukan mencakup pengujian dari bahan baku maupun produk akhir. Pengujian efek iritasi kulit dari bahan baku atau produk akhir sediaan topikal merupakan elemen penting dari prosedur keamanan (Robinson dan Perkins, 2002).

Reaksi iritasi kulit tidak hanya bersifat lokal pada permukaan kulit rusak saja, tetapi juga dapat menyebabkan efek toksik yang dapat membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa dari penderitanya (Dirjen POM, 1985). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan uji iritasi sediaan dengan metode in vivo menggunakan kelinci sebagai hewan uji sebelum pemakaian pada manusia sehingga mencegah reaksi hipersensitivitas dan dapat diketahui derajat keamanan sediaan yang dihasilkan bagi konsumen.

2. BAHAN DAN METODE

2.1 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan antara lain natrium lauril sulfat, aquadest, kelinci albino galur New Zealand berkelamin jantan, perban, plester.

2.2 Metode

2.2.1 Uji Iritasi Pada Kulit Kelinci

Uji iritasi lakukan secara in vivo pada enam kelinci albino galur New Zeland berkelamin jantan dengan metode patch tes tertutup.Sebelum perlakuan, bulu pada bagian punggung di cukur terlebih dahulu. Pencukuran ini dilakukan 24 jam sebelum diberi perlakuan pada area uji.

Sebelum diberikan perlakuan, setiap kelinci menerima epidermal abrasi paralel dengan menggunakan jarum yang steril. Bahan uji diberikan dengan cara mengoleskan sediaan uji pada area uji. Setelah dioleskan bahan uji, area uji lalu ditutup dengan perban yang tidak reaktif dan di plester.

Setelah 24 jam perlakuan, perban dibuka dan area uji dibersihkan dengan air untuk menghilangkan sisa bahan uji. Pada jam ke 24, 48 dan 72 setelah pemberian bahan uji, area uji kemudian diperiksa dan diamati perubahannya sebagai reaksi kulit terhadap bahan uji dan dinilai dengan cara memberi skor 0 sampai 4 tergantung dari tingkat keparahan reaksi kulit yang dilihat (Draize, 1959).

Tabel 1. Skor Derajat Iritasi pada Eritema
REAKSI KULIT SKOR
Tanpa eritema 0
Sangat sedikit eritema (hampir 1
tidak terlihat)
Eritema jelas terlihat (diameter 2
25,1-30 mm)
Eritema sedang (diameter 30,1-35 3
mm)
Eritema berat (gelap merah 4
dengan membentuk eskar, diameter > 35 mm)
Tabel 2. Skor Derajat Iritasi pada Edema
REAKSI KULIT SKOR
Tanpa edema 0
Sangat sedikit edema (hampir 1
tidak terlihat)
Edema jelas terlihat 2
(ketebalan < 1 mm)
Edema sedang (tepi naik ± 1 3
mm)
Edema berat (tepi naik lebih 4 dari 1 mm dan meluas keluar daerah pejanan)

tabel 16

tabel 17

4. PEMBAHASAN

Iritasi adalah gejala inflamasi yang terjadi pada kulit atau membran mukosa setelah perlakuan berkepanjangan atau berulang dengan menggunakan bahan kimia atau bahan lain (Irsan dkk., 2013). Iritasi kulit disebabkan oleh suatu bahan yang dapat terjadi pada setiap orang, tidak melibatkan sistem imun tubuh dan ada beberapa faktor-faktor yang memegang peranan seperti keadaan permukaan kulit, lamanya bahan bersentuhan dengan kulit, dan konsentrasi dari bahan.

Uji iritasi dilakukan dengan menggunakan metode patch tes tertutup. Setelah 24 jam perlakuan, perban dibuka dan area uji dibersihkan dengan air untuk menghilangkan sisa bahan uji. Pada jam ke 24, 48 dan 72 setelah pemberian bahan uji, area uji kemudian diperiksa dan diamati perubahannya sebagai reaksi kulit terhadap bahan uji dan dinilai skor eritema dan edema yang dihasilkan dengan cara memberi skor 0 sampai 4 sesuai dengan tabel 1 dan tabel 2 tergantung dari tingkat keparahan reaksi kulit yang dilihat (Draize, 1959).

Hasil pengamatan uji iritasi menunjukkan bahwa formula dengan natrium lauril sulfat 10% menyebabkan iritasi pada kulit dilihat dari grafik yang diperoleh dimana natrium lauril sulfat 10%memiliki skor indeks iritasi pada jam ke-24, pada jam ke-48 dan pada jam ke-72.

Suatu sediaan sebelum dipasarkan perlu dilakukan pengujian atau pengecekan terhadap pH dari bahan baku yang akan digunakan, dimana perbedaan pH merupakan salah satu hal yang dapat memicu terjadinya efek samping pada kulit seperti eritema dan edema (Tranggono dan Latifah, 2007).

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uji iritasi pada enam kelinci putih galur NewZealand menunjukkan bahwa Natrium Lauril Sulfat pada konsentasri 10% mengalami iritasi sedang pada kulit.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada I Gede Pasek Budiyadnya yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di Laboratorium Teknologi Farmasi Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Behn, S., AK Taylor, SC Owen, PJ Weller dan KK Singh. 2005. Sodium Lauryl Sulfate. In: -Arthur H,K., editor. Handbook of Pharmaceuticals Excipients 3rd Ed. London-United Kingdom: Pharmaceutical Press. 487-480.
Dirjen POM. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Penerbit Departemen Kesehatan RI. HalamanL’ : 22, 84, 356.

Draize, J.H. 1959. Dermal Toxicity. Pages 46-59 in Appraisal of the Safety of Chemicals in Food, Drugs and Cosmetics.TheAssociation of Food and Drug Officials of the United States, Bureau of Food and Drugs, Austin, TX.
Permono, Ajar. 2002. Membuat Sampo. Yogyakarta: Puspa Swara.

Tranggono, Retno Iswari dan Fatma Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmeti k. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Robinson, M.K and M.A. Perkins. 2002. A Strategy for Skin Irritation Testing. American Journal of Contact Dermatitis, Vol 13, No 1.

Sani, E. P. dan Lukmayani Y. 2010. Sabun Transparan Berbahan Dasar Minyak Jelantah serta Hasil Uji Iritasinya pada Kelinci. Jurusan Farmasi, Universitas Islam Bandung.

Showell, Michael S. 2006. Introduction to Detergents. In: Showell, M.S editor. Handbook of Detergents Series Part D: Formulation. United States of America: taylor and Francis Group, LLC.

Tang, M., Veinardi S. 2011. Pengaruh Penambahan Pelarut Organik Terhadap Tegangan Permukaan Larutan Sabun. Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains. Bandung.

Last Updated on 25 Agustus 2022

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous Post
Tonsilitis

PROFIL PEMBESARAN TONSIL PADA PASIEN TONSILITIS KRONIS YANG MENJALANI TONSILEKTOMI DI RSUP SANGLAH PADA TAHUN 2013

Next Post
babi bali

Studi Perbandingan Kualitas Fisik Daging Babi Bali Dengan Babi Landrace Persilangan Yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Tradisional

Related Posts