- Made Gede Cahyadi Permana
Abstract
Insomnia is regarded as sleep disorder that most often affects people in the world, both in primary and in the presence of comorbid conditions. Based on those facts, insomnia could be a serious problem at the level of primary health care. General Practitioner should be able to diagnose insomnia and able to perform the appropriate treatment for the patient. Psychosocial factors may related to the degree of severity of insomnia, among others are health status, depression, dysfunctional beliefs of sleep, self efficacy, and demographic. By knowing the relationship between psychosocial factors and insomnia, General practitioners are expected to create a holistic pattern of management of insomnia.
Downloads
Author Biography
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
- ABNT
- APA
- BibTeX
- CBE
- EndNote – EndNote format (Macintosh & Windows)
- MLA
- ProCite – RIS format (Macintosh & Windows)
- RefWorks
- Reference Manager – RIS format (Windows only)
- Turabian
Keywords

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
INSOMNIA DAN HUBUNGANNYA TERHADAP FAKTOR PSIKOSOSIAL PADA PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Made Gede Cahyadi Permana
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
ABSTRAK
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering diderita masyarakat di dunia, baik secara primer maupun dengan adanya kondisi yang komorbid. Berdasar pada hal tersebut, insomnia dapat menjadi masalah yang serius pada tingkat pelayanan kesehatan primer. Dokter umum harus mampu mendiagnosis insomnia serta mampu melakukan terapi yang tepat bagi si pasien. Faktor psikososial diperkirakan memiliki suatu hubungan yang terkait terhadap derajat beratnya insomnia, seperti tingkat kesehatan, keadaan depresi, kepercayaan yang salah terhadap tidur, efektifitas diri, dan faktor kependudukan. Dengan mengetahui hubungan faktor psikososial dan insomnia, diharapkan mampu menciptakan pola penatalaksanaan insomnia yang holistik.
Kata kunci: Insomnia, faktor psikososial
INSOMNIA AND CORRELATION WITH PSYCHOSOCIAL FACTORS IN PRIMARY HEALTH CARE
ABSTRACT
Insomnia is regarded as sleep disorder that most often affects people in the world, both in primary and in the presence of comorbid conditions. Based on those facts, insomnia could be a serious problem at the level of primary health care. General Practitioner should be able to diagnose insomnia and able to perform the appropriate treatment for the patient. Psychosocial factors may related to the degree of severity of insomnia, among others are health status, depression, dysfunctional beliefs of sleep, self efficacy, and demographic. By knowing the relationship between psychosocial factors and insomnia, General practitioners are expected to create a holistic pattern of management of insomnia.
Keyword: Insomnia, psychosocial factors
PENDAHULUAN
Tidur merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Setelah menjalankan aktivitas sehari-hari, dibutuhkan tidur yang cukup untuk memulihkan kondisi tubuh agar segar menghadapi aktivitas esok hari. Gangguan tidur, disebut insomnia, adalah kesulitan dalam memulai atau mempertahankan tidur selama lebih dari sebulan dan mengakibatkan gangguan klinis yang signifikan (DSM-IV).
Insomnia sering diderita baik secara primer maupun komorbid. Misalnya, di Amerika, 40 hingga 70 juta orang mengalami insomnia intermiten, dan 10-20% mengalami insomnia kronis. Dampaknya luas, bahkan secara ekonomi, menjadikan insomnia masalah serius dalam pelayanan kesehatan primer. Dokter umum harus menguasai diagnosis dan terapi insomnia. Faktor psikososiodemografi, seperti kesehatan, depresi, dan kepercayaan salah terhadap tidur, diduga berhubungan dengan tingkat keparahan insomnia.
Ada keterkaitan antara faktor-faktor ini dengan tingkat keparahan insomnia, namun penelitian yang menjelaskan hubungan ini pada pelayanan kesehatan primer masih terbatas. Untuk memahami hubungan antara faktor psikososial dan insomnia dalam pelayanan kesehatan masyarakat, penulis melakukan tinjauan dari berbagai jurnal dan penelitian terkait yang disintesis dalam tulisan berjudul “Insomnia dan Hubungannya terhadap Faktor Psikososial pada Pelayanan Kesehatan Primer”.
EPIDEMIOLOGI
Insomnia adalah keluhan tidur paling umum. Prevalensinya berkisar 10-40%, tergantung pada definisi kasus dan kriteria diagnostiknya. Misalnya, di Korea Selatan, prevalensi insomnia berbeda tergantung pada definisi, seperti gejala yang muncul selama 3 malam dalam 1 minggu (17%) atau kesulitan mempertahankan tidur (11,5%). Menggunakan DSM-IV, prevalensinya 5%.
Di Singapura, 8-10% pasien yang datang ke dokter umum mengeluhkan insomnia. Sebuah studi pada penduduk Indonesia menyatakan sekitar 11,7% atau sekitar 28,035 juta jiwa mengalami insomnia. Angka ini menempatkan insomnia sebagai salah satu keluhan tidur utama di Indonesia.
Di Amerika Serikat, 20-49% penduduk dewasa mengalami insomnia intermiten, dan 10-20% mengalami insomnia kronis, di mana 25% dari kasus kronis tergolong insomnia primer. Prevalensi insomnia lebih tinggi pada wanita dan lansia (65 tahun ke atas), dengan wanita memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi daripada pria. Sekitar 20-40% lansia mengeluhkan gejala insomnia beberapa hari dalam sebulan.
DEFINISI DAN KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan DSM-IV, insomnia adalah suatu kesulitan dalam memulai tidur, mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih di mana keadaan sulit tidur ini harus menyebabkan gangguan klinis yang signifikan. Kriteria diagnosis dari insomnia primer berdasarkan DSM-IV antara lain:
- Keluhan utama adalah kesulitan memulai tidur atau mempertahankan tidur, atau tidur non-restoratif kurang lebih selama satu bulan.
- Gangguan tidur menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis atau gangguan sosial, gangguan dalam bekerja, atau area-area fungsional penting yang lainnya.
- Gangguan tidur tidak terjadi secara khusus selama mengalami narkolepsi, breathing-related sleep disorder, gangguan tidur ritme sirkardian, parasomnia.
- Gangguan tidak terjadi secara khusus selama mengalami gangguan mental lainnya (contoh: major depressive disorder, generalized anxiety disorder, delirium).
- Gangguan terjadi tidak diakibatkan karena efek psikologis langsung atau suatu substansi (contoh: penyalahgunaan obat) atau keadaan medis umum.
Insomnia selain kriteria di atas disebut insomnia sekunder di mana insomnia muncul akibat adanya suatu penyebab sekaligus merupakan diagnosis banding dari insomnia primer. Penyakit-penyakit yang memiliki gejala insomnia sebagai diagnosis banding insomnia primer adalah insomnia yang disebabkan oleh:
- Gangguan Kardiovaskuler: gagal jantung kongestif, aritmia, Congenital Arterial Disease (CAD).
- Gangguan Paru: Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), asma.
- Gangguan Saraf: stroke, penyakit Parkinson, neuropathy traumatic brain injury.
- Gangguan Gastrointestinal: Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD).
- Gangguan Ginjal: gagal ginjal kronik.
- Endokrin: diabetes, hipertiroidisme.
- Reumatologi: Reumatoid arthritis, osteoarthritis, sakit kepala, fibromyalgia.
- Gangguan tidur: Restless legs syndrome, periodic limb movement disorder, sleep apnea, gangguan ritme sirkardian, parasomnia, serangan panik nokturnal, mimpi buruk/nightmare, rapid eye movement behavior disorder.
- Gangguan psikiatri: depresi, cemas, panik, Post Traumatic Stress Disorder.
- Obat-obatan: dekongestan, anti-depresan, kortikosteroid, beta-agonis, beta-antagonis, stimulan, statin.
- Substansi: kafein, alkohol, nikotin, kokain.
Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui anamnesis yang cermat dan adekuat untuk menentukan insomnia primer atau diagnosis bandingnya serta dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (tekanan darah, gangguan hormon, kolesterol, kadar gula darah, dan sejenisnya) untuk mengetahui adanya penyakit klinis dan pemeriksaan psikologis untuk mendeteksi gangguan psikis (depresi, skizofrenia, psikosis, dan sejenisnya).
INSOMNIA PADA PELAYANAN PRIMER
Garis terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat terletak pada dokter umum. Penyakit-penyakit dengan prevalensi tinggi sudah tentu menjadi tugas dokter umum dalam penanganannya, salah satunya adalah insomnia. Menurut data epidemiologi, insomnia merupakan penyakit yang banyak diderita oleh pasien pada pelayanan kesehatan primer. Di Indonesia, diperkirakan 11,7% penduduknya mengalami insomnia. Penelitian di Amerika menunjukkan angka prevalensi dua kali lipat bila dibandingkan dengan angka prevalensi gangguan depresi mayor (6,6%). Selain itu, insomnia menimbulkan konsekuensi yang sangat banyak seperti gangguan mood, peningkatan kebiasaan minum obat, gangguan mengingat, kelelahan, peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan, serta penurunan tingkat kesehatan tubuh. Literatur menunjukkan konsumsi biaya negara terhadap insomnia mencapai 42 miliar dolar tiap tahun. Berdasarkan sudut pandang prevalensi, konsekuensi, dan biaya, insomnia patut mendapat perhatian dalam pelayanan kesehatan primer.
Peran Dokter Umum dalam Penanganan Insomnia
Seorang dokter umum harus memahami insomnia secara terperinci guna efektivitas dalam diagnosis dan pengobatan insomnia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ancoli-Israel dan Roth mengenai persentase pasien dengan insomnia yang mendiskusikan gangguan tidurnya kepada dokter, didapatkan hasil yang mengejutkan. Dari 700 sampel pasien insomnia yang diteliti, hanya 5% yang secara spesifik mendiskusikan gangguan tidurnya kepada dokter, 26% mendiskusikan gangguan tidurnya tetapi bukan sebagai yang utama, dan 69% menyatakan tidak mendiskusikan gangguan tidurnya kepada dokter. Penelitian ini menunjukkan masih banyak pasien insomnia yang tidak melaporkan gangguan tidurnya kepada dokter yang dikunjungi. Di sinilah kemampuan seorang dokter untuk mengevaluasi keluhan pasien diuji. Bila dokter tidak melakukan anamnesis yang baik, tentu informasi gangguan tidur pasien menjadi kurang, dan akan berpengaruh pada terapi yang akan diberikan kepada pasien. Bisa saja dokter akan melewatkan beberapa faktor psikososial dan faktor medis lain yang menjadi pemicu dari insomnia pasien.
Penatalaksanaan Insomnia pada Pelayanan Kesehatan Primer
Praktisi medis di tingkat pelayanan kesehatan primer memiliki kewenangan sampai tahap mengobati pasien insomnia yang tidak memiliki komplikasi spesialistik. Jika pengaruh faktor psikososiodemografi bisa mempengaruhi terapi maupun edukasi yang diberikan kepada pasien. Seandainya ada penyakit spesifik yang memicu terjadinya insomnia, maka penatalaksanaan harus mengutamakan pada pengobatan penyakit tersebut.
Terapi farmakologi yang konvensional memiliki beberapa prinsip dasar dalam penggunaan obat yang bisa dipegang sebagai dasar pengobatan oleh dokter yaitu:
- Jangan hanya menggunakan obat hipnotik saja, terapi juga harus disertai dengan edukasi higienitas tidur dan behavioral therapy.
- Mulailah pemberian obat hipnotik dengan dosis rendah, dan bisa ditingkatkan secara perlahan-lahan sesuai indikasi, terutama pada pasien lansia.
- Hindari menggunakan obat benzodiazepine jangka panjang.
- Gunakan obat hipnotik (terutama benzodiazepine) secara hati-hati pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan dan ketergantungan obat. Monitor pasien secara rutin terutama untuk tanda-tanda toleransi, ketergantungan, dan withdrawal.
- Informasikan kepada pasien tentang Hangover effect (efek sakit pada saat bangun pagi seperti pada orang yang minum minuman keras) serta risiko kecelakaan saat berkendara di jalan, terutama pada pasien yang minum obat long-acting.
- Turunkan dosis obat hipnotik secara gradual untuk menghindari gejala withdrawal dan rebound insomnia. Masalah ini biasanya muncul pada pasien yang menggunakan obat short dan intermediate acting, atau pada pengguna dengan dosis yang besar.
- Obat yang digunakan dalam terapi insomnia ada beberapa macam antara lain:
- Obat golongan benzodiazepine (contoh: lorazepam, flurazepam). Merupakan obat pilihan pertama pada penyakit insomnia, dan telah digunakan secara luas pada pelayanan kesehatan primer. Bekerja menghambat Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) di sistem saraf pusat, serta spesifik berikatan pada reseptor post synaps. Menghasilkan efek sedasi, tidur, dan relaksasi otot. Efek sampingnya antara lain: sedasi, dizziness, hipotensi ortostatik, dan depresi fungsi pernafasan.
- Obat non-benzodiazepine seperti zolpidem, zaleplon, eszopiclone, dan ramelteon.
- Miscellaneous Slee-Promoting Agents, contohnya: melatonin. Namun penggunaan dan efektifitas dari melatonin masih dalam penelitian.
- Obat-obat lain seperti anti-histamin dan anti-depresan. Anti depresan sering diresepkan pada pasien insomnia, karena banyak pasien insomnia yang memiliki tanda-tanda depresi, ataupun pasien depresi yang mengalami insomnia. Hubungan ini akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya.
Sebuah penelitian tentang pola peresepan obat pasien insomnia pada pelayanan kesehatan primer di Washington, Amerika Serikat tahun 1997 yang dilaksanakan oleh Gregory E. Simon dan kawan-kawan, menunjukkan prevalensi penggunaan obat benzodiazepine pada pasien insomnia adalah 14% pada pasien insomnia, 19% menggunakan anti-depresan, dan 28% menggunakan obat psikotropik lain. Sebagian besar pengguna anti-depresan adalah pasien-pasien dengan insomnia yang disertai depresi (38%), dan hanya 13% pasien yang insomnia tanpa depresi menggunakan anti-depresan. Tingginya angka penggunaan anti-depresan dibandingkan benzodiazepine menunjukkan lebih banyak penyakit insomnia yang diderita pasien berbarengan dengan gangguan depresi.
Seorang dokter umum juga harus mampu memberikan edukasi dan konseling terhadap pasien insomnia. Edukasi dan konseling ini meliputi higienitas terhadap pola tidur dan koreksi terhadap keyakinan dan kebiasaan yang salah terhadap pola dan proses tidur (dysfunctional belief of sleep).
Selain terapi farmakologi, isyarat seorang dokter umum melakukan rujukan dan konsultasi kepada dokter spesialis adalah bila pada keadaan-keadaan tertentu seperti adanya penyakit yang spesialistik sebagai komorbid dari insomnia, penyakit insomnia sudah menyebabkan pasien menderita gangguan fungsional berat serta respon terhadap pengobatan konvensional yang buruk.
FAKTOR PSIKOSOSIAL YANG MEMPENGARUHI INSOMNIA
Dinamika psikososiodemografi dalam masyarakat umum merupakan suatu tantangan dalam penanganan penyakit pada pelayanan kesehatan primer. Dinamika ini bisa memengaruhi perkembangan suatu penyakit, termasuk insomnia. Oleh karena itu, faktor-faktor psikososial dan demografi penduduk sebaiknya diketahui oleh praktisi pelayanan kesehatan primer karena hal ini mungkin menjadi kunci atau memiliki peran dalam perjalanan penyakit. Meskipun beberapa literatur menyebutkan hubungan erat antara faktor psikososial dan derajat beratnya insomnia, namun penelitian yang mendukung hal ini masih sedikit. Salah satu penelitian yang mencari hubungan antara derajat berat insomnia dengan faktor psikososial di pelayanan kesehatan primer adalah penelitian yang dilakukan oleh Daniel Bluestein dan rekan-rekannya.
Variabel yang digunakan sebagai faktor psikososial adalah status kesehatan, depresi, kepercayaan yang salah terhadap tidur, efektivitas diri, dan demografi. Derajat berat insomnia diukur dengan menggunakan Insomnia Severity Index (ISI). ISI merupakan suatu kuesioner yang terdiri dari tujuh pertanyaan di mana masing-masing pertanyaan memiliki skor 0 sampai 4. Skor jawaban akan dijumlahkan secara keseluruhan, dan skor total dicocokkan dengan kategori yang tersedia. Kategori skor ISI antara lain:
- No clinically significant insomnia (0-7)
- Subthreshold insomnia (8-14)
- Clinical moderate insomnia (15-21)
- Clinical severe insomnia (22-28)
Hubungan Status Kesehatan dengan Derajat Insomnia
Secara teori, status kesehatan diprediksi memiliki hubungan erat dengan insomnia. Gangguan medis sering menjadi komorbid dari penyakit insomnia. Hasil penelitian Daniel Bluestein dan rekan-rekannya menunjukkan hasil yang signifikan antara status kesehatan dengan derajat beratnya penyakit insomnia, namun tidak bisa dijadikan prediktor atau penanda insomnia yang berat.
Beberapa literatur memang sudah menyatakan bahwa ada hubungan antara insomnia dengan kondisi medis. Penelitian oleh Taylor dan koleganya menunjukkan bahwa sampel yang mengalami insomnia kronis juga memiliki penyakit-penyakit medis seperti penyakit jantung, hipertensi, nyeri kronis, gangguan buang air besar atau buang air kecil, kesulitan fungsi neurologis, dan masalah bernafas. Sementara itu, Ancoli-Israel menemukan bahwa gangguan tidur bisa menjadi gejala dari penyakit medis seperti gagal jantung kongestif dan GERD.
Hubungan Depresi dengan Derajat Insomnia
Penelitian oleh Daniel Bluestein dan rekan-rekannya menunjukkan hubungan signifikan antara depresi dan tingkat insomnia yang parah. Semakin tinggi skor depresi dalam sampel, semakin parah tingkat insomnia. Pembahasan epidemiologi oleh Taylor dan rekan-rekannya juga menunjukkan bahwa insomnia menjadi penanda gangguan depresi. Hubungan yang signifikan ini dianggap wajar karena banyak teori yang menyatakan gejala psikiatrik menjadi faktor risiko insomnia atau sebaliknya.
Depresi muncul akibat stres berat, seperti kejadian luar biasa (perceraian, kehilangan orang yang dicintai) atau stres harian (tekanan kerja). Stresor ini memengaruhi pola tidur dan meningkatkan tingkat kewaspadaan sebelum tidur atau ketika terbangun tiba-tiba, yang pada akhirnya menyebabkan insomnia.
Data penelitian dari Daniel Bluestein menunjukkan bahwa pengobatan insomnia pada pelayanan primer sebaiknya mempertimbangkan manajemen depresi untuk memprediksi dan mengatasi tingkat keparahan insomnia.
Hubungan Kepercayaan yang Salah Terhadap Tidur (Dysfunctional Belief of Sleep) dengan Derajat Insomnia
Kepercayaan yang salah terhadap tidur merujuk pada pemahaman yang keliru tentang tidur dan prosesnya, seperti harapan yang berlebihan terhadap tidur, persepsi yang tidak realistis, atau prasangka yang salah. Kepercayaan semacam ini dapat menyulitkan tidur.
Penelitian oleh Daniel Bluestein menemukan bahwa tingkat kepercayaan yang salah terhadap tidur memiliki hubungan signifikan dengan tingkat insomnia yang parah. Hasil ini menunjukkan perlunya integrasi pendekatan kognitif-perilaku dalam pelayanan kesehatan primer.
Hubungan Efektifitas Diri (self-efficacy) dengan Derajat Insomnia
Efektifitas diri yang dimaksud dalam penelitian Bluestein adalah tingkat keyakinan diri saat melakukan kebiasaan yang diperlukan untuk tidur. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan signifikan dengan tingkat insomnia yang parah, sehingga penanganan insomnia pada pelayanan primer sebaiknya mempertimbangkan peningkatan efektifitas diri.
Hubungan Demografi dengan Derajat Insomnia
Menurut penelitian Bluestein, faktor sosiodemografi tidak memiliki hubungan signifikan dengan tingkat insomnia yang parah. Oleh karena itu, pola pelayanan dan penanganan insomnia tidak perlu bergantung pada karakteristik sosiodemografi masyarakat.
Namun, penelitian lain oleh North Carolina Family Practice Research Network (NC-FP-RN) menemukan hubungan antara demografi dan insomnia. Pasien wanita lebih sering mengalami insomnia daripada laki-laki. Pasien dengan ras kulit putih lebih sering mengeluh gangguan tidur dibandingkan ras Latin. Orang yang sudah menikah cenderung mengeluh insomnia lebih sedikit daripada yang belum menikah, namun lebih sering mengalami masalah seperti mendengkur.
Ringkasan
Insomnia adalah gangguan tidur yang sering terjadi di masyarakat, terutama dalam pelayanan kesehatan primer. Menurut DSM-IV, insomnia ditandai dengan kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan selama minimal 1 bulan dengan dampak klinis yang signifikan atau distress.
Patogenesis insomnia sering dikaitkan dengan hyperarousal yang meningkatkan tingkat kewaspadaan seseorang dan menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh, sulit tidur karena peningkatan ini terjadi di malam hari. Faktor yang memicu hyperarousal meliputi stres psikososial dan gangguan medis.
Pelayanan kesehatan primer oleh dokter umum melibatkan penanganan insomnia, didasarkan pada prevalensi insomnia dan konsekuensinya. Terapi farmakologi yang umum digunakan adalah golongan benzodiazepine, namun edukasi, konseling, serta penanganan faktor psikososial juga penting dalam manajemen insomnia.
DAFTAR PUSTAKA
- Max Hirshkowitz, Rhoda G. Seplowitz-Hafkin, Amir Sharafkhaneh. 2009. Sleep Disorders. In: B.J. Sadock, M.D., Virginia Alcott Sadock, M.D., Pedro Ruiz, M.D. (eds). Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry Volume II. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; hal. 2150-56.
- Daniel Bluestein, Carolyn M. Rutledge, Amanda C. Healey. 2010. Psychosocial Correlates of Insomnia Severity in Primary Care. JABFM Vol. 23 No. 2; hal. 204-211.
- Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact, Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation. Fall; hal. 491-498.
- R. Mahendran. 2001. Characteristics of Patients Referred to an Insomnia Clinic. Singapore Med J Vol. 42(2); hal. 064-066.
- Anonim. 28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia. (akses 20 Januari 2011). Diunduh dari situs: http://balagu.com/health/?p=8/
- Kumar Budur, Charlos Rodriguez, Nancy Foldvary-Schaefer. 2007. Advance in Treating Insomnia. Cleveland Clinic Journal of Medicine Vol. 74 No. 4; hal. 251-266.
- Charles M. Morin, Sylvie Rodrigue, Hans Ivers. 2003. Role of Stress, Arousal, and Coping Skill in Primary Insomnia. Psychosomatic Medicine; hal. 259-267.
- Larry Culpepper. 2005. Insomnia: A Primary Care Perspective. J Clin Psychiatry; hal. 14-17.
- Gregory E. Simon. Michael VonKorff. 1997. Prevalence, Burden, and Treatment of Insomnia in Primary Care. Am J Psychiatry; hal. 1417-1423.
- Insomnia Severity Index (ISI). [akses: 20 Januari 2011]. Diunduh dari situs: http://www.google.com/
- Charles M. Morin, Josee Savard, Marie Cristine Quellei, Meagan Daley. 2003. Insomnia. In: Irving B. Weiner, Arthur M. Nezu, Christine M. Nezu, Pamela A. Geller (eds). Handbook of Psychology Volume: Health Psychology; hal. 317-334.
- Charles M. Morin, Annie Vallieres, and Hans Ivers. 2007. Dysfunctional Beliefs and Attitudes about Sleep (DBAS): Validation of a Brief Version (DBAS-16). Sleep; hal. 1547-1554. Tersedia di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/issues/1154172/
- Maha Alattar, John J. Harrington, Madeline Mitchell, Philip Sloane. 2007. Sleep Problems in Primary Care: A North Carolina Family Practice Research Network (NC-FP-RN) Study. JABFM Vol. 20 No. 4; hal. 365-374.
Terakhir Di Perbaharui Pada