Trikotilomania adalah gangguan kompulsif yang ditandai dengan kegiatan menarik rambut berulang hingga menyebabkan kerontokan rambut yang berarti dari kulit kepala, alis, bulumata, ketiak dan pubis. Kegiatan menarik rambut ini biasanya diawali dengan ketegangan dan diikuti dengan rasa puasa taulega sesudahnya.
Hingga saat ini, farmakoterapi trikotilomania seperti golongan Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) ataupun Clomiperamine,golongan Tricyclic Anti Depressant yang diterima oleh Food and Drug Association (FDA) karena dianggap belum efektif mengurangi gejala menarik rambut secara signifikan. Pada studi acak terkontrol dengan jumlah sampel yang besar dengan menggunakan N-Acetylcysteine (NAC) dengan dosis 1200-1400 mg selama 9 minggu didapatkan 56%-nya mengalami penurunan gejala yang signifikan dalam mencabut-cabut rambut.
PENDAHULUAN
Trikotilomania adalah salah satu bentuk gangguan kompulsif yang ditandai dengan kegiatan menarik-narik rambut berulang (di kepala, alis, bulumata, ketiak, pubis) yang didahului dengan ketegangan kemudian diikuti dengan rasa puasa taulega setelahnya.
Kegiatan ini ditandai dengan adanya kerontokan rambut yang mencolok dan tidak disebabkan oleh kelainan kulit kepala/rambut lain atau kegiatan stereotipi yang lain. [1,2]Trikotilomania telah dikenal sejak hamper dua abad yang lalu dan istilah trikotilomania itu pertama kali oleh ahli kulitasal Prancis Francois Henri Hallopeau.[3,4]
Penyakit ini dapat dikategorikan berdasarkan onset menjadi: prasekolah, praremaja-dewasa muda, dewasa.[5] Dari klasifikasi tersebut didapatkan perbedaan gejala dan responterapi dimana pada pasien prasekolah dan dewasamu dan memiliki kebiasaan menarik rambut otomatis dan tanpa disadari serta memiliki respon yang baik terhadap pengobatan konservatif.
Pada pasien dewasa biasanya memiliki kecendrungan menarik rambut sebagai bentuk dari focus penderita terhadap kebiasaan tersebut, sebagai bagian rutinitas yang disadari termasuk dalam memilah jenis rambut tertentu untuk dicabuti misalnya yang memiliki ujung bulat dan pipih, yang kasar atau pun karena letaknya yang salah.
Responterapi konservatif pada pasien dewasa biasanya lebih buruk mengingat kebiasaan menarik rambut ini dapat disertai gangguan psikis lain yang memerlukan tenaga spesialis dalam menanganinya.[6]
Berdasarkan data epidemiologi didapatkan bahwa puncak onset trikotilomania ini berkisar antara usia 12-13 tahun.[7] Pada anak-anak tidak ada perbandingan yang berarti antara populasi laki-laki atau pun perempuan yang terkena trikotilomania.
Pada orang dewasa ditemukan adanya prevalensi sebesar 0.6-3.4% dengan kecendrungan lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki .Namun data ini masih dikacaukan dengan tipikal pencarian pertolongan yang cenderung dimiliki perempuan dibandingkan laki-laki.[6]
Jumlah pasien yang mengalami trikotilomania di masyarakat secara relative masih sedikit yang diketahui.Secara klinis, mencabut-cabut rambut yang cocok dengan criteria trikotilomania ditemukan pada 0.6%-3.9% mahasiswa yang disurvei.
Penelitian lain menunjukkan perbedaan tingkat trikotilomania dalam pengobatan ditemukan 4.4% pada pasien psikiatri yang rawat inap (jumlahsampel=204) dan 4.6% pada pasien gangguan obsesif-kompulsif (jumlahsampel=153).[3]
PATHOFISIOLOGI
Hingga saat ini penyebab trikotilomania itu sendiri masih belum jelas.Menurut teori neurokogniti gangguan ini disebabkan oleh adanya kelainan pada basal ganglia pasien sebagaimana diketahui bahwa basal ganglia memiliki peran dalam membentuk kebiasaan.
Kegagalan lobus frontal dalam menghambat kebiasaan tertentu juga diperkirakan bagian dari pathofisiologi gangguan ini.[7]Sebuah studi pencitraan menggunaan Magnetic Resonance Image (MRI) juga menyatakan bahwa substansigrasia (gray matter) pasien dengan trikotilomania lebih meningkat kapasitasnya dibandingkan yang tidak memiliki penyakit ini.
Peranan genetic terhadap penyakit ini pun tidak luput dari perhatian peneliti.Pada suatu penelitian ditemukan adanya mutasi pada gen SLITRK1 sedangkan pada penelitian lainnya mendapatkan adanya perbedaan pada receptor gen serotonin 2A.
Mutasi gen HOXB8 juga menunjukkan perubahan kebiasaan pada tikus dalam menarik-narik rambut. Pendekatan ilmiah terhadap gen ini merupakan fenomena baru namun masih belum dapat ditentukan apakah memangadakan hubungan genetic dalam menyebabkan penyakit ini. [4,7]
TERAPI TRIKOTILOMANIA
Sampai saat ini ada 3 terapi utama yang sering dilakukan untuk penatalaksanaan pasien trikotilomania di antaranya: Habit Reversal Therapy (HRT), golongan farmakoterapi seperti SSRI dan Clomipramine.Berdasarkan saran Trichotillomania Impact Project, penggunaan farmakoterapi dengan SSRI merupakan terapi yang paling sering digunakan bahkan lebih dianjurkan penggunaannya dibandingkan Clomiperamine.[8]
Padareview yang membandingkan efikasi ke tiga metode terapi tersebut didapatkan bahwa Clomiperamine justru memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan placebo sedangkan tidak ada bukti yang menunjukkan efikasi yang lebih baik pada penggunaan SSRI jika dibandingan dengan placebo.
Untuk kedepannya diperlukan penelitian yang lebih focus pada HRT untuk menilai apakah terapi ini lebih efektif dalam menangani pasien dengan kasus trikotilomania yang lebih beratserta pelaksanaannya di tempat praktik.[8]
PENGGUNAAN N-ACETYLCYSTEINE SEBAGAI FARMAKOTERAPI TRIKOTILOMANIA
Trikotilomania merupakan suatu penyakit kronis yang apabila dibiarkan akan menimbulkan penurunan kualitas hidup yang serius terhadap pasien. Penggunaan farmakoterapi yang biasa digunakan (SSRI maupun Clomepramine) masih dirasakan memiliki efek yang belum memuaskan dalam meningkatkan hasil pengobatan pasien.
Hingga saat ini tidak ada satupun farmakoterapi untuk trikotilomania yang diterima Food and Drug Association (FDA). Farmakoterapi yang sering digunakan untuk mengobati pasien trikotilomania biasanya berdasarkan pengalaman ahli. Dengan penggunaan N-Acetylcysteine (NAC) ini diharapkan mampu memberikan harapa npengobatan yang lebihbaikdalammeningkatkankualitashiduppasien.[3]
Gambaran Umum N-Acetylcysteine
Acetylcysteine adalah obat yang digunakan untuk mengobati sejumlah kondisi medis. Ini paling sering digunakan sebagai agen mukolitik untuk membantu memecah lendir kental di saluran pernapasan. Manfaat obat acetylcysteine antara lain sering digunakan sebagai penangkal overdosis asetaminofen dan sebagai pengobatan untuk hepatotoksisitas yang diinduksi parasetamol.
Mekanisme kerja atau fungsi obat acetylcysteine tidak sepenuhnya dipahami. Namun, diperkirakan bekerja dengan meningkatkan produksi glutathione, molekul yang berperan dalam detoksifikasi tubuh. Acetylcysteine bekerja dengan cara mengikat metabolit beracun acetaminophen. Acetylcysteine dianggap melindungi hati dari kerusakan dengan membantu mengeluarkan racun dari tubuh.
Acetylcysteine tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, atau larutan. Biasanya diminum tiga kali sehari. Efek samping yang umum termasuk mual, muntah, dan diare. Acetylcysteine dapat berinteraksi dengan sejumlah obat lain dan harus digunakan dengan hati-hati pada orang dengan penyakit hati atau kondisi medis lainnya. Acetylcysteine tersedia sebagai tablet oral, larutan intravena, dan larutan inhalasi.
NAC merupakan merupakan varian dari asam amino L-cysteine yang merupakan sumber dari golongan sulfhydryl (SH) dan diubah dalam tubuh menjadi metabolit yang mampu menstimulasi sintesis gluthatione (GSH),menginduksi detoksifikasi dan bertindak secara langsung sebagai pemakan radikal bebas.[9]
NAC telah digunakan secara klinis selama lebihdari 30 tahun dan bekerja secara primer sebagai mukolitik dan memiliki efektifitas tambahan sebagai pengurangan GSH atau stress oksidatif seperti infeksi HIV, kanker dan penyakit jantung. Aktivitasnya sebagai hepatoprotektor juga dikenal luas sebagai manajemen terapi keracunan acetaminophen.[9]
NAC merupakan komponenthiol (sulfhydryl-containing) yang memiliki formula C5H9NO3S dan memiliki berat molekul sebesar 163.2.Penyerapannya dengan cepat dengan konsumsi peroral namun metabolism awal yang luas oleh sel-sel usus halus dan hati menyebabkan hanya sedikit NAC yang intak yang mampu mencapai plasma dan [9] jaringan.
Dosis acetylcysteine
Dosis asetilsistein yang direkomendasikan untuk orang dewasa adalah 150 mg/kg berat badan. Untuk anak-anak, dosis yang dianjurkan adalah 75 mg/kg berat badan.
Acetylcysteine biasanya diberikan sebagai infus intravena (IV) selama 15 hingga 20 menit. Hal ini juga dapat diberikan sebagai solusi oral.
Sedangkan Dosis acetylcysteine yang direkomendasikan untuk mengobati overdosis acetaminophen adalah 150 mg / kg berat badan yang diberikan secara intravena selama 15 menit. Untuk pengobatan batu ginjal, dosis yang dianjurkan adalah 2 gram diminum tiga kali sehari.
Mekanisme Kerja & Efektifitas NAC dalam Mengobati Trikotilomania
NAC merupakan golongan asam amino yang dapat ditemukan dalam makanan dan dapat dibeli dengan mudah di apotek atau pun took suplemen makanan.Penggunaan N-Aceylcysteine (NAC) menunjukkan efikasiagen glutamatergik dalam mengobati trikotilomania, yaitu dalam mengurangi keluhan mencabut-cabut rambut pada pasien tersebut.Modulasi farmakologi dari system glutamate terbukti berguna untuk mengontrol derajat perilaku kompulsif.[3]
Berdasarkan teori neurokognitif yang terlibat dalam pathofisiologi trikotilomania, efikasi dari N-Acetylcysteine pada penelitian ini memberikan dukungan terhadap hipotesis bahwa manipulasi farmaka pada sitem glutamat (pada nukleus akumben) dapat menargetkan keluhan dasar dari kebiasaan kompulsif.
Farmakoterapi yang menargetkan prefrontal glutamatergis mendorong ke nukleus akumben seperti N-Acetylcysteine dapat memperbaiki patofiologi yang mendasari keabnormalitasan dan keluhan dari trikotilomania.[3,7]
Sebagai tambahan, N-Acetylcysteine meningkatkan level cysteine dan gluthatione pada sel glia. Berdasarkan efek pada fungsi glia, N-Acetylcysteine dapat memproteksi fungsi sel glia saat terjadi hiperglutamatergic state dan dapat menungkatkan uptake dari glia terhadap glutamatedengan transporter excitatoryasam amino.
Karena sel glia secara primer berespon terhadap clearence glutamate dari sinaps, hal tersebut penting untuk memahamiglutamate-modulating effects dari N-acetylcysteine.[3]
Dari penelitian Grant (2009) didapatkan bahwa 56% pasien yang mendapatkan terapi NAC dengan dosis rata-rata 1200-2400 mg/hari mengalami pengurangan gejala yang berarti dalam menarik-narik rambut setelah pengunaan selama 9 minggu.
Percobaan yang dilakukan Grant merupakan percobaan skala besar, acak dan terkontrol tanpa intervensi CBT. Pengunaan NAC ini pun ditoleransi dengan baik oleh pasien. NAC yang digunakan untuk terapi ini adalah yang berbentuk kapsul dan dikonsumsi peroral.
Efek samping yang pernah dikeluhkan pasien antara lain mual, sakit kepala dan nyeri perut. Selama penggunaan NAC dapat direkomendasikan konsumsi suplemen besi maupun zinc 2-3 kali dari konsumsi vitami C. Hanya saja data tersebut masih belum dapat dibuktikan secara ilmiah.[3]
Dari penelitian Grant, perlu diingat bahwa hampir separuh sampelnya tidak mengalami respon terhadap terapi ini. Hal ini disebabkan luasnya derajat keparahan pasien dalam menarik-narik rambut. Selain itu pasien trikotilomania merupakan pasien kronis yang dapat mengalami relapse state sehingga diperlukan penelitian lanjut untuk menilai efikasi penggunaan NAC jangka panjang serta komplikasi akibat penggunaan jangka panjang tersebut.[3]
DAFTAR PUSTAKA
1. Chayavichitsilp P, Barrio V, Johnson B. Interdisciplinary Insight Management of Trichotillomania. Practical Dermaology for Paediatric. 2010; 24-26.
2. Nejatisafa AA, Sharifi V. Cognitive Behavior Therapy for Trichotillomania: Report of Case Resistant to Pharmacological Treatment. Iran J Psychiatry. 2006; 1: 42-44.
3. Grant JE, Odlaug BL, Kim SW. N-Acetylcysteine, A Glutamate Modulator, in Treatment of Trichotillomania. Arch Gen Psychiatry. 2009; 66(7):756-763.
4. Salaam K, Carr J, Grewal H, Sholevar E, Baron D. Untreated trichotillomania and trichophagia: surgical emergencyin a teenage girl. Psychosomatics. 2005; 46(4); 362-6
5. Sah DE, Koo J, Price VH. Trichotillomania. Dermatologic Therapy. 2008; Vol. 21, 13-21.
6. Flessner CA, Penzel F, Keuthen NJ. Current Treatment Practice for Children and Adults With Trichotillomania: Consensus Among Experts. Cognitive and Behavioral Practice. 2010; 17: 290-300.
7. Chamberlain SR, Menzies LA, Fineberg NA, del Campo N, Suckling John, Craig K, et al. Grey Matter Abnormalities in Trichotillomania: Morphometric Magnetic Resonance Imaging Study. The British Journal of Psychiatry. 2008; 193: 216-221.
8. Bloch MH, Lenderos-Weisenberger L, Dombrowski, Kemeldi B, Wegner R, Nudel J, et al. Systematic Review: Pharmacological and Behavioral Treatment in Trichotillomania. Biol Psychiatry. 2007; 1-8.
9. Kelly GS. Clinical Applications of N-Acetylcysteine. Alternative Medicine Review. 1998; Vol (3) No.2: 114-127.
Last Updated on 31 Oktober 2022